"Sehun..."

"Hm?"

"Mau mengabulkan dua permintaanku?"

"..."

"Jika aku mati nanti, pastikan pelurunya tepat mengenai otakku, karena semasa hidupku otakku lah yang menikamku pelan-pelan. Jangan sampai mengenai dadaku, karena hatiku patut lestari sebab selama ini hanya hatiku lah organ yang tak pernah kugunakan. Dan satu lagi..."

"..."

"Jangan pernah mengingatku lagi setelah aku pergi."


.........

stardust

sachimalff fanfiction

.........


author : sachimalff

warning : manxman, typos, contains a bloody chap in the first chapter

disclaimer : God and themselves

pairing : oh sehun - lu han

background music : 5sos - Everything I didn't say


.........

.........stardust.........

"Maybe, just maybe, we will have another option aside from the death."

.........stardust.........

.........


Sehun merasa ia sudah gila. Ia merasa darahnya berdesir ketika melihat warna merah menyala, apalagi jika itu datangnya dari tubuh yang tergeletak tak berdaya, terbujur kaku karena ulahnya. Ada sensasi menyenangkan kala ia mencabut nyawa. Ada sensasi bangga saat ia mendengar jerit tangis dan pinta pilu orang-orang ini, seolah mereka sedang berlutut seperti hamba dan Sehun lah Tuhannya.

Ia senang bermain sebagai Tuhan Yang Maha Keji.

Selesai melaksanakan tugasnya, ia kembali menyimpan pistol yang selalu ia gunakan untuk mengeksekusi targetnya ke dalam saku jas hitam yang ia kenakan.

Sesaat sebelum ia menoleh ke belakang, tepat di saat itulah telinganya mendengar tepuk tangan dari arah belakang tubuhnya.

"Seperti biasa, Oh Sehun, membunuh tanpa ampun, eh?"

Sehun lantas membalikkan tubuhnya karena suara asing yang memujinya barusan dan tepat di belakang sana, ia menemukan sosok yang selama dua bulan kedepan akan menggunakan jasanya.

Pria itu nampak bengis dengan senyum licik dan mata yang berkilat tajam, bergantian memandang Sehun dan dua mayat yang tergeletak di atas lantai marmer dengan darah yang mengucur keluar tanpa henti.

"Ada perlu apa kau kesini? Bukankah sudah kubilang jika aku baru akan bekerja untukmu lusa?" Ia tak bermaksud untuk bersikap dingin, namun entah mengapa hatinya-Sehun ragu apakah ia masih punya hati untuk merasa, namun ada panggilan dalam jiwanya-merasa tak suka dengan pria yang akan menjadi atasannya itu. Sehun tahu ia tak seharusnya menggunakan perasaan dalam hal semacam ini apalagi pada pekerjaan yang ia tekuni seperti ini, namun ada dorongan dalam dirinya yang mengatakan jika harusnya ia tak bekerja untuk orang ini. Entah mengapa.

Dan seolah bisa membaca pikirannya, pria dengan tuksedo rapi di depannya itu mengangkat satu alisnya. "Aku hanya takut kau akan berubah pikiran."

"Kaupikir aku pengecut?"

"Tidak, tentu saja tidak," jawab pria tersebut, sambil mengibaskan tangannya santai. "Tapi jelas dari tatapanmu barusan kau terlihat meragu dan... gentar?"

Sehun mendengus, namun tak lagi menjawab perkataan pria itu. Sebaliknya, ia malah berbalik dan berjalan lurus, melewati dua mayat yang baru saja ia habisi dalam satu waktu tanpa memedulikan bahwa sosok yang ia tinggalkan di belakang adalah calon atasannya.

Namun baru lima langkah ia berjalan, suara yang sama kembalu berdenging di telinganya.

"Byun Baekhyun... Hm, bukankah nama yang indah? Tentu kau takkan melewatkan uang sebesar ini hanya karena kau ragu, kan, Oh Sehun?"

Sehun mengatupkan bibirnya, rahangnya mengeras sempurna dan ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih sempurna.

Kejam bagaimana hanya dengan satu nama, ia menjadi pembunuh tak berperasaan. Kejam bagaimana hanya membawa sebuah nama, ia akan membunuh seperti malaikat maut. Kejam bagaimana ia sadar bahwa uang kini mengontrol hidup dan jiwanya yang menghitam bersama neraka paling bawah di ujung kehidupan. Kejam bagaimana hidup menempanya menjadi pengemis berdarah dingin dengan pistol dan peluru di ujung jiwanya. Kejam bagaimana ia tahu, namun ia tak melakukan apapun kecuali menjawab-

"Aku tahu."

Terdengar suara tawa yang bagi Sehun terasa begitu dingin dan keji, dan setelahnya ia lanjut berjalan walau Tuan Kim bersorak padanya.

"Kutunggu kau di mansion-ku lusa pukul sepuluh!"

Dan Sehun terus berjalan menghiraukannya, membiarkan tawa dan suaranya berdenging di ujung telinganya, pelan-pelan pupus ditelan angin malam kota Seoul.


"Sehun."

