Matahari bersinar terik, suhu bumi meningkat membuat semua pejalan kaki mengeluarkan banyak keringan dan membasahi pakaian mereka. Ditambah lagi asap sisa pembakaran yang dihasilkan oleh beberapa kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya, membuat udara sekitar terkena polusi. Hampir semua pejalan kaki memegang sebotol minuman isotonik yang isinya sudah deteguk setengahnya, beberapa malah ada yang menempelkan botol minuman itu ke wajah untuk menikmati sensasi dinginnya. Cuaca panas sekali, padahal menurut perkiraan cuaca yang disiarkan pagi tadi di televisi cuaca hari ini adalah cerah berawan. Semua orang merasa kepanasan.

Begitu juga dengan seorang pemuda bersurai merah dan memakai setelan jas berwarna hitam. Beberapa menit yang lalu, pakaian pemuda itu masih rapi dengan semua kancing masih tersematkan kedalam lubangnya masing-masing. Tetapi sekarang, semua kancing itu sudah dilepas, dasi dilonggarkan, surai yang tadinya tersisir rapi jadi sedikit berantakan akibat gerakan tangan yang menyeka keringat.

Pemuda itu, Akashi Seijuurou, terus berjalan sambil mempertahankan wibawanya. Dalam hati dia terus mengutuki orang yang membuatnya jadi seperti ini sekarang. Padahal jika bukan karena orang itu, dia pasti sudah berada didalam apartemennya yang mewah. Salahkan supirnya, Tanaka-san, yang lupa mengecek rutin keadaan mobil bosnya. Akhirnya, Akashi terpaksa berjalan kaki menuju apartemen mewahnya karena mobilnya mogok ditengah jalan. Lokasi mobil mogok itu memang tidak terlalu jauh dari kompleks apartemennya, jadi Akashi memilih berjalan kaki meskipun dia sebenarnya bisa memanggil taksi. Hitung-hitung refreshing katanya. Lagi pula, perkiraan cuaca mengatakan hari ini akan cerah berawan.

Tapi Akashi tidak menyangkan perkiraan cuaca yang disiarkan di televisi itu tak seabsolut dirinya. Setelah berjarak beberapa meter dari mobilnya, matahari justru tiba-tiba semangat menyinari bumi. Akashi sempat berbalik, mungkin dia memang harus memanggil taksi, tapi dia tidak mau berjalan kembali ke mobilnya yang berada dipinggir jalan, jadi dia putuskan untuk lanjut berjalan kaki.

Dan disinilah dia sekarang, dengan keadaan yang sangat menyedihkan – jika dilihat dari sudut pandang keluarga Akashi yang elegan – berjalan menuju apartemen mewah, membelah lautan manusia sebagai sesama pejalan kaki.

Akashi sudah hampir sampai ke apartemennya, tinggal belok kiri di perempatan didepan sana. Sebelum itu dia akan melawati taman kanak-kanak. Akashi mulai menyusun rencana jika sudah sampai di apartemennya. Dimulai dari membuka sepatu lalu menyimpannya di rak, berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman dingin, lalu ke kamar berganti pakaian, trus ke kamar mandi untuk berendam air dingin. Membayangkannya saja membuat tubuh Akashi mulai sedikit merasakan sensasi dingin.

Saat sedang asyik-asyik menyusun rencananya, dia tidak senganja ditabrak – bukan, menabrak seseorang saat akan melewati tikungan. Akashi dan orang itu terpental kebelakang. Bersyukurlah karena Akashi memiliki refleks yang cepat sehingga dia tidak jatuh terduduk dengan bokong mendarat ditanah duluan seperti orang yang menabrak – bukan, yang ditabraknya.

"Hei, kau!" tegur Akashi saat melihat orang itu tengah berjongkok memunguti tumpukan kertasnya yang tercecer ke tanah akibat insiden tadi. Karena posisi Akashi yang masih berdiri, membuatnya melihat kearah orang itu dengan sorot mata merendahkan. "Kau berani menbra –"

"Sumimasen. Hontou ni sumimasen deshita" potong orang itu setelah berhasil mengumpulkan semua kertasnya dan berdiri lalu membungkuk sembilanpuluh derajat kearah Akashi. "Sumimasen" sahut orang itu lagi.

