.

Pernahkah terpikir olehmu—bahwa kini kau tengah hidup di tengah sebuah dunia palsu?

Misalnya saja begini; tahukah kau bahwa sebelum seseorang meninggal, otaknya akan bertahan tujuh menit sebelum kehilangan kemampuan fungsionalnya. Dalam tujuh menit itulah orang tersebut akan melihat hidup mereka sebelum mereka meninggal. Apakah kau benar-benar sedang hidup? Ataukah sedang melihat ingatanmu sebelum meninggal tujuh menit lagi?

Elsword Sieghart membenci pikiran seperti itu.

Baginya, 'sekarang' adalah kehidupannya. Ia tidak suka memikirkan bahwa kehidupannya adalah kebohongan—bahwa kini ia sedang bermimpi atau hal lain semacam itu. Kehidupannya bersama teman-temannya, orang yang ia sukai maupun tidak ia sukai, semuanya adalah sebuah kenyataan—bukti bahwa ia ada di tengah dunia ini.

Karena itu, apapun yang terjadi—

Meski dunia ini adalah sebuah kebohongan sekalipun, ia tidak akan melupakan dunia ini pernah ada—

.

.

.

Dream-Seeing Flower

Chapter 1 – Glimpse of a Normal Day

Pairing: Ainchase Ishmael/Elsword Sieghart (Base!Ain/Lord Knight)
Other characters: Aisha Landar (Elemental Master)
Warning: OOC, plot cepat, diksi kacau

Elsword fanfiction

Elsword online © KOG Games, Nexon
Your Name. © Makoto Shinkai (mentioned only)
Merlin (Fate/Grand Order) © TYPE-MOON, DELiGHTWORKS (mentioned only)

nanashimai gains nothing from this

.

.

.

.

.

Kau tidak bisa melihat Elsword Sieghart tanpa luka memar di seluruh tubuhnya di pagi hari.

Bukannya karena ia seorang anak berandalan—tidak, justru kebalikannya. Orang-orang pasti mengenal Elsword Sieghart sebagai anak yang sangat baik; meskipun memang nilai akademisnya tidak sebaik nilai atletiknya, ia dikenal sebagai murid yang memiliki sifat yang ramah dan membantu orang-orang yang ditindas. Lalu tidak, Elsword tidak menerima sedikitpun pukulan dari para preman sekolah yang senang menindas orang-orang lemah—Elsword bisa mengalahkan mereka tanpa perlu mengalihkan pandangannya dari buku "Fisika untuk Orang Bodoh" yang memang sengaja Aisha berikan padanya. Alasannya bahkan lebih mudah dari itu.

"Kakakmu menghancurkanmu lagi?"

Kalimat itu terlontar padanya tepat ketika Elsword membuka pintu menuju ruang kesehatan.

"Kau tidak perlu mengatakannya seperti itu." Ucap laki-laki berambut merah itu sambil mengerutkan keningnya. Ekspresi itu tidak bertahan lama, terutama melihat lawan bicaranya—laki-laki dengan rambut perak yang lebih tua satu tahun, terlihat dari warna dasi yang ia kenakan—mulai tertawa pelan. "Selamat pagi, Ain. Kurasa aku akan mengganggumu lagi pagi ini."

"Tidak, tidak. Seharusnya aku meminta maaf—aku sangat tidak sopan pada seseorang yang sedang terluka." Laki-laki itu—Ainchase Ishmael, namanya—meletakkan buku yang baru saja ia baca di atas meja dan berdiri, lalu melangkah menuju lemari yang dipenuhi obat-obatan. "Dan tidak, Elsword, kau sama sekali tidak menggangguku. Duduklah di—tunggu, kau tahu tempatnya."

Elsword telah terbiasa berada di ruang kesehatan, terutama setelah hampir dua tahun menghabiskan setiap paginya di tempat itu. Ia juga sudah mengenal siswa pengurus ruang kesehatan, Ain, yang lebih tua satu tahun darinya, sejak tahun lalu, ketika Elsword membawa dua orang yang terluka karena berkelahi dengannya ketika ia sendiri hampir tidak mengalami lecet sama sekali. Tentu saja Elsword dan dua orang itu harus menerima skors dan menghadapi neraka yang ia namakan kakak perempuannya ("Menerima skors di tahun pertamamu? Aku tidak membesarkanmu untuk itu, Elsword!"), namun sepertinya hal itu memberikan kesan yang sangat baik di mata Ain, karena saat Elsword memasuki ruang kesehatan selanjutnya, Ain mengingatnya sebagai, "Orang aneh yang membantu orang-orang yang menghajarnya."

Ia meletakkan tas sekolahnya di atas meja, lalu duduk di sebuah kursi kecil di dekatnya. Tepat saat itu, Ain kembali berjalan ke arahnya dengan satu kotak pertolongan pertama berwarna putih. Elsword memperhatikan Ain yang menarik satu buah kursi lagi, meletakkannya di depannya, lalu duduk dan mulai merawat luka yang ada di tangannya.

"Kau tidak lelah, merawat luka orang-orang seperti ini?"

Tertawa pelan, Ain menjawab, "Kalian tidak lelah, terus terluka seperti itu?"

"Hei, aku melakukannya karena aku ingin menjadi lebih kuat." Elsword meringis ketika Ain menekan kapas yang telah dibubuhi alkohol lebih keras di atas lukanya. "Kau sengaja melakukannya, ya?"

"Kau orang yang kuat, Elsword. Luka seperti ini tidak akan menyakitimu."

"Kau yang menyakitiku, Ain!"

Tawa Ain adalah salah satu hal yang selalu Elsword dengar setiap hari. Anehnya, ia bahkan merasa tidak pernah melihat kakak kelasnya itu marah. Ain hampir tidak pernah melepas senyumnya, walaupun memang Elsword merasa ada kalanya senyum Ain terlihat begitu hampa hingga mendekati titik mengerikan.

Mungkin karena itu Elsword sedikit tertarik pada Ain—Elsword tidak pernah bisa mengerti dan menebak apa isi pikiran Ain. Bahkan, jika diingat-ingat lagi, Ain hampir tidak pernah menceritakan apapun tentang dirinya sendiri. Semua yang ia ketahui tentang Ain adalah rumor-rumor yang beredar di sekolah dan dari teman Elsword yang berada dalam satu kelas dengan Ain, Raven; Ain memiliki sifat dingin dan tidak pernah berbicara di kelas, bahkan selalu menjauh setiap kali seseorang mendekatinya. Ketika kelas mengharuskan untuk bekerja secara kelompok, Ain akan mengerjakan pekerjaannya seorang diri—dan hasilnya bahkan lebih dari memuaskan. Bahkan Raven terlihat terkejut ketika mendengar Elsword sangat dekat dengan Ain, meminta saran bagaimana cara bisa dekat dengan Ain yang begitu menarik diri dari orang-orang.

