Rindu bukan tentang ribuan kilometer yang membentang antara Takaharu dan Tokyo. Rindu lebih perihal rasa yang tumbuh ketika otak dan hati sinkron memikirkan hal yang sama.
Hahaha ... sekarang apa bicaraku mirip orang dewasa?
Lantaran rindu tak mengenal siapa, maka dariku, rasa ini jatuh padamu.
Eits ... Jangan kege-eran dulu. Aku rindu kita lomba lari dan merebahkan punggung di bantaran sungai dengan napas tersengal-sengal. Kau selalu mengalahkanku, tapi kujamin kini tidak lagi. Oh iya, masuk SMA nanti aku akan pindah ke Tokyo, Hinata. Kau berjanji kita bakal bertemu kan?
Dan ... apa kau masih ingat katamu hari itu?
"Jarak bukan apa-apa. Yang penting hati kita saling terhubung. Dan ketika kau memandang langit, maka, itu adalah langit yang sama di mana di bawahnya aku sedang berdiri."
Meski jarak berucap jauh, aku selalu merasa dekat, karena hati tidak mengenal kilometer yang tercatat.
.
.
.
Musim Semi Bulan Mei
Disclaimer: Naruto adalah serial manga yang dibuat oleh Masashi Kishimoto, dan dianimasikan oleh studio Pierot.
Penulis tidak mendapat keuntungan dari segi materiel atas pembuatan fanfiksi ini.
Ditulis untuk memeriahkan sweetest December Event
.
.
.
Seulas senyum tipis terlukis di bibirnya. Mendekap secarik surat bertinta hitam. Helai rambut biru tuanya bergoyang ditiup angin. Rindu menyelinap dalam diam, bersembunyi di balik bisu, dan tersampai melalui satu anggukan penuh rasa percaya.
Musim semi bulan Mei. Rindu lama menggantung oleh angin, akhirnya, dipertemukan oleh takdir.
.
.
.
"Kau lambat sekali, Naruto."
"Ka-kau yang terlalu cepat, Bodoh!"
"Hahaha ... ayo kejar aku!"
Dua anak kecil beradu lari untuk saling mendahului. Langkah kaki mereka lebar menapak aspal, di bawah payung mega putih, serupa lembaran kapas yang diterbangkan angin. Garis finalnya adalah bantaran tempat mereka memulai lomba.
"Yeiii, aku menang!" si gadis kecil berambut pendek, berwarna biru tua bersorak. Di belakangnya, gontai lari si rambut kuning selaras napasnya yang terengah-engah.
"A-aku akan mati ... a-aku akan mati ...," ucap anak lelaki itu terbata-bata.
Si gadis kecil tak ayal tertawa. Kemudian, ia menghempaskan punggungnya pada rumput yang kini terasa seperti kasur yang empuk. Teman lelakinya memang suka berlebihan. Barlari membuat orang sehat, kenapa ia harus berpikir hal ini dapat mencabut nyawanya?
"Haaaah ... aku menang lagi, Naruto!" si gadis kecil menjatuhkan lengannya. Terasa geli kala kulitnya bersentuhan dengan rumput.
Bocah lelaki yang sedari tadi berdiri membungkuk di sisinya dengan tangan bertumpu lutut itu akhirnya turut merebahkan punggung. Terdengar ia mengambil napas dalam-dalam.
Haaaaah ...
Aroma rumput segar terhirup indera penciuman. Bau yang menenangkan. Apalagi jika menciumnya di kala pagi. Wangi rumput bercampur embun dan suam sinar mentari membuat tubuh relaks pun terasa lebih santai.
Mereka selalu melakukan ini. Berlari adalah tolok ukur si gadis kecil pada teman sedari bayinya, apakah bocah dengan tanda lahir di pipi tersebut tumbuh selayak anak laki-laki.
Bukan. Di sini Hinata sama sekali tak menyangsikan Uzumaki Naruto. Hinata juga tidak berpikir, Naruto terlahir sebagai anak perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Toh jika ia lakukan itu, yang ada justru jadi bumerang baginya. Hinata yakin, Naruto juga bakal membalasnya dengan istilah bocah laki-laki yang terperangkap dalam fisik perempuan. Hmm ... di balik hal-hal rumit itu, sebenarnya Hinata sekadar mau memastikan satu hal sebelum kepindahannya.
"...?"
Apakah Naruto bisa tumbuh menjadi anak laki-laki yang mampu membela dirinya sendiri.
"Hinata-chan, kau benar-benar akan pergi ke Tokyo?" Naruto membuka suara setelah mereka saling diam cukup lama. Namun suara angin balik mendominasi lantaran Hinata belum jua menjawab pertanyaan itu.
Hinata kembali berpikir. Mungkinkah selama ini ia yang salah memperlakukan Naruto?
Naruto tumbuh menjadi anak yang sedikit cengeng, mudah menyerah, dan terlihat lemah. Hal itulah yang menyebabkan dia di sekolah sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Dan ketika hal itu terjadi, situasi menuntut Hinata menjadi orang yang tangguh, yang dapat membela teman sedari kecilnya. Jadilah ia tumbuh sebagai anak perempuan tomboi yang jago berkelahi. Tentu tindakannya dapat membuat lawannya menangis, yang berujung pada panggilan orang tua dan ia selalu dimarahi setibanya di rumah.
