Dangerous Seduction Versi Gaahina
Summary :
Hyuuga Hinata, ucapkan selamat tinggal pada kehidupanmu yang normal. Ayahmu mati dibunuh, dan sekarang giliranmu. Hinata tidak punya pilihan lain selain, tinggal bersama dengan sekelompok kriminal. Kami akan melindungimu, pilihlah siapa yang menjadi bodyguardmu! Sniper, hacker, surgeon, spy atau sang ketua misterius? Tentukan pilihanmu! Cerita dari Voltage. Chapter 1 : Villains, Prolog!
.
.
(-)
Prolog
Hinata Hyuuga, seorang gadis berusia dua puluh empat tahun, kini menjalani kehidupannya seorang diri, tepat setelah ayahnya meninggal secara tragis. Dua bulan yang lalu, ayahnya Hyuuga Hiashi, seorang jurnalis ternama di Jepang, meninggal secara mendadak. Oleh para polisi yang bertugas, mereka mengatakan kematian Hiashi disebabkan oleh kecelakaan. Namun, karena satu dan lain hal, pemakaman langsung diadakan hari itu juga. Mengesampingkan fakta kalau pria itu masih memiliki keluarga, seorang anak perempuan bernama Hinata.
Istrinya, Hikari sudah lama meninggal, bahkan sebelum Hinata, putri kecilnya itu menginjak usia lima tahun. Hinata tidak memiliki saudara ataupun kerabat dekat, satu-satunya yang tersisa hanya tinggal ayahnya. Yang sering sibuk demi mengurusi pekerjaannya dan pergi ke luar kota.
Meskipun demikian, Hinata tidak pernah bersedih, karena ia tahu ayahnya berjuang keras demi menghidupi dan menyekolahkan dirinya hingga perguruan tinggi. Oleh karena itu semenjak kecil, Hinata terbiasa mandiri, gadis itu bahkan bercita-cita untuk menjadi jurnalis hebat seperti ayahnya.
"Ayah apa kabarmu? Maaf Hinata, baru bisa menjengukmu sekarang." Bisik gadis itu lemah setelah selesai berdoa. Kini ia berdiri di depan makam ayahnya, Hiashi. Yang berada di salah satu pemakaman umum di kota Tokyo Jepang. Mata gadis itu tampak berkaca-kaca, kesedihan tampak kentara diwajahnya.
Setelah mengetahui kematian ayahnya, Hinata tidak bisa berhenti menangis, berkali-kali ia menelepon pihak kepolisian, mencari tahu kondisi ayahnya hingga keberadaannya, Tapi tidak ada satupun informasi yang jelas mengenai ayahnya. Seakan-akan pihak sana mencoba menutup-nutupi berita tersebut.
Marah sekaligus sedih, Hinata bahkan memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai reporter baru di stasiun tv kecil guna mencari jejak sang ayah. Usahanya berhasil, ia menemukan fakta kalau ayahnya tewas akibat kecelakaan di dekat jembatan Roppongi dan kini sudah dimakamkan di Tokyo –ibu kota Jepang. Setelah mengetahui hal tersebut, Hinata langsung memutuskan untuk pindah dari kota asalnya Konoha, dan berdiam disana.
Gadis bersurai indigo itu meletakkan bunga didepan nisan sang ayah, air matanya menetes mengigat kenangan terakhir dengan almarhum.
"Ayah, hari ini Hinata memutuskan untuk pindah ke Tokyo, aku akan memulai pekerjaanku sebagai jurnalis lepas disini. Mungkin ayah marah dengan keputusanku ini. Tapi satu yang jelas, aku tidak pernah menyesalinya." Ujar Hinata kemudian. Pandangannya beralih menatap matahari tenggelam.
"Maafkan aku ayah, belum bisa menjadi anak yang bisa kau banggakan. Maaf karena tidak bisa datang disaat hari pemakamanmu. Sungguh, Hinata ingin datang tapi-" Menahan tangisannya, Hinata justru bertambah sedih. "Seandainya hari itu, hari itu, Hinata mencegahmu pergi, pasti hal ini tidak akan terjadi…"
"Maafkan Hinata ayah…" Tangis gadis itu makin mengeras. Langit yang awalnya cerah berubah mendung. Beberapa menit kemudian air hujan turun membasahi tubuh sang gadis. Seolah turut menjadi saksi bisu atas berpulangnya sang ayah yang sangat dikasihinya.
"Biarkan kali ini, Hinata menangis, karena mulai besok…."
Air hujan turun semakin deras.
"Hinata tidak akan menangis lagi…"
.
.
Dangerous Seduction versi [Gaahina]
By : Lightning Chrome
Inspirasi : Story from Voltage Inc, Otome Game
Versi Naruto
I do not Own Naruto
Chapter 1 : The Villains
Happy Reading
.
.