Sejujurnya, Elsword bahkan tidak tahu bagaimana dirinya bisa begitu dekat dengan Ain. Tanpa ia ketahui, mereka sudah mengobrol layaknya teman lama, bahkan tidak jarang mereka menghabiskan akhir pekan bersama-sama.

"Baiklah, kita sudah selesai dengan tanganmu."

Elsword berkedip cepat mendengar suara Ain, yang kini wajahnya tepat sudah berada di depan wajah Elsword. Hampir saja ia terlonjak ke belakang ketika wajah laki-laki berambut perak itu tiba-tiba berada di depannya, sebelum Ain menahan kepalanya dengan dua tangan dan memiringkannya sedikit.

"Tunggu sebentar, masih ada sedikit luka di sini."

Dari sudut pandangannya, Elsword melihat bagaimana Ain terlihat begitu penuh fokus ketika merawat lukanya—bahkan dengan satu tangan menahan kepalanya dan, jujur saja, membuat rahang dan kulit di sekitar pipinya sakit sekali. Akhirnya setelah beberapa saat, Ain baru melepaskan pipinya untuk membuka bungkus sebuah plaster, dan menempelkannya dengan hati-hati di luka di dekat telinganya—luka yang tidak ia ketahui ada sebelumnya.

Ain memandangi wajahnya—lebih tepatnya, luka yang ada di wajahnya—seperti seorang seniman yang tengah mengagumi karya ciptaannya, sebelum mengangguk pelan dengan senyum lebar. Elsword baru memberanikan diri bertanya ketika laki-laki itu memulai untuk membersihkan peralatan medis yang ia gunakan untuk menyembuhkan lukanya, "Apa yang kau pikirkan?"

Ain tidak menghentikan kegiatannya sama sekali saat ia menjawab, "Bagaimana cara untuk meyakinkanmu agar berhenti melukai dirimu sendiri di tangan kakak perempuanmu."

"Hei, sudah kubilang sebelumnya kalau aku melakukannya agar aku bisa menjadi lebih kuat!" Tunggu, Elsword, fokus! "Maksudku, selain itu?"

"Hm, pertanyaan yang sulit." Elsword memperhatikan laki-laki berambut perak itu berjalan menuju lemari, mengembalikan kotak berwarna putih itu kembali di tengah obat-obat yang tidak ia ketahui fungsinya. "Aku memikirkan buku seperti apa yang akan kubeli saat pergi ke toko buku nanti, kira-kira apa makan malam apa yang harus kubuat nanti malam, bagaimana caraku untuk menjauh dari orang-orang hari ini, dan apakah kau mau pergi denganku hari Minggu besok. Apa itu cukup?"

Meski memang bagian 'bagaimana cara untuk menjauh dari orang-orang hari ini' mengganggunya, Elsword berusaha untuk mengabaikan bagian itu—terutama Ain mengucapkannya dengan senyum hampa mengerikan yang Elsword sebutkan sebelumnya. Ketika Ain sudah kembali duduk di tempatnya sebelumnya, Elsword bertanya lagi—mengingat bagian terakhir dari kalimat laki-laki itu. "Apakah kita ada janji untuk pergi Minggu ini?"

"Aku baru mau bertanya padamu." Ain mengeluarkan sesuatu dari kantung jaket putih yang selalu ia gunakan—dua lembar tiket berwarna putih, dengan gambar yang sudah Elsword kenal betul setelah melihatnya di internet ribuan kali, "Kebetulan aku mendapatkan tiket film yang sedang laris itu. Kau bilang kau belum menontonnya, bukan? Beruntungnya, aku berhasil mendapatkan dua tiket, mengingat aku belum menontonnya juga."

"Maksudmu, kau berhasil mendapat tiket untuk Your Name?!" Tiket film itu seharusnya sudah tidak dijual dimanapun, dengan popularitasnya yang melonjak tinggi di Elrios, dan seharusnya tiketnya sudah terjual habis di seluruh bioskop yang ada di Elrios sejak penjualan perdananya tiga hari lalu. "Bagaimana kau melakukannya?"

Dengan senyum misteriusnya, Ain mengayunkan dua lembar tiket itu di hadapan wajah Elsword, yang mengikuti setiap pergerakannya dengan manik merahnya. "Aku mempunyai seorang kenalan yang membatalkan kencan butanya karena tahu orang yang akan ia kencani hari itu adalah seorang laki-laki." Tertawa pelan, Ain menggeleng. "Kisah cinta yang tragis. Intinya, karena kesal ia memberikan tiket yang seharusnya untuknya dan kencannya hari itu. Kurasa aku sedang beruntung."

"Apa-apaan itu? Itu cara mendapatkan tiket Your Name terkonyol yang pernah kudengar! Kau seharusnya memasukkan itu di internet!" Mengangkat bahu, Elsword tersenyum pada laki-laki di hadapannya. "Baiklah, kurasa kita akan pergi Minggu ini."

Senyum Ain jatuh sedikit, "Maksudmu, kau lebih ingin pergi untuk menonton Your Name daripada untuk pergi denganku?"

"Tentu saja tidak." Ia mengangkat bahu. "Aku pasti menolak untuk menonton Your Name kalau bukan kau yang mengajak. Maksudku, aku sudah berjanji untuk tidak menonton Your Name dan menunggu hingga bajakannya—"

Ain mendengus, tertawa. "Bajakan."

"Hush. Kami orang miskin yang tinggal di internet." Elsword hendak merebut tiket yang ada di tangan Ain, tertawa ketika kakak kelasnya mampu menghindar dengan mudah dan memasukkan kembali dua lembar itu ke dalam kantung sakunya. "Intinya, karena kami kehabisan tiket pada orang yang berdiri tepat sebelum kami, Aisha menyatakan kalau ia tidak akan menonton Your Name dan akan menunggu hingga bajakannya keluar di internet. Aisha juga menyuruhku melakukan hal yang sama, hanya saja," sambil terkekeh, Elsword menambahkan, "rasakan garam dariku nanti, Aisha!"

"Kalian bertengkar lagi?"

"Tentu saja tidak!" Dengan cepat Elsword membalas, namun wajahnya yang mengerut dalam membuat Ain berpikir sebaliknya. "Aku tidak kesal ketika dia mendapatkan Merlin ketika aku tidak dapat. Tidak, tidak." Tiba-tiba saja Elsword mendongak, menatap Ain dengan kesal, "Ah, ya! Barusan Ain mengatakan kalau keberuntunganmu bagus, bukan? Sebaiknya Ain jangan mainkan permainan ini! Sudah cukup Aisha menggaramiku setiap hari, aku tidak butuh garam tambahan dari Ain!"

