Attack on Titan milik Isayama Hajime. Tidak ada keuntungan apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini selain kesenangan belaka. Didedikasikan untuk #EyesVoiceHear challenge dengan mengambil tema Muteness.
.
Mutter Wünsche © Kenzeira
.
Aku ingin mati.
Eren merasa ia mendengar sesuatu, bersenandung begitu merdu. Tidak jelas, hanya samar-samar. Seumpama lagu kanak-kanak yang selalu dinyanyikan ibunya saat ia kecil dulu. Sebagian besar liriknya ia lupa, tapi tidak dengan nada. Kenangan semacam itu menghantam kuat dirinya.
Apakah kau sudah bahagia?
Aku tidak bahagia, Ibu.
Seketika Eren menyesali jawabannya—dan lebih dari itu, ia menyesali apa yang sudah terlanjur diperbuatnya. Lagi-lagi wajah sedih itu membingkai. Eren tidak ingin melihat, cukup satu kali saja—cukup hari itu saja. Kini, ia ingin pulang tanpa beban. Pulang dan duduk di pangkuan ibunya hingga lelap seperti biasa.
Kau harus pulang dalam keadaan bahagia.
Sayap burung mengepak-ngepak, sekian puluh—terbang, berhamburan di langit.
Aku ingin bahagia.
Kau harus.
Mula-mula Eren tidak merasakan apa pun. Lalu, tiba-tiba saja, dingin menyebar di seluruh tubuhnya. Ia menggigil. Silau. Panas. Eren tidak mengerti kenapa ia merasakan banyak hal, tidak lagi mati rasa. Suara deru ombak terdengar, lantas menghantam kakinya. Perlahan, kedua mata terbuka. Matahari tepat berada di atas kepala. Seseorang memangku tubuhnya.
Siapa…
Eren tersendak.
Sosok itu tampak panik. Dia mengatakan sesuatu dengan terbata, tidak jelas apa maksudnya, tidak jelas pula apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Eren tak mengerti—barangkali orang-orang yang kemudian berkerumun pun tidak mengerti, mereka saling melempar pandang, mempertanyakan entah apa.
Apa kau bicara padaku?
Lelaki yang memangku tubuhnya itu masih berusaha mengatakan sesuatu. Kali ini menggunakan isyarat tangan. Eren bahkan sampai melihat bintik-bintik keringat di hidung serta keningnya. Tapi Eren masih tidak mengerti, tidak menangkap maksud. Dunia rasanya berputar lambat sekali. Semua orang bergerak lambat. Ia hanya mampu menarik senyum tipis di bibir.
Pria lain datang, menyingkirkan si lelaki kikuk dengan keringat di hidung serta keningnya itu. Pada sepasang matanya yang biru, Eren melihat luka. Luka tanpa kata. Mata seindah itu tidak seharusnya bersedih.
Semakin banyak orang berkerumun. Ia mampu merasakan saat tubuhnya diangkat ke dalam mobil ambulan. Banyak sekali manusia yang memandang ke arahnya, namun, wajah mereka semua tampak samar—bahkan tak berwajah. Hanya satu saja yang begitu jelas. Sosok itu. Lelaki itu. Rambut pirang dengan mata biru. Bibir kecilnya bergerak-gerak, tapi tidak ada suara yang terdengar.
… atau aku yang tuli.
Pintu mobil ditutup.
Tapi aku mendengar suara burung, sayap mereka mengepak-ngepak.
"Sepertinya bunuh diri. Seseorang melihatnya melompat dari atas tebing."
Dua orang pria asing duduk di kiri-kanan. Seakan lelap dalam buai mimpi, Eren memutuskan untuk memejamkan mata lagi.
" … bocah bisu itu ternyata bisa berteriak."
Siapa …
Terbayang olehnya wajah si lelaki pirang tanpa nama, bagaimana ketika lelaki itu berusaha untuk bicara dan saat sepasang mata biru itu menatapnya. Dalam, penuh arti. Seakan mengatakan sesuatu tanpa perlu bicara. Air mata menetes melintasi telinga. Eren tertohok. Ia baik-baik saja—terlalu baik-baik saja untuk mengakhiri hidup.
Kenapa Tuhan menciptakan aku sebegini tolol.
Tiba-tiba saja, Eren melihat bayangan wajah ibunya, tengah tersenyum begitu hangat, begitu bahagia. Mobil lantas melaju, meninggalkan seribu tanya mengenai tragedi pilu di lepas pantai sore itu.
.
.
.
(selesai)
10:50pm – July 21, 2016