(-)
Senin, 10 Juni 2018~
Hari itu, adalah hari yang spesial untuk Hinata. Kenapa? Karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai jurnalis lepas di kota metropolitan Tokyo Jepang. Hyuuga Hinata tersenyum menatap sekitarnya. Tugas pertamanya sebagai jurnalis, mewawancarai pemilik sebuah restoran terkenal di distrik Ginza. Gadis itu merasa beruntung, mendapatkan kesempatan yang langka ini. Dimana lagi ia bisa bekerja dengan orang penting seperti tuan Chouji Akimichi? Pemilik restoran bintang tiga terkenal seantero Jepang?
Hinata menaikkan senyumnya, tidak lupa ia mengecek barang-barang yang dibawanya. Semua alat untuk wawancara sudah dibawa. Yakin tidak ada yang terlupa, gadis bersurai panjang itu menutup isi tasnya, dan melangkah maju. Berbaur dengan para pejalan kaki lain.
"Ini adalah kesempatan besarku." Batin Hinata senang.
Satu langkah awal untuk meraih cita-cita sebagai jurnalis besar.
"Yosh, ganbatte ne- Hinata." Gadis itu menyemangati dirinya sendiri.
Sambil menunggu lampu lalu lintas berubah, Hinata melemparkan pandangannya pada sebuah layar tv besar di atas gedung tinggi. Menayangkan siaran berita terbaru.
"Dengan terbentuknya kabinet kerja Danzou, malam ini kami akan menyiarkan secara langsung konferensi pers di kediaman Perdana Menteri yang baru. Mulai dari pejabat, tokoh-tokoh penting hingga para diplomat masing-masing negara akan ikut serta hadir-"
Oh, ternyata mereka sudah memilih perdana menteri yang baru!
Hinata menepuk jidatnya, merasa bodoh, karena melupakan hal sepenting itu. Gadis itu ingat, terakhir kali ia bertemu dengan ayahnya, almarhum sempat bilang kalau ia sedang menulis artikel mengenai calon perdana menteri baru. Tapi kemudian kecelakaan itu terjadi, dan-
Gadis itu tiba-tiba merasa sedih, mengingat bayangan sang ayah.
"Tidak-tidak! Aku tidak boleh sedih lagi. Aku sudah janji kalau aku akan berjuang, aku tetap harus semangat! Masih ada yang harus kulakukan."
Mengalihkan perhatiannya, Hinata menyadari sang reporter telah berpindah ke berita berikutnya.
"Berita selanjutnya…"
"Dua orang tersangka yang masuk dalam Daftar Buronan INTERPOL, Uchiha Sasuke dan Sabaku Gaara masih dalam pengejaran. Menurut informasi dari Badan Intelijen Kepolisian Pusat Tokyo dan Kriminal, mereka mencurigai, kedua orang ini sedang bersembunyi di Jepang. Bagi para warga dan penduduk sipil diharap tetap waspada. Apabila ada yang melihat kedua tersangka, atau orang yang mirip dengan mereka berkeliaran, jangan segan-segan untuk segera melapor ke kantor polisi terdekat…"
"Tetap waspada dan menjaga jarak, karena mereka sangatlah berbahaya…."
"Sekali lagi, peringatan untuk warga dan penduduk sipil…."
Hinata menaikkan alisnya, merasa heran akan peringatan tersebut. Aneh sekali kenapa reporter itu tidak menyebutkan kronologisnya dengan jelas, perbuatan kriminal apa saja yang sudah mereka lakukan. Kenapa hanya menyebutkan nama saja? Lalu fotonya juga tidak begitu kelihatan!
Gadis itu menarik nafas panjang. Merutuki sifatnya yang terlalu penasaran. Sudahlah, toh itu juga bukan urusannya. Saat ini yang paling penting adalah wawancara.
Lampu lalu lintas untuk pejalan kaki berubah hijau, Hinata maju menyeberang.
Pandangannya sesaat berpindah ke sisi kiri. Tampak seorang pria mengenakan tudung dan kacamata hitam berjalan beberapa langkah dibelakang Hinata. Gadis itu mengerutkan kening, aneh sekali dari tadi ia merasakan pria itu mengikutinya semenjak keluar dari stasiun.
Apa itu hanya perasaan Hinata saja atau….
Pria itu benar-benar penguntit?
Merasa terancam, karena sadar- hampir ketahuan, pria itu berbalik arah dan menuju halte terdekat. Meninggalkan Hinata yang berdiri mematung, dengan ekspresi curiga di wajahnya. Ketika gadis itu menengok, pria itu sudah menghilang.
"Hmmm, apa aku yang terlalu paranoid?" gumam Hinata rendah.
