A SIDE

...

DISCLAIMER MASASHI KISHIMOTO

SASUKE X SAKURA

...

Summary : Jauh dalam hatinya; Sakura masih mencintai Uchiha Sasuke. Sakura masih menyimpan trauma peperangan yang mengambil kedua orang tua juga Sahabat baiknya, akhirnya memutuskan untuk menjadi 'orang lain' dalam kehidupannya sendiri agar semuanya baik-baik saja.

.

.

.

Aku bahagia memilih untuk ikut Sasuke bersama timnya. Karin sangat perhatian padaku meskipun lidahnya tajam sekali, Suigetsu yang selalu membuat suasana menjadi ramai dengan tingkah lakunya yang konyol, kemudian Juugo yang sangat dewasa seolah-olah mengurus keperluan kami semua.

Sasuke masih pendiam dan terkadang dingin dengan semua orang. Terkadang ia hangat pada kami, dia bahkan sudah benar-benar menerima keberadaanku. Aku bukan lagi Sakura kecil yang akan berteriak memanggil-manggil namanya, atau mencari perhatian dengan melakukan hal-hal bodoh. Ketika Naruto menawariku dan Sai untuk ikut menjalankan misi pemutihan nama Uchiha juga nama-nama seluruh tim Taka karena sudah membantu Konoha ketika perang dunia shinobi, saat itu aku pikir semuanya tidak akan menjadi baik. Karin adalah perempuan yang sangat mencintai Sasuke dan aku pikir dia mengira aku hanya akan menganggu, juga bagaimana jika Sasuke tidak mau?

Namun diluar dugaan. Ketika kami semua dipertemukan, Karin seketika menyambutku dengan baik. Kami banyak melakukan sentuhan tangan setelahnya, ia banyak menggenggam tanganku ketika kami berbicara. Karin sangat lega, setidaknya dia akan mempunyai teman perempuan selama menjalankan misi. Ia bahkan menemaniku berkemas dan membersihkan rumahku juga menginap dua hari sebelum keberangkatan kami.

Sama dengan Karin, Sasuke tidak butuh waktu lama untuk menyetujui saran dari Naruto. Sasuke berkata bahwa dengan adanya ninja medis tambahan, semuanya akan lebih mudah. Ia juga menoleh pada Sai sambil berkata bahwa lukisan burung raksasa Sai akan menjadi kendaraan mereka ketika berangkat. Aku melihat Sasuke yang benar-benar mencerminkan dirinya adalah pemimpin, aku tetap melihat luka peperangan dari wajahnya, juga raut wajah sombong yang egois yang masih sangat terlihat dari wajah datarnya. Namun Sasuke yang aku kenal sekarang adalah seorang pemimpin yang baik, juga seorang pria yang sangat dewasa. Aku masih mencintainya, aku merasa sudah cukup dengan kenyataan itu.

Aku dan Sai akan mengawasi pergerakan misi tim Sasuke yang ditugaskan untuk mencari sisa-sisa perang shinobi. Menyusuri semua desa yang kini menjalin diplomasi dengan Konoha untuk melihat aktivitas ninja di sana. Semua negara juga membentuk tim serupa tim kami untuk memastikan bahwa tidak ada ninja mata-mata yang sekiranya akan memunculkan kembali peperangan.

Aku menutup pintu rumahku dengan perasaan ragu pada hari keberangkatan kami kala itu. Dalam benakku, setelah aku menutup pintu ini aku akan benar-benar merindukan Konoha. Aku menghela napas, Karin menepuk pundakku ringan. Rambut merahnya dikuncir satu, baju ketatnya kini berganti dengan celana longgar selutut berwarna ungu gelap dan kemeja yang panjang lengannya hanya sampai siku berwana cokelat tua. Karin begitu dewasa, beberapa hari hidup bersama Karin membuatku merasa memiliki seorang saudara perempuan. Aku merasa seperti memiliki sahabat seperti Ino.

"Ayo, kau tidak tahu Suigetsu suka menggerutu seperti nenek-nenek kalau kita lama."

Aku tersenyum kecil, menutup pintu dan mengucapakan salam pada foto mendiang kedua orang tuaku.