"Kau! Beraninya memotong kalimatku!" Akashi mulai geram. Sepertinya akibat panas matahari membuatnya mudah emosi.

Orang didepannya mulai mengakkan badannya dan menatap Akashi dengan manik biru mudanya, surai sewarna langitnnya bergerak seirama dengan gerak badannya. Proses itu terjadi sangat lama dimata Akashi, seperti adegan slow motion saat si pemeran utama pria bertemu dengan si pemeran utama wanita. Akashi terpesona, meski wajahnya tetap tak berubah, datar.

"Sumimasen," kata si surai biru lagi. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, datar lebih datar dibandingkan wajah Akashi.

Akashi tidak bergeming, tetap diam ditempatnya. Manik dwiwarnanya terus terfokus pada makhluk ciptaan tuhan yang paling manis yang berdiri tepat didepannya. Sejenak dia berpikir, tak ada salahnya juga dia berjalan kaki menuju apartemennya saat ini. Bahkan dia sempat memikirkan untuk menaikkan gaji Tanaka-san.

Manik biru muda didepan Akashi menatap Akashi dengan pandangan khawatir meskipun wajahnya tak menunjukkan hal itu. "Ano… Apa anda baik-baik saja? Apa anda terluka?"

Akashi terkesiap. Mengerjapkan matanya beberapa kali, mengembalikan semua kesadarannya setelah sejenak dibawa terbang ke alam fantasinya sendiri. "Ah, ya. Aku baik-baik saja" dan untuk pertama kalinya Akashi menyesal berkata jujur. Padahal jika sedikit saja berbohong mungkin dia bisa lebih mengenal makhluk biru muda didepannya.

"Syukurlah. Kalau begitu saya permisi dulu," sahut si makhluk bersurai biru lalu membungkuk sejenak dan berjalan meninggalkan Akashi. Tanpa diketahui si makhluk paling manis, pemuda dibelakangnya berseringai lebar sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh.

_ Surat Lamaran _


SURAT LAMARAN

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi-sensei

Story and OCs belongs to Miho Haruka

Rated: T

Pairing: AkaKuro, etc.

Warning: BL, OOC, typo(s), gaje, OC, abal-abal, etc.

Genre : Romance, little bit Humor

Summary: Akashi, pemilik perusahaan besar tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama pada seseorang yang misterius/Badsummary/BL/


Seminggu setelah pertemuannya dengan si makhluk bersurai biru. Akashi mulai bersikap aneh, awalnya dia hanya membiarkan si makhluk unyu itu terus muncul dikepalanya, tapi tidak untuk hari ini. Soalnya, sudah seminggu setelah pertemuan itu, Akashi tidak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan dia sudah beberapa kali sengaja membuat Tanaka-san pulang duluan karena ingin berjalan kaki menuju apartemennya. Mungkin saja dia bisa bertemu lagi dengan orang itu.

Dan saat ini Akashi sadar, kalau hatinya telah dicuri sejak seminggu yang lalu. Ya, dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan orang yang menabraknya. Tak bisa dipercaya memang, tapi begitulah kenyataanya. Saat pertama melihat mata orang itu, Akashi seperti tersedot kedalam kilauan berwarna biru muda yang menenangkan itu, belum lagi suaranya yang memanjakan indra pendengarannya. Mungkin, jika Kise melihatnya, dia akan berteriak histeris sambil berteriak "Tenshi-cchi!" berulang-ulang. Bahkan mungkin dia akan memeluknya sampai orang itu kesulitan bernafas.

Karena hal itu, Akashi jadi tidak mempermasalahkan tentang gender mereka yang sama. Sekali lagi, ya, mereka sama-sama keturunan Adam, sama-sama laki-laki. Meskipun awalnya Akashi mengira pemuda yang menbraknya itu adalah seorang gadis, tetapi saat melihat potongan rambut, postur tubuh, dan pakaiannya, Akashi yakin, orang yang didepannya memang seorang laki-laki.

Tapi dia sudah tak perduli, hatinya telah dicuri. Cupid mungkin sedang mencoba bermain-main dengannya, dengan Akashi Seijuurou yang terkenal absolut. Karena setelah itu, mereka tak dipertemukan kembali. Akashi jadi terkena penyakit galau karena tidak bisa bertemu dengan si pencuri hati. Salahnya juga mungkin, kenapa saat itu dia tidak menanyakan nama pemuda itu, dimana dia tinggal, nomor telponnya, bahkan kalau perlu alamat orang tuanya.

