The Succubus
Pair: VKOOK
Cast: Jeon Jungkook / Kim Taehyung
And other cast will be appear soon~
Genre: Romance, Drama, Supernatural, lil' bit angst
Warn: YAOI! [BOY x BOY] and typo everywhere.
ENJOY
.
"Hold me…
Wrap me in love, fill up my cup
Empty and only your love can fill up my cup
Cause I'm hollow"
.
Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar manusia menjual jiwa mereka demi lima hal; seks, uang, kekuasaan, balas dendam, dan cinta. Dalam urutan seperti itu.
Kalau begitu, kurasa aku seharusnya tidak perlu khawatir bahwa aku ada di sini karena yang numero uno –yang nomor satu– tapi seluruh situasi ini membuatku merasa… yah, murahan. Dan karena aku yang mengatakannya, itu menjadi luar biasa.
Mungkin aku hanya tidak bisa lagi berempati, renungku.
Tidak jauh dariku, Vernon menunggu dengan sabar sampai aku mengatasi keengananku. Dia memasukan tangannya ke saku celana khaki-nya yang disetrika rapi, tubuhnya bersandar di mobil Lexus-nya. "Aku tidak mengerti apa masalahnya. Kau melakukan hal ini setiap saat."
Itu tidak sepenuhnya benar, tapi kami berdua tahu apa yang dia maksud. Mengabaikannya, aku malah berpura-pura memperhatikan sekelilingku, bukan berarti hal itu bisa memperbaiki suasana hatiku. Pinggiran kota selalu menurunkan mood-ku. Rumah-rumah yang mirip. Halaman yang sempurna. Terlalu banyak mobil SUV. Di suatu tempat di tengah malam, seekor anjing menolak untuk berhenti menyalak.
"Tapi aku tidak melakukan ini," kataku akhirnya. "Bahkan aku pun memiliki standar."
Vernon mendengus, mengekspresikan opininya terhadap standarku. "Oke, kalau ini akan membuatmu lebih baik, jangan lihat ini dari sudut pandang kutukan. Anggap saja perbuatan amal."
"Perbuatan amal?"
"Iya."
Vernon menarik Poket PC miliknya, terlihat cekatan dalam berbisnis, terlepas dari penampilannya yang tidak lazim. Bukannya aku terkejut. Vernon adalah seorang imp (keturunan iblis atau iblis yang masih muda) professional, master dalam hal mendapatkan manusia yang ingin menjual jiwa mereka, ahli dalam kontrak dan celah hukum yang bisa membuat pengacara mana pun menyerngit karena iri.
Vernon juga temanku. Ini seperti memberi arti baru untuk peribahasa. Dengan teman seperti ini…
"Dengarkan ini," lanjutnya. "Jung Junseo. Penganut Lutheran yang tidak taat. Bekerja di sebuah toko game di mal. Tinggal di basement di sini… di rumah orangtuanya."
"Oh, Tuhan."
"Sudah kubilang."
"Amal atau bukan, ini tampaknya begitu ekstrem. Berapa usianya?"
"Tiga puluh empat."
"Ew…"
"Tepat sekali. Kalau kau sudah setua itu dan belum pernah melakukannya, kau mungkin akan mengambil tindakan yang putus asa juga." Vernon melirik jam tangannya. "Jadi, kau mau melakukannya atau tidak?"
Aku pasti telah menahan Vernon dari kencannya bersama seorang wanita seksi yang berusia setengah usianya –yang kumaksud, tentu saja, usia Vernon yang terlihat. Sebenarnya, dia hampir berumur satu abad.
Aku meletakkan tasku di tanah dan meliriknya penuh peringatan. "Kau berutang padaku."
"Tentu saja," Vernon mengakui. Ini bukan aksiku yang biasa, untunglah. Imp itu biasanya melakukan outsourcing untuk hal-hal seperti ini, tapi malam ini dia terbentur masalah jadwal. Aku tidak bisa membayangkan siapa yang biasanya disuruh melakukan hal ini.
Aku mulai melangkah ke rumah, tapi Vernon menghentikanku. "Jungkook?"
"Yeah?"
"Ada… satu hal lagi…"
Aku membalikkan badan, tidak menyukai nada suara Vernon. "Ya?"
"Dia, um… punya permintaan khusus."
Aku mengangkat sebelah alis dan menunggu.
"Begini, uh, dia benar-benar menyukai hal-hal jahat. Kau mengerti, kan, dia membayangkan menjual jiwanya pada iblis… dan karena itu dia harus menyerahkan keperjakaannya kepada… entahlah, iblis atau semacamnya."
Aku bersumpah, bahkan anjing berhenti menggoggong mendengarnya. "Kau bercanda."
Vernon tidak merespons.
"Aku bukan… tidak. Tidak mungkin aku melakukannya…"
"Ayolah, Jungkook. tidak sulit. Sedikit ornament. Asap dan cermin. Please? Lakukan ini untukku." Vernon mulai membujuk dan merayu. Sulit ditolak. Seperti yang kukatakan, di sangat berpengalaman. "Aku benar-benar dalam kesulitan… kalau kau bisa membantuku… akan sangat berarti untukku…"
Aku mengerang, tidak bisa menolak tampang menyedihkan di wajah Vernon yang terlihat uh! Bagaimana menyebutnya? Mungkin tepatnya menggelikan. "Kalau ada yang sampai tahu soal ini…"
"Bibirku terkunci." Vernon bahkan berani melakukan gerakan menyegel.
Membungkuk, pasrah, aku melepaskan tali sepatuku.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Vernon.
"Ini sepatu favoritku. Aku tidak ingin sepatuku ini ikut berubah saat aku berubah." Jawab Jungkook.
"Yeah, tapi… kau bisa mengubah bentuknya lagi nanti."
"Tidak akan sama."
"Pasti sama. Kau bisa membuatnya seperti apa pun yang kau mau. Konyol sekali."
"Dengar," aku bersikeras. "kau ingin berdiri di sini memperdebatkan soal sepatu, atau kau ingin aku melakukan tugasku pada perjakamu?"
Vernon menutup mulutnya dan memberi isyarat ke arah rumah. Aku melangkah di rumput, ujungnya yang tajam menggelitik kakiku yang telanjang. Teras belakang yang menuju basement terbuka, seperti yang dijanjikan Vernon. Aku membiarkan diriku memasuki rumah yang sedang terlelap itu, berharap mereka tidak memiliki anjing, dengan muram bertanya-tanya bagaimana aku bisa mencapai titik serendah ini dalam keberadaanku. Mulai terbiasa dengan kegelapan, mataku segera bisa melihat ruang keluarga kelas menengah yang nyaman: sofa, televisi, rak buku. Terdapat ruangan tempat tangga di sisi kiri, dan sebuah lorong yang mengarah ke kanan.
Aku berputar turun di lorong, membiarkan penampilanku berubah saat aku berjalan. Sensasinya begitu familier, seperti bawaan diriku, sampai aku tidak perlu melihat penampilanku untuk tahu apa yang terjadi. Perawakanku menjadi lebih tinggi, tubuhku menjadi lebih kuat. Kulitku berubah menjadi pucat seperti orang mati, sama sekali tidak meninggalkan bekas warna cokelat pucat. Rambutku, masih sama panjangnya.
Sedangkan pakaianku… yah, hilang sudah celana panjang dan kaus putih polosku. Sepatu bot kulit warna hitam menutupi kakiku, dipasangkan dengan atasan halter yang senada. Sayap hitam, tanduk, dan sebuah cambuk melengkapi penampilanku.