"Kau dengar aku kan?!" Naruto mulai mulai tak sabar menunggu jawaban Hinata.
Dan ... bukan itu masalah sebenarnya. Sebagai putri seorang dari pegawai yang baru mendapat promosi jabatan, ia dengan sangat terpaksa harus pindah ke Tokyo, akhir Minggu ini.
"Eh, apa?"
"Tuh kan, kau tak dengar!" bibir Naruto cemberut, dan Hinata membalasnya dengan garukan di belakang kepala.
"Hehe ... a-aku dengar kok." Si gadis kecil berusia sebelas tahun itu kemudian bangkit dan mendudukkan diri. Kakinya ia tekuk, duduk bersila, dan menggunakan dua lengannya sebagai penyangga.
"Kau ingin menahanku?" tolehnya pada Naruto.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Naruto saat itu, tapi, semburat kemerahan terlihat sekilas bersandar di pipinya.
"Ti-tidak. Untuk apa aku menahanmu? Ja-jangan asal bicara deh!"
"Hmm ... kukira kau tak ingin aku pergi."
"..."
"... jangan khawatir. Bila kau rindu padaku, tulis surat saja, dan aku akan membalasnya. Bagiku jarak bukan apa-apa. Yang penting hati kita saling terhubung. Dan ketika kau memandang langit, maka, itu adalah langit yang sama di mana di bawahnya aku sedang berdiri. Jadi kita tetap dekat kan?"
.
.
.
.
Narita International Airport
"Naruto-kuuun!"
Seseorang menyekap matanya dari belakang. Suara yang riang, khas kecerewetan gadis itu.
Tanpa berpikir panjang, Naruto langsung meraih tangan yang menyekapnya, lantas berbalik. Sepasang iris biru muda seketika bersirobok dengan mata gadis berambut merah jambu di hadapannya.
"Sakura?"
"Selamat datang di Tokyo!" ujar si gadis langsung menarik lengan Naruto dan memeluknya.
Sakura adalah teman sekelas Naruto di bangku sekolah menengah pertama. Gadis itu pindah dua tahun lalu lantaran kedua orang tuanya yang bercerai. Ia ikut ibunya kembali ke Tokyo, sementara hanya di liburan musim panas saja, pemilik selaput pelangi berwarna emerald tersebut mengunjungi Takaharu. Walau memiliki permasalahan keluarga yang cukup kompleks, tetapi hal itu samasekali tak mengurangi keceriaannya. Sakura seolah hidup tanpa beban apa pun, menikmati hidupnya selayak remaja lain dalam adolesensnya.
"Kau sudah siap hidup di kota besar, Naruto-kun?" Sakura memukul-mukul pelan lengan Naruto sembari berjalan. Senyum lebar tersungging di bibir.
Naruto mendesah. Ia tampak memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, lalu melangkah lebih dulu.
"Bila aku tak siap, saat ini aku pasti tak menginjakkan kakiku di Tokyo, Sakura." Jawab Naruto santai.
"Hooo ... tapi kau tak lupa janjimu kan? Kau bilang akan mentraktirku strawberry cake jika aku menjemputmu,"
"Iya-iya, aku ingat. Tinggal tunjukkan saja tempatnya,"
"Oke!"
Penuh semangat Sakura menyusul Naruto yang sudah beberapa langkah di depannya. Ia kembali memeluk lengan kekar yang agak kurang lazim bagi remaja yang baru lulus dari sekolah menengah pertama.
.
.
Komaba High School
Gemuruh tepuk tangan menggiring langkah kaki mereka masuk ke dalam gimnasium. Para staf pengajar, petinggi sekolah, wali siswa, pun kakak-kakak kelas menyambut kedatangan para murid baru dengan antusias.
Hari ini adalah upacara penerimaan, nyuugakushiki. Upacara yang umumnya diselenggarakan pada bulan April, selepas upacara kelulusan para alumni di bulan sebelumnya.
Di gelar dalam gimnasium sekolah, upacara dibuka oleh pidato kepala sekolah, yang diusul pengenalan wali kelas, kemudian pidato dari perwakilan siswa.
Jangan harap dapat melihat para siswi mengenakan rok pendek setinggi lima sentimeter di atas lutut, seragam yang ketat, pun mengintip toilet perempuan dengan berjemaah. SMA Komaba adalah sekolah khusus anak laki-laki, jadi sudah dapat dipastikan, selain staf pengajar, tak ada gender perempuan lain di sini.
.
Embusan angin lembut mencumbu kulit. Angin yang bersesaran di antara celah mekar bunga sakura. Salah satu pohon sakura di sekolah ini berusia lebih satu abad, tetapi keindahannya sama sekali tak memudar.
Di bawahnya, Naruto duduk bersila. Terlihat ia mengambil sebuah bolpoin dari saku seragamnya, lalu buku kecil yang selalu ia simpan di dalam sana.