Akashi menghela nafas, lelah. Dia lelah memikirkan pemuda bersurai biru itu. Punggungnya dia sandarkan dengan kasar di kursi kerjanya. Tangannya tak henti-hentinya mengacak-ngacak surai merahnya, manik dwiwarnanya menatap kelangit melalui jendela besar dibelakang meja kerjanya. Akashi menghela nafas lagi.

Midorima yang duduk tak jauh dari tempat Akashi, bosnya, terus memperhatikan gerak-gerik Akashi yang sebenarnya membuatnya khawatir sekaligus penasaran. Dan ketika Akashi kembali mengehela nafas untuk yang kesekian kalinya hari ini, Midorima tak bisa lagi menahan pertanyaan yang dari tadi tertahan di mulutnya.

"Akashi, kau ini sebenarnya kenapa nanodayo?" tanya Midorima sambil menatap kearah Akashi yang memunggunginya. Akashi tertarik ke dunia nyata. Dia lalu memutar kursinya menghadap kearah Midorima. "Bukan berarti aku peduli dengan urusanmu nanodayo. Aku bertanya karena kau terus saja mengeluarkan aura negatif yang bisa menganggu konsentrasiku nanodayo!" lanjut Midorima cepat.

Akashi terus menatap kearah Midorima, berpikir bagaimana supaya orang yang jadi tangan kanannya ini bisa dia gunakan untuk membantu masalahnya. "Bukan apa-apa" jawab Akashi kalem, kali ini pandangnnya terarah ke tumpukan kertas diatas mejanya.

Midorima memperbaiki letak kacamatanya. "Oh iya, Momoi tadi telepon nanodayo. Katanya lusa dia mau kita semua berkumpul di Majiba. Ada yang ingin dia diskusikan. Apa kau mau pergi nanodayo?"

Akashi masih terdiam. Bicara soal Momoi mengingatkannya dengan teman berkulit tan-nya yang sekarang sudah berhasil menjadi kepala di kantor cabang kepolisian. Ide cemerlang terlintas di otaknya. "Shintaro" panggil Akashi membuat Midorima segera menengadahkan kepala dan menatap Akashi. "Panggil Daiki kemari, aku ingin bicara dengannya," perintah Akashi.

Tanpa banyak tanya Midorima segera menghubungi Aomine. Mereka sempat beradu argument. Midorima juga hampir saja lepas kendali.

"Pokoknya ini perintah Akashi nanodayo. Aku tak tanggung jawab kalau nanti kau kena musibah nanodayo!" bentak Midorima lalu memutuskan sambungan.

_ Surat Lamaran _

Aomine merubuhkan tubuhnya kasar keatas sofa di ruang kerja Akashi. Dia tak perduli Midorima sedang melotot kearahnya. Moodnya sedang buruk hari ini. Bermula dari panggilan Midorima ditengah-tengah kesibukannya memeriksa semua dokumen yang diberikan bawahannya. Lalu dalam panggilan itu muncul nama Akashi yang hanya didengar namanya saja sudah membuat Aomine keringat dingin. Mau tak mau dia harus meninggalkan berkas-berkas dokumen diruang kerjanya.

"Kenapa kau memanggilku kesini, Akashi?" Aomine tak mau basa basi.

Akashi berdiri dari kursinya lalu berjalan menuju sofa dan duduk didepan Aomine. Mereka hanya dipisahkan oleh meja kecil dengan tinggi selutut orang dewasa. "Aku membutuhkan bantuanmu," nadanya bukan seperti meminta, tapi lebih ke menyuruh.

Aomine terbelalak sambil menatap Akashi. Midorima yang baru saja akan menyusul duduk di sofa menghentikan langkahnya. "Yang benar saja? Bukannya kau lebih banyak memiliki koneksi dibandingkan aku?" tanya Aomine tak percaya.

"Kalau aku bisa, aku takkan meminta bantuanmu," aura gelap mulai menyelimuti tubuh Akashi.

"Baiklah, apa yang kau inginkan?" Aomine menjawab tanpa pikir panjang. Dia mulai keringat dingin lagi melihat aura gelap mulai menyellimuti Akashi.

