Sebelumnya aku cuma mau bilang, aku sebenarnya nggak mahir buat cerita bergenre family. Tapi karena aku pengen ikutan event #FirstImpression, jadi aku coba untuk buat cerita di genre ini. Maaf kalau mengecewakan. Selamat membaca!
Warning : Elemental siblings, AU, (mungkin) OOC, typo(s).
Disclaimer : Karakter milik Monsta, aku cuma minjam buat dijadiin fanfic.
Suara sendok yang beradu dengan wajan penggorengan terdengar dari arah dapur sebuah rumah bertingkat dua sederhana. Seorang pemuda terlihat tengah sibuk mengaduk nasi di atas kompor dan mencampurnya dengan kecap dan juga beberapa bumbu. Ia mengenakan sebuah celemek berwarna kuning agar tidak mengotori seragam sekolah yang telah dikenakannya.
"Pagi, Gempa," sapa sebuah suara dari arah pintu dapur.
"Pagi, Kak Taufan," balas Gempa tanpa menoleh ke belakang. "Tolong bangunkan kak Halilintar, ya," pintanya sambil meraih wadah berisi garam di sampingnya.
"Kak Hali nggak ada di kamar, tadi aku udah ngecek," kata Taufan sambil menghempaskan diri di kursi meja makan.
"Eh? Kak Halilintar nggak ada di kamar? Jadi dia ke mana?" tanya Gempa kaget, akhirnya memalingkan wajahnya dari nasi yang tengah digorengnya.
"Mungkin dia menginap di tempat temannya lagi. Lagian aku juga nggak dengar kak Hali pulang tadi malam," ujar Taufan cuek.
"Tapi biasanya kak Halilintar ngasih kabar kalau mau nginap," kata Gempa khawatir. Ia mematikan kompor dan mulai melepas celemek yang dipakainya. Dengan sedikit terburu-buru, Gempa melangkah keluar dapur, meninggalkan Taufan yang memandangnya dengan heran.
"Kau mau ke mana, Gempa?" tanya Taufan.
"Aku mau coba telpon kak Halilintar. Kak Taufan ambil sendiri ya nasi gorengnya di atas kompor," kata Gempa sebelum menghilang ke kamarnya di lantai dua.
Taufan hanya mendengus pelan melihat kekhawatiran adiknya itu yang ia rasa sedikit berlebihan. Ini bukan pertama kalinya sang kakak pertama tidak pulang ke rumah. Halilintar memang lebih sering menghabiskan malam di tempat teman-temannya daripada di rumah mereka sendiri. Taufan sendiri juga sebenarnya tidak suka berada di rumah ini, tapi karena ia tidak tega meninggalkan Gempa sendirian, maka Taufan lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah.
Baru saja Taufan bangkit dari kursinya untuk mengambil nasi goreng, terdengar suara pintu depan yang dibanting cukup keras. Berikutnya ia bisa mendengar suara langkah kaki Gempa yang menuruni tangga.
"Kak Halilintar, kakak darimana aja?" tanya Gempa khawatir begitu melihat Halilintar yang tengah melepaskan sepatunya di ruang depan.
"Dari rumah teman," balas Halilintar. Pemuda itu meletakkan sepatunya di rak dan melangkah ke arah kamarnya.
"Muka kak Hali kenapa? Kok babak belur gitu?" tanya Taufan yang berdiri di pintu dapur.
Halilintar bedecak pelan dan menurunkan topi hitamnya yang sedari tadi digunakannya untuk menutupi wajahnya. "Bukan urusanmu," ujarnya dingin.
"Kak Halilintar habis berkelahi lagi?" tanya Gempa yang baru menyadari bekas memar di wajah Halilintar. Sang kakak pertama hanya mengangkat bahu dan berjalan menaiki tangga.
"Tunggu, kak. Biar aku ambilkan obat, kak Halilintar tunggu di sini aja," kata Gempa. Ia buru-buru berjalan ke arah lemari penyimpanan obat. Halilintar menghela nafas pelan saat melihat sang adik berlari meninggalkannya.
"Dewasa dikit dong, kak Hali. Masa tiap hari bikin Gempa khawatir melulu?" kata Taufan sambil menyilangkan lengannya dan menatap Halilintar dengan dahi mengernyit.
"Memangnya kau sendiri sudah bersikap dewasa? Dengan semua ulah yang kau buat di sekolah?" balas Halilintar sambil mendelik tajam ke arah Taufan.
"Yah, itu kan biasa. Sekolah itu nggak seru kalau nggak ada pembuat onar. Lagian aku nggak pernah berkelahi sampai babak belur kayak kak Hali," kata Taufan santai.
Halilintar tidak membalas ucapan Taufan. Dalam hati ia mengakui apa yang dikatakan adiknya itu ada benarnya. Taufan memang sering membuat ulah di sekolah, tapi kembaran Boboiboy yang kedua itu tidak pernah melewati batas, tidak seperti Halilintar yang sudah kena terguran beberapa kali oleh kepala sekolah dan terancam diskors.
