Nakama (Friends)

Author: SheilaLuv

Summary: Bagi Kakashi, selalu ada cara untuk menunjukkan rasa cinta, bahkan dalam diam. Namun, di suatu sore yang cerah lama berselang, Minato Namikaze mengajarkannya sesuatu tentang cinta dan harapan yang melintasi generasi hingga sekarang. Tim 7-sentris. Yah, gimana lagi, saya mencintai Naruto karena tim 7, they are the core of Naruto, and they will always be.

Pairing: Subtle NaruSasu, SasuSaku, NaruSasuSaku. Argh, can't decide. They're just too beautiful to be parted, because team 7 is love.

Disclaimer: Naruto is a property of Masashi Kishimoto. Saya cuma meminjam karakter-karakter kreasinya dan menggerakkan mereka dengan seutas benang yang tak tampak. Saran dan kritik ditunggu lewat review, lho. Enjoy!


Chapter 1

Selalu Kembali Padamu

Kakashi Hatake duduk santai di dahan pohon mahoni yang rimbun, wajahnya tersembunyi di balik bayangan dedaunan yang ditiup angin sepoi. Sebuah buku bersampul oranye terbuka di hadapannya. Sebelah matanya sibuk menelusuri kalimat yang tertulis, kadang diselingi tawa terkekeh pelan. Jonin elit jenius mantan Anbu itu tampaknya sama sekali tak terpengaruh dengan keributan yang berlangsung tepat di bawahnya.

Tim 7 sedang berdebat tentang misi terbaru mereka (yang lagi-lagi masih sepele, kalau menurut Naruto dan Sasuke). Keempatnya sedang berada di sebuah hamparan kebun sayuran yang luas di kaki pegunungan. Masing-masing memanggul keranjang rotan besar dan tangan mereka yang berlapiskan sarung tangan sedang sibuk mencabuti batang ubi yang besar-besar. Kakashi tentu saja tak ambil bagian, melainkan memandang dengan perasaan geli ke arah murid-muridnya yang manis.

"Berisik!" bentak Sakura keras pada Naruto, tinjunya terkepal. "Naruto, tolong lakukan semuanya dengan benar, dasar bodoh!"

"Sakura-chan kejam…aku kan tidak sengaja. Lagipula, tidak adil, ah! Kalau cuma seperti ini saja, mana bisa meningkatkan kemampuanku sebagai ninja. Kenapa kita selalu dapat misi yang sepele begini? Aku nggak mau menghabiskan waktuku hari ini dengan memanen sayuran!" protes Naruto kesal.

"Diamlah, dobe," potong Sasuke tajam,"Segera kita selesaikan ini dan pulang. Lagipula, siapa yang mau menyerahkan misi berharga pada orang sepertimu?" Dia berjongkok, mencabuti kentang dan wortel dengan cepat.

"APA?" balas Naruto berang. Dia menjatuhkan beberapa ubi yang tadi dipanennya ke tanah. "Dasar sok! Kenyataannya, kau juga ada di sini, kan? Dan mungkin sama konyolnya dengan dirimu yang kemarin-kemarin."

Sebuah pukulan mendarat di kepala Naruto, mengakibatkan ninja pirang bermulut besar itu mengaduh keras,"AWWW!"

"Naruto, jangan berkata kasar pada Sasuke! Sasuke, jangan pedulikan dia," kata Sakura sambil berkacak pinggang.

"Hmph, diamlah! Kalian berdua berisik," balas Sasuke.

Yah, lagi-lagi begini, batin Kakashi yang masih bersandar tenang di dahan pohon. Semua hal terasa begitu wajar di sekeliling mereka. Senyum Kakashi perlahan merekah di balik topengnya. Mereka memang murid-muridku yang lucu, lanjutnya geli.

Pemandangan seperti ini sering mengingatkan Kakashi akan timnya dulu. Dia dan Obito selalu berdebat, Rin menengahi, dan Hokage Keempat tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Pemandangan yang mungkin masih sangat dirindukannya sampai sekarang, kalau Kakashi jujur pada dirinya sendiri.

Kakashi dulu tak pernah mengerti kenapa Obito dan dirinya selalu saja berdebat. Maka sepulang misi di suatu sore yang indah, Kakashi memberanikan diri bertanya pada gurunya. Dia pun mengikuti rute yang dilalui Minato. Berdua mereka menyusuri jalanan di Konoha yang dilalui orang-orang yang lalu lalang mengejar waktu, sementara daun-daun diterbangkan angin musim gugur.

