Sekitar seperempat jam berlalu tapi Li belum juga menutup telepon dari pembicara seberang, membuatnya memijit pelipis disertai menghela napas dalam. Pembicaraan tentang bisnis ini sama sekali tidak menyenangkan. Melelahkan. Pria Tionghoa itu bersender resah pada kursi putar, membiarkan dirinya mencoba rileks dengan pikiran yang masih terfokus pada omongan kliennya.
"Shì. Semuanya sudah diatur. Keuntungan kasino akan dikirim sekian persen, secepatnya, ke Beijing sebagai jaminan. Pertemuan? Akan kulihat jadwalku."
Mencatat sebagian informasi penting seraya mengangguk-angguk manut, Li menatap ke arah jendela yang sudah menunjukkan cakrawala jingga. Menjelang malam. Pemandangan matahari terbenam dari lantai empat puluh kasino adalah hal yang terbaik. Beruntung jadwalnya kosong untuk beberapa jam ke depan, matanya barusan memeriksa jadwalnya seorang diri tadi. Kliennya berkata akan mengadakan pertemuan di Venetian, secepatnya, dalam kurung waktu kurang dari empat jam setelah percakapan.
"Jadwal kosong. Jam enam belas sampai dua puluh dua, kita adakan pertemuan di lobi—"
"Qǐngwèn. Maaf mengganggu waktu Anda, Tuan— ada surat datang."
Interupsi tidak tahu malu dari seorang manajer wanita yang tiba-tiba masuk memutus obrolan sorenya, Li mengibaskan tangan dan mengisyaratkan untuk meninggalkan surat bersangkutan di atas meja. Perempuan itu berlalu seraya membungkuk, meletakkan segelas teh hijau pesanan Tuan-nya sebelum berbalik pergi. Li melirik singkat, setelah pintu tertutup dan derap kaki tidak lagi terdengar, Li membuka surat dan membacanya.
Pria berkacamata itu menarik sudut bibir.
"… halo?"
"Duìbuqǐ. Sepertinya aku tidak bisa menghadiri pertemuan. Huítóu jiàn."
Karena sebuah surat dari seorang Tuan, pada kenyataannya lebih berharga untuk dipertimbangkan. Sore itu telepon ditutup tanpa percakapan lebih lanjut.
Hetalia Axis Power © Hidekaz Himaruya
Jika by SeiYoshi
— Wang Li and Joao Alexander da Silva —
[ Macau x Portugal ]
Didedikasikan untuk kepuasan pribadi tanpa niat merugikan pihak manapun. Segala bentuk protes dan ketidak puasan terhadap isi cerita akan dihapus tanpa menunggu persetujuan dari pihak bersangkuatan.
Warning : Yaoi. Smut. Tidak diperkenakan untuk dibaca anak di bawah umur. Some typos, etc.
Kanal yang membelah pertengahan Special Administrative Macau tidak ada ubahnya dengan terakhir kali Joao mengunjungi tanah Asia itu sejak beberapa tahun lalu— dia lupa tanggal tepatnya. Rasanya sudah lama sekali. Nostalgia. Kalau tidak salah waktu itu dia mengunjungi Macau karena desakan pekerjaan. Joao tersenyum simpul seperti seorang tua yang menerawang menatap masa lampau, mengayun-ngayun tangan dari dalam air kanal seperti tingkah seorang anak kecil. Petugas gondola yang membawanya berlayar tersenyum kaku. Satu tepukan dari bahu sejenak membuatnya terhenyak dari lamunan, Joao reflek menatap kaget ke arah Li yang duduk di sebelahnya sembari mentertawakan kecil kelakuannya. Pria keturunan latin berdecak kemudian membalikkan posisi, tahu malu.
"Menikmati waktu bermain air, eh, Master?"
"Berisik … kau mengacaukan suasana hatiku."
"Maaf."
Joao melirik ke arah Li yang sama sekali tidak menampakkan ekspresi penyesalan, malah melipat tangan menoleh ke lain arah, berbicara pada petugas gondola untuk mengantarkan mereka ke Venetian. Sang boatman menawarkan sebuah lagu mengiringi perjalan, Li menjawab dengan mengucapkan sederet judul lagu Tionghoa.
"Jadi … untuk apa kau ke sini?" Li memulai percakapan sederhana, sementara Joao diam tanpa menyahut sedikitpun, melipat tangan seperti yang dilakukan Li barusan.
