Hantu-Hantu yang Berkeliaran – DraconisChantal

Harry Potter – J.K. Rowling

Tengah malam. Harry yang mengalami depresi usai Perang Besar. Draco Malfoy di balik konter kedai kopi baru di Diagon Alley.

-oOo-

Jadi begini hidup Harry Potter usai perang:

Ia melewatkan tahun kedelapannya di Hogwarts dan memutuskan untuk mengikuti latihan Auror (yang sebenarnya, kata Shacklebolt, tidak perlu ia lakukan. Toh semua orang tahu ia akan lolos). Tapi Harry perlahan sadar kalau ia lolos berkat julukan yang menempel dengan namanya.

Harry bukanlah yang terbodoh dalam mengambil perintah dan mengikuti rencana yang terorganisir, tapi Harry juga bukanlah personil yang paling cemerlang dalam timnya. Terkadang, sama seperti bagaimana ia bertahan hidup sebelumnya, Harry diselamatkan oleh keberuntungan semata. Dan sejujurnya, hal itu memuakkan.

Meski rekan-rekannya yang lain bersikeras kalau Harry berkontribusi besar dalam tiap misi yang mereka lalui, Harry jelas tidak berpendapat demikian. Harry mungkin naif, tapi ia masih bisa mengecap realita yang disuguhkan persis di depan mata.

Empat bulan menjalani pekerjaannya di lantai tiga Kementrian Sihir, Harry memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri.

(Yang diterima meski dengan berat hati oleh atasannya, tapi Harry bisa melihat sedikit rasa lega yang mengkilat dalam mata. Mungkin, ada banyak penyihir berpotensi yang gagal masuk karena bokong Harry diselamatkan oleh pengalaman membunuh Voldemort. Apa pun lah.)

Harry menghabiskan tiga bulan selanjutnya untuk hal-hal lain yang tidak menghasilkan uang (terima kasih banyak atas warisan yang tidak mungkin ia habiskan semasa hidupnya). Ia kini menjadi pengunjung tetap St. Mungo dan mengenal puluhan anak yang dirawat di sana, juga beberapa kali menjadi relawan untuk mengurus binatang-binatang terlantar (bukan binatang besar dan ajaib dalam pikiranmu. Bukan. Lebih seperti anak kucing dan anjing yang hilang).

Dalam satu kunjungannya ke St. Mungo, Harry berbincang dengan Rosalinda, dokter setengah baya yang mengurus kesehatan mental pasien. Setelah bercakap-cakap beberapa kali dengan perempuan itu, Harry diberitahu kalau ia besar kemungkinan menderita Post-Traumatic Stress Disorder. Rupanya sesi cakap-cakap dan basa-basi ringannya (yang tidak ringan-ringan amat sebenarnya karena Harry sempat menangis beberapa kali) itu adalah konsultasi gratis dengan sang dokter.

Kemudian Harry lebih sering lagi mengunjungi St. Mungo, kali ini sebagai pengunjung sekaligus pasien. Ia kemudian sadar bahwa tidak semua masalah dalam hidupnya berakhir saat Perang Besar dimenangkan. Beberapa masalah itu masih bersarang nyaman di dalam dirinya. Butuh puluhan jam konsultasi dengan Rosalinda dan botol demi botol ramuan yang harus ia teguk setiap pagi dan malam dan usai makan dan saat kesulitan tidur dan—

Lalu setelah membenahi hidupnya, secara fisik dan mental, Harry mencapai titik jenuh. Memang menyenangkan beristirahat sejenak dalam hidup, tapi tiga bulan tidaklah cepat. Terlebih saat kau terbiasa dikejar waktu dan kematian dan sibuk bertahan hidup beberapa saat sebelumnya. Tiba-tiba, ketenangan terasa seperti seseorang yang tidak pernah kau kenal sebelumnya namun memaksakan diri untuk akrab.

Harry jelas tidak berhasil akrab dengan ketenangan.

Dan Harry berhenti mengunjungi St. Mungo karena ia merasa tertekan dengan orang-orang sakit di sekelilingnya serta dengan kenyataan kalau ia bukanlah entitas yang sepenuhnya tersembuhkan.

Dan Harry mulai mengunjungi bar untuk berbincang-bincang karena, oh Tuhan betapa menyedihkan dirinya sekarang, ia merasa kesepian. Dan jenuh. Dan sedih. Ia teramat sedih. Brengsek brengsek brengsek. Namun bukan kesedihan yang hilang setelah dipeluk Molly atau setelah berbotol-botol Whiskey. Harry berusaha menjelaskannya kepada Rosalinda pada pertemuan terakhir mereka, dan Rosalinda mengulas senyum. Harry bisa melihat keprihatinan dalam matanya yang ia coba untuk sembunyikan.

Dan Harry kini tidak bisa hidup tanpa kafein. Sedikit suntikan adrenalin selalu membuatnya merasa lebih tenang. Awalnya ia memulai hari dengan secangkir kopi, kemudian cangkir tersebut mulai bertumpuk dan menjadi dua, tiga, empat, lima setiap paginya. Belum lagi dengan cangkir-cangkir lain yang ia pakai sepanjang hari secara keseluruhan.

Dan Harry kesulitan bangun dari tempat tidurnya. Bukan bangun dari tidur, karena ia kesulitan mendapatkan tidur yang layak. Kebanyakan dari tidur yang ia dapatkan selalu berakhir dengan tangisan atau jeritan. Harry berusaha mengingat apa yang ia mimpikan sebelumnya, namun ia tak pernah bisa. Kemudian Harry memutuskan jika mungkin lebih baik kalau aku tidak mengingatnya sama sekali. Ia kembali meneguk kopinya sampai tandas dan berhenti menyentuh ramuan untuk penyakitnya.

