Disclaimer: I do not own Naruto.

Serendipity, 2019


Sakura selalu mengganggap bahwa dirinya biasa saja. Tidak cantik dan tidak juga buruk rupa. Standar. Kehidupannya pun juga sama biasanya seperti wajahnya, ia tinggal di sebuah rumah sederhana di tengah kota dengan ibunya.

Ia juga cukup pintar, namun tidak begitu pintar hingga bisa menjuarai olimpiade-olimpiade dunia. Setidaknya kepintarannya cukup untuk masuk SMA terbaik di Suna dan Universitas nomor 1 di Konoha.

Tapi secara keseluruhan, tetap saja ia menganggap dirinya standar. Mungkin yang tidak biasa dari dirinya hanyalah rambutnya yang merah jambu dan mata hijaunya.

Di Universitas, Sakura juga tidak begitu menonjol. Tahun pertama disibukkan dengan kegiatan ospek yang tidak ada habisnya.

Dan dari sanalah pertama kali Sakura melihatnya. Seorang pria yang juga satu kelas dengan dirinya.

Pria itu berambut hitam, tubuh tinggi, hidung mancung, dan wajah tampan. Semua yang ada di tubuh pria itu seakan meneriakkan 'ini mahal!'. Karena walaupun Sakura tidak tahu merek-merek ternama, ia bisa melihat kalau pakaian-pakaian itu dibuat dengan bahan kondisi terbaik.

Nama pria itu adalah Uchiha Sasuke dan Sakura sama sekali tidak terkesan.

Oke mungkin itu bohong. Sakura sedikit terkesan sebenarnya, dengan ketampanan dan kekayaannya. Dan hanya itu. Sakura tahu pria seperti itu bukanlah pria untuk dirinya-yang sama sekali tidak menarik.

Hingga suatu hari-

Sorak sorai kemenangan fakultas lawan memekakan telinga. Sakura melihat pemain-pemain basket dari fakultasnya tertunduk lesu dan tersenyum kecut. Mereka kalah di final. Tapi permainan mereka sudah cukup bagus untuk sebuah fakultas yang tidak pernah masuk semi-final sebelumnya.

Sakura dan teman-teman perempuannya menghampiri para pemain untuk menyemangati mereka.

"Kalian bermain hebat!"

"Terima kasih sudah bekerja keras!"

"Jangan patah semangat, Kak!"

"Sasuke kau sudah melakukan yang terbaik!"

Pria yang namanya disebut itupun menoleh seraya membanting botol minumnya, mendelik ke arah perempuan-perempuan yang berusaha menyemangatinya, "Brengsek!"

Sasuke pergi begitu saja setelah mengeluarkan kata kotor tepat di depan penontonnya. Perempuan-perempuan yang diteriaki pun terdiam dan langsung dihibur oleh pemain yang lain.

Sakura hanya melihat adegan itu dengan alis terangkat. Jadi dia tempramen, huh?

.

.


Sakura menghela napasnya lega. Sudah pukul 20.00 dan kegiatan ospek untuk hari ini selesai. Ia menyeka keringat di dahinya, berpikir apakah ia akan makan malam atau tidak.

Beberapa teman lelakinya menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi ia tolak dengan sopan.

"Hei Sasuke! Baru jam segini apa kau tidak mau main?" ujar seorang lelaki dengan rambut coklat

Sasuke terlihat berpikir sejenak, "Hmm ayo. Tapi aku tidak ingin lebih dari sebotol malam ini,"

"Tenang saja! Lagipula kalau lebih pun, kau bisa menginap di kamarku,"

Sakura hanya mendengarkan pecakapan teman-teman lelakinya dengan sekilas. Ia lalu berpamitan untuk pulang.

Terlintas sesaat dalam pikirannya bahwa Uchiha Sasuke tidak hanya tempramen, tetapi juga tukang minum-minum.

.

.


Hinata Hyuuga adalah salah satu sahabat terbaiknya. Orangnya cantik, pendiam, dan lembut. Tutur katanya sangat bagus-menandakan ia sangat terdidik.

Tidak ada yang pernah menyakiti seorang Hinata yang baik hati. Semua orang menyayanginya, begitulah pikir Sakura.

Setelah kelas berakhir, Sakura menunggu Hinata di luar kelas, hari ini mereka ingin mencari kado ulang tahun untuk Ino.

"Ah, Sasuke-san, ayah mengundangmu untuk makan malam minggu depan, kuharap kamu bisa menghadiri undangan ayahku," ucap Hinata, hanya ada mereka berdua di kelas itu.

Sasuke menghela napasnya keras, "Aku tidak bisa,"

"Sampai kapan kamu akan menghindar, Sasuke?" tanya Hinata dengan sedikit gemetar

Brak! Sasuke memukul meja dengan keras membuat Hinata terperanjat, "Aku tidak peduli! Jangan ikut campur, Jalang!"

