Hasil perenungan simple author…

Abo~oout lovee! *kicked*

Dan fic ini special untuk zerO(dot)cent. Hehe. XD

Motou-chan, kau harus R&R! Kalo ngga, awas kau!

Disclaimer:

I do not own Naruto.

Warnings:

AU, OOC, BL. And this is Naruto's POV, because he's so cute. *grins*

Do not like, do not read. It's easy, isn't?

Happy reading, Minna…

-Z-

I love you.

Love ya!

Love you too, dear…

Love?

Oh. Great, great, great!

Naruto menggeram frustasi. Memikirkan hal itu—satu kata itu—dalam beberapa hari ini, mampu membuatnya stress setengah mati. What the heck happen with him? Ia bukan tipe orang "sentimental" yang mau memikirkan hal itu sampai berlarut-larut.

Naruto menghela napas.

Awalnya ia hanya iseng, bukan? Merenungkan sebuah kata manis penuh makna itu sambil menyesap susu hangat di dalam sebuah mug. Ahahaha. Saat pertama ia merenung, kata itu memang manis bukan main. Sweet, layaknya gula. Terbayang olehnya cokelat, bunga, kencan, makan malam yang romantis…

Huft…

Pokoknya semua hal yang berbau cinta. Ia bahkan membayangkan beberapa scene di dalam flim-film romantis yang mampu membuat matanya bengkak itu. Ng—termasuk film Titanic ya? Oh, terlalu…

Tapi senja indah yang ia habiskan di balkon apartment-nya beberapa hari yang lalu itu memang benar-benar menyenangkan. Sendirian. Dengan segelas susu sapi hangat di tangan. Mata menerawang jauh ke arah bawah—ke arah jalan raya yang ramai. Menatap beberapa pasangan kekasih yang tengah berduaan. Kadang tertawa kecil sendiri. Dan angin sejuk yang membelai wajah dan meniup helaian rambut emasnya.

Semuanya sangat indah, sampai ia—e-ehem, membayangkan kekasihnya sendiri. Uchiha Sasuke? Hah, awal kehancuran indahnya senja hangat itu.

Okay. Ia bukan hendak menjelek-jelekkan kekasihnya atau apa. Tapi memang kenyataannya kalau hal itu benar. Well, at first, ia teringat kalau ia pun sudah memiliki kekasih. Tinggi, tampan, seorang egois yang brengsek. Ahahaha, lupakan… Lalu kemudian ia teringat penembakan Sasuke ke atas dirinya beberapa tahun yang lalu. Oh, malam itu sungguh istimewa 'kan?

Karena penembakan itu bukan dipenuhi kata-kata romantis yang manis.

Oh, bukan. That's absolutely not Uchiha Sasuke's style. Naruto tahu itu. Dan karenanya, di malam penuh sejarah itu, Sasuke langsung menciumnya. Di bawah sebuah pohon. Dengan masih memakai seragam sekolah yang basah akan keringat (ia baru mengajak Sasuke lomba lari). Ahaha. Hal yang membuat Naruto menganga kaget, dan mengangkat suara dengan bodohnya, "w-what was that?"

Duh. That was so damn embrassing, men.

Nah… sampai pada tahap itu, hatinya masih semakin penuh oleh perasaan yang sangat menyenangkan. Yah, ia tahu saat malam penembakan itu memalukan. Tapi sungguh, jika ia memutuskan untuk membahas hal itu lagi, bahkan seorang Sasuke pun akan tersenyum.

Ah! Sasuke. About that bastard… Yaah… mari kembali ke topik semula.

Pemikiran yang indah itu berubah menjadi buruk saat ia mulai membayangkan kejadian beberapa hari yang lalu. Insiden sialan di ruangan kantor Uchiha Sasuke yang sangat menyebalkan itu. Saat kekasihnya, dengan tatapan tajam nan angkuh, menolak permintaannya. Permintaan yang bahkan—menurutnya, tentu saja—akan sangat menyenangkan untuk kedua belah pihak. Ia dan Sasuke.

Tapi dengan dingin, sang kekasih malah menolak tawaran brilian darinya.