Tiga tahun setelahnya, yang berarti sekarang, ia kelihatan sama berantakannya. Mata bengkak karena kurang tidur atau tangisan dalam tidur, kemudian kantong mata yang selalu meninggalkan jejak.

Beberapa bulan yang lalu ia mendaftarkan diri ke Departemen Misteri dan diterima, bahkan tanpa wawancara sebelumnya. Harry menertawai hal ini. Tentu saja si penyelamat perang tidak perlu diwawancara.

Pekerjaannya… baik-baik saja. Ia ditempatkan di Divisi Cinta—ya, konyol, kau bisa berhenti mengernyitkan keningmu seperti itu. Tapi rasanya itulah bagian yang paling bisa ditolerir oleh Harry, syukurlah. Harry menolak ditempatkan pada Divisi Pikiran atau Divisi Ruang. Dan jangan buat Harry mulai berbicara tentang Divisi Kematian, karena, demi Godric Gryffindor yang sudah tenang di alam sana! Divisi itu mengerikan. Harry mendengar suara-suara di balik tirai; suara-suara yang rasanya kelewat familiar.

Jadi, ya. Itulah sedikit kutipan tentang hidup Harry yang kelewat memuakkan.

-oOo-

Tangan Harry menuang air panas ke dalam cangkir. Air itu tidak mengalir dengan mulus, bergetar akibat tangan Harry berkeringat dan tidak bisa diam dan selalu digerogoti paranoia tanpa akhir.

Harry mengerjapkan matanya. Sekali, dua kali. Perutnya terasa mual dan ia merasa akan muntah sebentar lagi. Dalam hitungan detik, isi perutnya keluar tanpa berlama-lama menghantui.

Harry nyaris menangis. Lelaki umur 20-an, terbangun tengah malam untuk menyeduh kopi dan muntah, tidak memiliki teman yang bisa diajak berbincang karena semua temannya sibuk menata hidup yang lebih baik. Ia menyedihkan.

Usai merapalkan mantra pembersih dalam satu ayunan tongkat, Harry memutuskan untuk menyimpan kopi tersebut untuk esok pagi. Sudah lewat tengah malam dan ia baru sempat tertidur beberapa waktu. Syukurlah ini hari Minggu. Ia punya seharian untuk meratapi nasib. Betapa menyenangkan.

Harry melirik kasurnya dan nyaris muntah kembali. Jelas otaknya menolak untuk bersarang kembali di bawah selimut. Matanya melirik pintu apartemennya.

Ia meraih mantel dan memakai sepatu. Berjalan-jalan tengah malam bukanlah ide yang buruk.

-oOo-

Diagon Alley tidak sepenuhnya redup pada tengah malam. Selain berkat lampu jalanan, beberapa bar yang masih menerima pengunjung baru juga menerangi jalanan. Harry mengingatkan dirinya untuk berhenti mengunjungi bar pada tengah malam, maka ia berjalan lurus tanpa melirik dua kali. (Oke, mungkin ia sedikit melirik.)

Tiap Harry melangkah, suara sepatunya yang bertemu dengan aspal jalanan begitu nyaring di telinga. Atau mungkin itu hanya perasaan Harry saja. Tapi, setelah dipikir, kendati terang benderang, Diagon Alley begitu senyap dan khusyuk.

Napas Harry terasa berat dan ia baru sadar betapa jauh ia telah berjalan begitu jauh. Gedung apartemennya kini begitu kecil, seperti oasis yang tidak mungkin ia gapai. Berjalan kembali pasti lebih melelahkan, pikir Harry. Maka ia memutuskan untuk kembali berjalan. Toh aku tidak punya apa-apa yang terlalu berharga jika aku mati. Lagipula, siapa yang berani mencelakai orang yang membunuh Voldemort dengan tongkatnya?

Itulah saat Harry Potter menemukan cahaya lain di jalanan: sebuah kedai kopi yang anehnya beroperasi hingga tengah malam. Harry merasa langkah kakinya lebih bergesa dari sebelumnya. Tanpa ia sadari, tangannya sudah mendorong pintu tersebut untuk membuka. Ia disambut oleh aroma kopi dan sambutan hangat.

"Selamat datang. Ada yang bisa aku—"

Harry menemukan dirinya berhenti di tempat. Dengan helaan napas, ia menyebut sebuah nama, "Malfoy."

-oOo-

A/N: Hai, setelah tiga tahun menghilang dari FFn (dan kabur dari tanggung jawab nyelesaiin begitu banyak cerita multi-chapter-ku), aku balik lagi. Kali ini udahan dulu Dramione-nya. Ehe. Karena, duh, Draco dan Harry manis banget sumpah Mungkin ini karena kebanyakan bertengger di Tumblr dan AO3. Tapi. Ah! Beneran deh.

Cerita ini aku bikin slow-built. Kelarnya bahkan dalam 40 menit aja. Dan maaf chapter ini pEnDeeEeEEEk banget. Chapter selanjutnya aku mau bahas tentang Draco-nya dulu. Jadi rasanya nggak enak kalo dilanjutin gitu aja, ato tiba-tiba ditarik alurnya di satu chapter.

(btw aku ada ff drarry lain yang nggak berani kuterbitin karena mampus sampah bener ni tulisan buset.)

Aku janji SERIUS bakal lanjutin minggu depan! Sebelum tanggal 7 Desember, bakal ada lanjutannya. Jadi follow ceritanya ya biar nggak ketinggalan!

Masih di Tangerang,

28-11-2018

Chantal