Seribu kalipun pemuda di belakangnya memanggil namanya, ia takkan menjawabnya dan malah memilih untuk mengamati koleksi pistol yang ia miliki di depan lemari kaca di depannya seolah pistol-pistol itu adalah hidupnya.

"Sehun, aku tahu benar kau mendengarku."

Masih tak ada jawaban, dan hal itu membuat pemuda bernama Kim Jongin itu menggeram kesal.

"Oh Sehun!"

"Berengsek, Jongin, bisakah kau tak menggangguku sedetik saja?!" jawab Sehun murka sembari membalik badannya hingga kini ia bertatap muka dengan rekan kerjanya itu.

"Tidak sebelum kau menjawab pertanyaanku."

Mendesah lelah karena ia tahu benar bila Jongin takkan diam sebelum ia mendapatkan jawaban darinya, Sehun memilih untuk menyenderkan tubuhnya pada lemari kaca di belakangnya, melipat tangan di depan dada dan memandang Jongin dengan tatapan dingin.

"Shoot."

"Kudengar dari Yixing, katanya kau pernah ingin menolak untuk bekerja dengan Tuan Kim ini."

"Jadi, kau hanya penasaran dengan hal sepele macam itu?"

Jongin terkesiap dan membulatkan matanya secara dramatis, membuat Sehun menatapnya bosan.

"Bukan hal sepele jika seorang Oh Sehun pilih-pilih dalam bekerjasama dengan seseorang! Semua iblis yang telah familiar dengan dunia gelap macam ini tahu jika kau tak pernah ragu-ragu dalam menerima kasus!"

"Jongin, plis, kau mendramatisir. Aku bukannya tak pernah ragu-ragu, hanya saja..."

Ada jeda yang menggantung dalam kalimat Sehun, dan hal itu membuat Jongin mengangkat satu alisnya, menantang jawaban yang mengikuti.

"Well?"

Sehun menghela napas, merutuki dirinya sendiri yang sebenarnya tak tahu mengapa kali ini ia terasa gentar.

"Aku tak memiliki alasan khusus, dan jujur saja, aku tak tahu mengapa aku bersikap begini. Yang aku tahu adalah aku merasa bahwa aku tak seharusnya menerima tawaran dari si Tuan Kim ini."

Jongin menatap Sehun ragu-ragu, seolah ia ingin mengatakan sesuatu namun perkataannya hanya sampai ke tenggorokannya. Namun sedetik kemudian, ia memutuskan untuk membuka mulutnya.

"Tapi, bukannya kau sedang perlu uangnya?"

Ada jeda yang lama menutupi pembicaraan mereka berdua, dan Sehun tahu benar bahwa Jongin tak butuh konfirmasinya untuk tahu bahwa apa yang ia ucapkan adalah fakta.

Namun seolah tak ingin memikirkan maupun menerima kenyataan, ia lebih memilih untuk berbalik meninggalkan pertanyaan Jongin menggantung tak terjawab.

Matanya yang tajam terpasung pada deretan alat eksekusi nyawa yang selama ini menjadi penolong dan penghasil uang baginya, dan ia sudah terlanjur sayang sekaligus benci akan perasaan yang ada tiap kali kulit pucatnya menyentuh permukaan dingin pistol-pistol tersebut.

Ia merasakan dinginnya takkan mampu mengalahkan rasa menggigil dalam jiwanya yang berteriak ingin berhenti, pergi, dan berlari.


"Untuk yang terakhir kalinya, Sehun, kau yakin akan hal ini?"

Seribu kalipun ia ditanya hal yang sama, jawabannya hanya akan menjadi satu anggukan tegas.

"Dengar, Sehun, aku tak bermaksud untuk mencampuri urusanmu, namun aku juga tahu dari Jongin bahwa kau sempat merasa ragu untuk mengambil kesempatan ini, apakah benar?"

Sehun mati-matian untuk tidak mengumpati mulut berengsek Jongin dan keinginannya untuk menyebar gosip.

"Ya, aku mengakui bahwa aku sempat merasa ragu. Namun kau jangan khawatir, Kris, karena aku sudah membulatkan tekadku dan kau sudah mengenalku. Aku akan melaksanakan tugasku tanpa cacat jika aku telah berkomitmen."

Kris, seniornya yang duduk di seberang sana, menatapnya sangsi. "Ini seperti bukan kau yang biasanya. Selama ini kau tak pernah memilih-milih kasus."

Sehun menatap Kris tegas, dan dari bibirnya keluar jawaban yang selama ini ingin ia utarakan.

"Aku tak pernah memilih klien, ya, benar. Tapi itu bukan karena aku tak mau, namun karena aku tak pernah bisa memilih. Selama ini, orang yang menggunakan jasaku selalu datang memintaku membunuh seseorang yang benar-benar bersalah dan kejam walau aku tahu pembunuh macam aku tak punya hak untuk berbicara mengenai baik dan buruk. Namun kali ini..." Sehun berhenti sejenak, menurunkan pandangannya pada meja kayu yang memisahkan dirinya dengan sosok Kris di ujung sana. "Aku sempat ragu karena ia ingin membunuh seseorang dengan alasan yang konyol. Irasional."

