Satu...

Dua...

Tiga!

HOREEEEE! MOS UDAH BEREESS!*teriak pake toa plus nari-nari gaje*

Wahahaha! Sunguh tak terkatakan, betapa senangnya Kanna karena MOS ini udah beres! Yah, walaupun MOS udah beres dari sabtu kemarin, Kanna masih inget gimana gilanya minggu kemarin... Betul-betul minggu yang sibuk! Jangankan nonton atau OL, mau megang manga aja nggak bisa...

Makannya, untuk merayakan selesainya MOS yang merepotkan ini*Shikamaru mode: ON*, Kanna memutuskan untuk kembali bergentayangan di fandom Naruto...

Oke, pembukaan gaje selesai... Sebelumnya Kanna mohon maaf kalo ceritanya jelek bin aneh. Kanna kan masih baru*ngeles* =p

Ok, mulai aja ceritanya. Happy reading!

Disclaimer: Naruto bukan punya Kanna! Kan di covernya tertulis 'Masashi Kishimoto'! Kanna nggak pernah berniat untuk ikutan program trans-gender kok!

WARNING: typo, AU, OOC, gaje, abal, alur cepet, dan kekurangan lainnya. Nggak suka? Yah, apa susahnya sih teken tombol 'back'?

++Message++

Hinata Hyuuga meneguk teh yang dibbuatnya perlahan, merasakan cairan manis itu menghangatkan setiap inci tubuhnya. Setelah isi cangkirnya habis, Hinata segera mencucinya dan mengembalikan cangkir itu ke rak.

Merasa pekerjaannya sudah sempurna, Hinata melangkahkan kakinya ke ruang keluarga dan menghempaskan tubuhnya ke sofa, mencoba menikmati lembutnya sofa yang didudukinya. Gadis Hyuuga itu mendesah dan menutup matanya. Ah, kepalanya pusing sekali...

"Hinata-neesan?"

Hinata segera membuka matanya dan menoleh untuk mendapati adiknya, Hanabi Hyuuga, sedang menatapnya dengan mata mengantuk. Hinata tersenyum.

"Hanabi-chan, masih jam 6 kan? Kok jam segini sudah bangun?" tanya Hinata lembut.

"Mmm. Aku mimpi buruk," sahut Hanabi sambil mendekati Hinata. "Tentang Otousan."

Hinata tertegun. Ia tak perlu bertanya pada Hanabi tentang isi mimpinya−adiknya pasti bermimpi ayah mereka telah meninggal. Hinata menghela napas berat.

"Jangan dipikirkan ya, Hanabi-chan. Otousan pasti baik-baik saja. Ia akan segera kembali bersama kita," ujar Hinata pelan sambil mengelus rambut adiknya. Hanabi menatap kakaknya dengan tatapan muram.

"Bisakah?" tanyanya lirih. "Otousan sudah berada di rumah sakit selama 3 bulan, dan kurasa tak ada perubahan yang berarti padanya..."

"Huss! Jangan bicara begitu!" tegur Hinata cepat. "Tak ada yang mustahil di dunia ini! Otousan pasti bisa sembuh dari kankernya!"

Sebetulnya niat Hinata adalah ingin menyemangati adiknya, tapi toh Hinata sadar bahwa ia sedang berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Dengan tangan masih mengelus rambut Hanabi, pikiran Hinata kembali ke waktu 3 bulan yang lalu, saat semua kemuraman ini dimulai...

++Flashback++

Hinata meremas-remas kedua tangannya dengan gugup, sesekali kedua matanya melirik jam digital yang terpasang di dashboard, tepat di samping supir. Jam digital itu menunjukkan waktu 10.12 pagi, dan itu membuat Hinata gelisah, sangat gelisah.

Hari ini, rencananya Hinata dan sahabat-sahabatnya sewaktu SMP akan menonton film bersama, sekaligus bertukar cerita setelah tidak bertemu selama 1 tahun terakhir. Seharusnya Hinata senang, tentu saja, mengingat ia akan segera bertemu dengan teman-teman lamanya. Masalahnya adalah, mereka berjanji untuk bertemu tepat jam 10 pagi ini. Itu artinya, Hinata sudah terlambat 10 menit lebih dari perjanjian mereka.