"Aku ingin kau mencari seseorang. Aku tak punya fotonya, aku tak tahu nama dan alamatnya. Jadi aku hanya akan memberikanmu ciri-cirinya"

Aomine kembali terbelalak. Bagaiana caranya mencari orang yang fotonya saja tidak ada. Setelah mengehela nafas dan mengambil pulpen dan buku saku, Aomine menatap Akashi, "sebutkan ciri-cirinya"

Akashi menyeringai, membuat Aomine dan Midorima yang sudah bergabung dengan Akashi dan Aomine, merinding. "Rambutnya berwarna biru, matanya besar dan bermanik biru, kulitnya pucat, tingginya lebih pendek dariku beberapa senti. Ekspresiya datar"

Aomine sibuk mencatat. "Baiklah, aku akan kembali ke kantor," setelah mengatakan itu Aomine berdiri dan berjalan kearah pintu.

"Waktumu hanya dua hari," Akashi kembali menyeringai membuat Aomine tidak jadi mengeluarkan protesnya.

_ Surat Lamaran _

Akashi duduk sambil melipat kedua lengannya didepan dadanya. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi didalam hati dia mulai kesal karena orang yang paling ditunggunya justru datang terlambat.

Hari ini adalah hari dimana Momoi memanggil keempat temannya untuk bertemu di Majiba. Akashi datang tepat waktu, tidak terlalu cepat juga tidak terlambat. Momoi datang lima menit sesudah Midorima. Kise datang tiga menit sebelum Momoi. sedangkan Midorma datang sepuluh menit sebelum Akashi. Momoi belum mau memulai diskusinya karena Aomine, teman sejak masa kecilnya, belum juga menampakkan batang hidungnya.

"Momoi. Sampai kapan kau akan membuat kami menunggu nanodayo? Pekerjaanku masih sangat banyak nanodayo!" keluh Midorima, "bukan berarti aku tertarik dengan masalah yang ingin kau diskusikan nanodayo"

"Tidak apa kan, Midorima-cchi! Sekali-sekali juga kita perlu berkumpul seperti ini-ssu," sahut Kise kegirangan. Soalnya untuk pertama kali setelah enam bulan tidak bertemu mereka bisa kumpul lagi seperti ini. Untunglah hari ini dia sedang dalam masa libur.

Midorima hanya menatap kesal sambil menaikkan kacamatanya.

"Satsuki," suara panggilan yang membuat sesisi meja tempat Momoi dan teman-temannya berkumpul merinding akhirnya terdengar. "Sekarang juga cepat hubungi Daiki," perintah Akashi yang langsung dibalas dengan anggukan cepat dari Momoi.

Momoi lalu merogoh tas kecilnya berwarna yang berwarna merah muda senada dengan surainya, mengambil ponsel, lalu menekan-nekan tombolnya. Tak lama kemudian terdengar suara sahutan dari orang yang diseberang. Momoi sibuk berbicara dengan lawana bicaranya di telepon.

"Iya, iya! Aku tau!" sahut suara yang sangat dikenali Momoi diikuti sura pintu masuk dibelakang mereka terbuka. "Aku sudah sampai, jadi berhentilah berbicara!"

Momoi memutuskan sambungan ketika melihat Aomine berjalan kearah mereka. Akashi menatap Aomine dengan tatapan tajam seolah-olah mengatakan 'kau pasti membawa sesuatu yang berguna kan, sebagai ganti waktuku yang berharga'. Dari pada menghabiskan waktu menunggu Aomine, Akashi lebih memilih menghabiskan waktunya untuk memikirkan makhluk birunya tercinta.

Aomine mengambil duduk disamping Momoi, didepan Kise. Midorima berada didekat jendela, berhadapan dengan Momoi. Sedangkan Akashi duduk ditengah-tengah Kise dan Midorima.

"Apa yang mau kau diskusikan, Satsuki?" tanya Aomine to the point. Mengabaikan perintah Akashi yang diberikan padanya dua hari yang lalu.

Momoi senyam senyum sambil menundukkan kepalanya, suarai merah mudanya mengikuti pergerakan tubuhnya. Dia lalu menengadah, menatap keempat temannya dengan mata menyorotkan tekad bulat. "Aku memutuskan untuk membuka TK!"