Kedatangan seorang Portugis di tanah Macau tentu saja bukan hal yang biasa bagi Wang Li. Bukan; kalau mengumpamakan dari abad ke enam belas Portugis sudah memasuki teritori kota, melihat orang-orang Portugis berkeliaran di tanah yang sekarang berstatus milik China bukanlah hal aneh. Hanya saja kedatangan Joao, Joao Alexander da Silva; seorang personifikasi Portugis itu sendiri, jujur saja membuat Li mengangkat sebelah alis. Tidak biasanya. Kalau bukan urusan pekerjaan, untuk apa Joao jauh-jauh datang dari tanah Eropa sana? Tidak mungkin karena hiburan. Li tau Joao tidak akan menghamburkan uang hanya untuk berlibur ke Asia. Dia tengah mengalami krisis.
"Kunjungan. Ada masalah dengan itu?"
Li mengedikkan bahu. "Tidak biasanya. Sungguh, hanya itu?" Pernyataan balik dan mengintimidasi lantas membuat Joao menghela napas-penuh-kekesalan.
"Ada sedikit masalah dengan Antonio. Pecundang sialan itu benar-benar membuat mood-ku buruk."
Li tidak lanjut bertanya berhubung gondola sudah menepi di pinggir Venetian. Li melompat dan mengulurkan tangan membantu Joao turun. Oh, sial. Ujung bajunya basah dan itu membuatnya mendecih. Li memberikan beberapa tips kepada petugas gondola yang kemudian membungkuk menatap kepergian keduanya.
"Sesuatu terjadi?"
Joao menggeleng.
"Lupakan. Sebaiknya kita menghibur diri dengan berjudi … sudah lama rasanya kita tidak berjudi bersama, eh, Li?"
Dia benar. Coba Li ingat kapan terakhir Joao mengunjungi kota ini, mungkin bisa dihitung satu dua tahun lalu— sayangnya Li lupa. Joao dan dirinya sama-sama hobi berjudi, tapi Li memiliki lebih banyak persentase keberuntungan. The Venetian Macao terlihat bagai menjulang di bawah gemerlap kota. Joao menarik tangan pria Tionghoa memasuki pelataran kasino dengan tidak sabaran.
.
.
Dua puluh Desember. Bertahun-tahun lalu. Tapi rasanya baru kemarin Li terakhir kali mengamit Joao yang terpekur akibat hasil keputusan yang menuliskan kepemilikan Macau berakhir pada China. Hari itu, Senin, Li yang melihat kegundahan Joao bak orang gila menendang-nendang rantai jangkar di penghujung pelabuhan lantas menghampirinya seraya membawa kotak berisi sebuah cincin. Wǒ ài nǐ. Joao mengamuk dan cincin seharga sekian Dollar hanyut ke dalam laut; Joao yang tidak sudi tanpa membaca situasi melemparnya penuh frustasi. Momen nostalgia yang seumur-umur tak akan pernah terlupakan, mungkin saat itu Li yang gila karena berani-beraninya menyatakan cinta.
Jika saja waktu dapat terulang.
"Kau mabuk."
Li berkomentar singkat; sangat singkat, ketika bibirnya selesai berpangut bersama lidah Joao yang memerah setelah selesai menenggak ludes tiga botol anggur. Bau anggur yang menguar, pun dengan wajah memerah Joao yang jelas menunjukkan bahwa pria itu sedang setengah sadar; membuat Li dengan mudah merobohkan tubuhnya ke atas tempat tidur hotel dan membuka kancing-kancing bajunya. Untung sebelum Joao menyerangnya, dia sempat mengunci pintu kamar hotel pesanan khusus untuk Joao menginap sebelum keduanya dalam keadaan yang seperti ini. Saling tindih. Li di atas Joao, dan Joao menarik lutut untuk menekan selangkang Li. Li tertawa di antara desahan, membuka sebagian kancing changshan yang tengah digunakan. Tidak perlu dibujuk apapun lagi karena Joao sepertinya akan liar malam ini.
"Kau tidak suka aku mabuk?"
"Tidak— tidak. Bukan begitu, Joao. Hanya saja rasanya akan semakin menggairahkan jika kau mabuk seperti ini, jadi aku tidak perlu repot-repot memberimu chang san."