Kami semua berkumpul di gerbang Konoha. Kami sepakat menamai tim kami dengan nama Natsu, yang artinya musim panas. Naruto, Hinata dan guru Kakashi melepas kepergian kami. Aku memeluk mereka satu persatu, paling lama adalah pelukanku dengan Hinata. Aku memberikan hinata sebuah pot kecil berisi tanaman bonsai. Aku meminta ia untuk merawat tanaman pemberian Ino. Kami menunjukan tanda sedang berusaha menahan tangis. Bagaimanapun kepergian Ino pasti lebih menyakiti Sai dari pada kami berdua. Mereka sempat diam-diam merencanakan pertunangan sebelum akhirnya Ino gugur di medan peperangan.

Guru Kakashi yang statusnya adalah suami dari guru Kurenai kini menjadi ayah angkatku dan Sai. Kami bertiga berpelukan selayaknya keluarga. Dalam kartu keluarga, aku adalah adik sai. Namaku masih Haruno Sakura sementara Sai sudah berubah menjadi Hatake Sai. Aku masih tinggal di rumah yang dibangun ulang oleh desa akhibat roboh ketika terjadi perang, sedangkan Sai sudah tinggal bersama dengan Guru Kakashi setelah kami resmi masuk dalam kartu keluarga guru Kakashi.

"Ayah akan merindukan kalian."

Untuk pertama kalinya kami berpelukan sebagai sebuah keluarga. "Jaga adikmu, Sai." Guru Kakashi mengusap rambutku.

Kemudian kami berangkat dengan lukisan elang sai. Aku bersama dengan Juugo—atas permintaan Sai, sedangkan yang lain sendirian.

Kini tak terasa satu tahun sudah berlalu semenjak kami meninggalkan Konoha. Selama itu pula kami sudah berpindah dua desa. Kali ini kami sedang menempati desa ketiga, yaitu Umigakure. Sebuah desa yang berada pada sebuah pulau kecil selepas pantai Amegakure dan dikelilingi lautan lepas. Berterima kasihlah dengan hewan-hewan hasil lukisan Sai. Kami sampai di sini dengan selamat berkat lukisan kura-kura raksasanya.

"Melamun Hime." Aku tersentak, kemudian menoleh ke arah sumber suara. Cuaca sedang gerimis sedangkan jarum jam menunjukan pukul satu siang, dan aku melihat sai hanya menggunakan celana panjang tanpa atasan. Ia terbiasa memanggilku demikian semenjak kami sepakat untuk menjdi kakak dan adik sungguhan. Berterimakasih lah pada guru Kakashi yang selalu menulis 'ayah' untuk dirinya, dalam surat-surat yang ia kirimkan setiap bulan.

"Kau bisa masuk angin Sai." Aku melihatnya terkekeh sambil memakan apel ditangannya.

"Panggil aku Kakak Sai, Hime. Oh, Juugo memetik banyak apel di hutan yang letaknya ada di ujung pulau ini, lama-lama dia akan menjadi seorang ibu, atau sebaiknya kita mulai comblangkan dia dengan Ayah Kakasihi? Bagaimana menurutmu Hime?" ia menghiraukan ucapanku tadi, aku melemparinya bantal.

"Pergilah Sai, bantu Sasuke mengendalikan Suigetsu di laut sana." Ucapku sambil memakan roti panggang buatan Karin.

Aku melihat sai berbinar sambil menatapaku, "Sasuke, ya?" aku melotot mengerti maksud dari ucapannya, kemudian melempari sai dengan bantal. Ia hanya tertawa sambil pergi keluar dari kamarku.

Sai tahu betul bagaimana perasaanku pada Sasuke, namun aku selalu meyakinkan Sai bahwa semua sudah tidak seperti dulu lagi. Sai terlihat tidak percaya dan ia akan memelukku singkat sambil mencemooh.

.

.

.

.

Sekitar pukul tujuh malam Sasuke, Suigetsu dan Sai pulang dari laut. Hari ini kami memang ditugaskan oleh Hyusize-sama untuk menyelam bersama para shinobi desa ini untuk melihat perkembangan terumbu karang yang ada di sekitar pantai. Namu atas interuksi Sasuke, sebaiknya yang berangkat hanya dia dan Suigetsu saja, namun sepertinya Sai menyusul setelah menggodaku siang tadi.

"Aku membawa kerang dan ikan untuk para wanita!" teriakan Suigetsu menggema di ruang santai rumah ini, di mana kami semua sedang berkumpul.