Sadar karena sudah berhenti di tengah-tengah jalan, Hinata bergegas menyeberang, mengabaikan fakta kalau dirinya seorang, pejalan kaki yang tertinggal disana. Masih merasa aman, Hinata tidak menyadari kalau dari arah sebaliknya, sebuah mobil jip hitam tengah melaju dengan kecepatan tinggi.
"AWAS!" teriak salah seorang warga.
Hinata menengok.
"?!"
Tidak mempedulikan lampu merah masih menyala, mobil itu justru menambah kecepatannya, menerobos lampu lalu lintas. Mengabaikan teriakan orang-orang dan para pejalan kaki. Bersiap menabrak Hinata.
Gadis itu hanya bisa membeku, merasakan dirinya akan mati sebentar lagi.
"A-aku tidak bisa menghindar…" Kakinya mendadak ngilu,
"Dia akan menabrakku!"
Hinata refleks menutup mata.
"Kami-sama, ayah, tolong selamatkan aku. Siapapun tolong!"
.
.
"Ck, Dasar bodoh."
.
.
Seakan Tuhan mendengar doa Hinata, seseorang maju dan menarik lengan gadis itu. Menyelamatkannya dari si mobil gila. "Huh?"
Hinata yang tidak merasakan sakit apapun, membuka matanya.
Menyadari seseorang yang memeluk dan melindunginya kini telah bangkit dan mengambil kacamatanya yang terlempar.
Orang-orang mulai berdatangan mencoba menolong keduanya. Salah seorang dari mereka membantu Hinata berdiri. "Te-terima kasih." Ucap gadis itu. Para warga lain mencoba menelepon polisi, dan menghentikan sang pelaku. Tapi naas pengemudi gila itu sudah lebih dulu kabur.
Hinata mendekati pemuda yang menolongnya. Guna mengucapkan terima kasih.
Tampak dihadapannya seorang pemuda tinggi dengan rambut raven gelap yang menyerupai pantat ayam dengan jaket kulit di tubuh. Wajah Hinata memerah menyadari betapa tampannya pria tersebut. "A-ano, apa kau tidak apa-apa? Terima kasih karena sudah menolongku." Ujar Hinata gugup.
Entah kenapa rasanya ia pernah melihat wajah itu tapi dimana ya?
Pria itu tidak menjawab, justru menatap dingin gadis tersebut. Dipakainya kembali kacamata mahal miliknya.
"Apa kau itu bodoh?" sindir pria itu.
Hinata melongo mendengarnya, "Ma-maaf?"
Pria asing itu mendengus, "Berdiri diam di tengah-tengah jalan tanpa berniat untuk menyingkir. Padahal ada mobil dari arah depanmu yang jelas-jelas akan menabrakmu. Otakmu itu kau taruh dimana? Di kaki heh?"
Hinata jelas merasa tersinggung. "Maaf tuan, tapi sekedar informasi, BUKAN SAYA yang berniat untuk ditabrak, justru SAYA adalah KORBAN disini. Asal anda tahu, saya juga TIDAK INGIN mati. Saya berterima kasih karena tuan sudah menolong saya, saya benar-benar berhutang nyawa dengan tuan. Saya janji suatu saat akan membalas budi. Tapi BUKAN dengan cara anda MENGOLOK-OLOK saya seperti ini." Hinata berbicara dengan penuh penekanan, jangan lupa dengan senyum menyeramkan di wajahnya.
Memang pria itu siapa berani menyebut orang lain dengan sebutan bodoh?!
Menghadapi pria angkuh seperti itu didepannya, Hinata tidak boleh mundur. Ia balas menyerang, dengan memberitakan death glare, mungkin cara itu kurang sopan mengingat pria itu telah menyelamatkannya dari korban tabrak lari. Tapi menghadapi pria songong semacam itu, Hinata tidak bisa diam begitu saja.
Pria tampan itu menekuk alisnya, beberapa detik kemudian ia tertawa.
"Aneh, apanya yang lucu?" Tanya Hinata pada batinnya sendiri.
"Kau!" Pria itu menunjuk Hinata. Senyumnya naik keatas, tampak menyebalkan di mata gadis itu.
"Benar-benar tidak tahu apa-apa ya?" sindirnya lagi lebih pada kesimpulan.
Hinata memasang wajah bingung. Baru saja ingin bertanya, pria itu lebih dulu memotong.
"Kalau kau tahu siapa aku, dan posisimu saat ini. Aku jamin, kau tidak akan berani bicara macam-macam denganku…" Pria itu berbisik rendah di telinga Hinata. Membuat gadis itu merinding.
"A-apa maksudmu?"
Pria itu sedikit mundur, mengacungkan jemarinya, seolah-olah itu adalah pistol.
"Lain kali kita bertemu, kau harus tahu kalau nyawamu ada ditanganku. Saat itu tiba, kau akan merengek-rengek memintaku untuk melindungi nyawamu." Ujar pria itu kemudian.