Hinata mengalihkan pandangannya ke samping, menatap menembus jendela taksi yang ditumpanginya. Ia melihat banyak mobil yang berhenti di sekitar taksinya. Hinata bisa melihat seorang pengendara mobil yang wajahnya tampak kesal setengah mati, dan pastinya seluruh pengguna jalan ini merasakan hal yang sama dengan pengendara itu.

Hinata menghela napas dan kembali menatap ke depan, tepat saat seorang polisi lewat di depan taksinya, mengingatkan Hinata akan penyebab kemacetan ini. Diam-diam, dalam hatinya Hinata merutuki−hal yang sangat jarang dilakukan gadis Hyuuga ini−sang Perdana Menteri yang memutuskan untuk melewati jalan yang sama dengannya.

Setelah 15 menit berlalu, barulah taksi yang ditumpanginya bisa lepas dari kemacetan yang gila itu. Hinata buru-buru meminta sang supir untuk mempercepat lajunya taksi, yang awalnya ditanggapi dengan keberatan dari sang supir. Tapi setelah Hinata menjanjikan ongkos lebih, barulah pria setengah baya itu bersedia menginjak pedal gasnya lebih dalam. Hinata menghembuskan napas pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Yah, tak ada salahnya melanggar peraturan sekali-kali.

Hinata tiba tepat jam setengah sebelas. Usai membayar ongkos taksi, Hinata langsung mengedarkan pandangannya ke sepenjuru restoran tempat mereka janjian. Dan Hinata langsung merasa pening; restoran itu sangat penuh. Bagaimana caranya ia bisa menemukan teman-temannya?

"Hinata-chaan! Di sini!"

Sebuah suara meneriakkan nama Hinata, membuat gadis itu menoleh ke arah asal suara. Mata lavendernya menangkap sosok seorang gadis berambut pirang yang sedang melambaikan tangannya tinggi-tinggi. "Di sini, Hinata-chan!" serunya lagi.

Hinata menghembuskan napas lega dan segera melangkahkan kakinya menuju gadis itu. Gadis pirang itu tidak sendirian; ada 2 orang lain yang duduk bersamanya.

"Shi... Shion-chan," ujar Hinata saat ia tiba di meja teman-temannya. "Ma... maaf, aku terlambat... Ta... tadi jalannya macet sekali..."

Gadis pirang yang bernama Shion itu mengangguk mengerti. "Iya, nggak apa-apa kok. Kami juga baru datang... Pasti kau juga terhambat menteri itu kan?" tanya Shion. Hinata mengangguk pelan sambil duduk. "Nah, begitu juga kami−aku dan Temari, maksudku. Si menteri itu benar-benar bikin jengkel... Iya kan, Temari?" Shion mengalihkan pandangannya pada gadis berkuncir empat yang duduk di sampingnya. Yang ditanya mengangguk membenarkan.

"Yup. Menteri itu membuat jalanan nyaris macet total−untunglah supirku tahu jalan pintas yang bagus," Temari mendengus. "Yang paling rajin sih dia. Waktu aku datang, yang sudah tiba cuma si nanas ini..."

"Jangan panggil aku begitu," pemuda yang duduk di antara Temari dan Hinata langsung mendelik ke arah si gadis berkuncir empat. "Aku bukan nanas,"

Temari mengangkat bahunya acuh. "Terserah. Rambutmu kan memang mirip nanas, Shikamaru," jawabnya enteng. "Tapi aku heran lho... Si raja pemalas ini malah datang paling awal..." lanjut Temari dengan alis terangkat sebelah.

"Jangan mengataiku pemalas," sahut pemuda itu lagi, tapi pada saat bersamaan menguap lebar. "Lagian itu salah kalian. Kenapa nggak lihat berita tadi pagi? Kan rute perjalanan menteri itu sudah diberitakan tadi pagi..."

"Iya deh, dasar orang aneh," ujar Shion kalem. Shikamaru menatap gadis itu sejenak, tapi memutuskan bahwa memulai perdebatan akan jadi sangat merepotkan, karena itu ia memilih diam.

"Umm... Ngo... ngomong-ngomong, Naruto-kun mana?" tanya Hinata setelah hening sejenak.

"Entahlah... Naruto bilang dia sudah dekat, tapi pesannya tiba kira-kira 20 menit lalu," jawab Temari sambil meraih ponselnya untuk melihat daftar inbox. "Yup, tepat 20 menit lalu,"

Shion menghembuskan napas gusar. "Huh, dasar anak itu... Sejak dulu selalu saja jadi raja ngaret! Dasar anak dodol bin bo..."