Apa yang berbeda dari Takaharu dan Tokyo ia tulis: gedung pencakar langit; kecepatan orang-orang saat berjalan; tempat hiburan; dan, orang-orangnya yang lebih asing. Ya, jangan samakan interaksi orang kota sama dengan orang desa.
Ah, dari pada itu ... lebih baik menulis surat untuk Hinata.
Hari ini upacara penerimaan berjalan dengan lancar.
Aku tiba di Tokyo kemarin lalu. Tokyo tempat yang ramai, hehehe, tapi aku samasekali belum sempat berjalan-jalan di sini. Hari Minggu nanti, bagaimana jika kita jalan-jalan? Aku akan menunggumu di depan stasiun, di depan air mancur itu.
.
.
Pagi ini Naruto mengawali hari penuh semangat. Bangun pukul tujuh, mandi, dan memilih baju terkece yang ia miliki.
Antusias. Agaknya kata itu tak berlebihan. Ia bahkan tampak bolak-balik memandangi cermin, memastikan penampilannya menarik, dan tak ada satu pun cela yang membuat gadis teman semasa kecilnya dapat mengkritik.
Tersenyum ia membaca balasan surat dari Hinata. Pertemuan mereka hari ini didukung oleh matahari yang bersinar terang, pun langit biru tanpa awan yang sebening irisnya.
"Yosh, kuharap kau tak kaget melihat penampilan baruku. Aku bukan Naruto cengeng yang dulu, Hinata."
.
.
.
"Naruto-kun, ka-kau sudah lama?"
"... Hi-nata?"
"Hehehe, hisashiburi."
Mata Naruto berusaha memastikan bahwa ia tak salah orang. Mengerjab beberapa kali, menguceknya, sampai-sampai mencubit tangannya-tentu, tanpa sepengetahuan gadis itu.
Rambut biru tua yang sedari dulu terpotong pendek kini terlihat panjang tergerai sepinggang. Mata yang semenjak dahulu selalu memandang tegas, sekarang berubah sayu, seolah menandaskan pemiliknya adalah seorang yang lembut. Apalagi penampilan luarnya. Bisa dibilang sangat berbeda, 180 derajat berbanding terbalik.
Hari ini Hinata mengenakan rok pendek berwarna hitam di atas lutut, kaus putih, dan vest kuning disertai pita.
Melihatnya yang dulu sangat maskulin dan kini berubah feminin, entah mengapa hal tersebut menimbulkan sensasi aneh di pipinya. Rasa hangat yang menjalar ke seluruh muka. Rasa suam yang tak tahu apa penyebabnya.
"Naruto-kun?"
Menyelipkan rambut ke belakang telinga, Hinata terheran melihat Naruto yang terus memandangnya dengan bibir sedikit membuka.
"Naruto-kun?"
Bagaimana? Bagaimana bisa Hinata yang dulu nyaris serupa bocah laki-laki sekarang tumbuh menjadi remaja perempuan yang sangat cantik?
"Naruto-kun?"
Naruto meneguk ludah. Bila begini, ia yang justru terkejut akan perubahan gadis itu.
"Naruto-kun?!"
Hinata menepukkan tangannya di depan wajah Naruto.
Terkesiap, Naruto langsung terperanjat. "Ah-eh ...,"
Hinata menutup mulut setelahnya. Bahunya terlihat bergerak, suara kikikan lirih terdengar dari bibir sewarna merah senja.
Malu Naruto menggaruk pipi. Pandangannya bergulir ke samping, kalau bisa, untuk sementara jangan sampai netra mereka saling berserobok.
Namun hal itu nyatanya tak berlangsung lama, sebab wajahnya kemudian dibuat merona oleh Hinata yang tiba-tiba menggenggam jemarinya.
"Ayo, bukankah kau memintaku menemanimu jalan-jalan?"
Senyuman Hinata membuat jantungnya berdegup abnormal saja.
Ada rasa aneh yang mendadak tumbuh. Sesuatu yang membunuh; membunuh nyali. Lagi-lagi gadis itu mengalahkannya; mengalahkan dengan pesona baru yang tak kalah kuatnya.
.
.
"HOWAAAAA ..."
465 kaki rollercoaster meluncur bebas dari ketinggian. Dengan kecepatan 128 mil per jam dalam 3,5 detik. Naruto berteriak histeris meski telah berpegangan pada besi horizontal yang ada di depannya. Rasa takut tak kunjung sirna, ditambah perutnya yang sudah mual akibat jalur rollercoaster yang berkelok-kelok dan naik turun.
"Hoeek ..."
Sesampai di bawah, Naruto yang sudah tak tahan memuntahkan isi perutnya pada belukar di samping pohon palem yang tumbuh tidak jauh dari arena rollercoaster.
Kepalanya masih pening. Perutnya amat mual. Tidak lagi. Tidak akan naik lagi. Permainan itu bisa mengakhiri masa hidupnya.
"Naruto-kun, mau main itu?"
Belum reda mual dan tegang yang Naruto rasakan, Hinata menunjuk sebuah wahana yang tak kalah membuatnya shock.
