Normal POV

Napasnya tertatih.

Sungguh, ia tidak kuat lagi.

Ruangan itu gelap. Oh, atau memang gelap karena matanya yang tertutup oleh kain hitam? Ia tidak tahu. Sungguh, ia masih berharap segala sesuatu yang dirinya alami hanyalah sebuah mimpi.

Mimpi buruk yang menghantui hidupnya; merenggut jiwa bagaikan hewan buas.

Sosoknya terkurung oleh rantai—terkunci bagaikan harta busuk; seolah dirinya begitu berharga, namun disiksa seperti benda yang tidak berguna.

Sekeras apapun ia berusaha, sekuat apapun kekuatannya, Shiota Nagisa benar-benar tidak bisa.

Semuanya sudah direnggut olehnya. Sosok brengsek yang selalu tersembunyi dibalik senyum palsunya.

Ruangan itu didominasi dengan penerangan yang terbuat dari obor-obor sederhana. Batu bata yang sudah lapuk menjadi tempat penginjakan manusia untuk melangkahkan kakinya. Jendelanya terbuat dari jeruji besi, dimana bagian itu tidak akan bisa dihancurkan dengan mudah. Dan disanalah ia berada, satu-satunya warna terang di antara warna keabu-abuan; manusia yang terkunci tanpa berbusana.

Mungkin itulah satu-satunya objek menarik yang dihasilkan di tempat itu. Hanya dia; Shiota Nagisa yang terdiam, dengan mata tertutup serta tubuhnya yang penuh luka. Memar, goresan, dan darah menghiasi tubuhnya yang telanjang. Sosok yang dulunya begitu ceria bagaikan langit musim panas itu kini telah menghilang; digantikan dengan sosoknya yang terdiam dengan tubuh tanpa jiwa.

Nagisa bahkan sudah tidak bisa merasakan apa-apa. Ia sudah lelah menerka-nerka kapan dirinya bisa pulang, bebas dan kembali menjadi dirinya yang lama. Oh, ia yakin dirinya sudah tidak peduli lagi dengan tubuh serta segalanya. Teman-temannya, saudara, keluarga—Nagisa bahkan tak yakin apa ia pernah memilikinya.

Perlahan, langkah itu mulai terdengar. Tanpa memikirkan, Nagisa sudah bisa menebak siapa gerangan yang berniat menjenguknya di tempat mengerikan seperti ini. Suara gesekan besi yang menghantam lantai bukan lagi ancaman, ia sudah sering merasakan benda itu bertabrakan dengan tubuhnya yang lemah. Karena itulah, saat orang itu sudah ada tepat di hadapannya, Nagisa diam saja. Ia tidak berniat untuk menyapa dengan senyuman.

"Nagisa-kun," Suaranya sangat manis, bagaikan es krim yang dikecap. Hanya saja, Nagisa benar-benar tidak tertipu lagi olehnya. "Bagaimana harimu?"

Nagisa tak menjawab.

"Kau mendengarku 'kan, Nagisa-kun?"

Pemuda yang dimaksud benar-benar tidak berniat untuk mengeluarkan suaranya.

"Oh, kau sudah berani menentangku?"

"..."

"Bagus," Langkahnya semakin mendekat. Tangan besarnya menyentuh pipi Nagisa. "Kau sangat berani. Aku menyukaimu yang seperti itu."

"..."

"Aku menganggapnya sebagai izin, Nagisa-kun. Jadi bolehkah—"

CTAR!

Serangan itu menyergap, berkumpul menjadi satu sehingga menciptakan sebuah gelombang dahsyat di bahu Nagisa. Di dalam kegelapan, iris birunya membulat saat tubuhnya merasakan denyutan hampa yang terasa menyakitkan.

"AGH!"

CTAR! CTAR!

Sebuah tali panas nan kuat itu terus mengenai tubuh Nagisa. Sontak, pemuda itu langsung jatuh tersungkur dengan tubuh tengkurap. Hal itu membuat sang pelaku mengarahkan pukulannya ke punggung si surai biru langit. Denyutan itu masih terasa, dan sangat menyakitkan. Suara jeritan menggema di ruangan tersebut dan terus terulang, seperti kaset rusak namun begitu indah di telinga Asano Gakushuu.