Mahkluk selain Momoi dan Akashi yang berada di meja itu terdiam. Menatap Momoi tanpa ekspresi. Mereka sudah yakin Momoi memanggil mereka hanya untuk masalah sepele.

"Bukannya enam bulan yang lalu kau membuka tempat kursus, Momoi-cchi?" Kise akhirnya menyahut setelah keheningan berlangsung lima menit.

Momoi mengangguk. "Kali ini aku sedang terobsesi untuk membuka TK yang bergengsi!" sahut Momoi sambil mengepalkan tangannya sejajar dada. "Tenang saja. Aku sudah memikirkan semuanya, kok! Lagi pula, beberapa teman kuliahku dulu juga mau membantu"

"Terserah kau sajalah! Tapi hubungannya dengan kami apa?" Aomine tampak tak perduli. Dia sudah bosan karena Momoi selalu memanggil mereka berkumpul hanya untuk membicarakan tentang tempat pendidikan yang ingin dia bangun.

"Ada hubungannya! Aku ingin kalian semua membantuku. Pertama Ki-chan, aku ingin kau menelpon teman lamamu sewaktu kau jadi model dulu. Aku ingin mempromosikan TK-ku. Lalu Midorin, aku ingin kau jadi dokter untuk murid-muridku di TK. Lalu Daiki-chan, keamanan saat pembukaan kuserahkan padamu ya, solanya calon muridku anak-anak orang kaya. Sedangkan Akashi-kun…" Momoi sedikit ragu meminta bantuan dari teman absolutnya yang satu ini.

Akashi menatap Momoi, "jika kau ingin sponsor, Shintarou akan mengurusnya untukmu." Momoi tersenyum senang. Sementara Midorima menatap tak percaya, bertambah lagi satu pekerjaannya. "Pembahasan selesai. Daiki, apa kau membawa apa yang ku perintahkan?" tanya Akashi dengan nada absolutnya.

Aomine mengehela nafas sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas. Momoi dan Kise yang tidak tau apa-apa hanya menatap kertas itu dengan rasa keingin tahuan yang tinggi. Midorima menaikkan lagi kacamatanya, sedangkan Akashi berseringai lebar.

"Aku hanya dapat data segini." Aomine meletakkan beberapa lembar kertas itu diatas meja setelah menggeser beberapa piring dan gelas minuman didepannya. Momoi terbelalak kaget, dia melihat foto seseorang yang dikenalnya. "Namanya Kuroko Tetsuya. Lahir tanggal 31 Januari. Zoadiaknya aquarius. Seangkatan dengan kita. Dia lulusan Universitas Tousei, jurusan manajemen. Dia baru pindah kesini beberapa minggu yang lalu. Saat ini dia tinggal bersama saudara jauhnya. Saudara jauhnya itu tinggal satu kompleks apartemen denganmu, Akashi. Kabarnya dia pewaris tunggal salah satu restoran siap saji yang terkenal di kota ini. Hanya saja, karena merasa kurang pengalaman, dia memilih untuk memberikan posisi itu untuk saudara jauhnya sampai dia siap," Aomine menghentikan laporannya lalu merebut paksa minuman yang sedang dipegang Kise.

Diatas kertas yang dibawa Aomine terdapat foto Kuroko sedang tersenyum tipis dengan surai birunya, membuat Kise terpaku dan tidak sadar Aomine mangambil minumannya. Seringai Akashi makin lebar mengetahui pemilik hatinya ternyata sangat dekat dengannya. Midorima menatap tak percaya, ternyata pemuda seperti ini yang berhasil membuat bosnya bersikap aneh beberapa hari ini.

"Tetsu-kun?" sahut Momoi masih menatap foto Kuroko.

Akashi seketika menatap Momoi. "Kau mengenalnya, Satsuki?" Momoi hanya mengangguk.

"Kalian ingat aku pernah ikut pertukaran mahasiswa, kan? Saat itu aku di transfer di Universitas Tousei. Disana aku tidak sengaja bertemu dengan Tetsu-kun yang sedang membaca diperpustakaan. Sejak saat itu dia jadi temanku, meskipun aku inginnya bukan teman sih," Momoi bercerita dengan pipi merona merah, membuat satu alis Akashi berkedut.