Minato cuma menjawabnya singkat,"Kakashi, itu sama saja dengan hukum alam. Di dalam diri orang lain, kita mencari apa yang tidak kita miliki dan tiap orang pasti merasakan itu."

"Huh, hukum alam?" bantah Kakashi,"Guru, apa maksudmu?"

"Setiap orang mencari orang lain yang bisa kekosongan dalam dirinya. Tanpa disadari, hal itu sudah terjadi. Kau menemukan diri seorang teman di dalam Obito, itulah hukum alam yang menarikmu kepadanya."

"Dengan Obito?" balas Kakashi bingung. "Tapi—"

"Kau menyayanginya, Kakashi. Aku yakin. Begitu pula Rin. Hanya saja, bahasa rasa sayang yang ditunjukkan setiap orang berbeda. Tak jarang membuat satu sama lain salah paham." Minato memandang muridnya dengan penuh perhatian.

"Aku tak peduli dengan itu," ucap Kakashi acuh.

Minato nyaris tertawa melihat reaksinya. Tentu saja, seorang yang keras kepala seperti dia tidak akan begitu mudahnya menyatakan keterikatan hati dengan orang lain, apalagi dengan seseorang bernama Obito Uchiha.

"Kau peduli, meskipun kau menyangkal. Kau adalah orang yang mengekspresikan bahasa itu dalam diammu dari kejauhan, sehingga orang lain tak perlu melihat kalau kau peduli."

Kakashi berhenti berjalan dan menengadah, menatap wajah Minato yang bersinar diterpa matahari senja. "Kenapa guru bisa berkata begitu?" tanyanya heran.

"Seorang shinobi harus bisa melihat yang terdalam dari yang terdalam," ucapnya bijak. "Aku gurumu. Tak ada yang lebih memalukan bagi seorang guru daripada ketidakmengertian akan muridnya sendiri."

"Guru memang orang aneh," gumam Kakashi pelan, kembali berjalan, kedua tangan di dalam sakunya.

Minato mengacak rambut Kakashi pelan. Dengan senyum khasnya, dia berkata,"Suatu saat, kau akan mengerti."

Tapi Kakashi tidak pernah berhasil untuk mengerti, karena Minato lebih dulu pergi menuju alam kekal dimana tak ada jalan kembali. Maka, Kakashi melewatkan ribuan malam yang dirajam sunyi, namun waktu belum menjawab.

Sampai dia bertemu Naruto, Sasuke dan Sakura.

Kemudian, tanpa bisa dicegahnya, waktu mulai menggerakkan benang nasib yang dulu sempat terputus, yang membawa kebahagiaan dibalik pahitnya hidup.

Waktu mempertemukan mereka. Tetapi, yang lebih penting, mereka menemukan arti diri mereka masing-masing bersama-sama.


3 tahun kemudian…

Kali ini, tak ada yang lebih memedihkan hati Kakashi. Terlindung oleh baying-bayang pepohonan, Kakashi mengawasi dari jauh seseorang yang kini sedang terduduk, raut wajahnya hampa.

Sudah seharian Sakura terus terduduk di bangku yang sama, persis dimana Sasuke meninggalkannya tepat 3 tahun yang lalu. Tergenggam seikat bunga daffodil di tangan kanannya. Bahunya terguncang menahan tangis.

Kakashi ingin menghampirinya, berkata kalau semuanya baik-baik saja, hanya lidahnya terasa begitu kelu. Dia merasa telah gagal. Gagal mengawasi murid-muridnya di jalan panjang yang bernama 'kehidupan'. Gagal membuat Sasuke membatalkan rencanya menuju Otogakure. Kakashi hanya tidak ingin Sasuke melalui jalan bernama kesepian seperti dirinya. Dia tak ingin Sasuke kembali dan mengetahui kalau semuanya sudah terlambat.

"Maafkan aku," gumamnya.

Langkah kaki seseorang terdengar menghampiri Sakura.

"Sakura-chan?"

Mata hijau zamrud Sakura yang dipenuhi air mata bertemu dengan mata biru langit milik Naruto.

"Naruto… kau… kenapa ada disini?" balas Sakura serak.

Naruto memilih diam sejenak, duduk di samping Sakura. Dilihatnya seikat bunga daffodil yang masih digenggam gadis itu. Matahari musim panas bersinar cerah, mengaburkan pandangan Sakura.

Naruto berusaha bicara, walau suaranya terdengar getir.