Nagisa berteriak, Gakushuu tersenyum setan. Pria berambut pirang terang itu begitu senang; begitu bahagia, ketika melihat tubuh yang telah ia rengkuh dalam kuncian rantai itu terjatuh, bergetar seiring dengan tangannya memukulkan cambuk ke seluruh tubuh. Oh, rasanya sangat membahagiakan. Ini adalah surga versi Gakushuu. Surga yang berisikan dirinya dan Nagisa seorang.

Cambukan itu berhenti di pukulan yang keberapa belas. Masih ada kehidupan disana, namun sayangnya tak terlihat baik untuk dipandang. Tubuh Nagisa yang pada awalnya memiliki darah serta memar yang mengering, kembali memiliki bekas luka baru. Goresan merah itu bagaikan lukisan yang dibuat Gakushuu pada Nagisa. Hanya saja, ia terlalu buta untuk menyadarkan dirinya bahwa perlakuannya sangat salah.

Asano Gakushuu telah dibutakan; oleh sesuatu yang abstrak bernama cinta.

Cinta yang diselimuti oleh dendam dengan sifat possesif yang setara.

'Oh, aku sangat mencintainya...'

"Nagisa-kun," Ia berjongkok. Menatap sosok Nagisa yang mencoba untuk bangkit. Meski kaki dan tangannya terkunci oleh rantai, Nagisa tidak mau harga dirinya jatuh tepat di hadapan Gakushuu. Ia ingin bertahan. Nagisa akan menahan semuanya; demi kebebasan yang tak pernah kunjung datang. Sang pelaku yang menatapnya pun hanya tersenyum tipis dan menangkup dagu Nagisa dengan jemarinya. Ia mengelusnya pelan, lalu memajukan kepala dan membisikkan suatu hal yang membuat Nagisa menjerit di dalam hatinya. "Aku mencintaimu. Jadi bolehkah, kau menyebutkan namaku dengan suaramu yang indah itu?"

Sebuah tindakan yang dulunya akan ia lakukan sepenuh hati. Hanya saja, kini sudah terganti dengan sumpah serapah yang dilayangkan di dalam batin.

Nagisa tidak mau. Sungguh.

"A-Asano—" Bibirnya bergetar. Nagisa mengutuk namanya, nama yang telah ia ucapkan dari mulut kotornya. Darah yang merembes di bibirnya lantas ia kecap. "Asano G-Gakushuu-kun..."

Mendengar penuturannya, dibalik kegelapan, Gakushuu tersenyum lebar—memperlihatkan deretan giginya yang putih itu.

Begitu indah.

Sangat mengerikan.

Dan tanpa mereka sadari, dibalik jeruji besi yang menampakkan cahaya matahari dari luar, seekor kucing yang menjadi awal permasalahan itu menatap mereka; dengan tatapan polos seolah tidak tahu apa-apa.

.

.

.

TORTURE

Ansatsu Kyoushitsu by Matsui Yuusei

Torture by stillewolfie

[Gakushuu & Nagisa & Karma]

OOC, AU, yaoi, typo, etc.

—challenge: kucing, penguntit, vodoo, dan cinta pertama—

.

.

SECTION ONE

(Pressura)

.

.

Pelajaran Akuntasi menjadi jadwal terakhirnya Rabu itu. Setelah membereskan segala peralatan alat tulisnya, Nagisa berniat keluar dari kelas untuk mencari teman seperjuangan. Pria yang kini berstatus sebagai siswa di SMA Kunugigaoka itu segera pergi kala guru telah keluar. Dan Shiota Nagisa langsung tersentak ketika dirinya mendapati teman yang dimaksud, Akabane Karma, telah menunggunya disamping pintu kelas.

"Yo, Nagisa-kun."

"Karma-kun."

Mereka saling bertukar sapa sebentar dan memutuskan untuk pergi beriringan. Tujuan mereka saat itu adalah pergi ke perpustakaan, sebuah media tempat yang cocok untuk belajar. Sebenarnya, Nagisa-lah yang meminta Karma untuk menemaninya ke perpustakaan. Selagi dirinya ingin diajari oleh Karma mengenai tugas Karasuma-sensei yang akan dikumpulkan dua minggu ke depan, Nagisa juga ingin mencari referensi buku Bahasa untuk ujian praktek yang nanti diadakan keesokan harinya.