"Apa yang kau maksud ikan itu dirimu sendiri, Sui-chan?" aku tertawa melihat Karin dan Suigetsu melakukan perdebatan kecil. Mereka memang selalu demikian, kami semua tahu mereka diam-diam saling menaruh hati. Tapi mulut keji Suigetsu dan sikap Arogan dan keras kepala Karin membuat semuanya tidak mudah

"Berisik sekali kalian ini, kemarikan kerang dan ikan itu, aku dan Sakura akan memasak." Suara berat Juugo menginterupsi kegiatan adu mulut mereka di ruangan ini. Aku yang sedang bersantai duduk di atas sofa sedikit terkejut ketika Sasuke memposisikan tubuhnya di sampingku.

Aku menoleh dan berusaha sebisa mungkin untuk menunjukan sikap sewajarnya di depan leki-laki yang masih aku cintai tersebut.

"Tidak mandi, Sasuke?"

Dia menoleh dan memandangku beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya pada layar televisi.

"Giliran dengan kakakmu."

Jika tidak terbiasa, pastilah orang akan mengira bahwa Sasuke adalah laki-laki yang sombong dan enggan berbaur dengan lingkungan. Ya, dulu iya. Sekarang meskipun kosa katanya masih minim, tapi Sasuke sudah berubah menjadi laki-laki yang lebih ramah. Sudah tidak ada lagi mata yang memunculkan kebencian dalam dirinya. Akhirnya ia menerima masa lalu klan Uchiha dan memilih untuk membersihkan nama klan kebanggaannya tersebut dengan memilih misi diplomasi ini. Tujuannya mudah sekali, Sasuke ingin menunjukan bahwa klan uchiha masih ada dan tidak seburuk yang mereka kira.

"Ciyee, ngobrol."

Aku menoleh ke belakang dan sudah kuduga suara tersebut berasal dari mulut busuk kakak angkatku sendiri. Aku sempat kawatir jika Sasuke akan menunjukan reaksi terganggu, namun samar-samar yang aku dengar adalah dengusan geli.

"Ciyee..." sekarang Karin dan Sui ikut-ikutan menggumamkan ledekan sambil mengacungkan tangannya pada kami berdua.

"Sudah, aku mau memasak bersama mama Juugo. Kalian berisik sekali." Aku berusaha menjukan bahwa aku sama sekali tidak merasakan apa-apa ketika mereka melontarkan ledekan padaku dan Sasuke. Aku memasuki dapur dengan santai tanpa terlihat gugup atau sekadar terlihat memikirkan ledekan mereka bertiga.

Sebenarnya aku ingin berkata; Sudah, jangan buat Sasuke tahu.

.

.

.

Aku memutuskan untuk memasak kerang asam manis bersama Juugo dan menyimpan ikan di dalam lemari pendingin untuk sarapan besok. Agenda besok adalah giliran patroliku, Karin dan Juugo. Tempat patroli kami ada dua, dan kami memutuskan untuk berpencar menjadi dua kelompok kecil. Aku akan terbang dengan burung elang sai, bersama dua ninja patroli desa ini sedangkan Karin dan Juugo akan menjadi satu tim. Tadi pagi-pagi sekali Sai sudah ribut tentang kenapa aku mau sendirian, kenapa bukan dengan karin atau kenapa tidak minta ditemani Sai. Aku meliriknya tajam sambil bergumam marah pagi tadi, dia terlalu khawatir padaku padahal aku baik-baik saja 'kan?

"Melamun, Haruno?"

Aku terkejut ketika Juugo menyentuh tanganku. Sedikit saja pisau pasti sudah menyentuh kulit-kulit jariku ternyata.

"Ah, maaf aku teledor, hehe."

Dia tersenyum simpul sambil kembali pada aktivitasnya membersihkan kerang di sampingku.

"Kau betah di sini?"

"Y-ya," aku terkejut lagi dengan pertanyaannya yang tiba-tiba, "Kau betah di sini Juga?" ia terkekeh pelan.

"Selama ada mereka bertiga aku pasti betah. Keluargaku tinggal mereka saja."

Aku tersenyum simpul. Lalu sebuah ide muncul dikepalaku, aku mengambil kupasan bawang putih lalu melemparnya ke arah Juugo.

"Oh, begini-begini aku dan Sai yang mulutnya rusak itu juga keluargamu lho!" aku berkacak pinggang pura-pura marah pada Juugo. Ia terkekeh lalu menciprat-cipratkan air keran ke arahku.

"Astaga, kemana pikiranmu itu. Tanganmu bau amis!"

Kami tertawa bersama kemudian. Sampai suara Karin yang menggelegar menginterupsi acara bercanda kami berdua.

"Astaga aku sudah lapar!"