"Ini hari ulang tahunnya, ulang tahun Sasuke-teme. Aku—seharian aku kepikiran terus, sampai-sampai jadi aneh begini," kata Naruto berusaha ceria. Keheningan sejenak merebak di antara mereka. "Sakura-chan…kali ini, dia akan kembali. Aku janji."

"Bukan," bantah Sakura,"Kita berjanji akan membuatnya kembali. Jangan bebani dirimu, Naruto." Sakura menghapus air matanya. "Hanya dengan kembalinya dia, tim 7 bisa utuh kembali. Aku—kita harus terus tegar demi hari itu."

"Kau benar. Begitu si teme itu kembali, kita akan buat kejutan yang nggak terlupakan. Dia pasti kaget setengah mati, ne, Sakura-chan?"

"Ya, ya," lanjut Sakura tersenyum kecil,"Dan keributan yang biasa akan segera mulai lagi. Kalian tak pernah bisa berhenti. Kemudian aku akan bergabung dalam keributan itu untuk menghentikan kalian, kan?" tambahnya. Kedua bola mata hijau zamrudnya kembali berpendar lembut.

"Roger!" balas Naruto ceria. Kurasa itu nggak terelakkan," tambahnya serius setelah merenung beberapa saat.

"Ya, memang. Mungkin," balas Sakura,"Karena dia Sasuke."

Senyum getir terpahat samar di wajah Naruto saat mendengarnya. "Ya. Karena dia Sasuke."

Mereka terdiam, membiarkan bisikan daun-daun keemasan membawa harapan akan seseorang yang mereka cintai.

Karena Sasuke selalu menjadi bagian dari tim 7, sekeras apapun dia menyangkalnya. Tim ini adalah rumahnya. Kamilah tempatnya pulang, pikir Kakashi pahit.

Teringat olehnya Sasuke yang dulu selalu peduli terhadap Naruto dan Sakura dengan caranya sendiri. Dia peduli. Selalu. Tersembunyi di balik dinding eksterior dingin, yang hanya bisa ditembus oleh kehangatan senyum Naruto dan kelembutan sinar mata Sakura.

Sebenarnya, dari awal kau sudah sadar akan hal itu, ya kan, Sasuke?



16 Juli.

Waktu membawa Sasuke kembali kepada mereka. Namun, tidak seperti yang mereka harapkan. Bukan layaknya pahlawan yang disambut meriah dengan puja-puji gegap gempita, menyesakkan ruas-ruas jalan. Bukan pula seperti keturunan terhormat klan ninja yang sangat ditakuti, mengundang rasa hormat sekaligus kagum.

Sasuke datang kepada mereka dengan bau darah dan kematian.

Konoha sedang menghadapi invasi Akatsuki ketika Sasuke datang ke medan pertempuran. Keadaan mereka kritis; banyak ninja cakap yang terbunuh dalam usaha mempertahankan Konoha. Tsunade memerintahkan semua ninja untuk bertempur sekuat tenaga. Hampir semua pasukan khusus dikerahkan.

Tenaga medis pun menjadi darurat. Sakura berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Kakashi menjadi pasukan penjaga garis depan.

Konoha sarat dengan bau sangit dan pekatnya darah.

Keadaan tak bisa lebih buruk lagi ketika Naruto terluka parah karena bertarung. Saat dia merasa ambang pintu kematian sudah menguak lebar, sekelebat bayangan mengantamnya.

"Bangun, bodoh. Seorang yang akan menjadi Hokage tak akan terpuruk justru di saat orang membutuhkannya!"

Di situlah dia berdiri, terbalut jubah perjalanan panjang hitam, mengusung katana di tangan kanan. Wajah yang terpahat sempurna, dibingkai rambut hitam pekat. Wajah yang agak kurus dengan tulang pipi tinggi dan rahang terkatup, namun masih menyimpan kenangan dan senyum yang sama.

Dia Sasuke.

Detik berikutnya yang dia tahu, energi seolah mengalir lagi. Naruto bangkit dan kembali bertarung. Tak perlu ada pertanyaan terlontar, dan dia pun tak berharap jawaban.

Karena saat bersama Sasuke, segalanya terjadi begitu saja. Segalanya tak membutuhkan penjelasan, yang dia tahu hanya semua kemungkinan hadir di depan kedua matanya.

Naruto tak tahu kenapa bisa begitu, tapi tak ada keraguan sedikit pun. Ketika Sakura bergabung dengan mereka, dia tahu, tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Napas mereka seirama, ketiganya dihubungkan oleh benang tak terlihat yang disebut persahabatan.

