YU-GI-OH FANFICTION: FORBIDDEN MEMORIES

Chapter 01: End is the Beginning

Disclaimer: Kazuki Takahashi

"You're invited to the Forbidden Millennium Battle. Uncover the secret of the past, the real shadow realm, and the beginning but also the ending for the sacred duel…"

Kira-kira seperti itu isi surat yang diterima Kaiba Seto, yang saat itu berada di Amerika. Tak tahu mengapa, walau awalnya dia langsung saja membuang undangan itu sambil menggumam "Huh! Omong kosong!" yang selalu dia ucapkan setiap kali mendengar hal yang tak masuk akal, begitu melihat sebuah gambar mata udjat besar di dalam amplop yang dikirim bersama undangan tersebut, dia langsung saja meng-cancel semua jadwalnya dan menyiapkan barang-barangnya untuk berangkat ke kota Domino di keesokan harinya.

"Kakek, aku pulang!"

"Oh, Yugi, akhirnya kau pulang juga!"

"Ada apa, kek?"

"Kau dapat kiriman paket tuh."

"Dari siapa?"

"Hmmm…tak ada pengirimnya."

Mutou Yugi pun kehidupannya sudah berjalan normal. Setiap hari seperti biasa, pergi ke sekolah dengan teman-temannya, main duel monster dengan Jounouchi saat istirahat, lalu pulangnya makan burger di restoran tempat Anzu kerja sambilan, dan akhirnya kembali ke rumah lagi. Membosankan kelihatannya, tapi bagi anak laki-laki—yang masih tetap berbadan kecil, yang sekarang telah duduk di bangku kelas 3 SMA dan berumur 18 tahun itu, hal itu adalah hal yang paling menyenangkan sedunia. Walaupun dalam hatinya kadang ia berpikir, "mungkin akan lebih menyenangkan kalau 'mou hitori no boku' ada di sini."

Tapi, kehidupan normal itu pun sepertinya akan hancur lebur sebentar lagi. Sama halnya Kaiba yang menerima undangan, Yugi juga menerima sebuah paket yang berisikan undangan yang sama dan sebuah kotak bingkisan besar. Saat membaca undangan itu, jantung Yugi langsung saja berdetak kencang tak karuan, dan ia langsung saja membuka kotak bingkisan itu.

Dengan rasa penasaran dan gugup, Yugi membuka kotak bingkisan besar itu, yang ternyata isinya adalah sebuah kotak bingkisan lagi tapi kali ini ukurannya masih lebih sedikit lebih kecil. What the—?!

Yugi langsung saja mulai merasa sepertinya ini Cuma iseng saja. Tapi, melihat undangan tadi, ia masih saja merasa penasaran. Jadi, sekali lagi ia membuka kotak bingkisan itu sambil bergumam dalam hati, berharap ia benar-benar tak sedang dikerjai. Sayangnya, isi kotak bingkisan itu ternyata masih tetap kotak bingkisan lagi—tapi kali ini kotaknya dilapisi kertas kado berwarna emas. "Duh, siapa sih yang iseng kirim beginian?" Yugi sudah hampir menyerah.

Kakek Yugi hanya menahan tawa saja di belakang, membuat Yugi semakin kesal dan memutuskan untuk berhenti membuka bingkisan itu dan mau membuangnya.

Krak…krak…

Dari dalam kotak itu terdengar bunyi seperti bunyi kepingan-kepingan benda keras yang saling bertabrakan, saat Yugi mengangkat kotak itu untuk dibuang.

Yugi terhenti sesaat, membuat kakeknya bingung. Yugi merasakan sesuatu yang aneh. Ia kenal bunyi itu. Aneh! Padahal itu bukan hal yang istimewa, mungkin saja isinya Cuma sampah, atau mainan yang sudah pecah. Tidak! Walau begitu, bunyi itu terasa sangat familiar. Seolah terpanggil oleh sesuatu, Yugi membuka kotak itu dengan terburu-buru, dan kali ini hasilnya tidak mengecewakannya.

Keesok paginya di Kota Domino, seorang gadis berambut pendek coklat berlari dengan terburu – buru. Saat itu masih sangat pagi dan tanpa harus berlarian seperti itu pun seharusnya ia dapat sampai di sekolah tanpa takut terlambat. Tetapi, gadis itu berlari-lari seperti itu bukanlah karena takut terlambat, melainkan karena ia ada janji dengan sahabatnya untuk bertemu sebelum sekolah dimulai.

"Aduh, hampir saja aku terlambat!"

"Huwaaaaaa….!"

Anzu terhenti begitu mendengar suara seorang anak kecil sedang menangis.

"Hei, ada apa?" tanya Anzu pada anak laki-laki itu.

"Balonku…" jawab anak itu seraya menunjuk sebuah balon merah yang tersangkut di sebuah pohon.

Anzu menghela nafas—ia tak mungkin meninggalkan anak itu begitu saja.

"Aku akan membantumu mengambilnya," kata Anzu.