"Iya deh, maaf kalau aku bodoh!" sebuah suara muncul di belakang Shion, membuat gadis itu menoleh kaget. Ia langsung nyengir saat melihat sang pemilik suara.

"Naruto! Panjang umur kau..." ujar Shion sambil menghantam perut Naruto dengan tinjuu yang nggak kalah dari Sakura, membuat pemuda pirang itu meringis. "Aduuh... Aku tahu kamu nge-fans padaku, tapi jangan pukul aku begitu dong!" kata Naruto sambil mengelus perutnya. Shion memutar matanya sementara Temari dan Hinata tertawa.

"Ya sudah, kalau begitu kita pergi sekarang?" tanya Shikamaru sambil beranjak berdiri, tidak lupa sambil menguap lebar. Keempat temannya mengangguk dan segera berjalan ke mall Konoha.

XxXxXxXxXxXxX

"Wuaaah, filmnya keren banget ya!" Ini komentar Temari.

"Betul! Tokoh utamanya keren bangeeeet!" Yang ini komentarnya Shion.

"I... iya... Ce... ceritanya juga bagus..." Sudah pasti ini Hinata.

"Memang si Edward Cullen itu segitu cakepnya ya? Masih mendingan aku!" Ah, komentar narsis dari sang Uzumaki.

"Merepotkan," Siapapun pasti tahu kalau ini Shikamaru.

Yup, kelima remaja ini telah selesai menonton film, dan sekarang kelimanya sedang menuju cafetaria sambil mengomentari film yang mereka tonton.

"Eh, kalian mau makan dimana?" tanya Temari saat mereka tiba di lantai empat Mall Konoha. Puluhan stand makanan berjejer sejauh mata memandang, memamerkan berbagai foto makanan yang menggugah selera. Temari mentap Shion, yang dibalas dengan bahu yang terangkat. "Apa aja, asal jangan terlalu berlemak," sahut gadis itu.

"Aku juga apa aja. Tapi kalau ada ramen, aku mau ramen," jawab Naruto saat Temari menatapnya.

"Terserah kalian. Asal jangan yang merepotkan," jawaban khas Shikamaru. Temari mengangkat alis sejenak, lalu beralih menatap Hinata.

"Emmm, aku..." Hinata baru saja akan menyuarakan pendapatnya saat ia merasakan getaran di tasnya. Ponselnya bunyi. Hinata buru-buru meminta maaf lalu berjalan menjauh sambil merogoh tasnya.

Keempat temannya mengamati Hinata dari jauh, dan menyadari perubahan ekspresi sahabat mereka itu. Awalnya Hinata terlihat kaget, kemudian perlahan ekspresinya berubah ngeri. Ia mengangguk-angguk−meskipun si penelepon jelas tak akan melihatnya−dan segera menutup sambungan. Ia mendekati sahabat-sahabatnya dengan wajah sepucat kertas.

"A...anu, teman-teman... Se... sepertinya aku harus pulang sekarang... Uhm... A... aku senang sekali bertemu dengan kalian lagi... Ka... kapan-kapan kita main lagi ya..." ujar Hinata cepat, kemudian tanpa menunggu jawaban, segera berbalik untuk pergi. Tapi, sebelum Hinata sempat melangkahkan kakinya, Naruto mencengkeram lengannya, menahan gadis itu.

"Tunggu sebentar, Hinata-chan. Kau tak bisa pergi begitu saja tanpa mengatakan alasannya," ujar Naruto saat Hinata berbalik menatapnya. "Apa yang terjadi?" tanya pemuda itu pelan.

Hinata menggigit bibirnya gelisah, berpikir apakah sebaiknya ia memberitahukan alasannya pada mereka. Tapi, Hinata tahu bahwa mereka adalah sahabat terbaiknya, dan ia tak boleh meninggalkan mereka begitu saja. Lagipula, ia harus buru-buru sekarang.

Maka, Hinata menarik napas sejenak, kemudian mulai berkata dengan suara gemetar. "Um... Se... sebenarnya, ayahku masuk rumah sakit..." ujarnya pelan, membuat keempat remaja di depannya langsung tersentak kaget. Tapi Hinata belum memberitahukan mereka semuanya. Ia menatap mereka dengan tatapan sedih dan berkata, "Karena kanker otak..."

++End Flashback++

"Hinata-neesan?"