"Oh, Tuhan," gumamku, tidak sengaja melihat pantulan diriku di sebuah cermin kecil. Aku harap para iblis setempat tidak akan pernah tahu soal ini. Mereka sangat berkelas.
Memalingkan wajah ke cermin yang tampak menghinaku, aku menatap ke lorong ke tempat tujuanku: sebuah pintu tertutup yang tertempel dengan tanda MEN AT WORK berwarna kuning. Sepertinya aku bisa mendengar suara video game samar-samar di baliknya, meski suara itu hilang sama sekali saat aku mengetuk pintu.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan aku berhadapan dengan seorang pria setinggi seratus tujuh puluh sentimeter dengan bahu lebar, rambut pirang pucat di kepalanya yang mulai botak di bagian atas. Perut yang besar dan berbulu menyembul keluar dari balik kaus Homer Simpson, dan dia memegang sekantong keripik kentang di satu tangan.
Kantong itu terjatuh ke lantai saat dia melihatku.
"Lee Junseo?" tanyaku.
"I… iya," pria itu tergagap.
Aku melecut cambuk. "Kau siap bermain denganku?"
.
Tepat enam menit kemudian, aku meninggalkan kediaman Junseo. Sepertinya, waktu tiga puluh empat tahun tidak mampu meningkatkan stamina seseorang.
"Wah, cepat sekali," kata Vernon, melihatku berjalan menyeberangi halaman depan. Dia bersandar di mobil lagi sambil merokok.
"Begitulah. Punya sebatang lagi?"
Vernon menyeringai dan mengulurkan rokoknya yang sudah dinyalakan, sambil menilai penampilanku. "Apa kau akan tersinggung kalau kubilang sayap itu cukup membuatku bergairah?"
Aku mengambil rokoknya, menyipitkan mataku padanya saat aku mengisap. Memandang sekeliling dengan cepat agar tidak ada orang yang melihat, aku mengubah bentuk ke wujudku yang biasa. "Kau berutang banyak padaku," aku mengingatkan Vernon, memakai sepatuku kembali.
"Aku tahu. Tentu saja, orang lain mungkin berangapan kau yang berutang padaku. Kau mendapatkan energy yang bagus darinya. Lebih baik daripada yang biasa kau dapatkan."
Aku tidak bisa menyangkalnya, tapi aku juga tidak merasa nyaman dengan hal itu. Kasihan Junseo. Orang aneh atau bukan, menjual jiwanya pada kutukan abadi adalah harga yang teramat mahal bagi kesenangan selama enam menit.
"Kau mau minum?" Vernon menawarkan.
"Tidak, ini sudah larut. Aku mau pulang. Ada buku yang harus kubaca."
"Ah, tentu saja. Kapan hari besarnya?"
"Besok," aku mengumumkan.
Imp itu tertawa mendengar nada suaraku yang seperti memuja seorang pahlawan. "Dia hanya menulis novel biasa. Dia bukan Nietzsche atau Thoreau."
"Hei, seseorang tidak harus menjadi surealis atau transcendental untuk menjadi penulis yang hebat. Aku tahu itu, aku sudah melihat beberapa penulis hebat seperti itu sepanjang hidupku."
Vernon menggerutu mendengar nada suaraku yang sombong, lalu membungkuk sambil mengejekku, "Sungguh tidak sopan kalau aku harus berdebat dengan seorang succubus ini soal usianya."
Aku mencium pipinya sekilas, kemudian berjalan sejauh dua blok ke tempatku memarkir mobil. Aku membuka kunci pintu mobil saat aku merasakannya; perasaan hangat dan menggelitik yang menandakan ada makhluk abadi lain mendekat. Vampir, aku mengenalinya, hanya satu milidetik berlalu sebelum dia muncul di sebelahku. Sial, vampir memang cepat.
"Jungkook, Sayangku, incubus-ku yang manis, oh… my sweety," sapa vampir itu, meletakkan tangannya di dada secara dramatis.
Bagus sekali. Benar-benar yang kubutuhkan. Sehun mungkin makhluk abadi paling menjengkelkan yang pernah kutemui. "Pergilah. Tidak ada yang ingin kukatakan padamu."
"Oh, ayolah," bujuk Sehun, tangannya terulur untuk menahan pintu mobil saat aku berusaha membukanya. "Kau tidak bisa berpura-pura sekarang. Lihat dirimu. Kau jelas-jelas bersinar. Perburuan yang sukses, ya?"
Aku menggerutu mendengar Sehun menyinggung energi kehidupan Junseo, tahu kalau itu membungkusku. Keras kepala, aku berusaha membuka pintu mobilku melawan pegangan tangannya. Tidak berhasil.
"Dia pasti tidak sadarkan diri selama berhari-hari, kalau melihat penampilanmu," Sehun menambahkan, mengamatiku. "Tetap saja, aku membayangkan siapa pun dia, pasti sangat menikmati perjalanannya… bersamamu menuju neraka." Dia tersenyum malas, hampir memperlihatkan giginya yang lancip. "Dia pasti seseorang yang cukup baik, melihat betapa menariknya dirimu sekarang. Apa yang terjadi? Kupikir kau hanya bercinta dengan sampah dunia. Bajingan yang sebenarnya."
"Perubahan kebijakan. Aku tidak ingin memberikan harapan kosong padamu."
Sehun menggelengkan kepalanya penuh pengertian. "Oh Jungkook, kau selalu memukau… dirimu dan gurauanmu. Tapi, aku selalu beranggapan bahwa pelacur tahu benar bagaimana memanfaatkan mulut mereka, baik di dalam maupun di luar pekerjaan.
"Lepaskan," aku membentak, menarik pintu lebih keras.
"Kenapa buru-buru? Aku punya hak untuk tahu apa yang kau dan imp itu lakukan di sini. Eastside adalah wilayahku."
"Kami tidak harus mematuhi aturan wilayahmu, dan kau tahu itu."
"Tetap saja, sudah menjadi norma kesopanan umum saat kau ada di wilayah seseorang, setidaknya kau bisa mengucapkan halo. Selain itu, kenapa kita tidak pernah jalan bersama? Kau berutang waktu yang menyenangkan padaku. Kau menghabiskan terlalu banyak waktu bersama para pecundang itu."
Pecundang yang Sehun maksudkan adalah teman-temanku dan vampir baik hati yang pernah kutemui. Kebanyakan vampir –seperti Sehun – sombong, tanpa keterampilan social, dan terobsesi pada teritori. Tidak seperti kebanyakan pria manusia yang kutemui.
"Kalau kau tidak melepaskanku, kau akan mengetahui arti baru dari 'kesopanan umum'."
Oke, itu bodoh, dialog tiruan dari film aksi, tapi itu yang terbaik yang bisa kukatakan saat ini. Aku membuat suaraku setajam mungkin, tapi itu jelas-jelas keberanian yang dipaksakan, dan Sehun tahu itu. incubi –para incubus– mempunyai kelebihan berupa karisma dan kemampuan mengubah bentuk; vampir memiliki kekuatan dan kecepatan super. Artinya, salah satu dari kami bisa berbaur secara lebih baik dalam sebuah pesta sementara yang lainnya bisa mematahkan pergelangan tangan seseorang hanya dengan berjabat tangan.
"Apa kau benar-benar mengancamku?" Tangan Sehun bermain di pipiku, membuat bulu kudukku berdiri –dengan cara yang buruk. Aku menggeliat. "Itu menggemaskan. Dan sedikit menggairahkan. Aku ingin melihatmu melawan. Mungkin kalau kau bersikap baik-baik… argh! Dasar pelacur kecil!"