Tentu saja ia kesal. Apa salahnya ia bekerja menjadi seorang asisten untuk Sasuke? Toh Sasuke sendiri adalah kekasihnya. Dan bukankah dengan begitu, mereka berdua jadi lebih sering bersama-sama? Naruto langsung membantah, tapi Sasuke malah marah. Dengan setengah berteriak Sasuke menyuruhnya untuk pulang ke apartment mereka. Sembari berkata kalau ia sudah mendapat apa yang ia inginkan. Sudah mendapatkan asisten dengan kemampuan di atas rata-rata yang ia mau.

Naruto merasa sakit hati. Mereka memang tidak bertengkar hebat selepas kejadian itu. Karena saat Sasuke pulang malamnya, mereka langsung menghabiskan malam di atas ranjang, setelah makan malam dengan dua porsi ramen yang Sasuke beli dalam perjalanan pulangnya. Malam yang indah... Ah. Sebenarnya malam-malam mereka memang selalu indah sih. Kecuali kalau mereka tengah ribut.

Tapi diam-diam, ia masih menyimpan rasa sakit itu di hati. Walaupun ia tetap merespon sikap manis Sasuke kepadanya dengan tak kalah manis, ia tetap merasa marah.

Naruto masih membiarkan hatinya mengganjal tak enak, dan ternyata ia semakin merasa buruk di keesokan harinya. Saat perasaan sakit itu semakin menyebar luas dan menggerogoti hatinya semakin dalam.

Karena gadis itu mengenalkan dirinya di hadapan ia dan Sasuke.

Haruno Sakura, sang asisten. Gadis yang membuat hatinya semakin remuk oleh perasaan aneh yang tidak menentu.

Di akhir senja hangat yang penuh dengan perenungan itu, tiba-tiba sebuah pertanyaan terbersit di benaknya. Pertanyaan—yang ia yakin seratus persen—akan sangat tidak disukai kekasihnya.

Uchiha Sasuke… Why the hell he loves me?

Oh. God…

-Z-

Dan di sinilah aku terbaring. Menggulung diri di dalam selimut tebal layaknya orang idiot. Di atas spring bed empuk yang dilapisi bed cover berwarna biru. Malam yang sangat dingin, karena di luar tengah hujan dan aku menyalakan air conditioner di kamarku sampai ke suhu yang paling rendah. Uh. Tindakan tolol memang. Tapi aku sengaja.

Tentang Sasuke. Orang yang menjadi partner-ku tidur di apartment ini (ng, merangkap kekasih juga sebenarnya), ia sudah pulang dari kantornya, dan tengah mandi. Tetesan air shower yang jatuh ke atas lantai marmer kamar mandi kami, terdengar begitu jelas di telingaku. Tapi aku sungguh tak mau memikirkan dan membicarakan tentang dia.

Aku masih marah padanya. Dan rasa kesalku padanya semakin menjadi-jadi hari ini. He's a totally bastard. I knew that! Tapi aku tak menyangka ia sebrengsek itu, ia semenyebalkan itu. Hah. Aku tak memasak apa pun malam ini. Dan aku tak memesan apa pun untuk makan malam. Aku mau langsung tidur, dan tidak mempedulikannya. Hell yeah! Aku tidak akan bicara padanya sampai ia memaksaku untuk bicara.

Hahaha.

Uh—

Sebenarnya tadi siang aku menelpon berniat untuk menyapanya seperti biasa. Bukan ke nomor ponsel milik Sasuke, tapi langsung ke nomor telepon kantor ditambah kode angka untuk ruangannya. 113. Awal dari "the worst day ever" yang sangat menyebalkan ini.

Aku suka bermain-main dengan Sasuke di tengah-tengah kesibukan kami berdua via telepon. Dengan cara berpura-pura menjadi klien atau rekan kantornya yang serius-serius itu. Ahaha. Saat ia menjawab telepon dariku, aku akan mulai memberat-beratkan suaraku dan mengucapkan kalimat semacam, "hello, sir" atau, "apakah saya sedang berbicara dengan tuan manager yang terhormat?" dan juga, "sir, saya mempunyai tugas untuk anda."