Laki-laki berambut perak itu mengangkat tangannya, "Kau tahu kalau aku tidak suka bermain permainan ponsel, bukan?"

"Tentu saja! Namun siapa yang tahu kalau kau tiba-tiba berubah pikiran dan memutuskan untuk bermain permainan neraka itu hanya untuk menggangguku?"

"Hm, sebenarnya itu alasan yang cukup menggiurkan—"

"Nah! Itu!" Elsword menunjuk kakak kelasnya, "Jangan kau juga, Ain!"

Sekali lagi Ain hanya mengangkat kedua tangannya, melindungi diri, "Bercanda, Els. Aku tidak berminat dengan permainan itu."

Elsword melipat kedua tangannya di depan dada, bersungut ketika Ain mulai meminta maaf meski sambil tertawa. Pada akhirnya, laki-laki berambut merah itu tidak mampu menahan tawanya lepas ketika Ain menawarkan akan membelikannya permen saat pulang sekolah nanti—"Kau pikir aku anak kecil?"—tentu saja Ain hanya menjawab dengan tawanya yang biasa.

Percakapan mereka berubah menjadi sebuah percakapan kecil, yang bahkan tidak lagi mampu Elsword ingat isinya. Elsword hanya mengingat ia menghabiskan waktu penuh tawa bersama kakak kelasnya, dan harus berakhir ketika bel pertama berbunyi. Mengingat kelas Elsword yang cukup jauh dari ruang kesehatan, Elsword berkata pada Ain bahwa ia akan melampaui rekor berlari tercepatnya hari ini.

"Kau tidak boleh berlari di lorong, Elsword." Ain hanya membalas dengan tawa.

"Kalau mereka tidak menangkapku, aku akan baik-baik saja." Dengan tas sekolahnya tersampir di bahu, Elsword memulai kuda-kuda berlarinya di depan ruang kesehatan. "Hari Minggu nanti?"

"Aku akan datang ke rumahmu, setidaknya untuk memastikan kau tidak lupa dengan Your Name."

Elsword tersenyum lebar, lalu kembali memandang ke depan. Lorong sudah mulai sepi, mengingat waktu untuk wali kelas akan dimulai sebentar lagi. Ain sendiri sudah siap untuk berjalan ke kelasnya—beruntung orang itu, kelasnya dekat dengan tempat ini!—ia hanya berhenti untuk melihat Elsword yang 'akan memulai memecahkan rekor berlarinya'.

Laki-laki berambut merah itu menghitung dalam kepalanya, dan setelah hitungan ketiga, ia sudah meluncurkan dirinya sendiri dan berlari di lorong.

Samar-samar terdengar suara teriakan Ain di belakang, namun Elsword sudah tidak lagi mendengarkan. Kelasnya berada di lantai dua, dan ia hampir saja melompat ketika menaiki tangga. Ia hampir tidak menoleh ketika menyenggol seseorang, hanya meneriakkan "Maaf!" yang hampir tidak jelas. Elsword perlu menahan dirinya dengan tangan di kerangka pintu kelas 2-A agar tidak melewati kelasnya sendiri. Nafasnya tersengal, dan ia perlu menopang tubuhnya di pintu sebelum ia terjatuh. Baru saja ia hendak menarik napas, pintu sudah terbuka dengan kasar hingga Elsword terjembab ke lantai keramik yang dingin.

"Hei! Apa maksud—"

Mendongak, kalimatnya tertahan ketika yang menatapnya balik adalah, tidak lain dan tidak bukan, wali kelasnya sendiri, Stella.

"Apa maksudku? Oh, mudah saja, Sieghart. Aku membuka pintu ketika mendengar suara aneh seperti satu muridku sedang menonton film porno di depan kelas. Wajar saja kalau aku membuka pintu, bukan?" Wanita berambut cokelat itu mengangkat satu alis. "Sekarang, jelaskan padaku kenapa kau terlambat?"

Elsword tidak akan berpura-pura menyukai wali kelasnya ini, dan Stella juga tidak terlihat berpura-pura menyukai seluruh sivitas SMA Velder. Meski begitu, kau tidak memiliki alasan untuk mengeluarkan wanita itu dari sekolah; meski terkadang caranya agak—ralat, sangat—keterlaluan, ia menjadi salah satu guru yang benar-benar mengajar di kelas.

"Erm, aku menonton film porno di ru—aaaah!"

Satu kelas 2-A dipenuhi tawa ketika buku tebal yang ada di tangan Stella mendarat tepat di wajah Elsword.

.

.

.

.

"Kenapa kau tidak bilang saja kalau kau bersama Ain?"

Elsword menurunkan botol minum yang baru saja bersarang di mulutnya. Satu alis terangkat ke arah teman masa kecil sekaligus tetangganya sekaligus teman sekelasnya sejak SD—entah bagaimana mereka bisa bertahan selama itu, Elsword sendiri tidak yakin—"Bagaimana kau tahu kalau aku bersama Ain?"

Aisha mengangkat bahu, lalu menutup buku matematika yang menjadi pelajaran mereka sebelum waktu istirahat, yang juga sedang ia tekuni sebelum Elsword menduduki kursi di depannya untuk mengajaknya makan bersama. "Kalian selalu bersama setiap pagi. Aku sudah menghafal jadwalmu sekarang, Elsword."

"Kami tidak selalu bersama setiap pagi." Ucap laki-laki berambut merah, mengeluarkan sebuah kotak bekal berwarna sewarna rambutnya dan meletakkannya di atas tumpukan buku milik gadis berambut ungu, membuat empunya mengerutkan keningnya. "Ada saat ketika aku tidak harus berlatih dengan Elsa—"

"Dan kau menghabiskan waktumu dengannya di jam makan siang jika itu tidak terjadi." Aisha menggeleng pelan, sebelum mengeluarkan kotak bekal miliknya sendiri dari dalam tas. "Kalian ini benar-benar pacaran atau tidak?"

Elsword mengangkat bahu. Tangannya sibuk menyendok nasi serta lauk yang ia siapkan sejak malam. Ketika menangkap sosis berbentuk gurita di kotak makan Aisha, Elsword langsung menunjuknya dengan garpunya. Mendesah pelan, Aisha hanya mengambil salah satu dari makanan merah itu dan meletakkannya di tempat bekal milik Elsword. Sosis tersebut menghilang secepat Aisha mengedipkan matanya.