Saat kedua tangan Sehun sibuk, aku mendapatkan kesempatan. Aku berubah bentuk dengan cepat, dan cakar tajam sepanjang tujuh sentimeter muncul di tangan kananku. Aku mencakar pipi Sehun. Refleksnya yang superior tidak membiarkanku berbuat lebih jauh, tapi setidaknya aku berhasil meneteskan darahnya sebelum dia mencengkeram pergelangan tanganku dan membantingnya ke mobil.
"Ada apa? Perlawanan kurang?" Aku mengatakannya meski merasa kesakitan. Satu lagi dialog film yang jelek.
"Lucu sekali, Jungkook. Sangat lucu. Kita lihat seberapa lucunya dirimu saat aku…"
Lampu mobil bersinar di kegelapan malam saat sebuah mobil berbelok di blok sebelah dan mendekati kami. Detik itu juga, aku bisa melihat keraguan di wajah Sehun. Pertemuan pribadi kami pasti terlihat oleh si pengemudi. Walau Sehun bisa dengan mudah membunuh seorang manusia yang ikut campur –sial, memang itulah pekerjaannya– tapi bila pembunuhan itu dihubungkan dengan pelecehannya terhadapku, maka situasinya tidak akan dianggap bagus oleh atasan kami. Bahkan bajingan seperti Sehun akan berpikir dua kali sebelum melakukan itu.
"Kita belum selesai." Sehun mendesis, melepaskan pergelangan tanganku.
"Oh, menurutku sudah." Aku bisa merasakan keberanian sekarang karena sudah selamat. "Kalau kau mendekatiku lagi, itu adalah yang terakhir kalinya."
"Aku gemetar ketakutan." Sehun menyeringai. Matanya berkilat sekali dalam kegelapan, kemudian dia menghilang, ditelan kegelapan malam saat mobil tadi melintas. Untunglah ada sesuatu yang membuat pengendara itu keluar malam-malam.
Tidak mau membuang-buang waktu lagi, aku masuk ke mobilku dan pergi dari sana, tidak sabar untuk segera sampai di kota. Aku berusaha mengabaikan tanganku yang gemetaran di kemudi, tapi sebenarnya, Sehun membuatku ketakutan. Aku memang sering mengusirnya saat teman-teman abadiku hadir, tapi menghadapinya seorang diri di jalanan yang gelap adalah suatu hal yang berbeda, terutama karena semua yang kukatakan hanyalah ancaman kosong.
Sebenarnya aku benci kekerasan dalam bentuk apa pun. Kupikir ini karena aku sudah menjalani hidup melalui periode-periode sejarah yang penuh dengan tingkat kekejaman dan kebrutalan yang tidak akan bisa dipahami dunia modern. Orang-orang sering berkata kalau kita hidup di zaman yang kejam sekarang ini, tapi mereka sama sekali tidak tahu.
Tentu saja, aku merasakan kepuasan beberapa abad yang lalu saat melihat seorang pemerkosa dikebiri dengan cepat dan segera karena kejahatannya, tanpa ada drama ruang pengadilan yang tidak kunjung selesai atau pembebasan lebih awal dengan dalih 'kelakuan baik'. Sayangnya, mereka yang berurusan dengan balas dendam dan kejahatan hampir tidak tahu dimana menarik batasan, jadi aku lebih memilih birokrasi sistem peradilan dunia modern untuk sekarang ini.
Aku menduga si pengendara tadi hendak membeli es krim, dan aku pun memutuskan untuk menikmati makanan penutup. Begitu aku sampai dengan selamat di Seattle, aku berhenti di sebuah toko dua puluh empat jam, menemukan bahwa seorang pakar pemasaran telah menciptakan es krim dengan rasa tiramisu. Tiramisu dan es krim. Kecerdasan manusia tidak pernah gagal membuatku kagum.
Saat aku hendak membayarnya, aku melewati deretan bunga. Harganya murah dan tampak kusam, tapi aku melihat seorang pria muda masuk dan dengan gugup memandangi bunga-bunga itu. Akhirnya dia memilih bunga krisan musim gugur dan membawanya pergi. Mataku mengikutinya dengan sedih, sedikit cemburu pada orang yang akan mendapatkannya.
Seperti yang dikatakan Sehun, aku biasanya mengincar para pecundang, para pria yang tidak akan membuatku merasa bersalah karena sudah menyakiti mereka atau membuat mereka pingsan selama beberapa hari. Para pria seperti itu tidak pernah mengirimkan bunga dan biasanya menghindari hal-hal yang romantis. Sementara untuk pria yang mengirimkan bunga, yah, aku menghindari mereka. Demi kebaikan mereka sendiri. Itu jelas bukan karakter succubus, tapi aku terlalu letih untuk memedulikan norma yang umum.
Merasa sedih dan kesepian, aku mengambil sebuket bunga anyelir merah untuk diriku sendiri dan membayarnya sekaligus dengan es krim.
Saat aku tiba di rumah, teleponku berdering. Meletakkan barang-barangku, aku melirik Caller-ID . Tidak kenal.
"My Lord, My Master," sapaku. "Sebuah akhir yang sempurna untuk malam yang sempurna."
"Simpan sindiranmu, Jungkook. Kenapa kau mencari gara-gara dengan? Sehun."
"Hyung, aku… apa?"
"Dia baru saja menelepon. Mengadu kalau kau mengganggunya."
"Mengganggu? Dia?" Kemarahan mulai menyerangku. "Dia yang mulai! Dia mendatangiku dan…"
"Apa kau memukulnya?"
"Aku…."
"Apa benar?"
Aku mendesah. Yoongi adalah iblis tertinggi dalam hierarki kejahatan di Seattle, dan juga penyeliaku. Sudah menjadi tugasnya untuk mengatur kami semua, memastikan kami melakukan tugas kami, dan menjaga kami tetap di dalam batas. Bagaimanapun juga, seperti iblis pemalas lainnya, dia lebih suka kami memberikannya pekerjaan sesedikit mungkin. Kekesalannya hampir terlihat jelas melalui jaringan telepon. "Aku memang memukulnya. Sebenarnya, tidak lebih dari kibasan tangan."
"Aku mengerti. Kibasan tangan. Dan apa kau mengancamnya juga?"
"Well, ya, sepertinya, kalau kau ingin memperdebatkan semantik, tapi Hyung, ayolah! Dia itu vampir. Aku tidak bisa menyentuhnya. Kau tahu itu."
Sang iblis tertinggi ragu, jelas-jelas mempertimbangkan apa akibatnya kalau aku terlibat perkelahian dengan Sehun. Aku pasti sudah kalah dalam pertarungan hipotesis karena aku mendengar Yoongi mendesah beberapa saat kemudian.
"Ya. Menurutku juga begitu. Tapi jangan memprovokasinya lagi. Aku sudah punya banyak pekerjaan sekarang ini tanpa kalian anak-anak yang melakukan pertengkaran kecil."
"Sejak kapan kau bekerja?" Benar-benar anak-anak.
"Selamat malam, Jungkook. Jangan terlibat dengan Sehun lagi."
Telepon terputus. Iblis memang tidak terlalu berbakat dalam hal mengobrol.
Aku menutup telepon, merasa sangat tersinggung. Aku tidak percaya Sehun mengadukanku dan membuat seolah-olah aku yang bersalah. Bahkan lebih buruk, Yoongi sepertinya memercayai hal itu. Setidaknya di awal. Hal itu mungkin yang paling menyakitkanku dikarenakan, terlepas dari kebiasaan succubus-ku yang pemalas, aku selalu menikmati diperlakukan dengan peran sebagai murid kesayangan oleh sang iblis tertinggi yang baik itu.