Jika mood humor-nya sedang aktif, ia akan melayani permainan kecil ini, dan turut meracau bodoh bersamaku. Tapi jika ia sedang serius atau sibuk, ia hanya akan mendengus geli, "ck… idiot". Hah. Aku sangat hafal dengan kebiasaan-kebiasaannya, bukan?

Tapi tadi pagi—yang aku tegaskan sekali lagi sebagai hari terburuk—aku, dengan cengiran senang terukir di wajah dan sudah siap dengan suara "beratku" untuk menyapanya. Ketika suara feminim yang sangat menyebalkan dan jelek itu terdengar dari ujung sana. "Hello? Ruangan Tuan Manager Uchiha. Ada yang bisa saya bantu?"

Jantungku berhenti sejenak, sebelum berdetak semakin kencang. Sementara rasa dingin yang tidak enak mulai merambat ke sekujur tubuhku. Aku menahan napas. Haruno. Haruno Sakura. Ah, bodohnya aku. Tentu saja dia yang akan menerima telepon untuk Sasuke. Ia seorang asisten, bukan? Ya. Gadis multi talenta yang lebih disukai Sasuke untuk menjadi asistennya dari pada aku.

Menyebalkan. Dengan hati panas aku menutup hubungan telepon terkutuk itu. Dan bergegas berganti baju untuk ke luar rumah. Aku tak peduli dengan apa yang akan gadis tolol itu laporkan pada Sasuke nanti. Mungkin semacam, "Tuan, tadi ada orang iseng menelpon ke ruangan ini. Ia sama sekali tidak mengucapkan apa pun, dan langsung menutup hubungan. Kira-kira siapa dia ya, Tuan?"

Ckck. Aku tak peduli lagi. Aku berniat main ke rumah Ino, serta menggoda bayi pirangnya yang baru berusia beberapa bulan. Hah. Segera kulupakan urusan bank yang seharusnya aku selesaikan hari ini.

Hal itu sedikit membuatku merasa lebih baik, tentu. Maksudku dengan menghabiskan hari ini bersama Ino dan bayinya yang lucu (tidak ada Shikamaru, karena ia dipanggil untuk menyelesaikan kasus di luar kota), serta Hinata yang tengah tak ada kerjaan dan Chouji yang libur dinas. Ahahaha. Hinata juga membawa pie apelnya yang luar biasa lezat itu.

Tapi… memang hanya sementara. Kepulangan si brengsek barusan membuatku merasa buruk lagi. Dan aku mulai—dengan enggan kuakui—merajuk. Bahkan saat Sasuke mengecup keningku barusan, aku sama sekali tak membalas apa pun. Hanya mematung tegang, dengan mata tertutup. Berpura-pura tidur.

Lalu sekarang, aku baru menyadari kalau sedari tadi aku hanya memikirkan Sasuke.

Huh. Dia benar-be—

Tes.

Tiba-tiba setetes air yang sangat dingin menetes ke atas keningku, membuat kedua alisku mengerut sedikit, dan semua pemikiranku buyar. Dinginnya... Lalu setetes lagi di kelopak mataku yang terpejam, aku mulai merasa tidak nyaman. Hei, apa-apaan ini? Dan dua tetes lagi di pipiku. Dengan sedikit menggigil, aku membuka mata kesal.

"Aku sudah tahu kalau kau belum tidur, Dobe."

Damn bastrard! Uh.

Rupanya dia sudah keluar dari kamar mandi, ya? Kenapa aku tak mendengar suara pintu yang terbuka tadi? Aku ingin marah dan langsung berteriak membalas ejekannya. Tapi aku menahan keinginan itu kuat-kuat. Hei. Aku ingin merajuk bukan? Orang merajuk tidak akan mudah dikendalikan emosi oleh hal sesepele tadi. Tidak, tidak. Aku pun kembali memejamkan mata. Terserah apa yang akan dilakukan Sasuke. Aku tak peduli, dan tidak mau peduli. Biar saja dia de—

"Naruto."