"APA?!"
Tidak ingin menjadi pusat perhatian lebih jauh lagi, pria itu memutuskan untuk pergi, sebelumnya ia sempat memberikan salam terakhir untuk gadis itu.
"Jaga dirimu baik-baik, sampai kita bertemu lagi…" pria itu menyeringai.
"Hyuuga Hinata…"
Ucapannya itu membuat Hinata terkejut.
Darimana orang itu tahu nama panjangnya? Seingatnya, ia belum memperkenalkan diri. Hinata meneguk ludah, bayangan pria itu semakin kabur hingga tertelan oleh kerumunan para pejalan kaki.
"Siapa sebenarnya dia?" Tanya Hinata kemudian. Yang lebih penting lagi, kemana mobil gila itu pergi? Haruskah ia menelepon polisi lagi? Tapi yang lebih penting.
"Celaka!" Wajah Hinata berubah pucat.
"Aku lupa wawancaranya!"
Dengan langkah terburu, Hinata berlari menuju restoran tujuannya. Yakiniku-Q.
0-0-0-0
Tidak terasa matahari hampir tenggelam, tepat ketika Hinata menyelesaikan wawancaranya. Chouji Akimichi, pemilik restoran terkenal itu tampak sangat ramah dan hangat, ia bahkan mengajak Hinata untuk turut serta mencicipi hidangan di restoran miliknya –Yakiniki-Q.
Hinata yang memang sudah lapar, dan tidak enak untuk menolak, tanpa malu-malu lagi ikut ambil bagian sebagai pencoba hidangan mereka yang terbaru. Tidak henti-hentinya, gadis itu memuji betapa enak masakan dari sang koki dan bagaimana seorang Chouji Akimichi mengorganisir semuanya, bukan hanya sebagai pemilik tapi juga manajer restoran.
"Terima kasih banyak, atas kedatangannya Hyuuga-san. Saya harap masakan kami cocok dengan selera nona."
"Tidak-tidak, tidak perlu berterima kasih." Hinata mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
"Justru sayalah yang harus berterima kasih, tuan sudah mempercayakan wawancara ini pada saya. Padahal saya masih tergolong baru sebagai jurnalis." Ucap Hinata jujur. "Saya janji akan membuatkan artikel yang bagus dan sesuai dengan kondisi restoran anda."
Begitulah, setelah selesai dengan makan malam dan wawancara dengan sang pemilik, jurnalis lepas itu pamit pulang.
Hinata mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Restoran itu terletak di gedung tinggi, di lantai dua puluh, untuk turun ke bawah ia memerlukan lift. Matanya kesana kemari, hingga menemukan satu lift kaca di ujung lorong.
Gadis itu buru-buru masuk.
"Yes, perut sudah terisi dan wawancara sudah selesai. Sekarang tinggal pulang dan menulis artikelnya, kemudian dikirim lewat email. Selesai."
Gadis itu senyum-senyum sendiri membayangkannya. Merasa senang, wawancara pertamanya berakhir dengan sukses. Hingga tidak sadar ada seorang lagi yang lain, ikut masuk dalam lift. Pria bertudung hijau dengan kacamata gelap.
Iris lavender itu langsung membulat.
O-orang itu!
Hinata yakin itu adalah orang yang sudah membuntutinya sejak ia turun dari stasiun. Pria aneh tadi pagi! Yang juga mengikutinya sampai di penyebrangan jalan. Mau apa lagi dia kali ini? Keringat mengucur dari pelipisnya, tidak sadar karena panik atau menatap penuh curiga, justru membuat pria misterius itu geram.
"Apa lihat-lihat?" Pria bertudung itu menggerutu kesal.
"E-eh, ti-tidak…" Hinata langsung salah tingkah.
Buru-buru ia mengalihkan pembicaraan. "La-lantai berapa?"
"Lantai satu."
Hinata menekan tombol 1 dan lift bergerak turun.
Gadis itu menghela nafas panjang. Pura-pura tidak melihat orang disebelahnya, dan memilih menatap gedung-gedung tinggi yang terlihat dari balik kaca.
Hinata bergelut dengan pikirannya. Ia tidak menyangka, pria itu sampai satu lift dengannya juga. Apa benar dia itu penguntit? Atau pikirannya saja yang terlalu berlebihan? Mungkin saja itu semua hanya kebetulan. Bisa saja kan pria itu tinggal di wilayah yang sama dengan Hinata dan –mungkin, memiliki keperluan yang sama?
Hinata mengangguk-angguk pelan, meski sulit untuk dipercaya, tapi kebetulan itu bisa saja terjadi. Ia tidak boleh menuduh orang sembarangan sebelum ada bukti. Terlebih pria disampingnya ini tidak melakukan sesuatu yang membahayakan Hinata. Kenapa juga ia harus takut? Terlebih lagi ia sempat menyapa Hinata tadi, meskipun itu juga tidak bisa dihitung sebagai sapaan.