Mencari penghibur, aku membawa es krim ke kamar tidurku, menukar pakaianku dengan baju tidur yang longgar. Aubrey, kucingku, berdiri dari tempatnya tidur di kaki tempat tidurku dan meregangkan tubuhnya. Dengan tubuh berwarna putih seluruhnya kecuali tanda hitam di keningnya, mata hijaunya menyipit menyambutku.
"Aku tidak bisa tidur," kataku, menahan kuap. "Aku harus membaca dulu."
Aku bergelung dengan pint es krim dan bukuku, mengingat lagi bagaimana akhirnya aku akan bertemu dengan pengarang favoritku pada acara tanda tangan besok. Tulisan Kim Taehyung selalu bicara padaku, membangunkan sesuatu di dalam diriku yang bahkan tidak kuketahui sedang tertidur. Buku terbarunya. The Glasgow Pact, tidak bisa mengurangi rasa bersalahku atas apa yang terjadi pada Junseo, tapi berhasil mengisi kekosongan yang menyakitkan dalam diriku. Aku kagum pada manusia itu, hidup untuk waktu yang begitu singkat, namun bisa menciptakan sesuatu yang begitu indah.
"Aku tidak pernah menciptakan apa pun saat aku masih manusia," kataku pada Aubrey saat aku menyelesaikan lima halaman.
Kucing itu menggosokkan tubuhnya padaku, mendengkur dengan penuh simpati, dan aku masih cukup sadar untuk menjauhkan es krim sebelum terkapar kembali ke tempat tidur dan tertidur.
.
Telepon mengejutkanku hingga terbangun esok paginya. Cahaya redup dan suram masuk melalui tiraiku yang tipis, menandakan waktu masih pagi sekali. Bagaimanapun juga, di sekitar sini, cahaya sebanyak itu bisa menandakan jam berapa pun dari matahari terbit sampai tengah hari. Setelah dering keempat, aku memutuskan untuk menjawab, tidak sengaja menjatuhkan Aubrey dari tempat tidur. Dia mendarat dengan marah dan pergi untuk menjilati dirinya.
"Halo?"
"Yo, Jungkook?"
"Tidak." Jawabku dengan cepat dan pasti. "Aku tidak akan masuk."
"Kau bahkan tidak tahu aku akan menanyakan itu."
"Tentu saja aku tahu. Tidak ada alasan lain kau meneleponku sepagi ini, dan aku tidak akan melakukannya. Ini hari liburku, Hyung."
Song Mino, asisten manajer di tempat kerjaku, adalah seorang pria yang baik. "Semua orang sakit hari ini, dan sekarang kami kekurangan orang. Kau harus melakukannya."
"Yah, aku juga sakit. Percayalah padaku, kau tidak menginginkanku di sana."
Oke, aku tidak benar-benar sakit, tapi aku masih membawa sisa cahaya dari bersama Junseo. Manusia mungkin tidak bisa 'melihatnya' seperti Junseo, tapi mereka bisa merasakannya dan tertarik padanya –pria dan wanita sama saja– bahkan tanpa mengetahui alasannya. Pengurunganku hari ini akan mencegah perilaku mabuk cinta yang bodoh. Aku sangat baik, sungguh.
"Pembohong. Kau tidak pernah sakit."
"Aku sudah berencana akan kembali malam ini untuk acara tanda tangan. Kalau aku juga bekerja seharian, aku akan berada di sana sepanjang hari. Itu memuakkan dan sinting."
"Selamat datang di duniaku. Kita tidak punya alternative, tidak kalau kau benar-benar peduli pada nasib toko ini, tidak kalau kau benar-benar peduli pada pelanggan kita and kebahagiaan mereka…"
"Aku tidak tertarik."
"Jadi," dia melanjutkan, "pertanyaannya adalah, apa kau akan datang ke sini dengan sukarela, atau apakah aku harus datang ke sana dan menyeretmu turun dari tempat tidur? Jujur saja, aku tidak keberatan melakukan yang terakhir."
Aku membayangkan sedang memutar bola mataku, mencaci diriku untuk miliaran kalinya karena tinggal dua blok dari tempat kerja. Ocehannya tentang toko buku yang menderita terbukti efektif, sepertinya yang sudah dia ketahui. Aku bekerja di bawah kepercayaan yang salah kalau tempat itu tidak mungkin bertahan tanpa diriku.
"Yah, daripada mengambil resiko mendengarkan olok-olok seksualmu yang lucu sepertinya aku harus datang ke sana. Tapi…" Suaraku berubah tegas.
"Yeah?"
"Jangan tempatkan aku di meja kasir atau semacamnya."
Aku mendengar keraguan di ujung sana.
"Apa? Aku serius. Bukan meja kasir utama. Aku tidak ingin dikelilingi banyak pelanggan."
"Baiklah," katanya. "Bukan meja kasir utama."
"Janji?"
"Aku janji."
Setengah jam kemudian, aku melangkah keluar dari pintuku dan berjalan sejauh dua blok ke toko buku. Awan panjang menggantung rendah, membuat langit tampak gelap, dan rasa dingin samar menyentuh udara, memaksa beberapa pejalan kaki lainnya untuk memakai mantel.
Emerald City Book merupakan bangunan yang luas, memenuhi hampir satu blok di lingkungan Queen Anne di Seattle. Gedung dengan dua lantai dengan sebuah kafe yang mendominasi pojok lantai dua yang menghadap Space Needle. Tenda berwarna hijau terang menggantung di atas pintu utama, melindungi para pelanggan yang menunggu toko dibuka. Aku berjalan memutari mereka dan masuk lewat pintu samping, menggunakan kunci stafku.
Mino mencegatku sebelum aku sempat masuk dua langkah. "Sudah waktunya. Kita…" Dia terdiam dan memandangku lagi, dengan teliti. "Wow. Kau terlihat… sangat memesona hari ini. Apa kau melakukan sesuatu yang berbeda?"
"Kau hanya membayangkan hal itu karena kau begitu senang aku ada di sini untuk menyelesaikan masalah pegawaimu. Apa yang kulakukan? Stok?"
"Aku, er, tidak." Mino berusaha untuk memulihkan diri, masih memandangku dari atas ke bawah dengan cara yang membuatku tidak nyaman. Ketertarikannya untuk berkencan denganku sudah bukan rahasia, begitu juga dengan penolakanku yang berulang kali. "Ayo, akan kutunjukkan padamu."
"Aku sudah bilang padamu…"
"Ini bukan meja kasir utama," dia berjanji padaku. Yang dimaksud 'ini' adalah konter espresso kafe di lantai dua toko ini. Pegawai toko buku hampir tidak pernah diperkejakan di sini, tapi bukan berarti itu luar biasa.
Luke, manajer kafe, segera berdiri setelah sebelumnya berjongkok di belakang konter. "Hei Mino, Jungkook," sapa Luke. Matanya melotot melihatku. "Woah, kau terlihat menakjubkan hari ini."
"Hyung! Ini sama buruknya. Aku sudah bilang padamu aku tidak menginginkan pelanggan."
"Kau bilang jangan meja kasir utama. Kau tidak mengatakan apa pun soal yang satu ini."
Aku membuka mulutku untuk memprotes, tapi Luke memotong. "Ayolah, Jungkook. Alex izin sakit hari ini dan Sulli sebenarnya sudah berhenti." Melihat wajahku yang kaku, dia buru-buru menambahkan. "Kasir kami hampir mirip dengan milikmu. Pasti mudah."
"Selain itu…." Mino meninggikan suaranya meniru suara manajer kami. "Asisten manajer seharusnya bisa mengisi tempat siapa pun di sini."