Oh tidak. Dia malah duduk di sebelahku. Dan kini kurasakan tangannya—yang masih dipenuhi oleh tetesan-tetesan air dingin itu—memeluk tubuhku yang tengah terbungkus selimut seperti kepompong. Aku memang tidak merasakan dinginnya tetesan air, karena mereka langsung terserap oleh jalinan benang di selimutku, Tapi dapat kurasakan hawa tak sehat itu membuat bulu kuduk leherku menegang.

"Kau ini kenapa, hn…?"

Ya Tuhan. Dia malah menenggelamkan kepalanya ke dalam lekukan leherku yang tidak tertutupi selimut. Sial. Aku menyesal tidak menarik selimut biru ini sampai ke kepala. Tapi nanti aku jadi susah bernapas, ya? Uh, terserahlah. Pokoknya aku menyesalkan sesuatu.

Nah, nah. Dasar Sasuke sialan. Lihat apa yang ia lakukan kini. Mulai merangkak ke atas kasur sambil tetap terus memelukku. Bayangkan! Padahal ia sama sekali belum memakai pakaian 'kan? Hanya kurasakan handuk bertekstur lembut itu di pinggangnya. Dan sementara itu, kepalanya yang basah tetap—ngh… berada di leher… ku. Damn bastard.

"Teme! Lepaskan aku, tolol!" jeritku tak tanggung-tanggung. Dengan kasar (dan sangat kesusahan karena selimut tebal ini), kudorong tubuhnya yang dingin menjauh. Sial sekali. Aku jadi kelepasan berbicara. Malahan bukan berbicara lagi, karena tadi aku menjerit keras-keras. Kuambil posisi duduk dengan tubuh masih terbungkus selimut, dan mulai melotot kesal.

Sasuke di depanku. Terduduk sambil menyelonjorkan kedua kakinya dan menumpu berat badannya dengan tangan kanan. Ia mengukir seringai jelek itu ke arahku, seraya menelusuri rambut hitamnya yang basah dengan tangan kiri. Kubalas tatapan merendahkannya itu dengan glare terbaik yang aku bisa.

"Aku lapar. Kau masak apa malam ini?"

Damn Sasuke!

Apa dia tidak tahu kalau aku tengah luar biasa marah kepadanya? Atau ia pura-pura cuek? Huh. Padahal aku yakin sebelum mandi tadi, ia pasti sudah memeriksa meja makan di dapur sana yang kosong melompong. Masih bertanya seperti itu kepadaku lagi. Ia hanya ingin membuatku semakin kesal saja.

Tapi aku tak akan melayaninya.

Kubanting diriku kembali ke atas kasur, dan membalik badan untuk membelakanginya. "Aku tidak lapar, jadi aku tak masak apa pun," ujarku tenang. Ahahaha. Kena kau, Teme. Aku tak masuk ke dalam perangkapmu. Aku tetap tenang dan tidak marah, huh? Untuk menyalurkan rasa puasku, aku menjulurkan lidah ke arah… ng—dinding.

"Kalau begitu," kurasakan sosok Sasuke bangkit berdiri, "kita makan di luar saja. Cepat bangun dan bersiap-siap." Aku mendengar pintu lemari kami terbuka. Dan kudengar ia meraih sebuah kemeja yang sudah terlipat rapi di dalamnya. Entah kenapa, aku jadi membayangkan wangi khas baju-baju Sasuke yang baru dicuci oleh jasa laundry kemarin. Wanginya khas bukan? Seperti campuran antara wangi parfum laundry yang lembut dengan bau spesial yang tidak aku ketahui namanya. Wangi khas Sasuke. Wangi yang belum pernah kucium seumur hidup dari orang lain.

Err, kenapa pikiranku malah ngelantur kemana-mana begini?

"Masih belum bangun juga, Naruto?"

Kudengar suara beratnya bertanya padaku. Membuatku kembali menghela napas. "Aku tidak lapar," kuangkat suara pelan sambil membalikkan tubuhku. Menghadap ke arahnya yang tengah mengancingkan kemejanya. Aah. Ia memakai kemeja yang itu, ternyata. Kemeja hitam bergaris-garis vertikal merah. Itu kemeja pilihanku untuknya saat terakhir kali kami berbelanja baju di Mall.