Sebuah arena bermain, rumah hantu.
"Naruto-kun, berani tidak?"
Tengkuk Naruto merinding seketika. Tentu perempuan itu tahu dirinya takut gelap dan kurang suka terhadap hal-hal berbau seram: serupa setan; pun kawan-kawannya.
Siaaal. Hinata pasti sengaja.
"Kau takut, huh?" lirik Hinata sedikit meledek.
Jelas di sini Naruto tak mau dinilai cemen. Ia harus bisa membuktikan bahwa dirinya telah berubah. Lagipula malu sama otot lah. Percuma selama ini melakukan olahraga berat demi membentuk tubuh ideal, jika dengan hal begini saja ia ketakutan.
Memantapkan hati guna tetap memasuki wahana yang sekarang tinggal beberapa meter di hadapannya ...,
"A-ayo."
Naruto melangkah lebih dulu.
.
Baru di depan pintu masuk, kakinya sudah tak mau diajak kompromi untuk tidak bergetar. Jelas, Hinata yang berdiri di sampingnya menyadari itu. Ingin tertawa, tapi ia tahan sekuat tenaga. Lucu saja melihat Naruto yang tak banyak berubah, kecuali fisik yang memang cukup mencolok.
"Kalau takut kita cari wahana lain saja, Naruto-kun,"
Dengan cepat Naruto menggeleng.
Ekspresi wajahnya dibuat sedatar mungkin, padahal warna merah jelas terpoles di pipinya.
"A-aku tidak takut. A-ayo masuk."
Naruto berjalan di depan dengan langkah ditegakkan, seolah ingin memberitahu Hinata bahwa ia berani.
"Pegang lenganku. Jangan sampai kau pingsan nanti!"
Hinata tersenyum menanggapi ucapan Naruto. Seberapa jauh pemuda itu bertahan, ia cukup tahu.
Setelah pintu dibuka dan masuk, Naruto pasti akan berteriak.
"Howaaaaa ...!"
Benar saja. Tak lama setelah pintu dibuka, teriakan lantang memenuhi satu wahana di Rainbow Land, bahkan nyaris merobohkannya.
Naruto menutupi wajahnya dengan tangan, kemudian memeluk erat lengan si gadis yang ada di sisinya, yang kini tengah terkikik geli.
"Kalau takut berpegangan saja pada lenganku, Naruto-kun." Hinata menirukan pernyataan Naruto di awal tadi.
Seketika itu, Naruto melepas pelukannya dari lengan mungil Hinata dan berjalan di depannya.
"A-apa maksudmu?"
Naruto kembali melangkah. Dadanya ia busungkan.
"Ayo cepat selesaikan permainan ini."
Padahal dalam relung hatinya yang paling dalam, Oh Tuhan, kenapa harus ada wahana yang seperti ini sih?!
Batinnya menjerit.
.
Di ujung wahana rumah hantu, pemilik iris sebiru lautan itu sudah mulai tenang karena tidak ada lagi penampakan yang terlihat.
Ia mulai dapat mengendalikan kakinya agar tak gemetar, pun bulu kuduknya yang sedari awal terus meremang.
Berjalan menyusuri gelap, lorong demi lorong, ruang demi ruang.
Kesan lembap kental tercium dalam ruangan minim cahaya ini. Hanya ada sorot lampu kemerahan yang terpantul untuk menambah sisi tegang. Sebentar lagi pintu keluar. Satu ruang lagi. Saat Naruto membukanya ...
GHOAARRRH ...
Sesosok oni dengan muka merah dan dipenuhi darah menampakkan wujud tepat beberapa centi di depan wajahnya.
Naruto yang seketika itu terkejut tak ayal terbirit-birit ke belakang, memeluk tubuh Hinata erat.
"Ha-hantu. Hantu, Hinata! Wajahnya menyeramkan. Be-berdarah-darah!"
"A-e ... Na-Naruto-kun?"
"Dia hendak memakanku!"
Naruto memeluk tubuh Hinata dengan kuat. Membenamkan wajah tampannya pada bahu kecil yang tak ada separuh miliknya. Melingkarkan tangannya pada punggung mungil yang membuat jarak sirna di antara mereka.
Hinata tak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya Naruto memang sangat ketakutan. Dapat ia rasakan bagaimana tremor menjalari lengan pemuda itu.
"... Naruto-kun?"
Hinata tak mendapat jawaban apapun. Sebatas pelukan yang terasa semakin menguat. Wajahnya yang kian dibenamkan ke pundak, dan degup dalam dadanya yang beritme lebih cepat.
"Naruto-kun?"
Naruto seperti orang yang rapuh sekarang. Keringat dingin membasahi keningnya. Mata Hinata tentu tak luput menyadari bila sedari masuk, anggota tubuh pemuda itu gemetaran.
Hinata jadi merasa bersalah telah mengajak Naruto masuk ke dalam wahana ini.
"Tenanglah, aku ada di sini. Jangan takut."
Hinata membalas pelukan Naruto.
Ia mengusap punggung lebar itu, serta tangan satunya bergerak membelai rambut kuning cepak yang terasa kasar oleh gel rambut.