"Yeah, tapi kafe…." Sela Jungkook.
"…. Masih merupakan bagian dari toko. Dengar, aku harus membuka toko. Luke akan mengajarkan apa yang perlu kau ketahui. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." Dia buru-buru pergi sebelum aku bisa menolak lagi.
"Pengecut!" aku berteriak padanya.
"Pasti tidak seburuk itu," Luke mengulangi, tidak mengerti kecemasanku. "Kau hanya akan menerima uangnya dan aku yang membuat espresso. Ayo kita latihan. Kau ingin moka cokelat putih?"
"Yeah," aku mengakui. Semua orang yang bekerja denganku tahu tentang kesukaanku itu. Aku biasanya sanggup minum hingga tiga gelas setiap harinya.
Luke mengajarkanku langkah-langkah yang penting, menunjukkan padaku bagaimana menandai gelas dan menemukan yang kubutuhkan dengan menekan halaman depan layar-sentuh kasir. Dia benar. Ini tidak terlalu buruk.
"Kau berbakat," dia meyakinkanku kemudian, menyodorkan moka milikku.
Aku menggerutu sebagai jawabannya dan menghabiskan kafeinku, berpikir kalau aku bisa menangani segalanya selama aku tetap meminum moka. Selain itu, ini benar-benar tidak seburuk meja kasir utama. Kafe mungkin tidak akan terlalu sibuk pada jam-jam ini.
Aku salah. Beberapa menit setelah toko dibuka, ada lima orang yang mengantre.
"Large Latte," aku mengulanginya pada pelanggan pertamaku, berhati-hati menekankan informasinya.
"Sudah jadi." Luke memberitahuku, mulai membuat minuman sebelum aku sempat memberi label pada gelasnya. Aku dengan gembira mengambil uang wanita itu dan meneruskan pesanan selanjutnya.
"Satu gelas besar moka skinny."
"Skinny hanyalah kata lain untuk nonfat, Jungkook."
Aku menulis NF di gelasnya. Jangan khawatir. Kami bisa melakukan ini.
Pelanggan selanjutnya melangkah maju kemudian memandangku, tampak terpana sejenak. Ketika sadar, dia menggelengkan kepalanya dan mengeluarkan barisan pesanan. "Aku mau satu gelas kecil drip coffee, satu gelas besar nonfat vanilla late, satu gelas kecil double cappuccino, dan satu gelas besar decaf latte."
Sekarang aku yang terpana. Bagaimana dia bisa mengingat semuanya? Dan jujur saja, siapa yang memesan drip coffee zaman sekarang.
Begitu pagi berlalu, dan terlepas dari perasaan waswasku, aku segera merasa bergairah dan menikmati pengalaman ini. Aku tidak bisa mencegahnya. Beginilah caraku bekerja, bagaimana aku menjalani hidupku. Aku suka mencoba hal-hal baru –bahkan sesuatu yang mudah seperti membuat espresso. Orang-orang bisa saja merasa bodoh, tentunya, tapi aku sering kali suka bekerja dengan banyak orang. Itulah kenapa aku bekerja di bagian pelayanan pelanggan.
Dan begitu aku mengatasi rasa kantukku, karisma incubus bawaanku muncul ke permukaan. Aku menjadi bintang di panggung pertunjukanku sendiri, bergurau dan menggoda dengan santai. Begitu digabungkan dengan pesona yang ditimbulkan Junseo, aku menjadi sangat menarik. Sementara hal ini terbukti menghasilkan banyak ajakan kencan dan perkenalan, hal itu juga menyelamatkanku dari melakukan kesalahan. Pelangganku tidak menemukan satu pun kesalahan pada diriku.
"Tidak apa-apa, Sayang," seorang wanita paruh baya meyakinkanku setelah aku tidak sengaja memesankan segelas besar moka kayu manis bukannya nonfat decaf latte. "Lagi pula, aku perlu mencoba minuman baru juga."
Aku tersenyum padanya penuh kemenangan, berharap dia tidak mengidap diabetes. Kemudian, seorang pria datang membawa sebuah buku The Glasgow Pact karangan Kim Taehyung. Itu pertanda pertama yang kulihat yang mengingatkanku akan acara sangat penting malam ini.
"Apa kau akan pergi ke acara tanda tangan?" tanyaku saat memberikan tehnya. Bleh. Bebas kafein.
Dia mengamatiku sangat lama, dan aku bersiap-siap untuk diabaikan. Namun, pria itu malah menjawab datar. "Yeah, aku akan datang."
"Yah, pastikan kau memikirkan pertanyaan yang bagus untuknya. Jangan tanyakan pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan orang-orang."
"Apa maksudmu?"
"Oh, kau tahulah, yang biasanya. 'Dari mana kau mendapatkan idemu?' dan 'Apa Mist dan Kevin akan bersatu?'"
Pria itu mempertimbangkan perkataanku saat aku memberikan kembalian. "Menurutku 'pertanyaan biasa' tidak membuatnya kurang berarti bagi yang menanyakannya," katanya akhirnya, tampak malu-malu karena menentangku. "Untuk seorang penggemar, setiap pertanyaan adalah baru dan unik."
Dia menyingkir agar aku bisa melayani pelanggan selanjutnya. Aku meneruskan percakapan sembari mencatat pesanan selanjutnya, tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melakukan diskusi cerdas soal Kim Taehyung.
"Lupakan penggemar. Bagaimana dengan Kim Taehyung yang malang? Dia mungkin ingin menusuk dirinya sendiri setiap kali dia menerima pertanyaan seperti itu."
"Menusuk adalah kata yang sedikit keras, bukan begitu?"
"Tentu saja tidak. Pria itu luar biasa. Mendengarkan pertanyaan yang tolol pasti membuatnya bosan setengah mati."
Senyum kagum tampak di bibir pria itu, dan alis matanya yang cokelat mempertimbangkan kata-kataku dengan saksama. Saat dia menyadari bahwa dirinya sedang menatapku terang-terangan, dia memalingkan wajah malu. "Tidak. Kalau dia melakukan tur, dia peduli pada penggemarnya. Dia tidak keberatan dengan pertanyaan yang berulang-ulang."
"Dia bukannya melakukan tur untuk kepentingan penggemar. Dia melakukan tur karena penerbitnya memintanya melakukan itu," aku membalas. "Yang mana hal itu menghabiskan waktu, omong-omong."
Dia memberanikan diri memandangku. "Turnya? Kau tidak ingin bertemu dengannya?"
"Aku… well, ya, tentu saja aku mau. Hanya saja… baiklah. Begini, jangan salah paham. Aku memuja tanah yang dipijak pria ini. Aku gembira karena akan bertemu dengannya malam ini. Aku begitu ingin bertemu dengannya malam ini. Kalau dia ingin membawaku dan menjadikanku budak cintanya, aku akan melakukannya, selama aku mendapatkan kopi bukunya pertama kali. Tapi soal tur ini… itu memakan waktu. Waktu yang lebih baik dihabiskan untuk menulis buku selanjutnya. Maksudku, apa kau tidak menyadari berapa lama bukunya keluar?"
"Yeah, aku sadar."
Kemudian, pelanggan sebelumnya kembali lagi, mengeluh karena dia mendapatkan sirup caramel dan bukannya saus caramel. Apa pun itu maksudnya. Aku menawarkan senyuman dan permintaan maaf yang manis, kemudian mendadak dia tidak peduli lagi tentang saus caramel atau hal lainnya. Saat dia meninggalkan kasir, pria penggemar Kim Taehyung itu juga sudah pergi.