Gadis itu melirik tombol panah. Tinggal sebentar lagi sampai ke lantai dasar. Jika sesuatu terjadi di waktu tersebut, ia tinggal teriak dan lari. Voila, dan semua beres. Hinata tersenyum, namun cuma sebentar. Karena yang terjadi selanjutnya benar-benar diluar prediksinya.
Lampu tiba-tiba mati, disusul dengan berhentinya lift dengan anak panah di lantai ke 5.
"Huh?" Wajah Hinata memucat seketika.
Liftnya berhenti?
Merasa panik karena terperangkap dengan pria asing yang dikira penguntit. Hinata menggedor-gedor pintu besi sambil berteriak minta tolong. "Tolong siapapun! Buka pintunya! Liftnya mati!" Tidak lupa ia terus menekan-nekan tombol panah dan bantuan. "TOLONG!"
"BERISIK!" seru pemuda asing itu.
Hinata yang terkejut, berhenti berteriak. Dengan takut-takut ia menoleh kearah sang pemuda.
Berbeda dengan Hinata yang panik, pria asing itu justru terlihat tenang. Ia mengeluarkan laptop yang disembunyikan dari balik mantelnya. Lalu mengetik sesuatu. Hinata meneguk ludah. Apa yang dilakukannya?
Karena penasaran, gadis itu mengintip. Matanya membulat melihat kode-kode angka yang muncul di layar laptop pria tersebut. "Tu-tunggu kode apa itu, apa yang sedang kau buat?"
Pria itu tidak menjawab, selang beberapa detik, lampu lift menyala kembali.
Baru saja ingin bernafas lega, Hinata dikejutkan dengan aksi pria itu yang tiba-tiba memeluk dirinya-
"Hei, apa yang kau-"
"Menunduk!"
"Apa?!"
DORRR!
Pria itu memerangkap dirinya dengan Hinata, memaksa gadis itu untuk tiarap di lantai. Sebutir timah panas meluncur, hampir saja bersarang di tubuh Hinata. Jika pria itu tidak segera menolongnya, gadis indigo itu pasti sudah mati.
Jantung Hinata berdentum sangat kencang.
Barusan – barusan ada yang menembaknya? Di Jepang?
Menengok ke belakang, gadis itu melihat sebuah lubang kecil bersarang di dinding kaca. Pecahan-pecahan kaca berjatuhan disekitar keduanya. Kemungkinan besar, pelakunya adalah seorang sniper. Tubuh Hinata mulai gemetar. Tadi pagi di jalan dan sekarang di lift.
Mungkinkah?
Mungkinkah ada orang yang mencoba membunuhnya?
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"DORR! DORRR! DORR!"
"KYAAAA!"
Bunyi tembakan kembali terdengar, Hinata berteriak histeris. Dalam hati ia terus merapalkan doa-doa agar bisa selamat. Gadis itu panik setengah mati. Tubuhnya tidak henti-hentinya bergetar. Pria bertudung hijau itu itu menoleh ke belakang sebelum menarik Hinata dan mendorongnya ke sudut.
"Jangan bersuara." Bisiknya.
Hinata mengangguk, menutup mulutnya, mencoba menekan ketakutannya.
Saat ini mereka berdua terjebak di lift, dengan sniper misterius yang bisa menembakinya dari luar. Mereka harus melakukan sesuatu jika tidak ingin mati konyol!
Meraih ponsel miliknya, Hinata berharap untuk mencari bantuan. Namun sayang, ponsel miliknya justru mati karena kehabisan daya. Gadis itu memaki dirinya sendiri karena kecerobohan yang dilakukan.
"Ck, apa boleh buat." Tanpa ragu-ragu pria disampingnya itu melemparkan kacamatanya, yang langsung disambut dengan bunyi tembakan. Berhasil mengalihkan perhatian sang pemburu, pria bersurai merah itu, berguling meraih laptop. Kemudian bersembunyi kembali disudut lift. Luka akibat goresan kaca dan pecahan beling, tidak ia pedulikan.
Pria bersurai merah itu justru kembali sibuk, berkutat dengan laptopnya.
"A-apa yang orang itu lakukan? Kenapa malah bermain laptop?" batin Hinata tidak mengerti. Apa orang itu tidak sadar situasi genting yang terjadi? Seharusnya dia menelepon meminta bantuan.
"He-hei, apa yang kau lakukan?" Hinata bertanya dengan nada rendah. Namun tetap bersembunyi di posisinya.
Tanpa menoleh pria itu menjawab. "Aku sedang meretas sistem kerja lift ini, supaya cepat aktif dan membawa kita turun ke lantai dasar. Jika tidak, kita akan terus-terusan ditembak."
'Meretas? Maksudnya hacking?'