Sakura yang juga ikut terkejut dengan cepat berjalan ke arah Hinata sambil memanggilnya dengan keras, "Hinata, ayo pulang!"

Mata Hinata berkaca-kaca, dengan pelan ia menjawab Sakura, "I-iya, Sakura."

Sepanjang perjalanan Sakura berusaha membuat Hinata melupakan kejadian tadi. Ia tidak tahu ada masalah apa antara keluarga Uchiha dan Hyuuga, namun ia tahu Hinata memiliki mental yang tidak begitu kuat hingga harus beberapa kali ke psikolog. Bentakan, perkataan kasar, dan suara keras dapat membuat Hinata mengalami mental breakdown.

Perlahan Sakura mulai tidak menyukai Sasuke Uchiha.

.

.


"Hei Jidat,"

Sakura menoleh pada sahabatnya, Yamanaka Ino, "Apa, Pig?"

"Menurutmu... apa aku hanya gadis yang tidak punya otak dan tidak bisa apa-apa?" ucap Ino nada datar

Sakura mengerutkan alisnya mendengar perkataan Ino. Bagaimana sahabatnya bisa berpikiran seperti ini? Yamanaka Ino adalah salah satu gadis tercantik seantero Universitas Konoha, ia cantik dan ia tahu itu. Percaya diri adalah bagian dari kecantikannya. Jadi bagaimana mungkin ia memikirkan omong kosong itu?

"Tentuk tidak, Pig! Mengapa kau mengatakan hal seperti itu?"

"Well, kau tahu, Sasuke sendiri mengatakannya padaku. Ia mengatakannya dengan sepintas, sekilas seperti bercanda. Namun aku tidak tahu apa ia serius atau tidak. Biasanya aku tidak memikirkan perkataan orang, tapi..."

"Kau tahu itu tidak benar, Ino. Dan Sasuke bukanlah orang yang baik, kau juga tahu itu,"

"Kau benar, Sakura.."

"Hei ayolah, biasanya kau hanya perlu berkaca dan melihat betapa menakjubkannya dirimu, bukan?"

"Ah iya, apa sih yang aku pikirkan. Haha!" ucap Ino dengan sedikit warna pada suaranya

Uchiha Sasuke, kau ini brengsek, pikir Sakura.

.

.


Beberapa minggu setelah kejadian Sasuke membentak Hinata, gadis itu menelepon Sakura dengan keadaan terisak.

Sakura segera pergi ke rumah Hinata dan menenangkannya semalaman. Rupanya penyebab Hinata menangis adalah Sasuke yang lagi-lagi mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya dikatakan pada Hinata, dan kali ini lebih parah. Gadis berambut gelap itupun merasa perkataan Sasuke benar dan ia membenci dirinya sendiri.

Hinata sudah tidak perlu ke psikolog tiap minggunya, tetapi karena kejadian ini Sakura akan menemaninya ke psikolog esok hari.

Sakura membuat pengingat di otaknya untuk berbicara dengan Sasuke tanpa memberitahunya tentang keadaan Hinata. Sakura benar-benar tidak menyukai Sasuke karena telah membuat temannya menangis.

.

.


Sakura tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara dengan serius pada Sasuke. Dan ia juga masih menimbang apakah ia harus mengatakannya apa tidak, mengingat Hinata yang tidak memperbolehkannya.

Sakura sebenarnya tidak punya dendam apapun pada pria itu, namun karena Sasuke telah menyakiti perasaan dua sahabatnya, ia merasa setidaknya pria itu harus tau kalau sudah menyakiti seseorang dengan mulutnya yang kotor.

.

.


Hari-hari berlalu dengan cepat, hingga suatu hari angkatan mereka melakukan acara kumpul-kumpul di sebuah Villa.

Sasuke yang memiliki mobil pribadi bertugas untuk mengantar teman-temannya yang tidak memiliki kendaraan ke villa tersebut. Ia juga tidak memperbolehkan satu lelaki pun untuk naik mobilnya, hanya perempuan yang boleh. Alasannya karena yang lelaki bisa berboncengan mengendarai sepeda motor.

Ketika Kiba—teman sekelas mereka—mendudukan dirinya di kursi depan mobil Sasuke, Sasuke berkata dengan bercanda namun tegas, "Aku baru tahu kau perempuan, Kiba,"

Hal itu membuat Kiba langsung keluar dari mobil.

Sakura lah orang yang menggantikan Kiba di mobil Sasuke. Awalnya ia tidak begitu memikirkan kebaikan Sasuke, tapi setelah perjalanan selama 5 jam, ia pun menatap Sasuke yang tampak lelah menyetir. Ia berpikir mengapa Sasuke mau melakukan ini untuk mereka? Hal yang jelas-jelas merugikannya. Jika pria itu naik motor, ia sudah akan sampai ke villa 2 jam yang lalu.

