Naruto milik Masashi Kishimoto
DamnLust terinspirasi dari karya Sanpacchi The Pedophillian
...
Happy Reading
...
"Oniichan, Oniichan! Ayo, temani Hinata main ayunan!"
Seorang balita perempuan bersurai indigo berlari-larian mengikuti seorang remaja laki-laki yang tampak senang melihat kedatangan Hatake Kakashi, sosok yang hampir setiap hari menemaninya bermain. Sudah sejak dua jam yang lalu, Hinata menunggu Kakashi hingga pulang sekolah. Dia duduk di sebuah taman yang sangat ramai. Banyak anak yang bermain-main disana, namun tidak ada satupun yang berminat untuk menemani Hinata. Ini semua karena si gadis kecil itu adalah anak yang lemah dan manja. Selain itu, Hinata juga sangat cengeng. Makanya, banyak anak-anak seumurannya yang menjauhinya.
"Oniichan!" teriak Hinata lagi. Dia mengerutkan dahi saat mendapati wajah acuh tak acuh Kakashi. Bahu mungil gadis itu terpekuk lesu. Bahkan kini Kakashi pun enggan menemaninya. "Oniichan!" Hinata tidak menyerah untuk mendapat perhatian Kakashi. Namun sayangnya, pria itu masih berjalan lurus dan menghilang di belokan persimpangan kompleks.
Hinata tak kunjung menyerah. Dia berlari dan meninggalkan ayunannya. Langkah kaki kecilnya begitu cepat dan terarah. Dia mengikuti jejak dimana menghilangnya Kakashi. "Oniichan!" teriaknya masih berusaha.
Punggung lebar Kakashi tampak di mata lavendernya. Senyum gadis kecil itu mengembang. Sepertinya Kakashi sudah merespon panggilannya. "Oniichan, tunggu Hinata!"
Napas Hinata terengah-engah. Dia membungkuk, dengan tangan yang bertopang pada lututnya. Wajah menggemaskan balita itu memerah luar biasa. Dia terlihat begitu lelah jika dilihat lebih seksama dari guratan di wajah.
"Kau tahu jika aku tidak terlalu suka keramaian, Hinata-chan," ujar Kakashi seraya berbalik. Dia menyunggingkan senyum manis pada balita itu.
Sontak saja pipi gembil Hinata merona. Dia memang sudah sering mendapatkan bonus senyum dari Kakashi yang tampan, namun untuk hari ini saja, senyum itu semakin hari semakin indah. "Oniichan, ayo kita main ayunan!" ajaknya. Namun Kakashi menggeleng pelan. Dia menolak ajakan ramah Hinata.
"Tamannya sangat ramai, nanti malam saja." Kakashi mensejajarkan tingginya dengan tinggi tubuh Hinata yang hanya mencapai pinggul remaja tujuh belas tahun itu. "Kau manis sekali dengan bandana itu, Hinata-chan." Tangan Kakashi mengelus pipi gembil Hinata yang merona bak diberi pewarna. "Kau tampak seperti boneka."
"Benarkah?" Mata Hinata membulat dan bersinar ketika mendengar pujian Kakashi. Tangan balita itu memegang hiasan di kepalanya. "Ini dibeli Okaachan di pasar," katanya senang.
"Oh iya?" Kakashi menarik tangan Hinata. Tubuh mereka saling berdempetan. Kakashi bisa merasakan betapa lembutnya kulit balita manis itu. Aromanya begitu menggoda, bak buah siap dipetik. "Kau bau keringat, habis main-main, ya?" Kakashi mengendus-endus lipatan leher Hinata yang berkeringat.
Hinata menggeliat tidak nyaman di pelukan Kakashi. Apalagi saat hidung mancung remaja laki-laki itu menciumi lehernya. "T-Tadi, kan, Hinata mengejar Oniichan!" katanya. "Lagipula matahari terik sekali!"