Gempa kembali dengan membawa kotak obat berisi perban dan juga obat merah. Sementara Taufan kembali ke dapur untuk sarapan, Gempa sibuk mengobati berbagai luka yang ada di wajah dan tubuh kakak pertamanya.
"Kak Halilintar hari ini nggak usah masuk aja, biar aku buatin surat izin," kata Gempa sambil membalut pergelangan tangan Halilintar dengan perban.
"Hm," gumam Halilintar. Ia memandangi adiknya yang masih sibuk mengobati lukanya, dan mulai sedikit merasa bersalah. Sebenarnya Halilintar tidak ingin terus menyusahkan dan membuat Gempa khawatir. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya butuh pelampiasan, apalagi dengan keadaan keluarga mereka saat ini.
"Nah, sudah selesai," ujar Gempa setelah menempelkan plester terakhir di pipi kiri Halilintar. "Sekarang kak Halilintar istirahat aja di kamar, biar sarapannya aku bawa naik ke atas."
"Nggak usah. Aku makan di dapur aja," kata Halilintar sambil beranjak ke arah dapur.
Gempa hanya menghela nafas pelan sambil memandangi punggung kakak pertamanya yang menghilang di balik pintu dapur. Ia kemudian membereskan obat-obat yang digunakkannya tadi dan memasukkannya kembali ke dalam kotak. Setelah menyimpan kembali kotak P3K, Gempa pun berjalan ke dapur untuk ikut sarapan bersama dua kakak kembarnya.
.
.
.
Sudah hampir dua bulan sejak orang tua Halilintar, Taufan, dan Gempa bercerai. Sejak itu pula sifat ketiga anak kembar itu perlahan mulai berubah. Si kembaran tertua, Halilintar, yang memang sejak dulu menyukai ilmu bela diri, kini mulai terlibat berbagai perkelahian yang pada akhirnya menyebabkan seluruh tubuhnya penuh luka dan memar. Taufan yang senang berbuat jahil, menaikkan level kejahilannya dan membuat kekacauan di sekolah, beruntung ia tidak sampai dikeluarkan, hanya sesekali mendapat teguran.
Sedangkan Gempa, si kembaran terakhir, lebih memilih untuk tetap bersikap seperti biasanya. Ia memang jadi lebih tertutup dan pendiam, tapi Gempa berusaha sebisa mungkin untuk tetap menjadi anak baik dan patuh. Ia tetap membantu ibunya —yang hampir tidak pernah di rumah karena sibuk bekerja— mengurusi rumah dan kakak-kakaknya, dan Gempa juga tetap berusaha mempertahankan prestasinya di sekolah. Ia yakin dengan tetap bersikap baik, semuanya pasti akan baik-baik saja.
Atau begitulah yang ia harapkan.
"Gempa, nilaimu menurun lagi. Kau baik-baik saja?"
Kembaran Boboiboy termuda itu hanya menunduk menatap lembar ulangannya yang menunjukkan nilai yang cukup rendah. Sementara sang guru matematika sekaligus wali kelas Gempa, memandang anak didiknya itu dengan raut wajah khawatir.
"Maaf bu, lain kali saya akan berusaha lebih keras lagi," ucap Gempa pelan.
"Gempa, ibu tau kau sedang menghadapi masalah yang cukup berat. Kalau kau butuh tempat untuk bercerita, ibu siap mendengarkan," kata sang wali kelas lembut.
"Saya tidak apa-apa, bu. Terima kasih atas perhatiannya," ujar Gempa sambil sedikit membungkuk. Ia kemudian berjalan kembali ke bangkunya tanpa berkata apa-apa lagi.
.
.
.
"Assalamualaikum," ucap Gempa begitu memasuki rumah.
Tak ada sahutan. Itu berarti Taufan belum pulang. Halilintar juga sepertinya tidak ada di rumah, karena sepatunya tidak ada di rak. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk tidak pergi ke mana-mana, pikir Gempa sedikit khawatir. Semoga saja kak Halilintar tidak terlibat perkelahian lagi.
Setelah melepaskan sepatu dan meletakkannya di rak, Gempa melangkah menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Pintu kayu bercat cokelat itu berderit pelan begitu Gempa membukanya. Tanpa melepaskan seragam dan juga jaket yang dipakainya, pemuda itu langsung menghempaskan diri di atas tempat tidur. Ia menggunakan lengannya untuk menutupi wajah, sementara pikirannya melayang jauh.
Sejak masih kecil, Gempa memang selalu menjadi anak yang paling diandalkan oleh kedua orangtuanya. Sifat kedua kakak kembarnya yang sulit diatur, membuat orangtua mereka menjadikan Gempa sebagai tumpuan harapan mereka. Sebagai anak yang baik dan penurut, Gempa tentu saja selalu berusaha menyenangkan hati kedua orangtuanya. Ia belajar dengan giat agar bisa mendapat prestasi di sekolah, ia juga tidak pernah membuat masalah seperti kedua kakaknya. Gempa juga belajar bagaimana cara mengurus rumah dari ibunya. Dan sejak sang ibu mulai sibuk bekerja, Gempalah yang mengambil alih semua pekerjaan rumah.