"Kau tak sendirian, Naruto-kun."
.
Rona merah jambu memoles pipi keduanya.
Atmosfer canggung menjadi partisi yang seakan membatasi bibir mereka untuk saling melontarkan kata-kata.
Masih teringat, apa yang terjadi beberapa menit lalu, sebelum mereka mampu melihat cahaya matahari, sebelum mereka berhasil keluar dari wahana rumah hantu.
Naruto pun dengan jelas sanggup membayangkan bagaimana aroma tubuh Hinata ketika tadi mereka berpelukan.
Wangi lavendel bercampur kombinasi harum orange blossom, bergamot, dan vanilla, menciptakan aroma khas yang lembut, nikmat, jua memabukkan.
Iris biru Naruto tanpa sadar melirik ke samping, ke arah Hinata.
Gadis itu terlihat agak menunduk.
Jika diamati, kulit Hinata rasanya semakin terlihat putih dan bersih. Pipi gembil yang mengundang hasrat, meminta dicubit ...
Benarkah dia Hinata lima tahun lalu? Daripada manusia, Hinata yang sekarang lebih mirip boneka menggemaskan.
Kembali pada sunyi. Beberapa meter berjalan, hening masih menguasai, seolah tiada topik apa pun yang menarik.
Padahal mereka baru saja bertemu usai sekian lama. Apakah lima tahun itu waktu yang sebentar? Bukankah, lima tahun teramat lama untuk sekadar menumpuk rindu yang dipendam?
Naruto tidak suka situasi yang seperti ini.
"Hi-Hinata, mau ke mana selanjutnya?" akhirnya ia memberanikan diri untuk mengawali bicara.
Hinata menoleh, ia bisa melihat jelas wajah Naruto tak kalah memerah dengan wajahnya sendiri. Membuat dirinya semakin malu dan kian tak sanggup mengangkat kepala. Ia mengatupkan kedua telunjuknya di depan dada, "Te-terserah."
"Hmm ... ke mana ya enaknya?"
Dulu ... saat ke taman bermain, mereka selalu mampir ke wahana games menembak.
"Bagaimana jika kita-"
"Ah, ada!"
"...?!"
Hinata yang tiba-tiba berteriak mengejutkan Naruto. Mata peraknya tampak tertuju pada seorang penjual permen kapas, yang tengah dikerumuni anak-anak.
"Kau mau?" Naruto bertanya pelan.
Hinata mengangguk dengan semangat.
.
"Kau mau?"
Hinata sudah berjalan dengan membawa permen kapas yang ia inginkan.
Naruto mengangkat bahunya seraya menggeleng saat Hinata menawari itu, "Untukmu saja."
Mungkin dulu masih wajar, ketika ia kecil makan permen kapas, dan membawanya ke sana ke mari. Namun untuk sekarang, masa iya, ia harus membawa permen yang ukurannya tak dapat disembunyikan itu?
Drrr ... drrr ...
"... Hinata?"
Wajah Hinata kembali tertunduk, beberapa detik usai melihat pesan yang masuk di layar ponsel pintarnya.
"Mama menyuruh pulang," ujarnya.
"...?"
Padahal baru juga bertemu.
"Bibi masuk rumah sakit. Dia terserempet mobil ketika hendak menyelamatkan seekor anak kucing di tengah jalan,"
"..."
"Emm ... maaf, Naruto-kun. Sepertinya aku-"
"Ayo, kuantar sampai halte depan." Naruto meraih ujung telunjuk Hinata, "masih ada Minggu depan, kita masih bisa melakukannya lagi."
"..."
Hinata yang terkejut melihat perlakuan Naruto, terbengong. Namun itu tidak lama. Hinata mengangguk. Mereka pun berjalan menuju halte bersama-sama.
.
Lima menit menunggu, belum jua ada tanda-tanda kedatangan bus.
Di halte itu hanya ada mereka saja. Bunga sakura di samping halte mekar dengan indah, sebagian kelopaknya berguguran diterpa angin, dan salah satunya jatuh mengenai rambut Naruto.
Kala Hinata mencoba mengambil, di saat yang sama pemuda itu tiba-tiba menoleh.
Iris mereka saling bertemu pandang. Hinata lantas tersenyum seraya menunjukkan bunga yang baru ia ambil.
Hal ini entah mengapa mengingatkannya pada kisah yang telah lalu. Pada musim semi, lima tahun lalu.
.
.
Langkah kecil membawa kaki dua anak itu memasuki hutan buatan yang ada di dekat taman.
Pada bulan April, kala dingin berganti semi, orang-orang akan berkumpul di bustan setempat untuk menikmati keindahan bunga sakura yang sedang mekar-mekarnya. Mereka menyebut kebiasaan ini sebagai hanami.
Di salah satu taman yang terletak di distrik Nishimorokata, terdapat sebuah taman cantik yang bersebelahan dengan arboretum. Penduduk yang tinggal di distrik ini pasti tak melewatkan momen yang sekadar datang kala musim semi, yang artinya satu tahun sekali.