Kakashi menjauhi kepalanya dari leher gadis kecil itu karena dia merasa bahwa Hinata tidak nyaman. Namun bukan berarti Kakashi akan melepas pelukannya, justru remaja itu mengeratkan pelukannya. Tangan besarnya mencengkeram bongkahan bokong bulat Hinata yang montok. "Ini pukul dua siang, apa kau kabur dari rumah lagi?"
Hinata mengangguk. "Hinata rindu Oniichan. Kemarin, kan, kita tidak jadi main petak umpet," Balita cantik itu berceloteh dengan riang. "Lagipula Hinata mau kasih tahu kalau mulai besok, Hinata akan sekolah di Taman Kanak-Kanak Konoha!" Gadis kecil itu memamerkan tentang sekolahnya.
"Wah, hebat! Jadi, Hinata sudah mulai sekolah..." Kakashi menatap intens wajah Hinata. Mata hitamnya bertemu pandang dengan lavender itu. Jantung Kakashi berdetak kencang. Lagi-lagi ada gejolak asing di dada yang mengalir ke otaknya. Dan hanya butuh sekejap saja, gejolak itu membangkitkan hasratnya hingga meletup luar biasa.
"Iya, Hinata pakai baju seperti sailor moon... besok Oniichan lihat, deh! Pasti Hinata cantik sekali memakainya. Apa bandana itu bisa dipakai ke sekolah? Apakah sensei marah kalau Hinata memakai anting juga? Tetapi kata Okaachan tidak akan dimarahi. Bagaimana menurut, Oniichan? Apa nanti Hinata dihukum?"
Kakashi terdiam kaku. Dia sama sekali tak mendengar apapun yang diucapkan oleh Hinata. Mata hitamnya hanya terfokus pada bibir ranum nan merah yang berkomat-kamit dengan celotehan riang khas anak perempuan. Di otak Kakashi hanya terpikirkan bagaimana jika bibir merah itu dia kulum dan disedot ganas hingga Hinata terengah-engah, seperti ikan di darat. Gadis kecilnya pasti tampak cantik dengan ekspresi itu. Lalu, dia akan menelanjangi Hinata, dan menjadi orang pertama yang memerawani gadis kecilnya, lalu membenamkan kejantanannya hingga ke dalam-dalamnya. Bukan hanya itu saja, otak nakalnya juga mengelola dengan cepat apabila Hinata hamil. Meski terdengar mustahil, namun Kakashi ingin melihat perut buncit balita itu mengandung bayi.
Gila.
Pedofil.
Bejat.
"Oniichan melamun!" Hinata mengerucutkan bibirnya kala mendapati Kakashi yang melamun kosong. Gadis kecil itu tahu sekali jika Kakashi tidak mendengar semua ceritanya barusan. "Oniichan, sakit?" Telapak tangan mungil itu menyentuh dahi Kakashi. "Tidak panas pun," ujarnya heran.
Kakashi tak mengucapkan apapun. Dia hanya melihat wajah Hinata. Berbagai ekspresi balita itu tersimpan dengan jelas di pikirannya, lalu berputar ulang di memorinya.
Wajah Hinata yang manis.
Tingkah Hinata yang lugu.
Tubuh Hinata yang seksi.
"Nanti malam, kita main ayunan, ya?" Kakashi melepaskan pelukannya. Hari ini dia masih bisa menahan keinginan untuk menyetubuhi gadis kecil itu. Ini adalah tempat umum. Otaknya masih waras, dan bisa terkendali dengan baik, meski dia melalui dengan sulit. "Oniichan tunggu jam sembilan!"
Hinata mengerucutkan bibirnya. "T-Tetapi Hnata takut ketahuan. W-Waktu itu Okaachan marah karena Hinata terserang flu. Kata dokter, Hinata mudah terserang penyakit, ja-jadi tidak boleh terkena angin malam lagi."
Kakashi tersenyum lebar kala mendengar aduan Hinata barusan. "Jadi itu alasanmu kenapa tidak keluar semalam. Padahal aku menunggumu di taman sampai tengah malam."