Begitu aku akhirnya menyelesaikan jam kerjaku sekitar pukul lima, Mino datang menemuiku. "Aku mendengar beberapa hal menarik tentang penampilanmu di sini."
"Aku mendengar beberapa hal menarik tentang 'penampilanmu' setiap saat, Hyung, tapi kau tidak mendengarku membuat lelucon tentang itu."
Dia mengejekku lagi dan akhirnya membiarkan aku pergi untuk bersiap-siap ke acara tanda tangan, tapi tidak sebelum aku membuatnya sadar sepenuhnya kalau dia berutang atas kebaikanku hari ini. Antara dirinya dan Vernon, aku menyebarkan kemurahan hati di mana-mana.
.
Aku berlari sepanjang dua blok menuju rumah, tidak sabar menyantap makan malam, dan bertanya-tanya apa yang akan kukenakan. Kegembiraanku meningkat. Dalam waktu kira-kira satu jam, aku akan bertemu dengan pengarang favoritku sepanjang masa. Bisakah hidup lebih baik dari ini? Sambil bersenandung sendiri aku menaiki dua anak tangga sekaligus dan memasukkan kunciku dengan gerakan yang hanya dimengerti dan dihargai diriku.
Begitu aku membuka pintu, sebuah tangan tiba-tiba menyambarku dan menarikku dengan kasar ke dalam ke kegelapan di apartemenku. Aku berteriak terkejut dan ketakutan saat aku di dorong ke pintu, membuatnya tertutup. Tiba-tiba lampu menyala dan mengejutkan, lalu bau samar belerang menguar di udara. Meskipun cahaya terang membuatku menyipitkan mata, aku bisa melihat cukup jelas untuk menyadari apa yang terjadi.
Tidak ada yang lebih mengerikan dibandingkan iblis yang sedang marah.
.
Tentu saja, aku harus mengklarifikasi hal ini kalau Yoongi tidak tampak seperti iblis sama sekali, setidaknya tidak dalam penampakan kuno dengan kulit merah dan tanduk. Mungkin dia berpenampilan begitu di kehidupan lain, tapi sama seperti Vernon, aku, dan semua makhluk abadi lainnya yang ada di bumi.
"Ow," kataku kesal. "Lepaskan aku."
Yoongi melepaskan cengkeramannya, tapi matanya yang gelap masih berkilat berbahaya. "Kau tampak baik-baik saja," katanya setelah beberapa saat, terlihat terkejut oleh pengakuannya sendiri.
Aku menarik sweterku, merapikan bagian yang kusut karena cengkeramannya. "Kau punya cara yang lucu untuk menunjukkan ketertarikanmu."
"Bagus sekali," lanjut Yoongi sungguh-sungguh. "Kalau aku tidak tahu lebih baik, kupikir kau…."
"….bersinar," gumam suara di belakang sang iblis. "Kau bersinar, seperti bintang di langit malam, seperti berlian yang bersinar menerangi keabadian yang suram."
Aku terkejut. Yoongi menatap tajam kepada si pembicara, tidak suka monolognya diganggu. Aku juga menatap tajam, tidak suka ada malaikat tidak diundang di dalam apartemenku. Jimin hanya tersenyum pada kami berdua.
"Seperti yang kubilang," bentak Yoongi, "kelihatannya kau menghabiskan waktu dengan manusia yang baik."
"Aku membantu Vernon." Sanggah Jungkook.
"Jadi ini bukan awal dari kebiasaan yang baru dan lebih baik?"
"Tidak dengan bayaran yang kau berikan."
Yoongi menggerutu, tapi itu hanyalah bagian dari rutinitas di antara kami. Dia akan mencaciku karena tidak melakukan pekerjaanku dengan serius, aku akan memberikan beberapa gurauan cerdas sebagai gantinya, dan status quo akan kembali. Seperti yang kubilang, aku adalah kesayangan guru.
Bagaimanapun juga, melihatnya sekarang, aku bisa melihat tidak akan ada lelucon lagi. Pesona yang begitu memikat pelangganku hari ini tidak akan berpengaruh pada keduanya. Wajah Yoongi muram dan serius, begitu juga dengan Jimin, terlepas dari senyum sinis sang malaikat yang biasanya.
Yoongi dan Jimin sering keluar bersama secara teratur, terutama saat alcohol diikutsertakan. Hal ini sudah cukup membingungkanku karena mereka seharusnya terlibat dalam sebuah pertarungan kosmis yang hebat. Aku pernah sekali bertanya pada Yoongi apakah Jimin adalah malaikat terbuang, yang hanya menghasilkan tawa yang hebat dari sang iblis. Saat dia pulih dari rasa gelinya, dia menjawab tidak, Jimin tidak terbuang. Kalau benar begitu, secara teknis Jimin bukan malaikat lagi. Aku sama sekali tidak merasa jawaban itu memuaskan dan akhirnya memutuskan kalau keduanya harus menghabiskan banyak waktu bersama karena tidak ada siapa pun di area ini yang bisa berhubungan dengan eksistensi yang sudah ada sejak awal zaman dan penciptaan. Kebanyakan dari kami para makhluk abadi yang lebih hebat seperti Yoongi dan Jimin. Berabad-abad yang kulalui hanyalah seperti titik kecil pada garis waktu mereka.
Apa pun alasan kehadirannya saat ini, aku tidak menyukai Jimin. Dia tidak seburuk seperti Sehun, tapi dia selalu terlihat sombong dan menghina. Mungkin itu sifat malaikat. Jimin juga memiliki selera humor yang paling aneh yang pernah kutemui. Aku tidak pernah bisa tahu apa dia sedang mempermainkanku atau tidak.
"Jadi apa yang bisa kulakukan untuk kalian?" tanyaku. "Ada tempat yang harus kudatangi malam ini."
Yoongi menyipitkan matanya padaku. "Aku ingin kau menceritakan soal Sehun."
"Apa? Aku sudah menceritakannya. Dia bajingan."
"Apa itu sebabnya kau menyuruh orang untuk membunuhnya?"
"Aku…. Apa?"
Aku membeku di tempat, mengamati isi lemariku dan perlahan berbalik untuk melihat keduanya, setengah berharap itu hanya lelucon. Wajah mereka berdua tampak bersungguh-sungguh, memandangku.
"Membunuh? Bagaimana… bagaimana itu bisa terjadi?"
"Katakan padaku, Yoongi Hyung."
Aku mengerjap, tiba-tiba menyadari arah pembicaraan ini. "Apa kau menunduhku membunuh Sehun? Dan tunggu… ini bodoh. Sehun tidak mati. Tidak mungkin."
Yoongi mulai mondar-mandir, suaranya terdengar ketus. "Oh, aku bisa meyakinkanmu, dia memang mati. Kami menemukannya pagi ini, tepat sebelum matahari terbit."
"Lalu kenapa? Dia mati karena terkena matahari? Hanya itu yang bisa kudengar soal cara vampir bisa mati."
"Tidak. Dia mati karena pasak menembus di jantungnya."
"Ew."
"Jadi apa kau siap menceritakan padaku siapa yang kau suruh untuk melakukannya, Jungkook?"
"Aku tidak menyuruh siap pun untuk melakukannya. Aku bahkan tidak bisa… aku bahkan tidak mengerti ada apa ini sebenarnya. Sehun tidak mungkin mati."
"Kau mengaku padaku tadi malam kalau kalian berdua terlibat sebuah pertengkaran."
"Iya…"
"Dan kau mengancamnya."
"Yeah, tapi aku hanya bercanda."
"Kupikir kau mengatakan padaku sesuatu tentang dia tidak akan pernah mendekatimu lagi?"