"Benarkah?" seru anak itu dengan semangat.

"Tentu, tunggu ya!"

Anzu melompat-lompat mencoba menggapai balon itu. Tetapi, sepertinya balon itu terlalu tinggi untuk digapainya.

"Ugh…gak sampai…!"

"Kak, apa kau bisa mengambilnya?" Tanya anak itu, mulai khawatir.

"Ngg? Tolong tunggu sebentar lagi…!"

Anzu kembali melompat, tapi tetap saja ia tak dapat menggapai balon itu. Ia mulai khawatir. Tidak mungkin ia bisa terus-terusan berada di situ tapi ia juga tidak mungkin menyerah dan pergi begitu saja meninggalkan anak malang itu.

"Bisa kubantu, Nona?" tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda dari belakang Anzu.

"Eh?" Anzu berbalik dan melihat seorang pemuda berambut orange-kecoklatan berdiri tepat di belakangnya.

"Ada apa?" Tanya pemuda itu.

"Umm…aku ingin membantu anak ini mengambil balonnya yang tersangkut di pohon, tapi aku tak bisa menggapainya…" keluh Anzu.

"Ah, biarkan aku membantumu," ujar pemuda itu seraya langsung melompat untuk mengambil balon itu.

Duaarr...!

"Ap—?!" Anzu terkejut begitu melihat balon itu tiba-tiba pecah.

"Ups, maaf… Sepertinya balonnya tertusuk dahan pohon saat kutarik tadi," ujar pemuda itu dengan nada menyesal.

"Huwaaaaa…balonku!" tangis anak laki-laki malang itu.

"Maafkan aku, dik," ujar pemuda itu mencoba menenangkan anak itu.

"Bagus! Sekarang kita harus bagaimana?" timpal Anzu.

"Ah! Aku dapat ide!" seru pemuda itu tiba-tiba.

"Eh?"

"Berikan balonnya padaku!" ujar pemuda itu.

"Eh? Tapi…"

"Tenang saja. Aku akan menunjukkan padamu sesuatu yang luar biasa."

Walau bingung Anzu tetap saja memberikan pecahan balon itu pada pemuda aneh itu. Pemuda itu lalu menutupi pecahan balon itu dengan saputangannya.

"Lihat baik – baik ya," katanya pada anak laki – laki itu. "One…two…three…!"

Pada hitungan ketiga, pemuda itu mengangkat saputangannya yang menutupi pecahan balon itu dan tiba – tiba pecahan balon itu berubah menjadi sebuah balon utuh.

"Uwaa…hebat!" seru Anzu.

"Balonku kembali lagi!" seru anak laki – laki itu seraya mengambil balon tersebut dari tangan si pemuda itu.

"Kau senang sekarang?" tanya pemuda itu.

"Ya! Terima kasih, kak!" seru anak itu lalu berlari pulang dengan gembira.

"Hebat sekali!" ujar Anzu.

"Terima kasih. Tapi maaf, aku harus pergi," ujar pemuda itu. "Nah, nona, sampai jumpa lagi."

"Eh? 'Lagi'?"

"Hei, Anzu!"

"Oh, Jounouchi, Honda!"

"Ada apa?" tanya Jounouchi.

"Ng…tadi aku baru saja bertemu seseorang."

"Siapa?"

"Entahlah, hanya orang asing. Tapi, tadi dia berkata 'sampai jumpa lagi' padaku sebelum dia pergi."

"Hah? Kok bisa?" tanya Honda.

"Entahlah, tapi—AAAAAHHHHHH!"

"A—apa?!"

"Orang itu tadi memakai seragam sekolah kita!" seru Anzu.

"Itu berarti dia murid di sekolah kita," ujar Honda.

"Ya, tapi rasanya aku belum pernah melihatnya," kata Anzu.

"Ah, terserahlah! Aku tak peduli siapa dia! Bisa gak sih kita pergi sekolah sekarang?" seru Jounouchi.

"Kau benar, Jounouchi!" seru Honda.

"Aku yakin Yugi pasti sudah menunggu kita! Ayo!"


Sementara itu…

"Halo…"

"Mou! Kai-kun, kau di mana sekarang?"

"Ah, maaf, maaf, aku baru saja akan berangkat ke sana tapi tiba – tiba ada sedikit halangan di jalan…"

"Kau tahu kita gak punya banyak waktu kan? Mereka berdua akan segera sampai di Domino beberapa menit lagi!"

"Ya, ya, aku mengerti. Aku akan segera menyusul ke sana, kau duluan saja jemput mereka."

"Baiklah. Tapi Kai-kun, kau yakin semuanya sudah sesuai seperti rencana?"

"Tenang saja, Yuuki-chan. Aku sudah mengawasinya sejak 'benda' itu tiba. Dan lagi, kalau pun ada apa – apa kurasa dia bisa menanganinya, bukan?"

"Dia?"

"Ya, ketua kita, The Right Hand of God!"

To be continue…