Suasana jadi hening. Jadi selama ini, orang yang dicarinya ternyata kenalan dari temannya. Padahal selama ini dia kebingungan mencari jejak. Untuk kedua kalinya Akashi merasa dipermainkan oleh takdir. Dikepalanya sempat terbesit pikiran jika saja dia yang dulu menggantikan Momoi ikut pertukaran mahasiswa, pasti dia sudah dari dulu bertemu dengan pujaan hatinya.

"Ah iya!" pekik Momoi tertahan membuat seisi meja mengalihkan padangan mereka kearah Momoi. "Aku hampir lupa. Akashi-kun, lokasi TK yang akan aku buka dekat dengan kompleks apartemenmu"

"Aah, TK yang ada didekat perempatan itu," Akashi terlihat tak perduli, pikirannya kembali terisi oleh Kuroko.

"Trus, Tetsu-kun bilang dia mau ikutan mengajar karena apartemennya dekat dengan TK-ku" sambung Momoi membuat Midorima, Kise, dan Aomine terbelalak ditempat. Kecuali Akashi, tentunya. Bukan, bukan karena dia tidak kaget, tapi karena saat ini otak absolutnya sedang terhambat mengolah informasi.

"Berarti aku bisa bertemu dengan Kuroko-cchi!" sahut Kise pertama, rupanya dia mulai kecantol dengan keimutan Kuroko.

"Aku penasaran. Ternyata ada juga cowok lain yang bisa dekat denganmu, Satsuki" sahut Aomine meremehkan, membuat Momoi memanyunkan bibirnya, kesal.

Sedangkan Midorima tetap diam. Dalam hati sebenarnya dia juga penasaran dengan sosok Kuroko.

Otak Akashi akhirnya selesai memproses data. Matanya sedetik terbelalak lalu kembali seperti biasa. Dan entah sejak detik keberapa setelah sadar, di otaknya sudah tersusun skenario-skenario untuk bertemu dengan pujaan hatinya.

Sementara itu, tanpa Akashi dan teman – budak – nya sadari, seseorang dengan surai biru muda dan manik mata berwarna senada sedang membuka pintu masuk Majiba. Wajahnya tanpa ekspresi. Pakaiannya juga terlihat biasa. Kulit pucatnya terlihat berpendar akibat terpaan sinar lampu ruangan.

"Irrashai, Tetsuya-sama," sapa salah seorang pelayan sambil membungkuk kearah Kuroko, si makhluk bersurai biru.

"Tolong hentikan itu. Sekarang aku adalah pelanggan," pinta Kuroko tak enak. Pelayan itu segera menegakkan badannya lalu tersenyum ramah.

"Baik, Kuroko– tuan" balas si pelayan lalu mengantar Kuroko ke tempat kosong yang letaknya dibelakang tempat duduk Akashi. Akashi dan teman – budak – nya tidak menyadari Kuroko lewat karena tubuh Kuroko yang lumayan imut terhalang oleh tubuh pelayan yang berjalan disampingnya. Mereka juga tidak menyadari Kuroko duduk disebelah mereka karena ada sekat setinggi dada orang dewasa diantara kursi Kuroko dan Akashi.

"Yang seperti biasa ya, tuan?" tanya pelayan itu. Kuroko hanya mengangguk. "Apa tuan tidak ingin makan sesuatu?" Kuroko membalasnya dengan menggeleng. Baginya segelas vanilla milkshake saja sudah cukup mengenyangkan. "Tunggu sebentar ya, tuan," sahut pelayan itu lalu berjalan menuju ke meja frontier.

Jantung Akashi tiba-tiba berdegup kencang. Dia sendiri tidak tau kenapa. Biasanya jantungnya begini saat dia melihat Kuroko. Matanya segera memeriksa seluruh penjuru ruangan, tapi dia tidak menemukan seseorang bersurai biru muda dari sudut penglihatannya. Sedangkan Aomine mulai menyadari sesuatu yang familiar duduk dibelakang Akashi. Sedikit dia bisa melihat sesuatu berwarna biru muda dari balik sekat itu.

Lalu saat masing-masing sedang sibuk dengan pikirannya, Aomine merasa ada seseorang yang mendekati meja mereka. Karena merasa tidak kenal dia cuek saja.

"Ano…" sapa orang itu membuat seisi meja tertegun karena suaranya yang halus. "Apa ada salah satu dari kalian yang membawa pulpen?" tanya orang itu.