"Aku marah dan bingung! Dia membuatku takut. Ini gila. Lagi pula, Sehun tidak mungkin mati."
Itu hanya sedikit kewarasan yang bisa kujadikan pegangan saat ini, jadi aku terus mengulangnya pada mereka dan pada diriku sendiri. Makhluk abadi adalah, secara definisi, abadi. Habis perkara.
"Apa kau tidak tahu apa pun soal vampir?" tanya sanga iblis tertinggi penasaran.
"Kalau mereka bisa mati?" jawabnya, sambil mengerjap bingung.
Mata Jimin berkilat geli; Yoongi sama sekali tidak menganggapku lucu. "Aku bertanya padamu untuk terakhir kalinya, Jungkook. Apakah kau menyuruh seseorang untuk membunuh Sehun atau tidak? Jawab saja pertanyaannya. Iya atau tidak?"
"Tidak," kataku tegas.
Yoongi melirik Jimin. Sang malaikat mengamatiku, aku menyadari ini sebabnya kenapa Jimin ikut malam ini. Malaikat selalu bisa membedakan kebenaran dan kebohongan. Akhirnya, dia mengangguk tajam pada Yoongi.
"Senang aku lulus ujian," gumamku. Tapi mereka sama sekali tidak memperhatikanku lagi.
"Well," Yoongi mengamati dengan muram. "Kupikir kami tahu apa artinya ini."
"Yah, kita belum tahu secara pasti."
"Aku tahu."
Jimin memandang Yoongi dengan penuh arti, dan beberapa detik berakhir dalam kesunyian. Aku selalu menduga mereka berdua berkomunikasi secara mental pada saat-saat seperti ini, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh kami para makhluk abadi tingkat rendah tanpa bantuan.
"Jadi Sehun benar-benar mati?" tanyaku.
"Ya," kata Yoongi, teringat aku masih ada di sana. "Begitulah."
"Siapa yang membunuhnya, kalau begitu? Setelah sekarang kita tahu bukan aku pelakunya?"
Keduanya saling berpandangan dan mengangkat bahu, tidak ada yang menjawab. Mereka benar-benar orangtua yang lalai. Jimin mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya. Tuhan, aku benci saat mereka begini.
Akhirnya Yoongi berkata, "Seorang pemburu vampir."
Aku memandangnya. "Sungguh? Seperti gadis yang ada di TV itu?"
"Tidak juga."
"Jadi ke mana kau akan pergi malam ini?" tanya Jimin riang.
"Ke acara tanda tangan Kim Taehyung. Dan jangan mengganti topik. Aku ingin tahu soal pemburu vampir ini."
"Apa kau akan tidur dengannya?" tanya Jimin.
"Aku… apa?" Selama beberapa saat, kupikir sang malaikat bertanya soal pemburu vampir. "Maksudmu Kim Taehyung?"
Jimin mengembuskan asap. "Tentu. Maksudku, kalau aku succubus yang terobsesi pada seorang pengarang manusia, itu yang akan kulakukan. Selain itu, bukankah kaummu selalu menginginkan sedikit ketenaran?"
"Kami sudah banyak mendapatkan ketenaran," kata Yoongi dengan suara rendah.
Tidur dengan Kim Taehyung? Ya, Tuhan. Itu adalah hal paling gila yang pernah kudengar. Itu mengerikan. Kalau aku menyerap kekuatan kehidupannya, tidak bisa dipastikan kapan buku selanjutnya akan terbit. "Tidak, tentu saja tidak!"
"Lalu apa yang akan kau lakukan agar dia memperhatikanmu?"
"Memperhatikan?"
"Tentu. Maksudku, pria itu mungkin sudah melihat ribuan penggemar secara teratur. Apa kau tidak ingin sedikit tampil berbeda?"
Rasa kaget menyerangku. Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Haruskah? Sifat pemalasku-lah yang membuatku kesulitan untuk mencari kesenangan akhir-akhir ini. Buku-buku Kim Taehyung adalah salah satu pelarianku. Haruskah aku mengakui hal itu dan berusaha berhubungan dengan sang pengarang novel? Pagi ini, aku sudah mengejek penggemarnya yang biasa. Apakah aku akan menjadi salah satu dari mereka?
"Yah… maksudku, Kyungsoo mungkin akan memperkenalkan para staf secara pribadi padanya. Aku pasti akan kelihatan kalau begitu."
"Ya, tentu saja." Jimin membuang rokoknya di bak cuci piringku. "Aku yakin dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan pegawai toko buku."
Aku membuka mulutku untuk memprotes, tapi Yoongi memotong kalimatku. "Cukup." Dia memandangi Jimin dengan pandangan penuh arti itu lagi. "Kita harus pergi."
"Aku… tunggu sebentar!" Jimin sudah berhasil mengalihkanku dari topik yang sebenarnya. Tidak bisa kupercaya. "Aku ingin tahu lebih banyak soal pemburu vampir ini."
"Yang perlu kau tahu hanyalah kalau kau harus berhati-hati, Jungkook. Sangat berhati-hati. Aku tidak main-main soal ini."
Aku menelan ludah, mendengar kekerasan dalam suara sang iblis. "Tapi aku bukan vampir."
"Aku tidak peduli. Pemburu macam ini terkadang mengikuti vampir ke mana pun, berharap menemukan yang lain. Kau bisa saja terlibat karena pergaulan. Tetaplah merendah. Jangan sampai sendirian. Tetaplah bersama yang lain… manusia atau makhluk abadi, itu tidak penting. Mungkin kau bisa melanjutkan bantuanmu pada Vernon dan mengumpulkan lebih banyak jiwa untuk kami sementara melakukannya."
Aku memutar bola mataku mendengarnya saat keduanya berjalan ke pintu. "Aku bersungguh-sungguh. Hati-hati. Tetaplah merendah. Jangan ikut campur dalam masalah ini."
"Dan," tambah Jimin dengan kedipan mata, "sampaikan salamku pada Kim Taehyung."
Kemudian, keduanya pergi, menutup pintu dengan pelan di belakangnya. Sebuah kesopanan saja, karena keduanya bisa saja berteleportasi keluar. Atau meledakkan pintuku sampai hancur berkeping-keping.
Aku berpaling pada Aubrey. Dia menyaksikan seluruh hal tadi dari balik sofaku, ekornya berkedut. "Yah," kataku padanya, merasa pusing. "Apa yang harus kusimpulkan dari pembicaraan tadi?"
Sehun benar-benar mati? Maksudku, yeah, dia memang bajingan dan aku benar-benar kesal saat aku mengancamnya tadi malam, tapi aku sebenarnya tidak ingin dia benar-benar mati. Dan bagaimana soal pemburu vampir ini? Kenapa aku harus berhati-hati saat…
"Sialan!"
Aku baru saja melirik jam di microwave-ku. jam itu dengan tenang memberitahukanku kalau aku perlu kembali ke toko buku SEGERA. Mengeluarkan Sehun dari otakku, aku berlari ke kamar tidurku dan menatap diriku di cermin. Aubrey mengikutiku dengan malas.
Apa yang harus kukenakan? Aku bisa saja memakai pakaianku yang sekarang. Kombinasi sweter dan celana khaki tampak terhormat dan pasif, meski warnanya terlalu bercampur dengan rambutku yang cokelat terang. Tipe pakaian seorang pustakawan. Apakah aku ingin terlihat pasif? Mungkin. Seperti yang kukatakan pada Jimin, aku tidak terlalu ingin melakukan sesuatu yang mungkin mendapatkan ketertarikan romantis dari pengarang favoritku di seluruh dunia.