"Kena kau!" Hinata berhasil menangkap Naruto setelah mereka berkejar-kejaran di area hutan buatan.
Naruto kecil meringis. Ia selalau kalah jika diadu lari dengan Hinata, padahal anak itu perempuan dan ia laki-laki.
"La-larimu terlalu cepat!" tersengal-sengal Naruto mengucap itu.
"Dasar keong! Yang semangat dong, Naruto-kun."
Mata Naruto mendelik ketika Hinata mengatainya.
"Dasar monster. Seperti itu kau mengaku perempuan? Huh, mungkin sebenarnya kau ini anak laki-laki, Hinata-chan."
"Apa katamu?"
Dan ketika Hinata akan mengejarnya, Naruto mengangkat kedua tangan.
"Aku menyerah. Rasanya capek sekali. Haaaah ..." lalu ia merebahkan badannya di rerumputan, sedang Hinata duduk di sampingnya, bersandar pada batang pohon ek tua.
Mereka lupa, bila tadi mereka datang bersama orang tua yang sudah menunggunya di taman.
.
Satu jam berlalu,
Iris lavendel pucat itu menatap arloji yang melingkari pergelangan kirinya. Sesekali atensinya teralih pada sejumlah sudut taman, kemudian danau tempat beberapa orang terlihat menaiki sampan.
Jalan hutan buatan tampak gelap dari sini. Senja sebentar lagi turun, tapi dua anak itu tak kunjung menunjukkan batang hidung.
"Hikari?"
Wanita berambut berma berhasil mengalihkan fokusnya. Pria berambut kuning berada di sampingnya. Mereka adalah keluarga Uzumaki, orang tua dari anak laki-laki yang biasa bermain dengan putrinya.
"Apa kalian tidak merasa Hinata dan Naruto terlalu lama? Sudah satu jam, mereka belum kembali."
Kushina turut memperhatikan sekitar. Raut gelisah yang sama mulai tampak. Benar, dua anak itu terlalu lama.
.
Langit sore telah mencapai warna oranye kemerahan. Dari balik rimbun dedaunan, cahaya itu menyusup. Udara semakin lama semakin bertambah dingin. Pun jarak pandang yang mulai terbatas akibat gelap.
Setidaknya mereka telah mencoba dengan berputar-putar mencari jalan keluar, meski selalu kembali ke titik yang sama.
"Hinata-chan, kau benar ingat jalannya tidak?" menarik kaus Hinata, Naruto berjalan di belakang punggung gadis itu. Mata Naruto terlihat memerah dan berair.
"Dasar cengeng!" ketus Hinata mendengar Naruto sesenggukan.
Anak yang diejek langsung mengusap air matanya menggunakan lengannya, "Aku tidak cengeng. Hanya saja, debu masuk ke dalam mataku,"
Hinata menatap datar, "..."
Jelas sekali Naruto berbohong. Lagi pula angin sama sekali tak berembus kencang. Jadi mana mungkin bisa debu sampai jatuh ke mata?
Tiba-tiba, dari arah belukar di belakang mereka berdiri, terdengar suara kresak-kresak. Semak itu tampak bergerak-gerak.
"Hi-Hinata-chan ...," Naruto mulai ketakutan.
Hinata meneguk ludah. Ia pun merasa demikian. Ia takut, jika yang keluar nantinya seekor hewan buas, dan menerkam mereka hidup-hidup.
Hinata berbalik. Semak itu bergerak-gerak, dan arahnya semakin dekat.
Kakinya refleks melangkah mundur, diikuti Naruto yang masih menarik ujung kausnya.
"Hi-Hinata-chan ...,"
Ghougg ...
Mata Hinata dan Naruto membulat sempurna begitu melihat seekor anjing liar keluar dari dalam semak.
"Lariiiiii ...!" Hinata berteriak. "Lari yang cepat, Naruto-kuuun!"
Kocar-kacir mereka dikejar anjing itu. Seekor anjing liar berbulu hitam dengan muka yang seram.
Hinata tak ingat kapan terakhir kali ia dikejar-kejar anjing seperti ini ...
"Cepatlah!"
Namun yang pasti, itu sudah lama sekali.
"A-aku sudah berusaha sekencang mungkin!
Mereka terus berlari. Tak peduli arah tujuan yang jelas, sebisa mungkin, menghindar dari anjing itu atau mereka akan tergigit.
Di persimpangan setapak sana, Hinata mendapati secercah cahaya yang rupanya berasal lampu taman.
"Jalan keluar!"
Naruto berlari mengikuti instruksi Hinata. Kejadian tak diduga ini, rupanya membuat mereka berhasil keluar dari dalam hutan buatan.
Melihat sebuah selter yang tak jauh dari posisi mereka, Hinata dan Naruto lantas menyelinap ke dalam sana untuk bersembunyi.
Sementara anjing liar yang mengejar mereka tadi, berlari lurus, melewati selter itu.
"Haaaaahhh ..."
Hinata menghela napas panjang.
Ia menyandarkan punggungnya pada tembok bangunan kecil yang biasa digunakan untuk berteduh tersebut.
Akhirnya mereka bisa lolos.
.
.