Ketika makanan di kotak bekal masing-masing sudah habis dan mereka mulai membereskan kotak makan mereka masing-masing, Elsword mendongak pada Aisha, "Kau belum membayar hutang rotimu padaku."

"Kau masih lapar?" Gadis berambut ungu yang dikuncir dua itu memicingkan matanya. "Tidak, tunggu. Apa kau baru saja menyuruh seorang gadis membelikanmu makanan?"

"Siapa yang gadis? Aku hanya melihat gorila yang suka berhutang yang tidak mau melunasi hutangnya."

"Hei, siapa yang kau sebut gorila?!" Aisha mengayunkan kotak bekalnya yang sudah kosong ke kepala Elsword, membuat suara memilukan baik dari plastik yang menghantam kepala maupun erangan kesakitan dari laki-laki berambut merah itu. "Hah! Baiklah! Aku akan mengambil roti pertama yang kulihat—dan, demi apapun, aku berharap itu roti mayo yang tidak kau sukai!"

"Hei! Apapun selain mayo—Aisha!" Namun teman masa kecilnya itu sudah beranjak pergi. Menggerutu pelan, Elsword memasukkan kembali tempat bekalnya ke dalam tas. Hilang sudah keinginannya untuk menikmati roti isi setelah makan. Mungkin sebaiknya ia pergi ke tempat Ain saja untuk membolos—toh, Aisha juga pasti masih lama, mengingat antrian di kantin yang—

"Aku kembali."

Elsword mendongak, mendapati Aisha sudah melempar sebuah roti ke atas mejanya sendiri, sebelum menjatuhkan dirinya di atas kursi.

"Kau cepat juga." Dan ketika melihat roti apa yang diberikan oleh Aisha, matanya melebar. "Dan ini bukan mayo—kau serius memberikanku roti isi salad selai kacang? Ini favoritku!"

Aisha mengangkat bahu. "Setidaknya lebih baik daripada aku mengantri lama." Ketika merasakan tatapan tanya dari Elsword, gadis berambut ungu itu menambahkan, "Pacarmu memberikan itu padaku. Dia ingin minta maaf soal tadi pagi, katanya."

Elsword mengabaikan kalimat pertamanya. "Aku tidak ingat sesuatu yang membuatnya harus meminta maaf." Lalu ia mendongak pada Aisha, satu alis terangkat. "Dan kenapa kau terlihat kesal begitu?"

"Elsword, kita ini teman, bukan?"

"Hah?"

"Aku sering bersamamu saat kau berbicara dengan Kak Ain, bukan? Aku berkenalan dengannya di depanmu, bukan?"

Ah, oke.

Elsword mendengus pelan. "Dia bilang dia tidak pintar mengingat nama orang lain."

"Tapi aku sering bersamamu, bukan?! Maksudku, aku memanggil namanya dan bahkan sempat mengobrol dengannya sebentar. Kemudian dia menghentikanku berbicara dan dengan santai bertanya—'Siapa kau?'. Bisakah kau percaya itu? Aku berbicara dengannya panjang lebar dan dia hanya bertanya seperti itu!"

Kening laki-laki berambut merah itu berkerut, "Dan kenapa kau mengatakan ini padaku?"

"Karena, Elsword Sieghart," Aisha menoleh padanya, menatapnya tajam. "Dia berkata padaku, 'Oh, kalau tidak salah Elsword sering menyebut namamu. Sudahlah, tidak penting. Kau teman Elsword, bukan? Bisakah kau berikan ini padanya? Katakan kalau aku minta maaf soal tadi pagi. Dan katakan jangan lupa hari Minggu nanti. Maaf, aku tidak bisa mengobrol lebih lama karena ada urusan. Sampaikan salamku pada Elsword, ya?'"

Gadis itu berhenti, menarik nafas panjang, lalu kembali menatapnya. "Bagaimana?"

"Apa yang harus kukatakan tentang itu?" Elsword mengangkat bahu, membuka pembungkus roti yang diberikan padanya dan mulai melahapnya. "Kalau dia lupa dengan namamu, menurutmu kalau aku memberitahu padanya dia bisa mengingatnya dengan mudah?"

Aisha mendesah pelan. "Ah, sudahlah. Mungkin aku terlalu berlebihan berharap kalau pangeran bisa mengingat namaku hanya karena aku temanmu."

"Hm, dia dipanggil pangeran?"

"Begitulah. Pangeran baik hati yang membantu semua orang." Pasti hanya karena tugasnya sebagai pengurus ruang kesehatan, batin Elsword seraya mengunyah rotinya, namun memutuskan untuk tidak mengatakannya keras-keras. "Soal itu tidak penting—apa maksudnya hari Minggu?! Kau tidak memberitahu apapun padaku!"

Elsword melempar sisa roti yang hanya tinggal sedikit ke dalam mulutnya, lalu meremas plastik pembungkusnya hingga menjadi sebuah bola dan memasukkannya ke dalam tas. "Aku bahkan belum mengatakan apapun pada Elsa. Kenapa aku harus memberitahu hal itu padamu?"

"Elsa pasti sudah mendengarnya sekarang!" (Mengerikan, memang, kekuatan gosip.) "Kalian akan kencan? Hei, Elsword!"

Ia memutuskan untuk berjalan keluar dari kelas, meninggalkan Aisha yang sudah tidak lagi berteriak ke arahnya. Elsword tidak membenci perhatian dari sahabat masa kecilnya itu—ia hanya mulai memikirkan sejak kapan Aisha melihat hubungannya dengan Ain seperti itu? Memang Elsword selalu menghindar ketika Aisha—atau siapapun—bertanya mengenai hubungannya dengan kakak kelasnya itu. Mungkin itulah alasannya mereka mulai berpikir kalau Ain dan Elsword memang berkencan?

Lucu sekali.

Langkahnya membawanya pada ruang kesehatan di lantai satu—Elsword harus mempraktekkan salah satu kemampuannya untuk berjalan dalam bayang-bayang agar terhindar dari pantauan guru yang melihat apakah ada murid yang membolos atau tidak. Lucunya, para guru tidak pernah memperhatikan ruang kesehatan—katanya karena guru yang seharusnya menjaga tempat itu sedang berlibur dan tidak ada yang menggantikan. Sepertinya Ain memang dengan senang hati menawarkan dirinya untuk menjaga tempat itu.

Terpikir oleh Elsword untuk mengetuk pintu, namun akhirnya ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Laki-laki berambut merah itu setengah berharap tidak ada orang di dalam ruangan, sehingga ia mampu langsung mengisi daftar isi dan langsung tidur. Sayangnya ketika ia membuka pintu, harapannya itu tidak terkabul—meski separuh harapannya untuk melihat Ain berada di dalam ruang kesehatan sepertinya terkabul.