Dan sekarang, sejak orang tua mereka memutuskan untuk berpisah setelah berminggu-minggu bertengkar tanpa henti, Gempa harus menanggung semua masalah yang disebabkan oleh perceraian itu. Ia harus mengurus dan juga membantu kakak-kakaknya yang mulai kehilangan kendali dan semakin sering terlibat masalah. Orang tua mereka yang sejak dulu memang tak pernah terlalu peduli pada dua kembaran pertama itu, tidak mau peduli lagi dengan urusan mereka berdua. Karena itu Gempa lah yang harus menghadapi kedua kakaknya, dan berusaha agar mereka tidak terjerumus ke dalam masalah berat.
Tapi, walaupun sekuat apa pun dirinya, setegar apa pun ia, Gempa tetaplah seorang manusia. Ia bukanlah robot yang bisa terus-menerus melakukan berbagai hal tanpa merasa lelah. Gempa juga seorang manusia yang mempunyai batas. Walaupun ia berusaha untuk tidak pernah mengeluh, tapi lama kelamaan ia juga mulai lelah dengan kehidupan yang dijalaninya. Ia ingin semua ini berakhir. Ia ingin semua beban dan penderitaan yang ditanggungnya berakhir.
Gempa bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah meja belajar. Ia memandangi pigura yang berdiri tegak di antara tumpukan bukunya. Pigura itu berisi foto keluarganya, saat ia dan kakak-kakaknya masih berumur 6 tahun, saat keluarganya masih utuh dan bahagia. Tanpa dapat dicegah, air mata mulai bergulir turun dari sudut-sudut matanya.
"Maafkan Gempa, ayah, ibu … Maafkan aku kak Halilintar, kak Taufan …" bisik pemuda itu pelan. "Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku ingin ini semua berakhir …"
Dengan tangan bergetar, Gempa mengambil sebuah cutter bergagang hitam dari dalam laci mejanya. Gempa menggenggam gagang cutter itu erat, dan tanpa berpikir panjang lagi, ia pun menempelkan mata pisau yang tajam ke pergelangan tangannya.
.
.
.
"Assalamualaikum, aku pulang!" seru Taufan sambil menutup pintu depan. Pemuda yang mengenakan jaket biru tua itu mengernyitkan dahinya heran. Tumben sekali tidak ada yang menyahutnya, biasanya jam segini Gempa sudah pulang.
Taufan meletakkan sepatunya di rak dan melihat bahwa sepatu adik kembarnya juga ada di sana. Itu berarti Gempa memang sudah pulang. Taufan memutuskan untuk mengecek ke dapur, mungkin Gempa sedang sibuk memasak makan malam dan tidak mendengar ia pulang.
Sambil berjalan ke arah dapur, Taufan sesekali melongok ke ruangan lain di rumahnya. Tak ada tanda-tanda Gempa di mana pun. Terakhir ia mengintip ke dapur dan tetap tidak menemukan sosok sang adik.
"Oh, mungkin Gempa di kamar," gumam Taufan. Sejujurnya ia mulai merasa sedikit khawatir, aneh sekali Gempa masih berada di kamar saat menjelang makan malam begini. Biasanya si kembaran termuda itu sedang sibuk memasak di dapur. Mungkinkah Gempa sakit? pikir Taufan cemas.
Walau sikapnya akhir-akhir ini berubah drastis, Taufan tetap peduli pada adik kesayangannya. Ia tidak bisa mengabaikan Gempa begitu saja, seperti ia mengabaikan ibunya dan juga kakak kembarnya. Gempa selalu menjadi adik yang menyenangkan baginya, dan ia bersyukur sekali masih memiliki seorang saudara seperti Gempa di situasi seperti ini.
"Gempa?" panggil Taufan sambil mengetuk pintu kamar Gempa yang berada tepat di depan kamarnya. Tak ada sahutan dari dalam, membuat pemuda itu semakin khawatir.
Taufan memutuskan untuk langsung masuk ke kamar adik kembarnya itu. Dengan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam. Kamar Gempa sedikit gelap, hanya ada sedikit cahaya matahari senja yang menyorot masuk melalui jendela. Taufan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tubuhnya seketika membeku begitu melihat sosok yang terbaring di dekat meja belajar.
"GEMPA!"
.
.
.
TBC
Sebenarnya aku juga mau curhat tentang pertama kali mengenal kartun Boboiboy ini, tapi aku simpan itu untuk chapter terakhir aja deh. Tenang aja, ini nggak panjang kok, mungkin cuma 3 atau 4 chapter.
Jadi, ada yang bersedia ngasih review?
