PEMBURU


Entah kenapa sentuhan-sentuhan itu tak pernah terasa ganjil; ia seperti angin malam yang membuat gigil, merupakan suatu kewajaran.

Barangkali karena tatapan itu sekian waktu tertangkap basah olehmu; dari balik pintu, di antara bentangan tirai bahkan tembok yang menghalangi, kau tetap merasakannya seolah mengawasimu. Ia tahu kau hendak menggorok lehernya, ia tahu kau hendak menggulingkannya, ia tahu kau si pencuri andal yang menyusup terlalu sempurna—terlalu, demikianlah kenapa ia curiga padamu, kaurasa.

Dan matamu; ya, ya, matamu yang selalu mampu menyihir siapa saja untuk tunduk dan takut, tidak berlaku padanya. Sebab ia juga punya sepasang mata sepertimu; dingin, tajam, tak ada belas kasihan. Sejenis mata yang riaknya takkan berubah bahkan jika itu menyaksikan seseorang tewas di hadapan, atau tewas di tangan sendiri. Mata dingin pemburu—mata dingin pembunuh. Ambisius. Tapi matanya sanggup membakarmu. Kau bertanya-tanya apakah matamu juga sanggup membakarnya.

[Seperti malam ini: tatkala semesta setuju untuk bungkam atas saksi sentuhan-sentuhan itu, yang tanpa kau sadari keganjilannya, atau memang yang demikian itu merupakan suatu kewajaran. Kau kehilangan separuh apimu ketika dua kawanmu tewas mengenaskan di luar dinding—ia menyalakannya kembali, apimu itu, melalui penyatuan magis; lembut sekaligus brutal.]


"Dengan ini kau berarti setuju mengikuti perintahku."

Matanya menyala, membakar. Kau terlena, terbakar.

"Levi."

Namamu terdengar bagus jika ia yang menyebutnya.

"Levi."

Kau mulai hilang arah.

"Le—"

"Erwin!"

Kau sepenuhnya hilang arah. Kau sepenuhnya hangus dalam kobaran api pada kedua bola matanya.


Malam kelabu bisu. Bulan menggantung bulat sendirian, seperti pajangan. Tak nampak hidup, sekadar menghias. Pasukan Pengintai sudah pulang sekian jam lalu, menelan pahit kegagalan; atas nama prajurit-prajurit yang tewas, atas nama batu-batu yang melintas—dilempari warga yang beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan sungguhlah tolol dan sia-sia; hanya menghabiskan uang pajak dan menghabisi banyak manusia. Menumbalkan.

Malam kelabu. Bisu. Kau hampa di balik punggungnya. Tapi kau genggam erat pula pinggangnya. Kau kosong, namun tetap, kau enggan mati di sini bersama dua kawanmu itu. Kau mengikutinya, menuruti perintahnya. Ia adalah Tuhanmu, kau hidup untuk melayaninya. Demikian malam ini dan malam-malam yang akan datang. Mata yang semula hanya mengawasimu, kini berhasil menerkammu. Kau tidak keberatan. Karena matanya lebih tahu banyak hal ketimbang matamu; karena kobaran apinya menyala abadi, abadi, aabbaaddii. Takkan ada yang mampu memadamkannya, tidak akan ada bahkan jika nyawanya lenyap meninggalkan raganya; mata itu tetap menyala-nyala, mengobarkan api, demi membuka tabir rahasia semesta. Hal itu yang membuatmu memutuskan untuk patuh padanya.

Malam. Kelabu. Bisu. Kau terkapar pasrah. Kau menikmati permainannya seperti semesta mempermainkan manusia-manusia dalam tanda tanya; rahasia perkara raksasa. Ia berhasil memburumu; melalui sentuhan-sentuhan itu—melalui tatapan matanya yang membakarmu sampai hangus kau jadi abu.[]


11:34 PM – September 17, 2017

Shingeki no Kyojin belongs to Isayama Hajime. I don't take any profit from this fanwork.