Laki-laki berambut perak itu mendongak dari buku yang ia baca. Mata hijau memperhatikan gerak-gerik Elsword yang memasuki ruangan dengan hati-hati. "Kau membolos?"

"Bagaimana denganmu?" Setelah memastikan tidak ada orang mencurigakan di dalam ruangan, Elsword menutup pintu di belakangnya. "Aku tidak tahu Ain tipe orang yang senang membolos."

Sambil tertawa, Ain menutup buku yang tengah ia baca, memperhatikan Elsword yang menghampiri meja di depan Ain dan mulai mengisi daftar hadir. "Setidaknya aku memiliki alasan yang kuat untuk membolos."

Mengangkat bahu, Elsword berjalan menuju salah satu kasur kosong yang paling dekat dengan Ain—beruntung baginya tempat itu selalu kosong setiap kali Elsword hendak membolos, sehingga setidaknya ia memiliki teman untuk berbicara ketika tidak ingin tidur. Ketika membaringkan tubuhnya, ia melihat Ain berpindah dan duduk di sebuah tempat duduk di dekat tempat tidurnya. Elsword merasakan jemari Ain menyentuh keningnya—sebuah sentuhan yang seharusnya sudah biasa bagi Elsword, namun selalu sukses membuat degup jantungnya bertambah kencang.

"Wajahmu memang merah, tapi kurasa kau baik-baik saja." Elsword masih merasakan jantungnya mengancam untuk melompat keluar dari balik rusuknya meski Ain telah menarik kembali jemarinya. "Kau memang harus beristirahat. Aku akan ada di sini untuk menemanimu."

Pada akhirnya, Elsword hanya mampu menggumamkan terima kasih dengan suara yang sangat pelan—begitu pelan hingga ia merutuki dirinya sendiri. Andai saja selimut ini cukup untuk menyembunyikan dirinya tanpa perlu berguling ke samping agar Ain tidak mampu melihatnya—dan ucapan Ain, "Orang yang sakit itu bukan berarti dia lemah," justru membuatnya merasa semakin berharap dapat berubah menjadi sushi dengan selimut ini.

Ain tidak lagi berusaha mengajaknya berbicara. Samar-samar Elsword mendengar suara halaman yang berganti, mungkin ia sudah sibuk dengan bacaannya sekarang. Elsword berguling hingga ia menghadap laki-laki itu, yang sama sekali tidak mendongak ketika Elsword memanggilnya, "Hei, Ain."

"Ya?"

"Apakah," Elsword baru menyadari betapa beratnya pertanyaan itu dalam tenggorokannya. Bahkan untuk memuntahkannya keluar terasa begitu sulit, dan perasaannya setelah mengeluarkan pertanyaan itu begitu kacau hingga ia merasa sulit bernapas, "ada orang yang kau sukai?"

Elsword melihat tangan kakak kelasnya berhenti, namun masih tidak mampu memberanikan dirinya untuk mendongak. Entah ekspresi apa yang ia berikan sekarang, Elsword tidak mampu memastikan dengan matanya sendiri. "Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau begitu sakit hingga mendapatkan pertanyaan yang aneh?"

"Aku tidak tahu." Karena itulah kenyataannya—Elsword tidak tahu apa yang ia pikirkan hingga pertanyaan itu muncul. Bahkan sambil memperhatikan dua tangan yang baru saja menyentuh keningnya, membuat jantungnya berdebar seperti tadi—Elsword tidak tahu alasan apa yang membuat semua itu terjadi. "Bisakah kau menjawabnya?"

Ia melihat Ain masih belum menggerakkan satupun ototnya. Mungkin saja Ain masih memandanginya sekarang, dan ia masih tidak berani memandang balik. Hanya seperti itu, dalam keheningan mereka berlanjut, dengan degup jantung Elsword terasa mengisi ruang kesehatan yang sepi. Elsword berharap Ain akan menjawab—apapun, agar Ain tidak mendengar betapa kerasnya degup jantungnya sekarang—

"Ya. Ada."

Jawaban itu singkat, jelas, dan bagi Elsword, begitu menusuk hingga ia mendongak. Dalam pandangannya, baru pertama kali ia melihat ekspresi itu di wajah Ain yang senantiasa tersenyum; wajahnya memerah, senyumnya kini terlihat tolol, dan lebih lagi,

Elsword tidak pernah melihat mata hijau Ain begitu bersinar.

"Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin aku memang menyukai anak itu." Ain menambahkan, kini melihat ke arah lain selain dirinya. "Aneh sekali, anak itu. Namun ada sesuatu yang membuatku tidak mampu meninggalkannya seorang diri. Hanya saja aku tahu—anak itu tidak akan selamanya menjadi anak kecil. Suatu saat ia akan meninggalkanku—ia akan melupakanku."

Kesedihan. Kesepian. Cinta yang begitu mendalam. Ia tidak pernah melihat perasaan yang begitu menyedihkan dalam mata Ain. Pandangan Ain yang senantiasa kosong kini terlihat begitu bahagia, meski yang ia ucapkan adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.

Bahwa cintanya adalah sesuatu yang pasti tidak akan terwujud—bukanlah sesuatu yang bahagia.

Namun Ain menerima perasaan itu. Rasa sakit itu.

...

Kenapa?

Kenapa ia menanyakan ini?

Apakah ia hanya ingin melihat ekspresi itu di wajah Ain?

Apakah—

Apakah ia ingin Ain menatapnya dengan wajah seperti itu?

...

Elsword tidak tahu.

"Apakah kau menyukainya?"

Ain kembali menoleh padanya. Ekspresinya masih dengan penuh kasih sayang dan keyakinan—

"Ya. Aku mencintainya."

Dan rasa sakit itu datang lagi.

Elsword tidak pernah terpikir perasaannya pada Ain adalah sebuah kasih sayang. Persahabatan, mungkin. Namun entah sejak kapan—

Sejak kapan, ia berhenti menanggapi hubungannya dengan Ain?

Mungkin sejak saat itu pula ia mulai memperhatikan Ain. Ia ingin terus bersama Ain. Perasaan aneh yang hanya ia tepis sebagai sebuah persahabatan.

Namun—

"Pasti menyenangkan, bisa menjadi orang itu."

"Apa?"

Elsword berkedip beberapa kali, "Ah, tidak. Lupakan saja. Kurasa aku harus tidur sekarang."

Dan ia langsung berguling, mengabaikan Ain yang meminta Elsword untuk mengulang kalimatnya, enggan untuk menatap ekspresi yang membuat dadanya terasa sakit.

Pasti menyenangkan, menjadi orang yang disukai oleh Ain.