Siapa orang ini sebenarnya?
"A-apa benar kau bisa melakukannya?" Tanya Hinata sangsi.
"Diamlah sebentar, idiot!"
"I-idiot?" Jika bukan karena situasi genting ini, Hinata bersumpah akan memukul pria berambut merah itu karena memanggilnya idiot. Pertama bodoh sekarang idiot, kenapa pria di Tokyo itu kasar-kasar?
Tidak mempedulikan kekesalan Hinata, pria yang memiliki iris berwarna jade hijau dengan tattoo 'Ai' di dahi melanjutkan lagi kegiatan hackingnya. Beberapa saat kemudian, lift bekerja kembali. Hinata nyaris melompat, karena kaget.
O-orang ini benar-benar bisa melakukannya?
"Dengarkan aku, begitu lift terbuka, kau segera lari. Jangan menoleh ke belakang." Sambungnya.
"Ta-tapi bagaimana denganmu?" Hinata bertanya memastikan. Ia tidak mau jika dirinya sendiri yang selamat. Tapi orang itu tidak mendengarkan. Perhatiannya justru berpindah pada anak panah lift.
Lantai 3
Lantai 2
Lantai 1
Ting
Pintu lift terbuka, secepat kilat sang pria dengan tattoo di dahi, menarik paksa tangan Hinata, membawanya ke luar. Meski enggan, gadis itu memilih ikut, daripada berdiam diri disana, dan nyawa menjadi taruhan.
"Kami-sama, ayah, tolong lindungi aku."
0-0-0-0
"Sebelah sini." Ujar sang pria sambil menarik tangan Hinata.
"O-oke." Gadis itu tidak punya pilihan lain selain mengikuti arahan pria misterius.
Setelah keluar dari lift, mereka langsung berlari menuju pintu exit. Mengabaikan tatapan aneh orang-orang, yang sebagian tercengang dengan kondisi lift yang porak-poranda dan sebagian merasa prihatin dengan keadaan mereka yang luka-luka terkena pecahan kaca. Hinata baru saja ingin meminta pertolongan mereka, sebelum tangannya ditarik kembali oleh pemuda merah. Menjauh dari orang-orang gedung.
"Tu-tunggu kita mau kemana?" Tanya gadis itu, nafasnya terengah-engah karena berlari semenjak tadi.
"Diam dan ikuti aku!" perintah orang itu lagi.
Hinata langsung menutup mulutnya, sampai di parkiran ia melihat dua orang lain sudah menunggu.
Gadis itu melebarkan matanya. Mengenal salah satu dari mereka.
Tampak dihadapannya seorang pria tinggi dan tampan dengan surai rambut berwarna gelap dengan model raven menyerupai pantat ayam. Dan seorang lagi pria yang tidak dikenalnya, dengan senyum diwajah.
Bu-bukankah orang itu adalah pria yang menolongnya tadi pagi di jalan?
Mengabaikan keterkejutan Hinata, pria dengan model rambut pantat ayam, maju. Menatap dingin sang pemuda bertatto.
"Lama sekali kau, Gaara." Ucapnya kesal. "Seharusnya kau sudah datang lima menit yang lalu. Waktuku jadi terbuang percuma hanya untuk menunggumu disini."
Hinata merasakan jantungnya berhenti mendadak.
Gaara?
"Berhentilah mengeluh, Uchiha brengsek. Mereka menembakiku, apa kau tahu? Rupanya mereka tidak akan segan-segan melenyapkan orang disekitarnya, meskipun tahu aku bersama dengan 'pemegang kunci'."
Uchiha? Pemegang kunci?
"Mereka benar-benar bodoh,…"
Hinata meneguk ludah. Nama-nama itu….
"Sudah-sudah." Satu-satunya pria yang Hinata tidak kenali maju menengahi.
Diwajahnya terukir senyuman.
"Setidaknya kita semua sudah berkumpul. Cobalah masing-masing dari kalian untuk bekerja sama. Dengan begitu tidak akan ada kesalahan lagi dalam rencana kita."
Pria ketiga itu tersenyum lagi kali ini makin lebar.
"Kalian paham, Sasuke? Gaara?"
DEG
Hinata mengepalkan tangannya. Nama itu, tidak salah lagi…
Gaara pria yang disebut mendecih, "Anak bawang sepertimu tidak perlu menasehatiku. Rencana sudah kita susun semenjak dua bulan yang lalu. Justru kalianlah yang harus hati-hati, terutama kau, pantat ayam!" tunjuk pria bersurai merah pada Sasuke.
"Menghancurkan rencana kita, dan aku tidak akan segan-segan meledakkanmu…"
Glek, me-meledakkan?
Sasuke menatap datar Gaara. Kemudian menyeringai dan mengambil sesuatu dari jaketnya.
Se-sebuah pistol?