.

.

.

"Apa ada air putih dingin, Sakura?"

Aku hampir melempar piring berisi potongan buah apel ke depan ketika kudengar sebuah suara di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Sasuke sudah rapi dengan celana panjang dan kaos berlambang kipas kecil di dada kirinya.

"Ada di lemari pendingin, oh—kau sudah siap mau kemana Sasuke?" aku masih belajar untuk menghilangkan kun ketika menyebutkan namanya setahun belakangan semenjak kami satu kelompok. Aku merasa tidak bagus jika bayang-bayang masa lalu bahwa aku mencintainya masih terlihat jelas sementara kami hidup bersama secara harafiah.

"Aku akan berkeliling hutan di sebelah timur pulau ini."

Aku melirik jam dinding yang masih menunjukan pukul tiga dini hari. Aku memang terbagun beberapa menit yang lalu. Mimpi buruk tentang peperangan masih menghantuiku begitu jelas sampai saat ini. Aku rindu Konoha, namun entah aku juga tidak ingin pulang jika kepulanganku hanya akan membuat diriku sendirian tanpa adanya Ino.

"Tunggu aku ikut."

Tanpa menunggu persetujuan Sasuke aku sudah berlari menuju kamarku untuk mencuci muka, tidak lupa menggalkan catatan kecil agar ketika Sai atau Karin memasuki kamarku mereka tahu aku ada di mana.

Sasuke sudah menungguku di ambang pintu sambil memasang jaket tebalnya. Aku sudah siap dengan celana panjang selutut sewarna rambutku dan kaos berwarna hijau lumut lengan panjang. Tidak lupa mambawa jaket tebal milikku sendiri.

Kami berjalan bersisihan begitu keluar dari pondok yang memang disediakan oleh desa ini untuk para diplomat. Rumah yang bisa kubilang megah dan nyaman, tidak jauh dari laut tidak juga jauh dari pemukiman penduduk, tepatnya di hutan yang terletak di tengah-tengah pulau ini. Kage desa ini bernama Hyusize, seorang laki-laki seusia ayah Kakashi yang begitu ramah pada warga negaranya.

"Kau sudah pamit kakakmu?"

Aku menutupi keterkejutanku ketika tiba-tiba Sasuke mengeluarkan pertanyaan padaku. "Aku sudah meninggalkan catatan kecil bahwa kita sedang ke hutan timur, Sasuke."

Kemudian hening kembali. Sasuke memang sudah tidak sedingin dulu walaupun ia tetap susah sekali diajak becanda siapa pun. Terkadang ketika ia pulang rapat bersama Hyusize-sama, tidak jarang ia membawakan makanan untuk kami semua. Ia akan memberikannya pada Juugo kemudian menghilang dibalik pintu kamarnya.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Aku mengamati wajanya dan dia menoleh padaku. "Ada asap yang sepertinya dari arah hutan timur, kita harus bergegas."

Sejurus kemudian kami sama-sama melompati dahan-dahan pepohonan.

Beberapa menit kemudian kami mendarat pada titik asap yang membumbung tinggi tadi. Sasuke merapalkan jurus kemudian seekor elang keluar dari kepulan asap. Aku tahu ia sedang menulis surat yang akan dikirimkan pada ninja keamanan desa ini.

Benar-benar ganjil ketika hari masih begitu pagi begini ada orang yang entah dengan tujuan apa membuat api unggun di tengah hutan. Tidak ada siapa-siapa di sini, juga tidak ada jejak tenda atau pun jejak-jejak kaki yang aku yakini pasti sudah di hapus.

"Sasuke."

Aku tercekat.

Sasuke berjalan ke arahku dan kudengar ia menahan napas.

Kami tidak percaya ada baju merah mudaku yang sepertinya sengaja dirobek tergeletak kotor di dekat api unggun yang sudah hampir padam.

.

.

.

Sai sedang berada di kamarku, ia diam saja semenjak aku menceritakan semuanya dengan susah payah. Karin memegang tanganku tanpa lepas sedikitpun. Sasuke sudah pergi ke rumah Hyusize-sama bersama Juugo dan Suigetsu setelah mendapat balasan surat. Kamar ini begitu hening dan kepalaku pening sekali. Benar-benar jika aku urutkan semuanya tidak beres terjadi begitu aku memasuki desa ini. Jam dinding menunjukan pukul tujuh, Juugo sepakat bahwa ia hari ini akan patroli sendirian.