Mata bulat Hinata melebar. "J-Jadi gara-gara itu Oniichan mengabaikan panggilan Hinata tadi? Oniichan masih marah?" Gadis kecil itu mendekati Kakashi dan meletakkan kedua tangan mungilnya di pipi tirus remaja laki-laki tersebut. Wajah Hinata murung. Dia merasa sangat bersalah pada Kakashi. Padahal remaja itu selalu menemani kesendiriannya. Bahkan jika Hinata dijahili oleh bocah laki-laki bernama Kiba, Kakashi akan menjadi orang pertama yang menyelamatkannya.
"Tentu saja, aku masih marah padamu!" tukas Kakashi. Memang dia tadi sempat kesal pada gadis kecil ini karena telah melanggar janjinya. Namun jika sudah melihat wajah imut Hinata, hatinya pasti akan luluh bak es yang mencair diterpa sinar mentari.
"Maafkan Hinata, Oniichan!" Bibir Hinata mengerucut tampaknya gadis kecil itu akan menangis. Mata bulatnya saja sudah berkaca-kaca. "Maafkan Hinata!"
Kakashi menyentuh tangan Hinata yang masih melekat di kedua pipinya. Kemudian dia mengecupnya lembut. Jemari-jemari kecil itu dimasukkan Kakashi ke dalam mulutnya. Dimulai dari jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, hingga kelingking. Semua dia emut satu per satu secara bergantian dari tangan kanan ke tangan kiri. Bukan hanya itu saja, Kakashi tidak segan-segan menjilat-jilati jemari balita itu bagaikan es krim.
"Geli, Oniichan!" Suara Hinata melengking disertai tawa renyah. Dia berpikir jika Kakashi tengah bercanda padanya. "Ha ha ha!" tawanya.
Kakashi menyudahi aksinya sebelum si pemilik rumah nomor 65 mengetahui tingkah mesumnya barusan. Dia melirik sekilas dan mendapati seekor anjing jenis husky sedang menatap mereka di balik jeruji kandangnya. Perlahan Kakashi mengalihkan wajahnya pada Hinata. "Tidak baik berdiri di depan rumah orang lain. Ayo, kita pulang!" Kakashi berdiri dan berjalan lebih dulu. Balita cantik itu tersenyum lebar. Dia menarik tangan Kakashi yang berayun seiring langkahnya. Mereka tampak akrab. Saling bergandengan persis seperti kakak dan adik yang menyayangi satu sama lain. Jika orang lain melihat, pasti mereka akan mengacungkan jempol saat mendapati bagaimana dengan mudahnya Kakashi membujuk Puteri Cengeng seperti Hyuga Hinata.
"Nanti malam jangan lupa lagi!" ujar Kakashi seraya berhenti di sebuah rumah sederhana bercat putih.
Hinata menegadah guna menatap wajah Kakashi. Perlahan gadis manis itu mengangguk. "B-Baiklah, Oniichan!" serunya.
"Hinata-chan! Kau dari mana saja, Nak?" Seorang wanita bersurai indigo panjang – mirip Hinata namun dengan versi dewasa – berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka berdua. Wajah wanita itu dipenuhi peluh dan gurat lelah serta khawatir. "Astaga, Okaasan mencari sejak tadi."
"Oh, Hyuga-baasan... maafkan aku. Tadi Hinata mengikutiku dan mengajakku bermain, tetapi aku menolak dan mengantarkannya ke rumah. Lagipula aku akan belajar, besok ada ujian di kelas." Kakashi bersikap bak seorang pahlawan yang peduli pada anak-anak.
"Uhm untung saja ada Kakashi-kun, jika tidak, Hinata pasti pergi entah kemana," Ibu Hinata menatap marah pada putri tunggalnya. "Maafkan aku, jika Hinata selalu merepotkanmu. Kau tahu, jika dia sulit mendapatkan teman," Hikari – nama ibu Hinata – menggendong putrinya. Dia mengelus poni Hinata yang lembap karena keringat. Hikari mengusapnya dengan lembut, lalu dia menggandeng Hinata. "Eh, jari-jarimu kok lengket?" Wanita itu menyentuh semua jemari putrinya.