Semua orang tahu, bahwa Karma dan Nagisa adalah teman dekat. Intinya, jarak mereka tidak pernah terpisahkan. Oh, tentu saja; Karma adalah teman berharga, begitu pula sebaliknya. Mereka sudah berteman semenjak menduduki bangku SMP, dan kebetulan yang sangat indah bila bertemu kembali dengan sahabat saat mereka menjejakkan kaki di bangku SMA. Itu hanyalah sebuah alasan sederhana dan paling masuk akal. Tapi bagi salah satunya, ada hal lain yang membuat mereka lengket sampai sekarang.

Perasaan.

Tanpa sepengetahuan Karma, Nagisa menyimpan sebuah perasaan. Perasaan yang melebihi seorang teman, perasaan yang memiliki arti dalam. Cinta, namanya. Nagisa mencintainya, ia menyayangi Karma melebihi seorang teman. Remaja berparas manis itu mengetahuinya, namun ia memutuskan untuk menyimpannya sendiri secara sederhana.

Nagisa tahu, perasaan ini tabu. Laki-laki tidak berhak memiliki perasaan cinta terhadap laki-laki pula. Itu dilarang dalam segi dunia, sehingga ia memutuskan untuk tidak mengumbarnya langsung pada Karma. Selain itu, ia takut. Nagisa takut bila Karma mengetahuinya, maka pria berambut merah yang selama ini menjadi sahabat tersayang akan meninggalkannya dengan perasaan jijik dan hampa.

Oh, Nagisa tidak akan membiarkannya begitu saja.

"Jadi," Setelah duduk di meja yang cocok, Karma menatap Nagisa yang sedang membuka buku-bukunya, berniat menunjukkan atensi kesusahan yang diberikan oleh guru Karasuma. "Nagisa-kun hanya ingin memintaku mengerjakan ini?"

"Bukan mengerjakan, Karma-kun. Tapi membantu," Nagisa tersenyum kecil. Ia memegang pensil. "Bagaimana kau menyelesaikan persamaan ini? Padahal aku yakin kalau menggunakan cara cepat, hasilnya dapat diperoleh dengan mudah, 'kan? Lalu kenapa—"

"Tidak tidak," Layaknya seorang dosen handal, Karma merebut pensil dari tangan sahabatnya. Mengetuk ujung runcing pensil tersebut pada persamaan yang ditulis di buku Nagisa. "Tidak semua soal dapat diselesaikan dengan cara cepat, Nagisa-kun. Seharusnya kau melakukan rumus gradien dulu, baru turunkan. Nah, baru kau masukkan angkanya, lalu subtitusikan."

Dengan bibir yang sedikit terbuka, Nagisa memperhatikan tangan Karma yang bergerak lincah di buku coretan. Namun ketika pria bersurai merah menuliskan rumus gradien normal, tiba-tiba ia mengalihkan pandangan. Nagisa memerhatikan tangan besar Karma yang bergerak menuliskan angka matematika yang sangat mematikan. Ia menatapnya penuh arti, berbinar seolah mendapat sesuatu yang berharga. Andaikan saja, Nagisa dapat menyentuhnya, menggenggam jemari itu dengan miliknya. Seandainya saja, mereka bisa bersama, berpegangan tangan, dan berci—

"Nagisa-kun?"

Bagaikan dihempaskan ke dunia nyata, orang yang dimaksud tersentak. Nagisa mengerjap, "Y-Ya?"

"Ada apa?" Alis Karma sedikit bertaut. Ia terlihat bingung. "Kau melamun."

"Ah, m-maaf..."

Awalnya, anak tunggal Akabane itu sedikit heran. Ia menerka ada apa gerangan dengan sahabat birunya. Seolah tidak terjadi apa-apa, Karma melanjutkan penjelasan. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi kalau Nagisa mendengarkan atau tidak, ia hanya berharap permintaan sahabatnya ini bisa diselesaikan dengan cepat dan pria itu bisa pulang dan tidur nyenyak di apartemen pribadinya.