Tidak hanya itu, setelah acara selesai, Sasuke kembali mengantar teman-teman perempuannya pulang pada sore hari. Dengan perjalanan yang juga menempuh waktu 5 jam. Dan Sakura bisa melihat kelelahan yang ditutupi oleh Sasuke, ia tahu pria itu hanya tidur 2 jam di malam harinya karena pagi-pagi sekali ia harus menjemput beberapa orang ke villa.

Sakura mengerutkan keningnya. Untuk seseorang yang brengsek, bermulut kotor, dan tukang minum, Sasuke adalah seorang pria sejati. Rela mengantar teman-teman perempuannya, dan menghabiskan uang pribadi yang cukup banyak untuk bensin.

Mungkin Sasuke tidak seburuk yang Sakura kira.

.

.


Sekilas Sakura mengingat bagaimana Sasuke bertingkah laku selama setahun belakangan.

Pria itu pernah menyentil jidatnya saat ia sedang melamun di kelas, "Jangan bengong, Pinky!"

Sasuke juga selalu mengutamakan perempuan-pria itu memberikan kursi yang ia duduki pada Ino yang datang terlambat saat di kelas tidak ada kursi lagi, dan ketika itu mereka berada di lantai 4—yang mana untuk mengambil kursi tambahan perlu ke lantai 2, Sasuke pun duduk di lantai sepanjang kelas berlangsung.

Sakura juga ingat beberapa perkataan Sasuke yang selalu mengutamakan perempuan,

"Aku saja yang bawa, jangan kau. Cowok-cowok yang lain juga tolong bantu angkat kursi-kursi ini ya, jangan yang perempuan," ucap Sasuke pada Hinata dan beberapa temannya di suatu persiapan acara.

"Nih duduk, perempuan jangan berdiri,"

"Sini aku yang ambilin, kau duduk saja di sini,"

"Eh kasihan itu yang perempuan kegencet, supporterannya agak ke depan aja biar lebih lega,"

Dan perkataan lainnya yang bermakna sama. Sakura yang biasanya tidak suka jika orang membeda-bedakan gender, merasa biasa saja bahkan cukup respect terhadap Sasuke. Karena dari nada yang Sasuke ucapkan, Sakura tahu pria itu bukan merendahkan, namun benar-benar ingin membantu.

Ketika ospek, Sasuke selalu bertanya apakah teman-temannya baik-baik saja atau tidak. Ia selalu menjadi yang paling sigap jika ada temannya yang membutuhkan bantuan medis.

Sasuke juga yang paling bisa diandalkan saat Shion—teman sekelas mereka—tiba tiba pingsan di apartemennya sendiri pukul 3 pagi. Sebelum pingsan, Shion mengirim pesan singkat ke grup kelas bahwa ia sedang sakit dan tidak kuat untuk ke rumah sakit sendiri. Setelah mengirim pesan itu, Shion tidak membalas lagi, dan anak-anak berasumsi kalau terjadi sesuatu pada gadis itu. Sasuke yang menjadi penyelamatnya.

Di akhir tahun pertama mereka, ketika final basket antar fakultas berlangsung lagi, dan Sasuke kalah lagi, ia tidak marah-marah seperti sebelumnya. Ia malah meminta maaf karena belum bisa membawa piala juara.

Sakura melihat bagaimana perubahan Sasuke dari waktu ke waktu. Pria itu sudah jauh berbeda sejak pertama kali mereka masuk universitas, sepertinya sudah mulai bisa mengontrol tempramennya.

Sasuke memang brengsek, perkataannya kasar, tempramental, tukang minum, tukang dugem, dan perokok. Tapi sekarang Sakura tahu ada beberapa kebaikan yang masih melekat pada dirinya.

Sakura belajar untuk tidak menilai seseorang dengan begitu cepat, dan juga untuk tidak terlalu membenci seseorang.

Dan jika kedua temannya bisa memaafkan Sasuke, siapa Sakura untuk terus mendendam?

.

.


Sakura mengakui ia mudah untuk mencintai-bukan jatuh cinta, itu hal yang berbeda.

Ia pun percaya, jika diberi kesempatan, ia bisa dengan mudah mencintai Uchiha Sasuke.

Namun ia tidak mungkin mendapatkan pria itu, 'kan? Sasuke berada di langit yang berbeda dengan dirinya.

Karena itulah, ia tidak percaya ketika di hari mereka wisuda, Sasuke Uchiha melamarnya.

Ini pasti mimpi.

.

.


thank you for reading, chapter 2 menyusul yah! komentarnya dong, sayang?