Aku mengulang semuanya seperti film, mengatur mundur ingatan dari tiga bulan kebelakang ketika pertama menginjakkan kaki di sini. Aku mengalami mimpi buruk yang sangat hebat seperti baru kemarin aku selesai pulang dari peperangan dan mengetahui orang tuaku tewas, juga ketika pemakaman para pahlawan Konoha dan ternyata orang tua Ino tengah menangisi makam putrinya. Semuanya menghantamku dengan sekali pukul, dan aku hanya mematung kebas. Aku bahkan tidak menangis, hari itu. Aku kehilangan semuanya, mungkin termasuk diriku sendiri.

"Ada yang seperti sesuatu." Aku meracau tanpa sadar. Ini saatnya aku mulai menceritakan sesuatu, aku yakin potongan kait itu bukan hanya akan menjadi masalahku tapi juga bagi tim Natsu, "Aku mengalami mimpi buruk sepanjang waktu."

Aku melihat Sai berdiri dari tampat duduknya. Karin menggenggam tanganku lebih kuat. Kami semua tahu seseorang sedang mengincarku. Seseorang sudah masuk ke kamarku—lebih tepatnya.

"Aku akan mengusulkan pada Sasuke agar kau dibebaskan dari patroli malam, aku akan mengusulkan bahwa patroli akan dilakukan setiap malam di desa ini. Masalahnya adalah kita tidak tahu musuh kita sendiri atau bersama siapa. Dan Hime, setiap kami pergi patroli seseorang akan tinggal untuk menemanimu."

"Tidak adil, aku tidak selemah itu Sai, kau pikir—"

Karin memelukku. Hangat sekali, aku teringat Ino.

"Jangan sampai kita kehilangan siapa-siapa, Sakura."

Sai mengucapkan kalimat barusan dengan wajah datar syarat akan emosi, lalu pergi dengan wajah terluka. Aku meneteskan air mata, aku melihat kesedihan Sai atas kematian Ino jelas terbayang dalam wajahnya. Aku juga tidak mau kehilangan siapa-siapa. Aku harus minta maaf pada Sai nanti. Aku dan Karin berpelukan lama sekali, ia berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu ia membuatkanku minuman hangat.

Aku tertidur setelahnya dengan suara hujan deras.

...

Sekitar pukul tujuh aku terbangun dan mendapati Juugo tengah membaca sebuah buku di sofa kamarku. Karin sepertinya memberikan sesuatu dalam minumanku hingga aku terbangun dengan keadaan segar. Aku kemudian turun dari tempat tidurku karena tenggorokanku sedikit kering butuh minum air putih.

"Juugo, kau di sini?" tanyaku tak yakin

Juugo diam.

Aku mengernyitkan dahi ketika sadar bahwa posisi buku yang dibaca Juugo terbalik. Tatapan matanya pun kosong.

"Juugo? Apa kau baik-baik saja."

Kemudian aku mendegar ia tertawa, seperti ringikan kuda. Aku mundur ketika, Juugo berdiri hendak menghampiriku. Tiba-tiba wajah Juugo berubah menjadi wajah Ayahku.

"Sakuraku yang terlihat sehat? Bagaimana kabarmu setelah Ayahmu sendiri mati terkubur puing-puing rumah kita?"

Aku tercekat dan tidak bisa bergerak. Tubuhku bergetar hebat. Kemudian mendiang ayahku terlihat melepuh, ia menerjang lalu mencekik leherku dengan kuat. Aku menendang-nendang udara, napasku sudah hampir habis.

...

"Sakura!"

Aku terbangun dengan sakit kepala yang begitu hebat, semuanya tadi hanyalah mimpi. "Kau baik?" aku menoleh ke arah seseorang yang membangunkanku, aku melihat Juugo dan ingatanku berputar pada mimpiku barusan.

Aku berteriak dan berlari keluar dari kamar.

Aku menangis sejadi-jadinya, ketika aku membuka pintu menuju ke luar rumah, Sasuke degan sigap menangkap badanku. Aku memberontak dan ia menguatkan pelukannya pada tubuhku.

"Juugo berubah jadi ayahku! Demi Tuhan dia mencekikku, badannya melepuh, dan.. dan..."

Aku menangis dipelukan Sasuke. Ia berkata semuanya baik-baik saja.

Tangisanku semakin kencang ketika aku mengedarkan pandangan dan kudapati Sai, Karin, Juugo dan Suigetsu menatapku prihatin.

...

See you next chapter