Akashi yang menengadah duluan seketika terpana melihat keindahan didepannya. Begitu pula teman – budak – nya yang lain. Aomine tersadar duluan buru-buru membereskan beberapa kertas yang bersisi tentang biodata Kuroko dari atas meja.

"Eh?" Kuroko menatap semua makhluk didepannya dengan tatapan bingung. Firasat buruk mulai dirasakan Aomine. Jangan-jangan dia sempat melihat kertas itu, batin Aomine sambil sedikit keringat dingin. Ia tidak mau dituduh stalker oleh makhluk manis yang berdiri disampingnya ini. "Momoi-san?" sapa Kuroko. Meski dirinya kaget, wajahnya tak menujukkan hal itu.

"Tetsu-kun!" pekik Momoi sambil berdiri ingin menerjang kearah Kuroko. Tapi karena ada Aomine langkahnya terhenti. Sementara itu, Kise yang punya posisi paling ujung segera berdiri lalu memeluk Kuroko.

"Kau manis sekali-ssu! Beneran-ssu!" pekik Kise. Kuroko yang berada dipelukannya mulai susah bernafas. Meskipun otaknya tau orang yang memeluknya ini orang tak dikenal, tapi dia tidak bisa apa-apa karena tubuhnya sudah sepenuhnya terkunci.

"Ryouta. Kau bisa membunuhnya," tegur Akashi kalem meskipun dalam hati dirinya ingin sekali menghukum Kise lari keliling lapangan seperti yangs sering dia lakukan dulu. Berani sekali Kise menyentuh miliknya, begitulah yang ada dipikiran Akashi sekarang.

Kise melepakan pelukan mautnya. Dia masih ingin selamat dan masih ingin puas-puas menatap keindahan disampingnya sekarang ini.

"Domo, Momoi-san" sapa Kuroko sopan lalu membungkuk sejenak. Momoi membalasnya dengan tersenyum ramah. Akashi sedikit cemburu, soalnya Kuroko hanya menyapa Momoi dan tidak menyapanya. "Maaf, Momoi-san. Apa kau membawa pulpen? Sekarang aku sedang membutuhkannya, tapi aku lupa membawanya."

"Iya. Tunggu sebentar ya, Tetsu-kun" Momoi kembali merogoh tasnya. Saat masih kesulitan mencari pulpen, Momoi melihat Akashi yag tiba-tiba berdiri lalu menyodorkan sesuatu pada Kuroko.

"Kau bisa menggunakan punyaku," kata Akashi sambil menyodorkan pulpen membuat Momoi berhenti sejenak dari pencariannya. Kuroko menatap pulpen Akashi ragu. Menurut kakak yang merupakan saudara jauhnya, jangan mau menerima apapun dari orang yang tidak dikenal.

"Terima kasih, tapi –"

"Pakai saja punyaku" kali ini Akashi sedikit memaksa dengan suara absolutnya. Membuat teman – budak – nya terdiam dengan keringat bercucuran.

"Tapi –" Koroko masih mencoba menolak.

Akashi menatap Momoi tajam. Paham dengan maksud tatapan Akashi, Momoi hanya bisa menelan ludah. "Pakai saja pulpen itu Tetsu-kun. Ternyata aku juga lupa membawa pulpen," Momoi terpaksa berbohong, dalam hati dia terus merapalkan kata maaf untuk Kuroko.

Kuroko terpaksa mengambil pulpen yang sepertinya lumayan mahal itu, meskipun masih sedikit ragu. "Terima kasih, ano…"

"Akashi. Akashi Seijuurou. Tapi kau boleh memanggilku Seijuurou," Akashi memperkenalkan diri. Dirinya merasa di tempat ini hanya ada Kuroko dan dirinya, dia tidak perduli dengan teman – budak – nya yang lain.

"Terima kasih, Akashi-kun," sahut Kuroko lalu membungkuk berniat untuk pamit. Tapi tiba-tiba lengannya ditahan seseorang.

"Panggil aku Seijuurou," rupanya Akashi keberatan dengan cara Kuroko memanggilnya. Kuroko mulai merasa risih. Momoi yang menyadarinya tidak bisa berbuat banyak.

"Maaf, Akashi-kun. Bisa lepaskan tangan ku?" pinta Kuroko pelan sambil mencoba melepaskan tangan Akashi.