Hanya saja, Nagisa sebaliknya. Pemuda itu terdiam, memperhatikan siluet wajah rupawan milik Karma. Garis lehernya yang keras, kulit putih, serta iris tembaga yang selalu membuat Nagisa terbawa mimpi. Oh, jangan lupa helaian rambutnya yang mencuat itu. Berwarna merah, sangat terang dan menyilaukan, begitu hebat di saat yang bersamaan. Nagisa menyukai tiap hal yang ada di dalam diri Karma. Semuanya indah. Sempurna.

Nagisa menyukainya. Ia mencintai Karma sepenuh hatinya.

Beginikah memiliki perasaan terhadap cinta pertama?

Karma adalah teman, sahabat, dan cinta pertama Nagisa. Pria itulah yang membuatnya mengerti apa arti sebuah kehidupan. Si surai merah-lah yang membebaskannya dari stress yang melanda. Nagisa bersyukur akan hal itu. Mengingat masa kecilnya yang tidak bisa dibilang baik, membuat Shiota Nagisa begitu senang bisa bertemu dengan seorang Akabane Karma.

Andaikan saja, status mereka bisa melebihi apa yang Nagisa inginkan.

Seandainya saja, kami-sama ingin mengabulkan keinginannya.

Namun, ia tahu Karma tidak menyukainya. Karma memang menyayanginya, sebagai seorang teman.

Nagisa menghela napas.

Entah mengapa pemikiran tersebut mampu membuatnya sangat kecewa.

.

.

~ challenge: torture ~

.

.

Siapa yang tidak mengenal seorang Asano Gakushuu?

Seorang pria yang terkenal akan ketenarannya di masa SMP dan SMA Kunugigaoka. Seorang pemuda yang berhasil menduduki kursi ketua OSIS untuk yang kedua kalinya. Seseorang yang berhasil meraih peringkat pertama tiap tahunnya. Seseorang yang dikenal karena ketampanan, kepintaran, serta senyumnya yang mempesona. Asano Gakushuu adalah pria idaman setiap wanita karena kepribadiannya yang sangat memungkinkan.

Setidaknya, begitulah pemikiran semua orang.

Sekarang, disinilah ia berada. Gakushuu hanya terdiam di depan pintu kelas, menatap dua sosok manusia yang sedang berbicara dengan sangat bahagia. Warna merah dan biru itu perlahan mulai meninggalkan koridor kelas, berbelok ke kanan untuk menuju tempat lainnya. Pria dewasa itu hanya diam disana, memikirkan segala sesuatu yang ada dengan praduga andalannya.

Shiota Nagisa.

Sebuah nama muncul di kepalanya. Penampakan berupa pemuda mungil, rambut selembut langit yang dikuncir, serta wajahnya yang bahkan melebihi perempuan cantik. Seorang pemuda yang eksistensinya mampu membuat Gakushuu tertarik. Ia mengerti dan sangat memahaminya secara detil kalau Shiota Nagisa adalah seseorang yang menarik.

Oh, dan bagaimana Asano Gakushuu yang dihormati bisa mengenal Shiota Nagisa yang bahkan atensinya jarang diketahui?

Sebenarnya, pertemuan mereka didasarkan oleh suatu kebetulan. Kalau saja ayahnya yang menyebalkan itu tidak menyuruhnya pergi ke perpustakaan, mungkin sampai sekarang Gakushuu tidak akan mengenal Nagisa hingga detik terus berjalan.

Pertama kali menjejakkan kaki ke surga penuh buku itu, Gakushuu menemukan sosok tersebut terduduk di meja pengawas. Di saat itulah Gakushuu mengetahui; bahwa Shiota Nagisa merupakan salah satu siswa yang mengikuti klub perpustakaan, sehingga membuat si surai langit harus mengawasi ruangan itu setiap hari Selasa dan Jumat. Nah, fakta itulah yang diketahui Gakushuu tentang Nagisa. Dan entah mengapa, manik biru milik pemuda mungil tersebut membuatnya terpaku.

Saat itu, Gakushuu mencari buku tebal tentang hukum politik dunia. Ia tidak mau repot-repot untuk berkeliling ruangan hanya untuk mencari buku yang diinginkan ayahnya. Karena itulah, cara tercepat adalah menanyakan petugas perpus; dimana saat itu Nagisa-lah yang bertugas. Gakushuu menghampiri Nagisa dan memamerkan senyum palsunya.