Di hadapan mereka berdiri Pein, tegak menantang. Aura membunuh begitu jelas terpancar dari sorot matanya. Setiap tarikan napas yang berhembus menegaskan betapa sempit waktu yang mereka punyai, dan waktu tak pernah bisa digenggam. Hanya bisa dilalui seiring aliran iramanya sendiri.

Tatapan mata ketiganya bertemu pandangan Pein, tajam dan menusuk.

"Siap?" bisik Naruto kepada dua sahabatnya.

Sakura mengangguk, mengatur napas dan mengambil kuda-kuda. "Siap, kapan saja."

"Kita mulai," ucap Sasuke. Katana dihunus. Aliran Chidori berwarna biru elektrik mengalir pasti dari sekujur tubuh Sasuke, membuatnya bagai diselimuti kilauan sinar jutaan batu safir.

Ketiganya berderap melaju. Langkah kaki mereka menghentak, daun-daun meraung menerjang angin, meneriakkan jeritan kumandang peperangan.

Pertarungan yang kelak akan diingat sebagai salah satu peristiwa paling hebat sepanjang sejarah dunia ninja pun dimulai.

Kakashi mengawasi dalam diamnya, tangannya terkepal erat menahan emosi. Kamar itu dipenuhi kecemasan yang mengambang di udara. Tim 7 menunggu Sasuke di sana, minus Sai yang memilih untuk tetap menunggu di luar.

Sasuke terbaring, napasnya hampir tak terasa, tergolek tak berdaya di tempat tidur. Naruto berdiri di samping Kakashi, menatap cemas dengan wajah pucat pasi. Sekelompok ninja medis, termasuk Sakura dan Tsunade sebagai pemimpin mereka, masih berusaha keras memulihkan ninja berambut hitam itu. Keringat mengalir deras dari pelipis mereka, menyusuri lekuk-lekuk wajah yang digelayuti kelelahan.

Sudah 3 hari sejak berakhirnya pertarungan luar biasa yang nyaris merenggut nyawa ribuan ninja Konoha, termasuk mereka berempat. Konoha dalam keadaan kritis. Tsunade sendiri sampai harus memulihkan diri selama beberapa jam untuk mengurangi efek luka yang timbul. Untunglah datang pasukan bantuan dalam jumlah besar dari Suna atas perintah Kazekage mereka, Gaara. Naruto, Sakura, dan Kakashi selamat, walau menderita luka yang cukup serius.

Yang tak bisa diterka adalah kondisi Sasuke. Sudah 3 hari dia tak sadarkan diri. Sakura menduga ada indikasi keracunan organ dalam yang parah.

"Sasuke, bertahanlah…kumohon, jangan pergi," mohon Naruto tak putus-putusnya dalam harapnya. Otot-otot di pelipisnya berkedut tegang.

Setelah berjam-jam menanti, harapan muncul. Sentakan kecil timbul dari jemari Sasuke. Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Sakura?" akhirnya keheningan pecah.

Tetes demi tetes air mata lega jatuh dari bola matanya hijau zamrud Sakura. Bibirnya bergetar, membentuk senyum lemah. "Sa… su… ke-kun," ucapnya tercekat, serak menahan tangis,"Syukurlah."

"Aku… masih hidup?"

Kekagetan dan rasa tak percaya tersirat dari suaranya.

"Sasuke," bisik Naruto, suaranya bergetar,"Dasar brengsek, kau membuat kami khawatir setengah mati." Dia berjuang mati-matian menahan air mata, tak ingin menangis di depan Sasuke sebisanya.

"Naruto? Kakashi-sensei? Kalian—aku…"

Naruto dan Kakashi menyongsong ke tempat tidur. Tertatap wajah Sasuke yang lebih kurus, agak pucat, namun hal itu justru memperjelas pahatan waktu yang telah membentuk karakternya.

"Heh, Sasuke, kau babak belur, tahu," ucap Naruto, senyumnya merekah. "Sebelum mulai menyombongkan diri, sembuhkan dulu lukamu!"

Naruto menonjok lengan Sasuke pelan, tak bisa menahan dirinya untuk bercanda, walau sekarang air matanya mulai mengalir membasahi pipi.

Sasuke dengan susah payah bangkit duduk. Tanpa banyak bicara Naruto dan Sakura menggenggam tangan sahabat yang sangat dirindukannya, air mata mengaburkan pandangan mereka. Melihat dirinya dikelilingi oleh orang-orang yang peduli setelah sekian lama tampaknya meruntuhkan dinding pertahanan Sasuke sedikit demi sedikit.