"Seijuurou" Akashi masih bersikeras. "Panggil aku Seijurou, baru aku lepaskan"

"Akashi-kun atau tidak sama sekali," Kuroko mulai kesal dia lalu melepas paksa tangan Akashi dan lengannya lalu menatap Akashi dengan tatapan tak suka.

Akashi terpaku. Baru kali ini ada yang menentang perintahnya. Dia masih shock meskipun hanya orang tertentu yang bisa menyadarinya. Sayangnya Kuroko tak termasuk orang-orang tertentu itu.

Suasana jadi sedikit tegang. Tiba-tiba suara gonggongan anjing terdengar. Anjing itu berlari menuju kearah Kuroko. Kuroko terkesiap saat anjing itu bermanja-manja di kaki Kuroko.

"Niigou! Kenapa kau ada disini?" tanya Kuroko kaget meski wajahnya tetap saja datar sambil mengendong anjing berwarna hitam dan putih itu kedalam pelukannya. Mata anjing itu mirip dengan mata Kuroko membuat Momoi hampir mimisan sedangkan Akashi semakin tidak percaya karena keberadaannya diabaikan karena anjing itu.

"Kau terlalu lama, Kuroko. Jadi Niigou tidak sabar ingin bertemu denganmu. Makanya aku bawa dia jalan-jalan, dan saat mencium aromamu, dia segera berlari kesini. Dia sampai mengabaikan aku," sahut seseorang yang berjalan kearah Kuroko.

"Maaf, Nijimura-niisan. Aku keasyikan sampai lupa waktu," jawab Kuroko pelan. Tiba-tiba dia merasa kepalanya dijatuhi beban yang tidak terlalu berat. Ternyata Nijimura ingin memulai ritualnya jika bertemu Kuroko, yaitu mengacak-acak rambut Kuroko. "Hentikan itu, Nijimura-niisan. Rambutku lumayan susah diatur!" protes Kuroko sambil sedikit memanyunkan bibirnya. Membuat beberapa manusia disekitarnya sibuk menutup hidung, mencegah mimisan.

"Manisnya" puji Nijimura. Tangannya beralih ke pipi Kuroko lalu mencubitnya. Kuroko sedikit meringgis setelah NIjimura melepaskan cubitannya. "Kau sudah memesan sesuatu?" tanya Nijimura lalu meletakkan lengannya dipundak Kuroko, mengajak Kuroko mencari tempat duduk.

"Sudah, sebentar lagi mungkin sampai" Kuroko hampir saja melupakan keberadaan Momoi dan teman-temannya. Dia lalu melepas rangkulan Nijimura lalu membungkuk pamit kearah Momoi dan teman-temannya.

"Temanmu?" tanya Nijimura sambil kembali merangkul Kuroko.

"Hanya yang bersurai merah jambu saja. Sisanya aku tak kenal," jawab Kuroko jujur.

Kuroko tak menyadari, jawaban jujur yang baru saja diungkapnya membuat beberapa kokoro retak dan hampir pecah. Sementara itu Akashi tidak melepaskan tatapan matanya dari sosok pujaan hatinya yang kini sedang dirangkul sok akrab – menurutnya – oleh orang lain. Dia sedikit cemburu melihat adegan yang harusnya dilakukan olehnya bersama si surai biru justru dilakukan oleh orang lain yang parahnya lagi didepan matanya.

Monster dalam tubuh Akashi telah terbangun, dan parahnya Kuroko tak menyadari itu.

_ Surat Lamaran _


Gomen, malah bikin cerita baru…./hehehe/

Tapi tenang saja, saya tidak akan melupakan Healers dan sebisa mungkin update cepat, jadi terus ikuti kelanjutan ceritanya, ya/ngiklan/

Cerita ini saya susun saat pelajaran Bahasa Indonesia sedang berlangsung di kelas saya /bukannnya sibuk merhatiin pelajaran, malah sibuk bikin plot cerita/

Ditunggu reviewnya, Minna-san to Senpai tachi…. ^.^

Oh iya, hari Kuroko ultah! /tebar vanilla milkshake/

Otanjoobi Omedeto, Kuroko-kun, wish you all the best and semoga jadi semakin kawaii… ^.^

Trus langgeng sama….. ^.^ /you know what I mean/

TBC or DELETE?