Bibir Hinata terbuka. Sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu, namun suara datar khas Kakashi menyelanya terlebih dahulu. "Dia menemukan botol bekas gel rambut di jalanan dan menyentuhnya. Lebih baik Hyuga-baasan segera membasuh tangan Hinata, sebelum si gadis bawel ini menjilatnya." Kakashi mengacam poni Hinata. Tatapannya begitu tajam hingga mampu membungkam bibir Hinata yang sempat terbuka tadi. Hinata kecil merasa takut sejenak karena aura Kakashi yang berbeda dari biasanya.
"Ah iya, itu benar!" seru Hikari. Dia membuka pagar rumahnya lalu menarik Hinata masuk. "Kakashi-kun, mau mampir?" Hikari tak enak jika harus membiarkan Kakashi berdiri di depan rumah begitu saja. Apalagi remaja laki-laki itu sering menemani putrinya.
"Tidak perlu, Obaasan. Aku pulang saja!" Kakashi membungkuk untuk memberi hormat. Dia menatap Hinata seraya tersenyum lembut. Tangannya melambai pada bocah perempuan tersebut. "Sampai jumpa, Hinata-chan!" serunya bersemangat. Perlahan dia meninggalkan kediaman Hyuga. Namun sebelum benar-benar pergi dia menoleh lagi ke rumah Hinata dan mendapati mata lavender gadis manis itu mengarah padanya. Kesempatan itu tak dibuang Kakashi secara percuma. Dia menyempatkan diri untuk mengedipkan mata pada gadisnya dan hanya dibalas dengan kebisuan. Entahlah, mungkin Hinata lugu masih belum paham arti kedipan itu.
...
*...*...*
...
Musim panas tahun ini sangat ekstrim. Suhunya benar-benar membakar kulit. Dijamin, siapapun yang lebih dari delapan jam terkena sengatan sinar matahari, pasti akan memerah. Begitupun dengan Hatake Kakashi. Remaja laki-laki itu menatap sejenak taman yang sepi. Biasanya ada gadis bersurai indigo yang menunggunya disana lengkap dengan seragam Taman Kanak-Kanak Konoha yang belum diganti. Namun hari ini, tumben Hinata tidak menampakkan dirinya.
"Kakashi-kun!"
Atensi Kakashi teralihkan oleh suara seorang wanita yang memanggilnya dari kejauhan. "Konichiwa, Hyuga-Obaasan," Kakashi membungkukkan tubuhnya guna memberi hormat.
Hikari tersenyum lembut. "Kakashi-kun, aku bisa minta tolong sebentar?" Wajah Hikari menggurat khawatir.
"Tentu saja. Ada apa, Obaasan?" tanya Kakashi sopan.
Hikari tersenyum lembut. "Bisa ikuti Obaasan ke rumah?"
Kakashi hanya mengangguk saja. Langkah kakinya mengikuti Hikari yang berjalan lebih dulu. Lamgkah kaki mereka sama-sama terhenti tepat di depan sebuah kamar bercat ungu pastel. Disana terbaring seorang gadis kecil kesukaan Kakashi. Hinata meringkuk di balik selimut tebalnya. Bibirnya mengigau sesuatu. "O-Otouchan... Otouchan..."
"Ponsel ayah Hinata tidak aktif, mungkin baterainya habis karena tadi pagi Hiashi-kun tidak mengisi daya ponselnya. Sejak tadi Hinata terus memanggil ayahnya. Aku tak tega melihatnya. Mungkin aku harus menyusul Hiashi-kun ke kantor."
Kakashi mengangguk patuh. "Baiklah, Obaasan. Aku akan menjaga Hinata-chan untuk sementara hingga kalian kembali."
"Benarkah?" Wajah Hikari tampak bahagia. "Terima kasih, Kakashi-kun. Aku akan kembali dengan cepat!" Hikari segera meraih dompetnya. Namun sebelum pergi dia menyempatkan diri untuk mengecup pipi Hinata yang memerah. "Cepat sembuh, Nak. Okaasan akan kembali secepatnya." Hikari menatap Kakashi. "Tolong jaga Hinata-chan, ya, Kakashi-kun?"