Hinata tersentak dari ingatan masa lalunya dan kembali ke masa kini. Ia menunduk, menatap Hanabi yang memandangnya heran. "Neesan kenapa?" tanya Hanabi.

Hinata terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak apa-apa," jawabnya pelan. "Hanabi-chan, karena kau sudah bangun, sebaiknya kau langsung mandi saja. Jadi kita bisa ke rumah sakit lebih awal hari ini," perintah Hinata. Hanabi mengangguk, kemudian bangkit dan berjalan pergi.

Hinata menatap punggung adiknya yang mulai menghilang di balik pintu. Yah, pikir Hinata, paling tidak berkat musibah ini hubungannya dengan Hanabi membaik. Sebelumnya hubungan mereka kan renggang sekali, benar-benar tidak seperti saudara.

Ah, satu lagi hikmah dari musibah ini: penyakit gagapnya menghilang. Sejak 3 bulan lalu, cara bicara Hinata tidak gagap lagi. Mungkin, seperti kata teman-temannya, situasi ini membuatnya menjadi pribadi yang tegar.

Don't try to live so wise
Don't cry 'cause you're so right
Don't dry with fakes or fears
'Cause you will hate yourself in the end
(Akeboshi-Wind. Naruto ED1)

Lantunan lagu kesukaan Hiata menggelegar, merobek suasana pagi yang tenang. Hinata buru-buru bangkit dan berlari ke kamarnya. Aduh, ia lupa mengecilkan volume nada dering ponselnya... Hinata bertekad untuk langsung merubah setting volume ponselnya, tapi niat itu langsung hilang saat Hinata melihat nama sang pengirim pesan.

Sender: Someone

Tanpa basa-basi Hinata segera membuka pesan itu, benar-benar lupa akan niatnya tentang volume nada dering. Dan membaca dengan seksama isi pesan dari orang tak dikenal itu.

From: Someone

Subject: Ohayo Gozaimasu, Hime. Sudahkah kau melihat burung yang bernyanyi di luar sana? Hari ini pasti akan jadi hari yang baik. Jangan lupa, Kami-sama pasti memberikan yang terbaik untukmu.

Hinata Hyuuga menatap ponselnya. Ah, lagi. Orang ini selalu mengiriminya sms setiap hari, dan sampai sekarang ia masih tidak tahu siapa dia sebenarnya.

Sambil menatap ponselnya, Hinata mulai mengingat hari pertama ia mendapat pesan dari orang ini, tepat 3 bulan yang lalu...

++Flashback++

Saat itu malam hari, hari ketika Hinata menerima kabar bahwa ayahnya masuk rumah sakit. Ia sedih sekali, apalagi vonis dokter menyatakan bahwa ayahnya terkena kanker otak stadium 3. Sebagai siswi terpintar di sekolahnya, tentu Hinata tahu bahwa penyakit itu sangat berbahaya−apalagi telah mencapai stadium 3.

Ia menangis, terisak sambil memeluk lututnya dan meringkuk di atas tempat tidur. Bayangan sosok sang ayah yang terbaring dengan wajah pucat terpeta jelas di benaknya. Oh, tidak... Ia belum mau berpisah dengan ayahnya!

Saat Hinata sedang membayangkan berbagai bayangan mengerikan yang akan terjadi, ponselnya berbunyi. Hinata langsung berhenti menangis dan menatap ponsel merah yang bergetar di meja belajarnya−mungkinkah itu telepon dari ibunya? Jangan-jangan keadaan ayahnya telah membaik?

Dengan hati dipenuhi harapan, Hinata bangkit dan segera meraih ponselnya. Balon harapan di hatinya langsung pecah saat melihat nomor tak dikenal tertera di layar ponselnya. Bisa-bisanya salah sambung di saat begini, gerutu Hinata.

Awalnya Hinata berniat menghapus pesan salah sambung itu, tapi rasa penasaran mengusik dirinya. Dengan perasaan berdebar dan agak bersalah−karena merasa pesan itu seharusnya ditujukan pada orang lain−Hinata mulai membaca pesan itu. Dan terkejut.

From: 081*********

Subject: Hime, kau pasti sedang menangis ya? Jangan begitu, nanti mata lavendermu yang indah diwarnai warna merah yang mengganggu...