Terdiam beberapa saat, Joao menggeleng tidak mengerti dengan pandangan penuh berkabut. Li rasa keadaannya yang mabuk membuat Joao lantas tidak dapat berfokus bahkan hanya untuk mendengarkan pembicaraannya.
"Huh? Changshan? Maksudmu pakaian yang kau gunakan itu—"
"Chang san, bukan changshan. Kau tahu apa itu? Obat kuat."
Li tidak lanjut berkata-kata sementara giginya mulai menggigiti ceruk leher Joao, satu kali, dua kali; berkali-kali. Satu rabaan menyentuh puting membuat Joao melengkungkan tubuh, spontan menjambak rambutnya defensif. Anggur sialan sudah membuat pikirannya kacau, dan Joao rasanya dapat mendengar tawa penuh kemenangan Li yang berhasil mendominan tubuhnya tanpa perlu bersusah payah.
"Li, berhenti—"
Sang hegemoni menarik jilatan dari leher yang semakin lama turun ke perut bagian bawah, tersenyum skeptis, tidak mendengarkan.
Tengah malam. Kurang lebih tujuh jam Joao puas berkeliling menjajali semua sudut kasino, mengeluh karena kehilangan lebih dari setengah uang yang dibawanya dari Portugal. Li berbaik hati mengganti semua uangnya asalkan Joao bisa tinggal lebih lama di Macau, menemaninya. Terdengar seperti bual memang, tapi anehnya Joao tidak menolak apapun dengan alasan melarikan diri dari penat. Lalu, sekalian berpuas-puasan libur. Li merasakan panas yang meledak-ledak menekan perutnya, membuatnya berbalik menempatkan perhatian— lancang menekan selangkang Joao lebih kuat dari yang sebelumnya pria latin itu lakukan pada bagian bawah tubuhnya.
"Ereksi. Haruskah aku memberimu servis?"
"Sim. Gunakan mulutmu."
Sayang rasanya jika dia harus menghentikan aktifitas di tengah-tengah suasana panas begini, mengingat membujuk Joao bercinta saja sulitnya setengah mati. Beberapa tahun mereka berhubungan setelah kejadian itu, hanya sesekali keduanya melakukan seks ketika kunjungan Li ke Portugal, atau sebaliknya. Seperti saat ini. Minimal satu kali dalam setiap pertemuan. Dengan begitu Li mulai menyesap privasi Joao hingga ke pangkal kerongkongannya.
Desahan nikmat bertubi-tubi meluncur dari mulut personifikasi Portugis yang beberapa saat lalu dimabuk napsu, menjambak rambut oriental Li yang sudah basah oleh keringatnya sendiri. Kacamata pria itu belum jua dilepas— Joao baru menyadarinya ketika Li semakin kencang memprenetasi kelaminnya dengan begitu binal. Waktu cepat berlalu dengan Joao yang meringis mati-matian, menyalahkan efek alkohol yang membuatnya merasa lebih cepat ejakulasi dibanding waktu biasanya. "Berhenti—" Li menatap penuh ketidak mengertian ketika Joao menarik paksa kepalanya, bersamaan dengan cairan yang mendadak sebagian menyiprat wajahnya. Joao datang dengan servis murahan. Li menarik kacamatanya yang berkabut kotor, tersenyum puas.
"Banyak sekali."
"Maaf."
Li menggeleng, tiba-tiba beranjak dari posisinya, dalih meletakkan kacamata pada permukaan meja— dia akan membersihkannya nanti. Kepalanya mencari-cari sesuatu di antara tumpukan bukaan lemari, beberapa menit, "oh. Sial."— mengeluh dengan sederet kata Tionghoa kemudian, Joao yang giliran menatapnya penuh ketidak mengertian.
"Kondom. Aku lupa membelinya." Li berkata sebelum Joao melontarkan pertanyaan, dan tanpa diduga dia malah menanggapinya dengan tawa nelangsa, menertawakan keluguannya.
"Untuk apa? Kau bisa langsung melakukannya tanpa menggunakan itu."
"Tidak. Kurasa itu kurang aman—"
"Kau boleh khawatir jika aku seorang wanita, tapi pria tidak akan bisa hamil hanya karena dimasuki sekali." Joao memincingkan matanya dan menarik lengan Li hingga pria itu kembali terjatuh tepat di atas tubuhnya, mengelus permukaan pipi pria Asia itu dan mencium bibirnya sekali lagi, melebarkan paha dalamnya. "Lakukan."