"Ho, hebat sekali mata panda! Kau bilang meledakkan, asal kau tahu, aku juga bisa melakukan hal yang serupa." Ujarnya santai sambil memainkan pistol di tangannya. Anehnya pandangan Gaara sama sekali tidak berubah.
"Kau tahu kan, aku bisa saja menembakmu saat ini juga?" Sasuke, pria itu menodongkan pistolnya tepat kedahi Gaara. Keduanya diam, saling beradu death glare. Suasana mendadak tegang. Hinata merasa wajahnya kian pucat. Tidak salah lagi. Kedua orang itu. Sasuke Uchiha, Sabaku Gaara…. Mereka berdua adalah orang yang dicari-cari polisi. Buronan INTERPOL! Musuh seluruh dunia!
Siapa sangka kedua orang berbahaya itu muncul didepan Hinata pada saat yang sama.
"Kami-sama, dosa apa yang kuperbuat di masa lalu?" Diam-diam Hinata menangis, merutuki nasibnya.
"Kakak?" Suara panggilan dan tepukan di pundaknya, langsung memicu ketakutan dalam diri gadis itu. Nyaris terjungkal ke belakang sembari berteriak, ia mendapati wajah senyum seorang pemuda. Orang itu, yang tadi dipanggil 'anak bawang' oleh orang bernama Gaara.
"Apakah orang ini juga adalah kriminal?" Hinata bertanya dalam hati.
"I-iya?"
Dibawah senyumnya, justru gadis itu bertambah takut.
"Kau baik-baik saja? Kakak tidak perlu takut. Kami disini ada untuk menolongmu." Senyumnya lagi. "Kakak tidak usah cemas."
Tidak usah cemas? Ada untuk menolong? Dongeng negeri mana itu? Sudah jelas-jelas orang didepan Hinata ini membawa pistol, PISTOL! Apanya yang tidak cemas?
Baru saja ingin mengatakan sesuatu, tapi ucapannya lebih dulu dipotong oleh Sasuke.
"Hei kau!" tunjuknya pada Hinata.
"Kalau tidak ingin mati, cepat ikuti kami!" perintah Sasuke arogan.
Sungguh, perintah macam apa itu? Dia ingin mengancam Hinata? Bukannya tadi rekan kalian bilang ingin menolongnya? Dan lagi… pergi bersama kriminal? Itu tidak mung-
"A-aku tidak mau!" tolak gadis itu langsung.
Ketiganya langsung menoleh kearah Hinata. Gadis itu merinding, merasakan death glare dari mereka bertiga. Tanpa sadar, gadis itu mundur hingga menabrak dinding pembatas.
Pria ketiga lebih dulu maju, menghampiri wanita yang ia panggil dengan sebutan hormat, karena berusia lebih tua beberapa tahun. Mencoba mempengaruhinya.
"Meskipun kakak tidak mau, akan jauh lebih baik jika, kakak ikut dengan kami."
"Ke-kenapa?" Hinata tidak mengerti, kenapa juga ia harus ikut dengan mereka.
"SAI!" Sasuke mulai geram.
"Biarkan aku menjelaskan…" Pemuda yang dipanggil Sai itu meraih wajah Hinata, membisikkan sesuatu di telinganya. Sontak saja, hal itu membuat sang jurnalis, memerah.
"Orang-orang jahat sedang mencoba untuk menculikmu. Jika mereka menangkapmu, mereka akan membunuhmu, seperti halnya mereka membunuh ayahmu."
Bagai disambar petir, Hinata jatuh berlutut.
A-apa yang barusan ia katakan?
Me-menculikku? Tapi kenapa…? Dan… ayahku… di-dibunuh?
Tidak-tidak-tidak! Tidak mungkin!
Mereka pasti bohong!
Hinata menolak untuk percaya, terutama dengan penjahat seperti mereka!
"Jadi, kita pergi sekarang." Sasuke menyarungkan kembali pistolnya. Menarik lengan Hinata, tapi gadis itu justru menangkisnya. Onix Sasuke membulat, wajahnya berubah menyeramkan.
"Kau….! Beraninya…"
"Ka-kau yang barusan di tv berita itu kan?" tembak Hinata langsung. Telunjuknya ia arahkan pada pria berjaket kulit kemudian kearah pemuda berambut merah.
"Ka-kalian berdua, Sasuke Uchiha dan Sabaku Gaara? Kalian adalah kriminal, ya kan?"
Keduanya sontak terdiam.
"Kalian buronan yang dicari-cari oleh Polisi dan INTERPOL, benar begitu bukan?"
"…"
"Hei, cepat jawab aku!" pinta Hinata setengah gemetar.
Mendengar pertanyaan tersebut dari sang target utama, justru menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Berbeda dengan Gaara yang justru membuang muka, pria bernama Sasuke itu, justru berjalan dan mendekati sang gadis jurnalis. Wajahnya ia dekatkan hingga hidung mereka bersentuhan.