Entah sejak kapan, Elsword mulai memikirkan kalimat itu.

Pastinya sangat—

Menyenangkan—

.

.

.

.

Langit sudah dipenuhi oleh tinta jingga ketika Ain membangunkannya. "Sekolah akan segera ditutup, Els."

Tentu saja Elsword langsung terbangun ketika Ain menggunakan nama panggilannya. Tubuhnya terasa kebas saat ia membuka matanya, mungkin karena ia menggulung dirinya dengan selimut terlalu erat. Bahkan hingga Ain harus membantunya melepaskan diri dari gulungan selimut yang ia buat sendiri, barulah Elsword bisa melepaskan diri untuk meregangkan tubuhnya.

"Teman sekelasmu datang tadi." Ain menambahkan, mengangkat tas Elsword dengan satu tangan. "Dia bilang kau harus siap-siap dengan amukan Stella besok karena kau melewati pelajarannya."

Elsword meletakkan satu tangan di lehernya sendiri dan menggerakkan kepalanya dengan cepat, mendesah lega ketika mendengar bunyi tulang yang keras dari lehernya. "Itu urusan untuk diriku esok hari. Diriku hari ini sudah lega tidur seharian."

"Kau harus mulai mengurus dirimu hari ini dan esok hari, Elsword Sieghart." Elsword merasakan Ain menggantungkan tasnya di leher, lalu menggerakkan tangannya hingga tasnya terposisi dengan rapi di bawah lengannya. "Sekarang, kita sudah siap pulang."

Elsword mengerutkan keningnya ke arah Ain, "Haruskah kau melakukan itu? Aku bisa melakukannya sendiri, kau tahu?"

"Ya, tentu saja aku tahu." Ain menawarkan tangannya, "Ayo, kubantu berdiri."

"Kau sama sekali tidak mendengarkanku." Namun Elsword meraih tangan kakak kelasnya, membiarkan laki-laki berambut perak itu menarik tangannya hingga ia berdiri. Rasa pusing langsung menghantam kepalanya ketika tubuhnya masih berusaha untuk mengatur keseimbangannya sendiri. Ia merasakan Ain langsung menyokong tubuhnya, dua tangan berada di masing-masing pinggangnya.

"Apa yang akan terjadi padamu kalau aku tidak ada di sampingmu?"

Elsword hanya tertawa, membiarkan dirinya sendiri ditopang sementara ia menggenggam lengan dari jaket putih yang Ain kenakan.

Koridor sekolah telah kehilangan keramaian yang dimilikinya di siang hari. Seolah koridor yang dipenuhi jingga ini hanya ada mereka berdua. Kali ini, Elsword tidak terlalu banyak bicara, sementara Ain membicarakan tentang beberapa orang yang memasuki ruang kesehatan selama Elsword tertidur.

Terbesit dalam kepalanya untuk melanjutkan pembicaraan mereka sebelumnya. Namun pada akhirnya, Elsword memutuskan untuk diam. Andai saja ia bertanya, akankah Ain melepaskan Elsword demi orang yang ia sukai? Dari sudut matanya, Elsword melihat kembali Ain yang selalu ia lihat setiap hari; senyumnya yang agak hampa, manik hijau yang melihat seolah dunia ini hitam dan putih, bahkan kebahagiaan dalam kalimatnya ketika ia berbicara tentang orang yang tidak dikenalnya terasa begitu palsu.

Berbeda jauh dengan Ain yang tidak pernah ia lihat sebelumnya barusan.

Tanpa sadar ia mencengkram kain putih dari jaket Ain lebih keras. Bolehkah ia bertahan seperti ini? Bolehkah ia terus mempertahankan kebohongannya untuk orang yang bahkan tidak mampu ia dapatkan? Andai saja diizinkan seperti itu—

"Elsword?"

Ketika mendongak, ia melihat mereka sudah berada di luar sekolah. Sama seperti di dalam sekolah, bahkan di halaman sudah tidak ada lagi murid yang melakukan aktifitas ekstrakurikuler mereka. Menoleh, ia melihat Ain yang ada di sisinya kini memandangnya khawatir.

(Dia terlalu baik.)

"Maaf, aku sudah agak baikan, mungkin." Elsword melepaskan tangannya dari jaket Ain, berusaha agar tatapan mereka tidak bertemu. "Terima kasih sudah membantu, Ain."

Meski tidak mengatakan apapun, Elsword merasakan pegangan Ain di pinggangnya terlepas. Ketika mereka mulai berjalan, mereka juga tidak melepas jarak mereka yang hampir tidak ada sebelumnya—satu hal yang masih Elsword syukuri. Hanya saja ia merutuki dirinya sendiri yang tidak mampu menemukan topik pembicaraan untuk menyingkirkan atmosfir canggung di antara mereka. Hingga akhirnya mereka sampai di pertigaan tempat mereka biasa berpisah, barulah Ain menoleh ke arahnya, "Sampai jumpa besok?"

Elsword hanya mengangguk. Ia tidak mampu mendongak ketika Ain sudah berbalik darinya, berjalan ke arah yang berlawanan dari rumahnya. Ketika ia mampu mengangkat kepalanya, punggung Ain telah menghilang di ujung jalan—bahkan tanpa Elsword mampu mengatakan apapun padanya.

Mendesah pelan, laki-laki berambut merah itu berjalan ke arah sebaliknya dari Ain, menuju rumahnya yang ada di ujung jalan yang agak membukit.

Rumah keluarga Sieghart berada di puncak deretan rumah-rumah bernuansa tradisional di daerah perumahan Velder yang cukup elit. Meski rumah itu besar, tempat itu hanya didiami oleh dua bersaudara Sieghart; Elsword dan kakak perempuannya, Elesis, yang lebih tua satu tahun darinya. Tidak jarang teman-teman Elsword atau Elesis datang untuk menginap, namun sepertinya minggu ini adalah salah satu minggu sepi dimana tidak ada teman mereka yang datang untuk bermalam.

"Aku pulang." Elsword selalu membawa kunci rumahnya sendiri, sehingga tidak perlu menunggu Elesis untuk membuka pintu. Toh, kakaknya yang satu itu mungkin sedang berada di kamarnya, menyetel musik dengan volume tertinggi dan mungkin tidak menyadari Elsword sudah kembali.

Ia langsung berjalan ke arah dapur tanpa mengganti pakaian sekolahnya. Tas ia letakkan di dekat sepatu yang tidak terurus. Melihat ke dapur, Elsword bersyukur setidaknya masih ada sedikit makanan untuk mereka berdua, mengingat ia lupa pergi membeli bahan makanan lagi hari ini. Setidaknya dengan sisa bahan makanan ini, ia masih mampu menyiapkan makan malam yang sederhana untuk dua orang.