"Selamat siang," Nagisa mengalihkan pandangan dari buku yang dibaca. "Saya ingin mencari buku tentang hukum dasar politik. Apa ada disini?"

"Tunggu sebentar," Gakushuu memperhatikan bagaimana tangan itu bergerak, mengambil buku besar yang ia yakini sebagai simpanan judul buku yang terdaftar. "Rak bagian F. Bisa dilihat dari lorong depan, dekat jendela sebelah kanan, Asano-kun."

Gakushuu tidak terkejut. "Kau mengenalku?"

Nagisa tersenyum. "Tidak ada yang tidak mengenal ketua dewan murid sekolah ini."

Saat itulah, Gakushuu terpana.

"Oh, begitukah? Terima kasih."

Percakapan mereka pun berakhir.

Darisitu, Gakushuu mulai mengawasi. Ia akhirnya tahu seluk-beluk kehidupan dari seorang Shiota Nagisa. Anak itu merupakan salah satu siswa di kelas 2-C, seorang petugas perpustakaan, tinggal bersama sang ibu di sebuah apartemen murah di distrik Shinjuku, murid kesayangan Koro-sensei, dan memiliki sahabat dekat bernama Akabane Karma.

Dalam kesunyian, Gakushuu tertawa pelan.

Bila dipikir-pikir, Nagisa benar-benar menarik perhatian, sampai-sampai Gakushuu rela mengikuti, mengetahui, dan mengawasi semua hal yang berkaitan tentang pemuda bersurai biru itu. Ah, semuanya begitu indah bagi Gakushuu bila sudah berpikir tentang pujaan hatinya.

Pujaan hati?

Tentu saja.

"Nah, aku harus memulai darimana?"

Sejak pertemuan pertama, Gakushuu sudah jatuh ke pesona Nagisa hingga dasar terdalam.

.

.

~ challenge: torture ~

.

.

Ebisu Station, Tokyo.

Seperti biasa, mereka kembali bersama. Langit yang berwarna kejinggaan membuat Nagisa harus terpisah dari Karma. Rumah mereka berlawanan, sehingga pemuda itu memutuskan untuk mengantarkan Karma hanya sampai ke depan stasiun saja. Yang diantar pun sepertinya tidak keberatan, bahkan ia begitu senang ketika melihat kepedulian Nagisa yang berlebihan.

Tautan tangan yang awalnya bersatu itu terlepas, Karma tersenyum pelan. "Sampai jumpa besok, Nagisa-kun." Ia melambaikan tangan. "Kalau kau butuh bantuan, telpon saja aku."

"Um," Nagisa mengangguk, melambaikan tangannya pula kearah Karma yang sudah ingin memasuki kereta. "Sampai jumpa, Karma-kun."

Dan sosok pria berambut merah itu pun menghilang.

Shiota Nagisa tetap tidak melangkahkan kakinya ketika kereta yang membawa Karma telah telah berjalan. Ia hanya terdiam, berdiri disana, mengabaikan puluhan orang yang sibuk melewati kehadirannya di tengah-tengah. Sebentar lagi, sore akan berakhir, dan kalau saja Nagisa tidak pulang ke rumah sebelum makan malam, maka ia akan dimarahi ibunya lagi.

Tangan yang tadinya digenggam oleh sang pujaan hati pun mengerat. Namun, wajah Nagisa datar-datar saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia perlahan mulai berbalik dan hendak pulang, melangkahkan kakinya ke apartemen kepunyaan. Hanya saja, saat sudah ingin sampai ke tempat penyebrangan, dengkuran halus yang berasal dari kakinya pun mampu membuatnya menoleh ke bawah.

"Eh?"

Ekornya yang dilindungi bulu itu bergoyang pelan, menggelitiki kaki Nagisa yang dibalut oleh celana. Mata birunya mengerjap, lalu tersenyum sumringah kala mendapati seekor kucing manis berbulu putih sedang bermanja-manja dengan dirinya. Pelan-pelan—Nagisa berharap ia tidak mendapat cakaran—tangannya mengangkat tubuh gembul kucing tersebut. Dan disitulah, Nagisa terpana saat menatap sepasang mata merah memandangi wajahnya pula.