Kakashi mengangguk. "Iya, Obaasan," sahutnya.
Perlahan tapi pasti. Pintu kamar Hinata tertutup rapat. Keheningan menyambut suasana kamar tersebut. Mata hitam Kakashi menjelajah isi kamar yang dipenuhi boneka khas anak perempuan. Ada juga beberapa buku cerita di atas meja yang disusun rapi. Beberapa bingkai foto yang menceritakan tumbuh-kembang Hinata sejak bayi hingga berusia lima tahun. Ada juga kenangan foto ulang tahun Hinata.
Ini pertama kalinya Kakashi memasuki kamar Hinata. Meski mereka akrab, namun KaKshi selalu bersikap sopan setiap kali berkunjung ke rumah Hinata. Hal itu jugalah yang membuat Hikari merasa aman menitipkan putri tunggalnya pada remaja laki-laki yang sedang naik hormonnya saat ini. Kamar ini begitu nyaman. Belum lagi, aroma perpaduan minyak telon dan lavender khas Hinata. Astaga, atmosfir di kamar Hinata begitu tentram dan nyaman.
"O-Otouchan..." Untuk kesekian kalinya Hinata mengigau.
Kakashi menahan napas kala mengamati wajah memerah Hinata. Bibir gadis kecil itu tampak basah dan menggiurkan. Plester pereda demam tertutup oleh poni rata – khas Hinata – yang menutupi dahi. Dalam hati Kakashi bersumpah jika saat inilah Hinata berhasil menaikkan nafsunya di puncak tertinggi. Dentingan jam dinding menyadarkan Kakashi jika sudah lebih dari sepuluh menit mata kelamnya menjelalajahi wajah Hinata. Seketika kejantanannya menegang hebat. Dia butuh pelampiasan sebentar.
Kepala Kakashi celingak-celinguk ke sudut-sudut kamar. Dia mendapati jendela yang terbuka lebar meski tertutup oleh gorden tipis. Dengan langkah pelan, Kakashi mendekati jendela dan menutupnya. Pencahayaan semakin menipis. Kakashi berinisiatif untuk menyalakan lampu meski kondisi di luar sana terang benderang. Langkahnya kembali menuju pintu. Dia membuka dan melihat sekeliling. Tak ada siapapun di ruang tamu Hinata. Hatinya melega. Dengan cepat dia mengunci pintu kamar Hinata.
BRAK
Kakashi menoleh ke arah ranjang. Dia yakin sekali jika suara bantingan pintu mengusik ketentraman lelap Hinata. "Kakashi-niichan," gumam Hinata. Mata gadis kecil itu tampak sayu. "Kakashi-niichan, dimana Okaachan?"
Kakashi tersenyum lembut. Dia berjalan menuju ranjang Hinata dan mengelus surai pendek gadis kecil itu. "Ibumu sedang membeli obat, supaya Hinata cepat sembuh."
Hinata hanya diam saja. Dia kembali memejamkan matanya. Kepalanya begitu pening. Ini pasti efek musim panas, makanya dia sampai demam tinggi.
"Mau kunyanyikan nina bobo supaya kau tertidur?" tawar Kakashi.
Hinata mengangguk saja. Dia menikmati elusan Kakashi di rambutnya.
"Nina bobo oh... nina bobo..." Tangan Kakashi beralih ke punggung Hinata. "Kalau tidak bobok digigit nyamuk." Perlahan tapi pasti, Kakashi menaiki ranjang. Tubuhnya menghadap pada tubuh lemah Hinata. tak henti-hentinya dia memandangi wajah gadis kecil tersebut. "Nina bobo oh... nina bobo... kalau tidak bobok digigit nyamuk." Nyanyian Kakashi bagai paduan suara nan merdu yang mengantarkan Hinata pada mimpi panjang. Gadis kecil itu terlelap di pelukan Kakashi. Tanpa menyadari bahaya apa yang akan menimpanya kelak.