Li sebenarnya ragu, tapi mengingat Joao adalah tipe yang tidak sabaran jka sudah memiliki keinginan, membuatnya menarik senyum. Dia kira empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk memahami sifat mantan kolonialnya— atau bisa kau bilang, kekasihnya; untuk sekarang. Li memejamkan matanya, menyamankan posisi. "Shì."
Keadaan celananya yang terbuka; tanpa perlu lagi repot-repot diturunkan, memudahkan pria itu memasukkan ereksinya dalam sekali hentakan.
Joao mencakar punggung pria di atasnya untuk menahan rasa sakit, melolong panjang. Dua tiga sodokan brutal tanpa menunggu penyesuaian dari seorang negara (kota) Asia jujur saja membuatnya kewalahan. Li yang tiba-tiba menarik tubuhnya untuk berposisi duduk memaksa tangannya untuk menjaga keseimbangan. Rambut panjangnya sudah berantakan tidak keruan; Joao merasa aneh jika harus mengikat rambut ketika sesi panas seperti ini. Erangan namanya memaksa Li untuk beradu pandang dengan Joao; yang kemudian melumat bibirnya, menahan desahannya sendiri. Tubuhnya sudah terasa lengket akibat keringat dan sisa pejuh yang bercampur semraut. Li menggigit kasar perpotongan leher, mendekap tubuh Joao erat.
"Ahhh—"
Dan teriakan Joao mengakhiri pergelutan panas malam itu, ambruk, dengan Li yang mengeluarkan eksistensinya di dalam. Satu tarikan napas berat dari representatif negara kota Macau, menarik tubuhnya untuk tidak terlalu lama bersatu dengan pria di bawahnya. Joao masih sibuk mengatur napasnya yang terputus-putus, hangat yang perlahan memenuhi perut membuatnya serasa tergelitik. Li mencari selimut terdekat untuk menutupi tubuh keduanya, berbaring menghadap Joao yang juga menghadapnya. Saling tatap dalam diam. Joao merutuk apakah karena alkohol, hasrat, atau Li yang memang tidak bisa mengendalikan diri; membuat mereka berakhir seperti ini. Otaknya memanas. Ngeri membayangkan keselamatan bokongnya beberapa hari ke depan selama tinggal di Macau.
"Li."
"Ya?"
Joao yang menarik senyum tiba-tiba itu membuat Li sedikit salah tingkah.
"Eu te amo. Jangan pernah meninggalkanku. Kau milikku."
Kolonialisme yang tidak pernah ada akhirnya. Bayangkan jika tahun seribu enam ratus Joao tidak menemukannya, akan jadi apa dia sekarang? Karena Joao lah yang memperkenalkannya pada dunia. Karena Joao lah yang menjadikannya seperti sekarang. Pernah dia menyesali kenapa hasil keputusan membawanya kembali kepada China, sayang sekali dia tidak bisa menolak apapun. Sebab awal mulanya dia tetaplah kepemilikan China, bukan Portugal.
Satu pangutan terakhir sebelum mereka mengakhiri kegiatan malam itu, Li menarik punggung tangan Joao dan mengecupnya khidmat.
"Aku bersumpah."
( Joao seakan berjalan di lorong mimpi, membiarkan dirinya terhanyut membayangkan jika saja waktu dapat terulang dan dia dapat mempertahankan Macau sebagai tanah kekuasaan mutlaknya. )
A/N :
Akhirnya selesai ini fanfiksi. Bleh. Sumpah gw buntu sama judulnya, jadi abaikan aja bagian itu.
Akhir2 ini gw keracunan asupan MacauPort yang-entah-darimana-cerita. Pokoknya intinya gara-gara iseng baca sejarah terus ketemu kenyataan dulu Portugis itu mantan kolonialnya Macau, ya— terus gw jadi gak heran sekarang kenapa dulu awal-awal gw mendem di APH ketemu sama fanart MacauPort. Gak nyangka ternyata ini kapal manis (pake) banget.
Kemarilah wahai kalian wajah penghuni kapal MacauPort. Kubangkitkan kapal minor ini dengan memperbanyak hint humu.