Hinata menatap ponselnya bingung. Ia yakin tidak pernah dipanggil 'Hime' oleh siapapun sebelumnya, tapi ia tahu persis bahwa mata lavender ini hanya milik keluarga Hyuuga. Siapa orang ini?

Hinata segera mengetikkan pesan balasannya yang menanyakan identitas si pengirim, tapi sampai tengah malam, orang misterius itu tak kunjung menjawab. Hinata mengangkat bahu dan memutuskan untuk melupakannya.

Tapi pagi harinya, Hinata kembali mendapat pesan dari orang yang sama. Kali ini pesannya berbunyi begini:

From: 081*********

Subject: Ohayou Gozaimasu, Hime. Bagaimana? Kau sudah berhenti menangis kan? Ya, rasa sedih dan khawatir tidak pantas bersarang di wajahmu yang cantik. Coba buka jendela kamarmu, Hime, dan lihatlah pemandangan hari ini.

Kening Hinata kembali berkerut bingung. Kali ini ia mencoba menelepon orang itu, tapi yang diterimanya malah pesan mailbox. Akhirnya, Hinata memutuskan untuk membuka jendelanya, seperti yang diminta si pengirim pesan.

Ia terkesiap kaget−pemandangan matahari terbit langsung menyambutnya. Matahari perlahan mulai merangkak naik, membiaskan warna oranye yang cantik ke langit. Menghasilkan perpaduan warna biru, oranye dan merah yang amat cantik. Menikmatinya dengan udara pagi yang sejuk, sungguh momen yang indah.

Sejujurnya, Hinata memang tak pernah keluar ke balkon di pagi hari begini. Bukannya bangun siang, tapi begitu bangun, Hinata langsung menyiapkan sarapan dan air panas untuk keluarganya. Maklum, di rumah ini, Hinata meemang bertugas untuk pekerjaan pagi hari, karena ibunya memang sulit bangun pagi. Begitu pekerjaannya selesai, Hinata langsung mandi dan bersiap-siap untuk sekolah, sehingga begitu ia sudah bisa melemaskan kaki, matahari sudah berada di posisi yang lumayan tinggi.

Hinata tidak tahu bahwa ia bisa mendapat pemandangan yang begitu indah di daerah kota begini. Udaranya juga masih sejuk, belum banyak tercemari polusi. Siapa sangka ia bisa menikmati suasana yang seindah di pedesaan?

Gadis itu segera teringat isi pesan yang menuntunnya pada pemandangan ini. Ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi sang pengirim pesan. Namun, sama seperti sebelumnya, yang diterimanya hanya pesan mailbox.

Mendadak, ponselnya kembali dari orang itu lagi! Hinata buru-buru membuka pesan itu:

From: 081*********

Subject: Bagaimana, Hime? Cantik kan? Makannya, jangan menangis lagi ya...

Usai membaca isi pesan itu, Hinata tersenyum kecil. Dan merasakan kesedihan mulai meninggalkan dirinya.

++End Flashback++

Hinata menghela napas dan menutup flap ponselnya, kemudian menatapnya sejenak.

Itulah hari pertama ia mendapatkan pesan-pesan misterius itu. Dan sejak saat itu, si orang tak dikenal selalu mengiriminya pesan setiap hari, memberinya semangat. Tak ada satu hari pun si pengirim lupa mengirim pesan pada Hinata. Dan entah sejak kapan, ia mulai menunggu datangnya pesan itu.

Hinata tak pernah mengatakan pada siapapun tentang pesan yang selalu diterimanya. Dan ia pun tak pernah mengatakan pada siapapun bahwa ia telah jatuh hati pada siapapun yang telah mengiriminya pesan itu.

Aneh? Memang. Sungguh aneh karena bisa jatuh hati pada orang yang tak pernah ia ketahui rupanya. Tapi, bukankah cinta bisa datang dari mana saja?

Emmmm... Selesai?

Haduh! Gaje banget sih ni fic? Udah panjang, gaje pula! Maaf kalo Kanna cuma membuat mata para Readers sakit...

Sebetulnya fic ini Twoshot, tapi rasanya Kanna jadi nggak pede buat publish chapter selanjutnya... Fic ini aneh sekaliii...

Pokoknya review dulu yaa? Tolong kasih tahu pendapat anda sekalian, pliisss... Serius, review anda akan sangat membantu Kanna untuk memutuskan apakah Kanna harus mem-publish lanjutannya atau nggak!

Makasih udah mau mampir...

Review Please

I

I

I

V