Yaah. Memang masih tergolong baru.

Tanpa berkedip, aku memperhatikan kekasihku yang tengah berpakaian. Ia tengah memakai celana jeans-nya yang berwarna biru tua, lalu kudengar suara ritsleting yang ditutup. Dan Sasuke berbalik ke arahku. Menatapku dengan pandangan tanpa ekspresinya sambil menggulung lengan panjang kemejanya hampir ke siku. Ng—hanya dua kali gulung sih. Itu cuma salah satu dari kebiasaan-kebiasaannya.

Aku ingin tahu apa yang akan ia ucapkan, melihat aku sama sekali belum bangkit dari atas kasur. Haha. Mungkin menjitak kepalaku? Atau kembali mengataiku "Dobe"? Apa pun itu… aku sengaja.

Kubalas tatapannya dengan sepolos mungkin. Tak menunjukkan adanya kekesalan atau kemarahan di mataku. Ah, juga rasa penasaran. Tatapan mata hitam itu tak berubah, tetap tak bisa kutebak. Dan kudengar ia menghembuskan napas pelan.

"Kenapa kau masih belum bangun juga?"

Astaga…

Tidak seperti yang kubayangkan. Itu… suaranya lembut sekali. Yaah, tentu saja bukan lembut seperti nada suara Kiba saat sedang menggombal pada Hinata dulu. Karena, sungguh! Aku bersumpah Sasuke tidak akan bisa melakukannya. Tapi untuk ukuran Sasuke, nada suara yang barusan itu memang tergolong sangat pengertian. Mungkin seperti saat ia tengah menghiburku yang tengah terpuruk, atau saat kami baru bertemu setelah beberapa waktu terpisah.

Juga saat kami tengah bercinta. U-uhm…

Entahlah. Tapi aku menganga sejenak.

Saat kusadari, Sasuke sudah berada di hadapanku. Membawa setumpuk pakaian. Yang setelah kuperhatikan baik-baik, adalah, sebuah kaus kelabu berlengan panjang milikku, kemeja kotak-kotak lengan pendek berwarna abu-abu dan biru pucat milikku, dan celana jeans panjang milikku. H-hei! Kenapa dia membawa pakaian-pakaianku? Aku menengadah menatap wajahnya.

"Cepat pakai ini," ujarnya pelan sambil meletakkan tumpukan bajuku tersebut di hadapanku. "Aku akan mengeluarkan mobilku dari garasi, dan kau bersiap-siap. Kutunggu kau di gerbang depan," dan dengan kalimat itu, Sasuke melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan aku yang semakin gondok.

Cih. Kalau sudah begini, aku tak mungkin tidak bersiap-siap dan tidak mengikuti perintahnya, 'kan? Ia memang brengsek. Selalu tahu cara untuk memonopoliku. Huh.

Dengan malas-malasan, aku bangkit dari posisi tidurku dan berusaha melepaskan diri dari gulungan selimut tebal ini. Kutatap tumpukan baju di hadapanku, dan kembali membuang napas. Itu adalah style berpakaianku yang paling disukai Sasuke.

Tak apa. Aku memang mengalah dan akan menuruti perintahnya malam ini. Tapi saat makan nanti, lihat saja apa yang akan menjadi pembicaraan kami. Aku tak peduli jika ia akan marah atau jika ini akan membuat suasana hatinya buruk. Aku mau perasaan mengganjal di hatiku hilang malam ini karena penjelasannya. Bagaimana pun caranya itu, tak akan kubiarkan ia melarikan diri.

Yeaah! We've to talk about… why he does love me?

To be continued

Saya jadikan dua chapter karena kepanjangan. Just like my other fanfics. =_=
Mungkin besok atau lusa saya akan update chapter duanya.

Oh… ada yang mau mendiksikan bagaimana style berpakaian Naruto? Saya sengaja nggak menjelaskan hal itu. XP

Gimme some review…?