'M-Manisnya...'

Untuk pertama kalinya, ia mendapati seekor kucing dengan mata berwarna merah. Kucing betina, berbulu putih, dengan kalung yang terbalut di leher. Kerincing loncengnya membuat Nagisa tersentak. Ia menghela napas perlahan dan melangkah tanpa tujuan.

"Kau kehilangan majikanmu, ya?"

Di tengah pelukan hangat, kucing tersebut mendengkur pelan.

"Kuanggap sebagai ya." Nagisa tersenyum lebar. Ia senang ada suatu hal yang membuatnya mengulur waktu untuk pulang ke rumah. "Kalau begitu, ayo cari majikanmu."

Dengkuran berhenti, mulut mungilnya terbuka.

"Meong~"

Nagisa mulai mempercepat langkah, memerhatikan semua orang yang mendahuluinya. Menebak-nebak siapa gerangan yang telah kehilangan hewan peliharaan. Namun ketika dirinya berhenti di ujung jalan, Nagisa tidak menemukan kandidat yang kuat. Hari sudah beranjak malam, namun sepertinya usaha untuk mencari majikan kucing yang ada dipelukannya gagal.

"Um, sepertinya kau harus menginap di rumahku malam ini—"

"Itu tidak perlu, Nagisa-kun."

Sontak, kepalanya menoleh. Nagisa mengerjap kaget ketika menatap siluet besar yang ada di hadapannya. Bahkan ia tidak sadar bahwa dirinya sudah terbawa ke daerah pertokoan. Lampu-lampu jalan yang berjejer itu menyala, membuat penglihatannya mengetahui siapa gerangan yang telah menegurnya barusan.

"Asano-kun?"

"Selamat malam," Asano Gakushuu menyapa. Ia melirik kucing yang ada dipelukan sang pria berambut biru muda. "Maaf merepotkanmu, Nagisa-kun. Tapi ini kucingku." Sepasang biru itu berbinar. "Terima kasih sudah menjaganya. Kalau tidak ada kau, mungkin Shiro sudah berkeliaran."

Nagisa melirik kucing yang menatap Gakushuu pula. Ia pun menyerahkan hewan tersebut pada sang pemiliknya. "Ah, tidak apa kok. Aku juga senang melihat kucing selucu Shiro." Nagisa terkekeh. "Aku tidak menyangka Asano-kun memelihara kucing."

"Begitukah?" Tangan Gakushuu mengeruk-ngeruk punggung Shiro gemas, membuat kucing itu semakin nyaman dipelukan sang majikan. "Dari kecil aku memang menyukai kucing, Nagisa-kun."

Nagisa mengangguk pelan. Tanpa sadar, dirinya sudah berjalan beriringan dengan sang ketua dewan. "Pasti menyenangkan diperbolehkan memelihara hewan. Asano-kun jadi tidak kesepian."

"Tidak juga," Gakushuu menjawab. "Meski manja, Shiro juga nakal. Contohnya seperti ini, ia merepotkanmu dan membuatmu harus mencariku hingga larut malam begini, Nagisa-kun."

"Itu tidak masalah bagiku."

"Baguslah kalau begitu."

Malam sudah benar-benar terlihat, bulan sabit muncul di tengah permukaan langit. Nagisa yang tersadar apa yang mereka lakukan, lantas bertanya lagi. "Asano-kun tidak pulang?"

"Tidak sebelum kau sampai ke rumah."

Nagisa tersenyum miris. "Aku 'kan bisa pulang sendiri..."

Gakushuu tersenyum kecil. "Anggap saja ini balasanku atas usahamu hari ini, Nagisa-kun."

Dan Nagisa memutuskan untuk tidak membantah Gakushuu lagi.

"Nagisa-kun."

"Ya, Asano-kun?"

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Tentu."

Jalanan yang ditempuh mereka entah mengapa tidak begitu padat. Di tengah kerlipan lampu, Nagisa tahu Gakushuu telah tersenyum. Dengan memeluk Shiro yang masih ada dipelukannya, ia pun bertanya. "Apa kau menyukai Akabane-kun?"

Pertanyaan yang mampu membuat darah Nagisa terhantam ke bawah.

Wajahnya pucat.

"Apa maksudmu, Asano-kun?"