"Pfff ... hahahaha ...,"
Tertawa keras Hinata sembari memegangi perut. Sementara di sampingnya, raut wajah Naruto tampak memerah.
"He-hentikan itu, Hinata-chan ..." malu-malu Naruto mengucapnya.
Namun yang ada, tawa Hinata justru terdengar keras.
"Kau ingat? Sambil terus menarik ujung kausku, kau berkata, dari taman ini kau tahu jalan pulang kan? Dengan terus menangis, dan aku berusaha meyakinkanmu jika aku benar-benar ingat jalannya."
"U-uuh ..."
"Kenapa? Jangan malu-malu, Naruto-kun."
Bus yang Hinata tunggu akhirnya datang.
Hinata berdiri, ia terlihat meregangkan otot tangannya.
"Hari yang menyenangkan. Kuharap Kita bisa bermain seperti ini lagi, Naruto-kun." Sang pemilik iris lavender tersenyum.
Naruto, sambil menggaruk belakang kepala, ia mengangguk.
Tiba-tiba Hinata menyodorkan permen kapasnya.
"Mau?"
"...?"
Naruto awalnya cukup ragu menjawab itu. Namun Hinata terus menyodorkannya, memaksa ia untuk mencoba sedikit.
Dari dulu rasa permen kapas tak pernah berubah. Teksturnya yang unik: saat digigit, maka akan mengempis dengan sendirinya.
"Manis kan?"
Naruto mengangguk pelan.
Satu lagi tindakan gadis itu yang membuat pupilnya membulat adalah, Hinata yang tiba-tiba turut menggigit bagian permen kapas, yang berlawanan darinya.
Gadis itu tersenyum.
"Jaa, sampai ketemu lagi, Naruto-kun!"
Hinata kemudian naik ke dalam bus. Mereka akhirnya berpisah.
Dari jauh, Naruto terus menatap bus itu hingga menghilang di persimpangan.
Dalam hatinya terasa lega. Setelah sekian lama, akhirnya ia dapat bertemu kembali dengan Hinata.
"... Akh!"
Mendadak Naruto menyadari sesuatu.
Seketika itu juga ia menyesal.
"Bodoh!"
Naruto mengumpat untuk dirinya sendiri.
Ia lupa meminta nomor telepon Hinata.
.
.
.
Menekuk lengan, dan menggunakannya sebagai bantalan untuk merebahkan kepala.
Matanya ia coba pejam, tapi tidak bisa.
Membosankan.
Netranya lantas ia alihkan untuk menatap jendela. Di luar, angin terlihat menggoyang bunga sakura yang tumbuh tepat di sebelah kelas.
Tak lama suara gaduh-gaduh datang dari sang ketua yang baru kembali dari ruang guru.
Murid-murid lain begitu antusias mendengarkan kabar yang hendak diumumkannya.
"Tenang-tenang ... ini kabar membahagiakan!"
Mereka itu, sudah seperti anak ayam yang hendak diberi makan. Semua berkerumun di depan, menyangga dagu, memasang telinga baik-baik.
"Sssttt! Nanti akan ada kunjungan dari sekolah putri."
"Woaaa ...?!"
Kompak mereka bersama-sama.
"Sekolah putri?"
"Be-benarkah? Kau tak menipu kami, kan?"
"Yes! Akhirnya aku bisa mencuci mata. Baru sebulan saja aku sudah frustrasi menyadari semua anak di sekolah ini berbatang."
Mereka bersorak-sorai. Ya, kecuali si rambut kuning yang masih agak bingung.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Dua orang yang duduk di belakangnya pula mulai membahas hal mesum tentang gadis-gadis itu.
"Hmm ... aku sudah dapat membayangkannya. Paha mulus di balik rok wiru yang diselingkap oleh angin."
"Aaah ... celana dalam motif kelinci dan beruang. Aku sering mendengarnya dari kakak kelas."
"Bwahahaaa ..." Keduanya tergelak.
Naruto mengambil napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan.
Apa tidak ada hal lain yang mereka pikirkan? batin Naruto.
Konon, kunjungan sekolah khusus perempuan ke sekolah ini adalah kegiatan rutin setiap tahunnya. Kunjungan dilakukan oleh anak kelas dua guna studi banding di awal semester baru.
.
Suasana kelas kembali tenang, kala proses belajar mengajar berlangsung.
Seorang guru berpostur tubuh pendek, dengan kepala botaknya yang mengilap membuat seisi kelas sukses menahan tawa.
Namanya Onoki-sensei. Beliau harusnya sudah memasuki masa pensiun. Namun rupanya, jiwa muda tetap membuatnya semangat. Onoki-sensei, atau yang kerap dipanggil kakek Onoki, adalah guru ilmu pengetahuan sosial di kelas ini.
Namun rupanya ketenangan tersebut tak berlangsung lama. Dimulai dari seseorang siswa yang menyadari sebuah bus tiba di halaman sekolah mereka. Tampak sejumlah siswi turun dari bus itu. Dan secara tidak langsung, siswa tersebut berteriak.
"Mereka sudah datang!"
"Wohaaaa ...!"