Tentu saja Elsword tidak menunggu Elesis untuk keluar dari kamarnya dan memakan makan malamnya seorang diri—Elesis tidak bisa diganggu di malam hari, begitu peraturan dalam rumah mereka. Setelah memastikan kalau makanan untuk Elesis telah tertutup dengan rapat, Elsword kembali ke pintu depan untuk mengambil tasnya, merapikan sepatu, dan barulah ia berjalan menuju kamarnya sendiri.

Di kamarnya sendiri, Elsword hanya meletakkan tasnya di atas meja belajar dan menjatuhkan dirinya sendiri di atas tempat tidur. Matanya masih enggan menutup mengingat ia sudah tertidur di ruang kesehatan sebelumnya. Tangannya mencari sesuatu di dalam kantung celananya, dan bersyukurlah ia ketika berhasil mengeluarkan sebuah ponsel berwarna merah tanpa harus menggerakkan banyak otot. Ketika menyalakan alat komunikasi berbentuk kotak itu, ia melihat banyak sekali pesan dari Aisha yang, ketika ia membuka salah satunya, menanyakan dimana dia dan Stella yang mencarinya kemana-mana. Mungkin Ain serius tentang temannya yang berkata Stella akan membunuhnya besok.

Yah, ia tidak berkata akan membunuhnya, sih, tapi Elsword mengerti maksudnya.

Elsword memutuskan untuk menghapus semuanya, termasuk yang enggan untuk ia baca. Ketika kotak perintah yang memberitahunya bahwa seluruh pesan telah terhapus, ponselnya kembali bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Manik merah melebar melihat nama pengirim pesan tersebut, "Ain?"

Ia membuka pesan tersebut. Ain menanyakan keadaannya, 'Apakah kau sudah merasa lebih baik? Kau sudah makan?' beserta sebuah foto yang Elsword duga sebagai makan malam laki-laki itu. Elsword sedikit menyesal tidak mengambil satu jepret makan malamnya barusan. Pada akhirnya Elsword mengirim balasan untuk laki-laki itu, 'Ya, aku sudah makan dan sudah merasa lebih baik sekarang.' Lalu, setelah beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk menambahkan di dalam pesannya, 'Maaf karena aku bersikap aneh barusan. Kurasa aku memang benar-benar tidak enak badan.' Membaca sekali lagi pesannya, Elsword mengirimkan pesan itu.

Baru saja ia hendak meletakkan ponselnya untuk mandi dan tidur, ponselnya mulai bergetar. Tidak hanya sekali, namun getaran panjang berulang kali yang menandakan sebuah telepon. Memandangi layar ponselnya yang berkedip, Elsword mengangkat satu alis sebelum menekan tombol dengan gambar ponsel berwarna hijau, "Ada apa, Ain?"

"Ah, aku tidak menyangka kau akan mengangkat teleponnya."

Samar-samar Elsword mendengar suara dentingan besi yang menghantam piring dengan pelan. Suara televisi yang awalnya ada ketika Elsword baru menyalakan ponselnya juga menghilang—mungkinkah Ain sedang menyaksikan acara televisi sebelum menelponnya?

"Tentu saja aku akan mengangkat teleponmu." Sambil terkekeh, Elsword membalikkan badannya hingga ia memandangi langit-langit. "Ada apa?"

Jawaban Ain tidak langsung terdengar—seolah ia masih memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya. Aneh, biasanya Ain hanya akan menelpon jika ada maksud tertentu dan sangat mendesak. Tidak, tidak, Elsword paling tahu kalau Ain bukanlah seseorang yang akan berteman hanya untuk alasan tertentu. Hanya saja, kalau boleh jujur, komunikasi utama Ain dan Elsword hanya terbatas di sekolah saja. Mereka hampir tidak pernah berbicara lebih di luar lingkungan itu.

"Kurasa," setelah beberapa saat, muncul suara Ain yang terdengar ragu, "aku hanya ingin tahu kenapa kau meminta maaf. Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Atau karena pembicaraan sebelumnya?"

Jadi Ain ingat. Elsword sempat terpikir kalau Ain sengaja melupakan pembicaraan mereka. "Tidak, tentu saja tidak." Elsword menggeleng, meski ia tahu kalau Ain tidak dapat melihatnya. Untuk suatu alasan, ada sesuatu yang melegakan dalam dirinya sendiri. "Kurasa aku memang sedikit tidak enak badan hari ini. Ini bukan salahmu, Ain."

Sekali lagi terdapat keheningan aneh, lalu sebuah suara pelan, "Kuharap aku ada di sana sekarang."

Lihat, kan? Bagaimana kalimat sederhana Ain mampu membuat jantungnya berdegup begitu keras sekarang. Ain hanya bersikap layaknya seorang teman yang baik, dan ia justru mengharapkan sesuatu yang lebih. Elsword Sieghart memang seorang yang bodoh.

"Datanglah, kalau begitu." Ucapnya, berharap ia terdengar santai dan suaranya tidak bergetar. "Aku yakin Elsa akan mengizinkanmu datang."

"Aku tidak mengatakan apapun dan muncul tiba-tiba untuk menginap. Tentu saja ia akan mengatakan sesuatu tentang itu."

"Dia tidak bisa mengatakan apapun tentang tamuku! Tidak adil kalau hanya teman-temannya yang bisa datang tanpa pemberitahuan!"

Ia mendengar Ain tertawa di ujung sambungan. "Yah, aku akan memikirkannya—tentang menginap tanpa izin di rumahmu, maksudku." Setelah beberapa saat, Ain melanjutkan lagi, "Kalau begitu, maaf aku—"

"Bisakah kita mengobrol sebentar lagi?"

Elsword tidak tahu mengapa ia mengatakan seperti itu. Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari bibirnya tanpa ia mampu menghentikan dirinya sendiri. "M-Maksudku, sebentar lagi aku akan tidur dan, erm—"

Tolol. Kenapa pula kau menggali kuburmu sendiri? Ingin rasanya Elsword membuka tanah di bawahnya dan membiarkan bumi menelannya di tempat—

"Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan?"

Mendesah lega, Elsword merasakan ketegangan meninggalkan tubuhnya hanya dengan jawaban santai dari kakak kelasnya. "Apa saja, kurasa. Kau bisa putuskan telepon kalau aku tidak menjawab lebih dari tiga menit—pasti aku sudah tidur saat itu."