Sementara mata hitam Kakashi menatap bibir merah Hinata bak apel segar. Perlahan wajahnya mendekati bibir merah Hinata. Kakashi melumatnya begitu pelan dan hati-hati seolah tak ingin membangunkan Hinata. Lidahnya menjelajahi isi mulut Hinata yang panas. Air liur Hinata begitu lengket, namun sama sekali tak membuat Kakashi jijik. Justru nafsu remaja laki-laki itu kian membuncah. Lidahnya yang besar menyedot lidah kecil Hinata, bukan hanya itu saja, tangan Kakashi mempreteli jaket dan kaus merah muda yang dikenakan Hinata siang ini.
Untuk memudahkan aksinya, Kakashi mengambil posisi di atas tubuh mungil Hinata. Dia menahan bobot tubuhnya dengan kedua lutut. Tangannya dengan cepat menarik celana panjang dan celana dalam Hinata hingga gadis kecil itu benar-benar telanjang bulat. Senyum Kakashi memgembang. Dia melepaskan ciumannya, lalu beralih ke lipatan leher Hinata yang berkeringat. Mulutnya menyesap dengan lIar leher tersebut. Bukan hanya itu saja, ciuman Kakashi beralih pada puting susu Hinata yang masih rata. Dia menyesapnya dengan lembut. Lalu, ciumannya turun ke selangkangan Hinata yang panas. Kakashi bisa merasakan aroma original dari tubuh gadis kecil itu. Astaga, dia sungguh menyukai tiap inci lekuk tubuh Hinata. Kakashi yakin jika beberapa tahun yang akan datang, Hinata akan timbuh menjadi kembamg yang menarik perhatian banyak lebah.
Lidah Kakashi menjilat-jilati seluruh bagian di sekitar area alat kelamin Hinata dengan jilatan cepat. Tubuh gadis kecil ini seolah menghasutnya untuk berbuat lebih.
"Aku tak tahan lagi," geram Kakashi tertahan. Dia menarik resletingnya ke bawah. Celana dalam hitamnya dia turunkan juga hingga kejantanannya teracung tegak, keluar dari sana. Dia mengocoknya sebentar lalu mengarahkan ke dalam lubang sempit Hinata. Berkali-kali dia mencoba, namun sangat sulit menembusnya. Tak habis akal, Kakashi mencari benda yang bisa melancarkan aksinya. Minyak telon di atas meja menjadi sasaran. Tangan panjangnya meraih benda itu, lalu dia oleskan di area kemaluan Hinata dan penisnya. Dia rasa cukup, lalu segera diarahkan kejantanannya pada lubang kemaluan Hinata.
"Akh... sempit sekali!" ringis Kakashi. Dia menunduk guna mencium bibir Hinata, namun kegiatannya terhenti karena mendengar rintih kesakitan gadis kecil tersebut.
"S-Sakit," rintih Hinata. Mata gadis kecil itu melebar kala mendapati wajah Kakashi di hadapannya. "Kakashi-niichan, apa yang kau lakukan? S-Sakit!"
Bukannya menghentikan perbuatan bejatnya, Kakashi malah semakin membenamkan kejantanannya hingga darah segar merembes dari celah di pinggir lubang kemaluan Hinata. Gadis kecil itu berontak liar di bawah kungkungan Kakashi. Tangannya berusaha mendorong Kakashi meski tenaganya kalah jauh. Kesal dengan Hinata, satu tangan Kakashi mencengkeram kedua pergelangan tangan mungil itu hingga Hinata tak bisa bergerak apalagi melawan.
"SAKIT... ONIICHAN SAKIT!" Hinata berteriak kencang. Air matanya mengalir dengan deras mengiringi keperihan di area sensitifnya. "SAKIT! ONII... huumph!"