Tak pelak semua siswa yang ada di dalam kelas tersebut berhambur menuju jendela, yang membuat Onoki-sensei marah seketika.
"Kalian ini! Cepat kembali ke tempat duduk masing-masiiing!"
.
Jam istirahat hampir seluruh siswa keluar dari kelas. Tujuannya bukan lagi mengisi perut lantaran lapar, melainkan mengintip rombongan siswi sekolah putri yang beristirahat di sana.
Naruto hanya bisa menggelengkan kepala melihat kawan-kawannya saling berebut pintu untuk pergi lebih dulu ke kantin.
Ia melangkah serupa biasa, dan menunggu pintu benar-benar sepi dari kerumunan.
Ah, tidak makan pagi-karena tadi dia bangun kesiangan-membuat perutnya jam segini sudah berteriak-teriak minta diisi.
.
Setiba di kantin, Naruto dan beberapa orang lainnya mulai memilih tempat duduk. Naruto mengedarkan pandangan. Benar. Kantin tak hanya dipenuhi siswa laki-laki dari sekolah ini, melainkan juga siswi perempuan yang sedang melakukan kunjungan.
Pemandangan cukup membuatnya tertawa ialah, ketika beberapa dari kakak kelasnya yang sudah duduk bersama gadis-gadis dari sekolah itu mencoba melakukan sesuatu yang bisa dibilang pendekatan, dan ditanggapi kurang baik oleh pihak perempuan. Atau, melihat teman-temanya yang lebih banyak menggigit jari karena tidak mendapat kursi guna PDKT. Ah, ada juga yang ingin melakukan hal yang sama, tetapi takut dengan kakak kelas yang terlebih dahulu berada di sana.
Naruto menggelengkan kepalanya pelan, "Seperti tidak pernah melihat gadis-gadis saja,"
Lalu, mata birunya tanpa sengaja menatap nyalang pada sesosok perempuan cantik yang tengah dikerubuti beberapa makhluk Adam.
Rambut indigo sepinggang yang dikuncir rapi. Mata sayu, raut wajah familier yang selalu terlihat manis.
Naruto terkejut. Mengapa Hinata juga ada di sini?
Naruto yang geram melihat Hinata kurang nyaman, dan tetap digoda, membuat kakinya spontan melangkah mendekati kerumunan tersebut.
Sambil berjalan, Naruto menatap Hinata intens, berharap si gadis juga menoleh ke arahnya.
Syukurlah.
Sepertinya memang ada semacam telepati yang menghubungkan hati mereka. Hinata menoleh ke arahnya. Gadis itu seketika tersenyum lebar dan berdiri.
"Naruto-kun?"
Yang dipanggil pula membalas senyum penuh kemenangan. Meski akibatnya, ia harus memperoleh lirikan kurang menyenangkan dari gerombolan kakak kelas yang seakan berkata, "Aku akan membunuhmu, Kohai!" Serta pandangan iri dari teman-teman seangkatanya. Terlebih ketika gadis itu berlari dan menggandeng tangannya untuk mengajak duduk.
"Naruto-kun, aku tak menyangka kau sekolah di sini,"
Naruto tersenyum sumbang. Dalam hati, "Harusnya aku yang bilang begitu, Hinata-chan."
Ini sedikit membingungkan. Kenapa seorang gadis tomboi seperti Hinata bisa melanjutkan pendidikannya ke sekolah khusus perempuan? Pantas dia jadi feminim.
"Hinata?" teman-temannya memanggil.
Jam studi banding agaknya telah habis. Mereka harus segera berkumpul lagi di halaman.
"Ah, aku harus segera kembali, Naruto-kun," Hinata melepaskan tangannya dari lengan Naruto. Ia terlihat berlari menyusul teman-temannya.
Saat itu, Naruto ingat. Lagi-lagi ia belum meminta nomor telepon Hinata.
"Hinata-chan!"
Yang dipanggil pun menoleh, "...?"
"068983499. Itu nomor telponku." Teriak Naruto dari kejauhan.
Bibir Hinata semula membuka, mungkin terkejut melihat apa yang dilakukan Naruto, tapi tak lama ia mengangguk.
Hinata lantas berbalik, berjalan bersama teman-temannya.
"Hooo ... siapa dia, Hinata-chan? Manis sekali,"
"Aaa ... kau menyukai pria yang lebih muda? Aku baru tahu,"
Sepanjang jalan teman-temannya menggodanya.
Sementara itu-masih di kantin-para siswa laki-laki pandangannya masih belum teralih menatap Naruto penuh kekesalan.
Salah satu teman sekelasnya menepuk bahunya dari belakang, "Kau hebat, Boy."
"...?"
"Lihat tatapan senpai-senpai yang memandangmu,"
Naruto menoleh ke sekitar, dan mendapati pandangan yang kurang enak. Ia seperti seseorang yang baru melakukan kejahatan, dan orang-orang itu siap mengeroyoknya.
"...?"
Naruto yang tak begitu peduli, akhirnya kembali ke kelas usai membeli tiga potong roti dan sekaleng minuman dingin.
.
.
.
Bersambung