Akhirnya mereka benar-benar membicarakan tentang apa saja yang muncul di kepala masing-masing—Ain menceritakan tentang acara yang tengah ia saksikan, sementara Elsword membicarakan tentang cerita keluarganya berdasarkan adegan film yang Ain ceritakan padanya. Tidak lama kemudian, Elsword merasakan rasa kantuk mulai menyerangnya—ia bahkan tidak mampu lagi mendengarkan apa yang Ain katakan. Tanpa sadar, kepalanya kini sudah menghantam bantal dan ponselnya terselip jatuh dari telinganya, layarnya kini menempel di dekat hidung dan bibirnya yang mulai bernapas dengan teratur layaknya seseorang di tengah tidur lainnya.

.

.

.

.

"Lalu mereka—Elsword?"

Ain terhenti sebentar, tatapannya tidak lagi terfokus pada televisi yang sebelumnya berhasil menangkap minatnya, namun pada ponsel yang menempel di telinganya. Ketika ia mendengarkan baik-baik, ia mampu mendengar napas pelan Elsword dari ujung sambungan.

"Sudah tidur, ya?" Elsword berkata sebelumnya untuk menutup sambungannya ketika ia sudah tidur nanti. Namun akhirnya, Ain tidak mampu melakukannya. Ia hanya mendengarkan napas pelan Elsword yang kini terlelap, sesekali senyumnya mengembang ketika mendengar decak dan erangan dari laki-laki yang lebih muda darinya itu.

Andai ia menutup matanya sekarang, mungkin ia mampu melihatnya dengan jelas—sosok Elsword Sieghart yang telah terlelap dalam dunia mimpinya. Entah mimpi seperti apa yang ia sedang lihat sekarang, namun pastinya wajahnya begitu tentram dengan senyum lebarnya—seperti ketika setiap kali Elsword tertidur di ruang kesehatan, dan Ain menanti di sisi tempat tidurnya.

"...Ain..."

"Ya, Elsword?"

Ia tahu kalau Elsword hanya meracau dalam tidurnya, namun tidak mampu menahan dirinya untuk menjawab. Ia mendengar laki-laki berambut merah itu terkekeh, lalu terdengar suara menyeret dari kain serta derit kasur—mungkin Elsword baru saja berguling, mengingat Ain tidak lagi mampu mendengar napas tidur Elsword lebih jelas dari sebelumnya.

Ain masih tidak mampu menutup ponselnya.

Elsword masih ada di ujung sambungan, meski tidak lagi terbangun dan mungkin menikmati sebuah mimpi yang indah. Bahkan ketika Ain mulai membereskan makanannya dan mematikan televisinya, bersiap untuk tidur, ponselnya masih tertempel di telinganya. Bahkan ketika ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur, ia masih mampu mendengar napas Elsword dari ponselnya.

Ia kembali teringat ketika Elsword menanyakan apakah ada orang yang ia sukai atau tidak. Pertanyaan yang tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Ain—pertanyaan yang seharusnya tidak Elsword tanyakan.

Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan siapapun untuknya.

Andai saja Elsword tidak menanyakan itu—mungkin Ain tidak akan pernah menyadarinya sendiri.

"Aku tidak pernah memikirkannya seperti itu. Ini semua salahmu."

Bahkan suaranya sendiri terasa berubah, seolah bukan dirinya yang barusan berbicara. Seolah suara yang penuh keputusasaan itu bukan miliknya. Seolah suara bergetar yang membuat dadanya terasa sakit bukan miliknya.

"Aku menyukaimu."

Ia benar-benar berharap Elsword tidak mendengarnya sekarang. Entah bagaimana ia bisa menghadapi Elsword besok jika Elsword mendengar ucapannya ini.

Namun Ain tidak mampu menahan dirinya sendiri.

"Aku menyukaimu."

Sesuatu yang sudah ia rasakan sejak Elsword muncul di depan pintu ruang kesehatan dengan dua orang yang terluka di tangannya. Ketika ia tersenyum jahil dan berkata bahwa ia akan melindungi siapapun—bahkan jika orang itu menyakitinya sekalipun.

(Anak aneh yang tidak bisa ia tinggalkan seorang diri—yang mungkin akan menghilang dan melupakannya jika Ain melepaskan pandangannya satu detik saja dari anak itu.)

"Aku menyukaimu."

Ia mendengarkan napas pelan dan tenang Elsword sebentar lagi, memastikan ia tidak menerima jawaban apapun. Setelah satu lagi bisikan, akhirnya Ain memaksa dirinya untuk menutup ponselnya.

"Aku menyukaimu."

Ia masih berbisik pada layar ponsel yang telah kehilangan cahayanya.

.

.

.

Perasaan ini tidak akan terbalas.

Karena ia ditakdirkan untuk dilupakan oleh Elsword suatu hari nanti.

Karena itu—

Andai saja ia tidak mengenal perasaan ini—

.

.

.

.

.

To be continued.


*banting leptop* Selamat tahun baru 2017 semua!tandaseru, nanashimai kembali membawakan coretphpcoret cerita baru dengan main pairing Ainsword aka Ain dan Elsword karena saya masih tergila-gila dengan dua orang ini hhahahahahahahhahwhawhahwhahwhah #digiles

Cerita ini multichapter, dan saya nggak berani ngasih tau berapa jumlah chapter seharusnya. Karena chapter ini seharusnya lebih panjang, dan akhirnya chapter 1 harus saya potong jadi tiga (holy motherfucker) bagian. Bagian pertama masih romansa, dan cerita sebenarnya baru dimulai di chapter 3, alias bagian terakhir dari chapter 1 yang seharusnya.

Sebenarnya saya bisa bikin ini lebih pendek, namun saya pengen bikin fluff sebelum cerita ini berubah dark hwhwhwhwh seperti biasa, jangan tertipu chapter 1 dari cerita nanas. Hehe.

Terima kasih buat semua yang sudah membaca fanfic ini. Saya masih bingung kapan ya Ain masuk dalam list karakter di fandom ini. Sayang daku nggak ngerti cara minta izin admin untuk menambah karakter. Maklum gaptek. :(

Ohya, saya juga ingin menyampaikan pesan untuk anonim 'owo' yang memberi review di Soliloquize: "Ya, saya bikin fanfic d*ng*nr*np*, cuma udah saya hapus dan kemungkinan bakal muncul lagi nanti, setelah saya lepas dari stuck saya buat cerita itu. Dan terima kasih sudah review ya, hehe."

Intinya,

Saya tidak memiliki apapun yang ada di dalam fanfic ini, termasuk beberapa garam yang memang asli saya rasakan (Merlin dan Your Name., btw). Saya akan kembali ke sudut saya yang kini dipenuhi orang-orang yang tidak punya Merlin.

Ciao~ and see you on the next chapter~

/ngacir