Hinata merasa nyawanya berada di ujung tanduk, lututnya gemetaran.
"Ya, benar. Lalu kenapa?" aku Sasuke jujur.
DEG
Hinata merasa sesak seolah berhenti bernafas. Pria di depannya ini, yang sudah menolongnya benar-benar penjahat? A-apa yang sekarang harus ia lakukan? Apa benar kata Sai. Kalau mereka datang untuk menolongnya? Bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau mereka justru ingin menculiknya? Meminta tebusan? Atau yang terparah… membunuhnya? Dan mengambil organ tubuh?
Gadis itu bergidik ngeri.
"Aku sudah pernah bilang sebelumnya, bukan?" Jari jemari Sasuke bergerak menyentuh rahang Hinata, menaikkan wajahnya. Sorot matanya terlihat dingin dan menyeramkan. "Begitu kau tahu siapa sebenarnya aku, dan posisimu saat ini. Kau tidak akan berani macam-macam denganku…"
Pria itu mendekat membisikkan sesuatu di telinganya, yang mungkin menjadi pengantar lagu kematian.
"Karena aku bisa saja membunuhmu, Hyuuga Hinata. Kapan dan dimanapun aku mau."
"!"
BRUK!
Hinata jatuh berlulut, air mata turun dari pelupuknya. Orang-orang ini benar-benar mengerikan!
Kami-sama, ayah, siapapun…. Tolong aku….!
Sasuke menyeringai, "Jadi, sekarang karena kau sudah tahu posisimu. Lebih baik kau ikut dengan kami."
I-ikut dengan mereka?
Bagaimana mungkin ikut dengan mereka, justru keselamatan Hinata terancam jika pergi bersama mereka. Mereka adalah buronan ! Penjahat kelas kakap yang dicari-cari oleh polisi…
Kalau ingin meminta bantuan ia harus….
Dua orang tersangka yang masuk dalam Daftar Buronan INTERPOL, Uchiha Sasuke dan Sabaku Gaara masih dalam pengejaran. Menurut informasi dari Badan Intelijen Kepolisian Pusat Tokyo dan Kriminal, mereka mencurigai, kedua orang ini sedang bersembunyi di Jepang. Bagi para warga dan penduduk sipil diharap tetap waspada. Apabila ada yang melihat kedua tersangka, atau orang yang mirip dengan mereka berkeliaran, jangan segan-segan untuk segera melapor ke kantor polisi terdekat…
Iris lavender itu membulat, menyadari sesuatu. Polisi, benar polisi, iya harus menemui polisi, kalau tidak salah disekitar sini ada kantor polisi yang masih buka.
"Jadi…."
Sekarang atau tidak sama sekali.
Mengerahkan segenap kekuatannya, Hinata mendorong Sasuke hingga terjatuh. Lalu kabur dengan berlari sekencang mungkin. Tidak mungkin ia ikut dengan mereka, Hinata harus meminta bantuan polisi.
"Sialan, wanita brengsek!" Sasuke mengumpat sejadi-jadinya.
Lain halnya dengan Gaara, pria itu justru terkekeh, melihat Sasuke terjatuh.
"Diam kau panda! Apa yang kau tertawakan. Cepat kejar wanita itu!"
Gaara memandang bosan Sasuke.
"Asal kau tahu aku tidak menerima perintah dari orang sepertimu."
"KAU!" Sasuke melemparkan death glarenya pada pemuda bersurai merah. Namun sayang, lawannya kali ini juga memiliki itensitas death glare yang sama. Damn you, Gaara!
Pria Uchiha itu menggeram, menggertakkan giginya, kemudian beralih pada Sai.
"Oi, kau anak bawang!" perintahnya pada Sai.
"Cepat kejar wanita itu!"
Sai tersenyum palsu. "Kenapa tidak kau saja yang mengejarnya, senpai?"
"Kau sudah bosan hidup rupanya?" ancam Sasuke sembari menarik pelatuk pistolnya.
Pemuda bersurai gelap itu berhenti tersenyum, irisnya menggelap.
"Cih, senpai tidak berguna."
0-0-0-0
To be continued
Chapter 1 Completed
.
.
Next Chapter :
"Wanita itu pasti pergi ke kantor polisi terdekat, kau bersiagalah disana!"
Mereka telah bersiap-siap di pos masing-masing.
"Kakashi akan segera datang, bagaimana dengan Dokter Mesum itu?"
"Dia akan pergi bersamaku."
Sasuke melepaskan earphonenya. Seringai tipis muncul di bibirnya.
"Larilah sejauh mungkin, Hyuuga Hinata. Tapi ingat, kau tidak akan pernah lolos dari mata elangku."
.
.
a/n : Please review and add for support ^^