Kakashi membungkam mulut Hinata dengan telapak tangan kanannya. Tubuhnya masih memacu kejantanannya menusuk Hinata jauh lebih dalam hingga dia mencapai kenikmatan. Dia merasa melayang di atas awan. Untuk pertama kalinya, pikiran liarnya menjadi kenyataan. Dia berhasil mewujudkan keinginan terbesarnya. Menjadi orang pertama untuk Hinata.
Tanpa rasa kasihan, Kakashi terus menghujam Hinata. Tak peduli dengan banyaknya darah yang merembes di seprai biru muda tersebut.
Sampai pada akhirnya, dia merasa tubuhnya dipukul dan dibanting kuat ke lantai. Jantung Kakashi serasa terhenti seketika. Napasnya tercekat ketika mendapati wajah bengis seorang pria berambut coklat di hadapannya. Belum sempat otaknya mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia ditarik dan ditonjok hingga babak belur.
BRUK
BRUK
BRUK
Kakashi merasa ludahnya bercampur darah. Satu gigi grahamnya telah tanggal karena tinjuan Hiashi, ayah Hinata. Tubuh Kakashi kalah jauh dari tubuh dewasa Hiashi yang berotot. Apalagi pria itu memiliki sabuk hitam judo, wajar jika Kakashi kalah telak.
"Hiashi-kun, kau bisa membunuhnya!"
"Biadab!" teriak Hiashi tanpa menghiraukan teriakan ketakutan sang istri dan jerit tangis putrinya.
Bagaimana perasaan seorang ayah kala melihat buah hatinya yang masih balita dinodai seperti ini.
BRUK
"KUHARAP KAU SEGERA MATI, MANUSIA BEJAT!"
Satu tinjuan terakhir Hiashi, berhasil melumpuhkan Kakashi. Remaja tanggung itu terkapar dan bersimbah darah di lantai. Tak ada yang menyentuhnya hingga akhirnya petugas rumah sakit dan polisi mendatangi lokasi kejadian.
Hiashi memejamkan matanya. Dia memeluk sang istri dan buah hatinya yang masih menangis. Perlahan, tetesan air mata seorang ayah mengalir kala melihat simbahan darah di atas ranjang. Dia memeluk anak dan istrinya erat-erat.
"Kupastikan dia membayar semua yang dia lakukan pada putriku."
...
*...*...*
...
"Perasaanku tak enak. Aku tak tenang sebelum melihat keadaan Hinata," gumam Hiashi seraya mempercepat laju mobilnya.
Hikari menghela napas panjang. "Aku menitipkan Hinata-chan pada Kakashi-kun, dia pasti bisa menjaga putri kita dengan baik."
"Justru karena itu... aku khawatir, Istriku."
Mobil mereka berhenti tepat di depan pagar yang terbuka lebar. Mobil Hiashi terparkir begitu saja dan dia segera keluar dari dalam. Namun langkahnya terhenti kala mendapati jendela kamar putrinya yang tertutup rapat. Seingatnya, tadi pagi sebelum ke kantor, dia sempat melihat istrinya membuka jendela tersebut. "Apa kau yang menutup jendelanya?" tanyanya.
Hikari terdiam kala melihat jendela yang tertutup rapat. Seketika hatinya dipenuhi kelabu. Dia dihampiri oleh firasat buruk.
"SAKIT! ONII..."
Jeritan Hinata menyentak mereka.
Sepasang suami istri itu saling bertatapan.
Mereka yakin, ada yang tidak beres di dalam kamar putrinya.
...
SELESAI
...
Holla Ozel kembali.
Ada yang sudah pernah baca The Pedophillian karya Sanpacchi? Sebenarnya ini remake dari chapter 17, scene flashback KakaHina. Bentuk flashbacknya sederhana sih, tapi Damn Lust, aku bikin lebih kompleks. Yahh itung2 mengobati kerinduanku karena semua fic Sanpacchi kagak update sampe sekarang
AN: Fic ini mungkin bakal dihapus kalo Sanpacchi merasa keberatan.
Terima kasih sudah membaca.
Sincerely,
Ozellie Ozel