Tetap saja…
Tetap saja, aku ingat apa yang dikatakan sang malaikat soal diperhatikan. Aku tidak ingin menjadi wajah lain dalam kurumunan Kim Taehyung. Ini adalah perhentian terakhir dari turnya kali ini. Tidak diragukan lagi bahwa dia telah melihat ribuan penggemar selama bulan terakhir ini, penggemar yang semuanya tampak samar dalam kerumunan wajah-wajah, sambil mengeluarkan komentar yang bodoh. Aku sudah memberi saran pada pria di konter agar lebih inovatif dengan pertanyaannya, dan aku bermaksud melakukan hal yang sama dengan penampilanku.
.
Aku meninggalkan apartemen dengan buku The Glasgow Pact dan berjalan kembali ke tempat kerja, menahan gerimis. Perbuahan bentuk lainnya. Para penggemar mengantre di arena utama toko, tidak sabar bertemu dengan pria yang buku terbarunya masih mendominasi daftar bestseller, meskipun setelah lima pekan. Aku menerobos kerumunan, berusaha berjalan ke tangga yang menuju lantai dua.
"Buku young adult ada di sebelah sana dekat tembok." Suara Mino terdengar di dekatku. "Beritahu aku kalau kau membutuhkan yang lain."
Dia berbalik dari pelanggan yang sudah dibantunya, melihatku dan langsung menjatuhkan tumpukan buku yang dipegangnya.
Para pelanggan melangkah mundur, dengan sopan memperhatikannya berlutut untuk mengumpulkan buku-buku itu. Aku menyadari sampulnya seketika. Itu adalah edisi paperback buku lama Kim Taehyung.
"Sebuah pelanggaran terhadap sesuatu yang keramat," komentarku. "Membiarkan buku-buku itu jatuh. Kau harus membakarnya sekarang, seperti bendera."
Mengabaikanku, Mino mengumpulkan semua buku dan menarikku agar tidak bisa didengar orang lain. "Baik sekali kau pulang dan berganti pakaian yang lebih nyaman. Omong-omong, Chanyeol ada di sini."
"Kasar, Hyung. Sangat kasar."
"Kau sendiri yang mencari gara-gara, Jeon." Dia menatapku dengan enggan dan penuh kekaguman sebelum kami mulai menaiki tangga. "Kau terlihat memesona."
"Terima kasih. Aku ingin Kim Taehyung memperhatikanku."
"Percayalah padaku, kecuali dia buta, dia pasti akan memperhatikanmu. Mungkin lebih."
"Aku tidak terlihat nakal, kan?"
"Tidak."
"Atau murahan?"
"Tidak."
"Aku bermaksud bergaya seksi klasik. Bagaimana menurutmu?"
"Kupikir aku sudah memuaskan egomu. Kau sudah tahu bagaimana penampilanmu."
Kami semua naik ke lantai atas. Sejumlah kursi sudah disiapkan, memenuhi sebagian besar area tempat duduk kafe yang biasanya dan tersebar sampai ke bagian buku berkebun dan peta. Kyungsoo, manajer toko dan bos kami, tampak sibuk melakukan acrobat dengan kabel mikrofon dan sistem suara. Aku tidak tahu gedung ini digunakan sebagai apa sebelum Emerald City Books pindah ke sini, tapi tempat ini jelas bukan tempat yang ideal untuk akustik dan kerumunan orang.
"Aku akan membantunya," kata Mino padaku, saat ia melihat Kyungsoo terlihat kesulitan untuk merapihkan kabel-kabel itu.
Luke, masih bekerja di konter espresso, membuatkan moka cokelat putih yang keempat untukku hari ini, dan aku berkeliling di deretan buku geografi untuk meminumnya sementara menunggu acara dimulai. Melirik sekilas di sebelahku, aku mengenali pria yang berdiskusi soal Kim Taehyung denganku tadi siang. Dia masing memegang buku The Glasgow Pact.
"Hei," kataku.
Dia melompat saat mendengar suaraku, tampak begitu tenggelam dalam sebuah buku perjalanan tentang Texas.
"Maaf," kataku padanya. "Tidak bermaksud mengikutimu."
"Aku… tidak, kau t… tidak menakutiku," dia tergagap. Matanya menilaiku dari kepala hingga jari kaki dalam satu pandangan cepat. "Kau berganti pakaian." Tampak jelas menyadari banyak implikasi di balik pengakuan itu, ia menambahkan cepat-cepat, "Bukannya hal itu buruk. Maksudku itu bagus. Er, yah, itu…"
Rasa malunya meningkat, dia memalingkan wajahnya dariku dan berusaha untuk mengembalikan buku Texas itu ke raknya sengan sedikit canggung, terbalik. Aku menyembunyikan senyumku. Pria itu terlalu menggemaskan. Aku biasanya tidak bertemu dengan banyak pria pemalu lagi. Kencan di dunia modern sepertinya menuntut pria membuat dirinya sebagai tontonan yang hebat, dan sayangnya, orang-orang tampaknya menikmati hal tersebut. Oke, bahkan aku terkadang menyukainya. Tapi pria pemalu juga layak mendapat kesempatan, dan aku memutuskan kalau sedikit godaan yang tidak berbahaya mungkin bagus untuk egonya sementara aku menunggu acara tanda tangan dimulai. Dia mungkin memiliki peruntungan yang buruk sekali dengan percintaan.
"Biar aku melakukannya," aku menawarkan, mencondongkan tubuh padanya. Tangaku menyentuh tangannya saat aku mengambil buku itu darinya, meletakkannya hati-hati di rak, covernya menghadap ke depan. "Beres."
Aku melangkah mundur seperti sedang mengagumi hasil karyaku, memastikan aku berdiri cukup dekat dengannya, pundak kami hampir bersentuhan. "Penting sekali untuk menjaga penampilan buku-buku," aku menjelaskan. "Penampilan sangat berarti dalam bisnis ini."
Dia memberanikan diri memandangku, masih gugup tapi mendapatkan lagi ketenangannya. "Aku lebih tertarik pada isinya."
"Sungguh?" aku mengganti posisiku sedikit sehingga kami bersentuhan lagi, bahkan kemeja flanelnya yang lembut menyapu kulitku. "Karena aku aku berani bersumpah saat yang lalu kau cukup terpesona terhadap penampilan luar biasa."
Matanya menunduk, tapi aku bisa melihat senyum di bibirnya. "Yah, beberapa hal ada yang begitu mengangumkan, sehingga menarik perhatian."
"Dan hal itu membuatku ingin memberikanmu edisi lanjutan."
Edisi lanjutan? Apa yang dia…?
"Taehyung? Taehyung, di mana… ah, di sini kau rupanya."
Kyungsoo berbelok di lorong, Mino mengikutinya. Dia tampak ceria saat melihatku, dan aku merasa perutku bergolak dan jatuh ke lantai dengan suara keras saat aku berusaha menghubungkannya. Tidak. Tidak. Itu tidak mungkin…
"Ah, Jungkook. Kulihat kau sudah bertemu dengan Kim Taehyung."
.
TBC
.
Another new story, how about this one?
Aku tahu aku masih punya banyak fict yang belum terselesaikan, tapi fict ini udah terabaikan lama di list fict-ku. and bump! It's time to show it.
I need your opinion about this story? Please give me some~
I appreciate review so much.
messed up
Jeon Jungkook adalah seorang succubus, masih dihantui oleh masa lalunya yang kelam dan sering kali merasa kesepian. Kondisi itu ditambah dengan ketidakmampuannya untuk berkencan tanpa harus menghisap sebagian jiwa orang tersebut.