Gakushuu tertawa pelan. "Aku hanya ingin bertanya, menebak apa perkiraanku selama ini benar atau tidak."

Nagisa diam saja. Seolah, pertanyaan yang diutarakan oleh Gakushuu adalah pertanyaan tersulit di dunia. Bahkan ia tidak dapat menyembunyikan raut keterkejutannya, membuat tebakan sang ketua dewan benar adanya. Perlahan, senyum itu kembali ada. Gakushuu menatap Nagisa dengan wajah palsunya. "Semua sudah terbaca, Nagisa-kun. Semua yang kau lakukan terhadap Akabane-kun terlihat jelas di mataku."

Apa maksudnya itu?

"K-Kau—" Memang ini tidak mungkin. Sebuah perkiraan bodoh yang tidak masuk di akal tiba-tiba merasuki pikiran Nagisa. Oh, mungkin dirinya yang terlalu bodoh untuk menunjukkan perasaannya pada Karma, sehingga ia tidak sadar bahwa tatapannya mampu membuat semua orang mengetahui perasaan pemuda itu terhadap sang surai berwarna merah. Ya, itu benar, 'kan? "—darimana kau tahu...?"

Oh, tentu semuanya ia tahu.

Asano Gakushuu mendengus. Ia menatap langsung manik biru yang mencuri perhatiannya itu. "Semua, Nagisa-kun," Ia memajukan kepala, menatap wajah cantik Nagisa dari dekat. "Aku mengetahui segalanya tentangmu."

Apa?

"Kepribadian, perasaan, bahkan masalah tentang keluargamu—aku mengetahui semuanya." Nagisa mematung. Gakushuu tersenyum. "Apa selama ini kau tidak sadar bahwa ada seseorang yang selalu mengintaimu dari belakang?"

Darah pemuda bersurai biru itu berdesir. Tubuhnya terlalu kaku untuk digerakkan. Demi apapun, Nagisa ingin kabur; ia ingin pergi dari tatapan Asano Gakushuu yang membeku.

"A-Asano-kun—"

Nagisa hampir memekik ketika kedua tangan yang awalnya memangku Shiro itu berada di bahunya, mencengkram bahunya erat. Gakushuu mengunci pandangan Nagisa. Pemuda bersurai biru itu terdiam, menatap mata violet yang begitu gelap dan mematikan.

Siapa? Dia siapa?

Segala gambaran tentang Asano Gakushuu yang sopan, baik hati, dan hangat itu pupus seketika. Ketika melihat kepribadian Gakushuu yang sesungguhnya, Nagisa langsung tersadar. Semua fakta itu bohong, hanya isu, hanyalah sebuah perkataan omong kosong dari semua orang yang tidak tahu. Tapi, Nagisa sekarang bukanlah orang-orang tersebut. Karena tepat di depannya, di hadapannya seorang, Asano Gakushuu memperlihatkan taring sesungguhnya.

Kaki Nagisa bergetar hebat. Jiwanya seolah direnggut paksa oleh sepasang mata milik ketua dewan.

Kepala dimajukan, bibir tepat di telinga kanan sang pria idaman—

—dan di detik selanjutnya, Asano Gakushuu meninggalkan Shiota Nagisa dalam keadaan terduduk di tengah keramaian.

.

.

"Aku jatuh cinta padamu. Tinggalkan Akabane itu dan datanglah kepadaku."

.

.

continued

.

.

a bit little long notes:

hai teman-teman dari fandom assassination classroom. aku baru di fandom ini ihi. jadi mohon bantuannya ya!

well, ff ini merupakan ff debutku untuk maju ke fandom ini, sekaligus untuk meramaikan event yang dibuat oleh admin dari suatu fanpage di facebook. :D

jadi yang pengen ikut, bisa dilihat di grup FFnW yang ada di facebook. ikutan, yuk! :'3

ah dan satu lagi, tamatnya ff ini bisa di chapter depan atau chapter tiga. itu bergantung sama panjangnya chapter depan besok ihi. unsur bonekanya belum keliatan ya? udah ah di chapter depan aja. /plak

.

.

glosarium

torture: siksaan — section: bagian — pressura: tekanan

.

.

Terima kasih sudah membaca!

Mind to Review? :)