Seulas senyum terpahat. Senyum yang membawa keluar segala tahun-tahun penuh duka dan kesedihan yang terus memenjarakan nurani. Senyum yang membawa kembali harapan yang dulu terus mengisi hati kecilnya.

Hati Kakashi dipenuhi rasa syukur yang terhingga. Dia menatap Sasuke lekat-lekat, dan berkata,"Selamat datang kembali."

Kemudian senyum Kakashi merekah lebih lebar ketika Naruto dan Sakura merengkuh Sasuke ke dalam pelukan mereka, erat. Air mata mereka jatuh di punggung Sasuke, mengalir tanpa tertahan lagi. Sasuke terpaku selama beberapa saat, tubuhnya menegang; tapi perasaan rileks yang ditimbulkan oleh kelegaan luar biasa dalam hatinya membuat Sasuke dalam diam merangkul mereka sama eratnya.

Samar-samar, Naruto dapat merasakan debar jantung yang terus berdetak stabil, menandakan kehadiran Sasuke benar nyata adanya. Helaian rambut hitam Sasuke jatuh di pundak Sakura, napasnya berhembus teratur seiring kata-kata yang meluncur dari bibirnya.

"Tampaknya sejauh apa pun aku melangkah, waktu selalu membawaku kembali pada kalian," Sasuke mendesah. Sakura tersenyum, kedua matanya bersinar cerah; Naruto terkekeh diantaranya tangisnya.

Jelas, namun pelan seakan berasal dari tempat yang jauh, Kakashi mendengar gaung suara Minato Namikaze.

"Setiap orang mencari orang lain yang bisa mengisi kekosongan dalam dirinya."

Melihat rangkaian mozaik tanpa tandingan yang dulu retak namun kini utuh kembali, membuat Kakashi yakin akan satu hal.

Minato mengacak rambut Kakashi pelan. Dengan senyum khasnya, dia berkata,"Suatu saat, kau akan mengerti."

Kakashi sudah mengerti. Jawaban ada tepat di hadapannya.

Ini pasti cinta. Ya, ini pasti cinta.

Guru… untuk kesekian kalinya kau benar, batin Kakashi.

Pintu bergeser perlahan. Sai melangkah masuk, setelah mendengar kalau Sasuke sudah sadar. Dia tertegun. Namun sorot matanya melembut menyaksikan pemandangan di depannya. Dalam sekejap Sai tahu, momen ini benar-benar manifestasi sebuah keindahan. Keindahan yang bernyawa.

Sasuke mengangkat pandangannya. Sai membalas dengan senyum yang biasa.

"Sasuke-kun… kau kembali untuk mereka, kan? Syukurlah."

Sasuke terdiam, menunggu kalimat selanjutnya. Ekspresi Sai tak tertebak.

"Sekarang aku paham apa arti ikatan yang diperjuangkan Naruto dan Sakura selama ini. Terima kasih, kalian bertiga telah mengajariku hal yang sangat berharga."

Bibirnya mengguratkan senyum tulus.

Sai berbalik dan sebelum menggeser pintu menutup, dia berkata pada Tsunade,"Hokage-sama…setelah ini aku akan segera mengurus statusku di tim 7. Tim ini sekarang bisa direstorasi ke susunan awalnya. Aku akan mundur. Perlu Anda ketahui, ini keputusanku sendiri. Tak ada hubungannya dengan campur tangan Danzou-sama. Aku harap Hokage-sama bisa mempertimbangkannya."

Mata hitamnya beralih kepada Naruto dan Sakura,"Naruto-kun, Sakura-san…selamat." Ucapannya terhenti sejenak. Matanya kembali beradu dengan bola mata hitam milik Sasuke. "Sasuke-kun…jagalah mereka."

Setelah mengatakan itu, Sai berlalu.


Author's note: Yay…chapter 1 selesai juga! Sebenarnya ide pembuatan fic ini udah muncul sejak beberapa bulan lalu, tapi baru diselesaikan sekarang. Saya benar-benar merindukan tim 7, so this fic is dedicated for them. Kishimoto-sensei, just reunite team 7 once more and let them be together, damn it!

Ini kedua kalinya saya menulis fic Naruto. Fic Naruto pertama saya dalam bahasa Inggris, yang judulnya Choices. Karena terbiasa nulis fic Naruto pakai bahasa Inggris, jadinya agak terasa aneh. Yah, semoga fic ini nggak mengecewakan kalian.

Saya masih akan melanjutkan fic ini di chapter 2, jadi mohon dukungan, kritik maupun saran kalian semua lewat review, ya. Ja matta ne! (^_^)