"Kau tidak perlu membunuhnya, Sehun."

Alis Sehun terangkat mendengar informasi baru ini.

"Kau hanya akan ditugaskan untuk menyekapnya selama dua bulan, dan jika kau ingin, kau boleh membunuhnya sendiri namun jika kau keberatan, aku yang akan melakukannya."

Sehun ingin tertawa dan mengasihani siapapun yang akan jadi target mereka kali ini, dan walaupun ia sadar bahwa ini bukan tempatnya untuk berbicara, ia ingin sekali merasa kasihan dan iba.

"Jadi Tuan Kim ini menjadikannya seperti domba yang dirawat sebelum akhirnya di bunuh, begitu? Bukankah itu terlihat lebih kejam?"

"Semua yang kita lakukan adalah hal kejam, baik itu kecil maupun besar. Baik itu membunuh orang bersalah ataupun tidak, apa yang kita lakukan ini kejam, dan tak ada tingkatan dalam kekejaman, Sehun. Lagipula, bukankah dari awal aku sudah mengatakan padamu bahwa pekerjaan semacam ini tak boleh mengikutsertakan perasaan dan nurani?"

Dengan jawaban semacam itu, Sehun tak bisa menjawab sepatah katapun. Karena ia tahu apa yang dikatakan Kris adalah sebuah fakta yang sialnya, tak bisa ia bantah.

"Sekarang biarkan aku menjelaskan padamu siapa itu Tuan Kim, dan apa hubungannya dengan target kita."

Sehun mengangguk kaku, mengawasi gerak-gerik Kris dalam diam. Ia melihat dari ekor matanya bagaimana jemari Kris terlihat sedang sibuk membolak-balik berkas di atas meja, dan bagaimana mata elangnya memicing tajam seraya ia membeberkan beberapa hal padanya.

"Klienmu kali ini adalah Kim Hyungsoo, seorang politikus sekaligus pengusaha top tier Asia. Ia dikenal sebagai politikus licik yang tak segan-segan menodai tangannya lewat pembunuh bayaran untuk menyingkirkan lawannya secara lihai, namun ada yang berbeda dengan kasus yang ia limpahkan kali ini."

Sehun mendengarkan dengan seksama, mencoba mematrikan informasi-informasi penting yang dipaparkan oleh Kris padanya karena ia tahu, informasi-informasi dasar inilah yang bakan menjadi tonggak baginya untuk melaksanakan tugasnya.

"Tujuh tahun yang lalu, ia mengembangkan bisnisnya pada saham perusahaan kloning internasional di Beijing, China. Ada sebuah hal menarik di sini, karena lima tahun yang lalu setelah ia mulai menanamkan sahamnya pada perusahaan kloning, ia tanpa perhitungan yang matang mencoba untuk membuat kloning istrinya yang pada waktu itu sedang sekarat namun naasnya, istrinya meninggal setahun sebelum proses pengkloningan itu berlangsung. Hukum internasional yang mengikat perusahaan kloning itu jelas-jelas mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan membuat kloning untuk manusia yang telah mati. Dan kali ini, ia ingin mengambil serum istrinya untuk melaksanakan pengkloningan itu sendiri di bawah para ilmuwan kaki tangannya. Namun masalahnya adalah, seorang yang bertanggung jawab atas serum milik istrinya ini menolak untuk memberi tahu semua hal terkait serum dan tata pelaksanaaannya. Dan..."

"Dan targetku kali ini adalah orang yang bertanggung jawab atas serum itu?"

Kris mengangguk kaku.

"Kau ditugaskan untuk menyekapnya dan menyuruhnya agar mengaku, dan selama itu pula kau dibebaskan untuk menggunakan cara apapun agar ia mau buka suara. Namun jika dalam tempo dua bulan ia tetap tak mau membuka suara, kau bisa membunuhnya."

"Mengapa dua bulan?"

"Karena menurut para ilmuwan yang bekerja bersama Tuan Kim, serum yang dibawa oleh targetmu akan tak valid dalam jangka waktu itu."

"Kupikir aku mendengar informasi dari Yixing bahwa klienku kali ini menugaskanku untuk membunuh anaknya..." jeda, dan dalan tiga detik setelahnya Sehun mengangkat kepalanya, menatap Kris dengan tatapan yang tak terdefinisikan. "Apakah..."

Seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Sehun, Kris mengangguk.

"Targetmu adalah anak kandung istri Tuan Kim, dan itu artinya ia adalah anak tiri Tuan Kim."

Sehun menatap Kris dengan tatapan kosong, seakan baru pertama kali ini ia mengetahui ada masalah sepelik ini di dunia ini.

"Nama..."

"Huh?" Kris melempar tatapan bingung pada Oh Sehun yang kini menatapnya dengan tatapan tajam.

"Aku perlu tahu nama target kita untuk melakukan profiling dan melacaknya."

Ada kilat ragu dan gentar yang ditampilkan Kris pada dua keping cokelatnya, dan dalam suaranya ketika ia menggumamkan sebuah nama, Sehun bisa mendengar getaran yang lirih dan rasa putus asa yang menggelanyut pasrah.

"Lu Han."


tbc