Bubblegum by atlantisienne

Warning : Typos, AU, OOC, cheesy

I wish I own Naruto.

.

.

.

.

Aku memutuskan untuk tidak lagi melihat status last seen-nya beserta pesan terakhir yang kukirim setelah berkali-kali melakukannya. Hari ini sudah kacau bahkan sebelum dapat dimulai. Bagaimana tidak? Delapan jam berlalu sejak ia terakhir membuka dan membaca pesanku, dan selama delapan jam itu pula ia tidak merasa adanya kepentingan untuk membalasnya. Perasaanku yang kesal karena segala keputusan bodohnya dan gengsi akut yang mendarah daging dalam dirinya membuat kali ini menjadi pertengkaran kami yang paling lama.

Lagi-lagi, aku meraih benda persegi tipis di sampingku, segera mengetikkan tiap kata-kata kasar yang dapat terpikirkan oleh benakku – sehingga setidaknya ia akan kembali menghubungiku untuk kembali berargumen – namun segera kuhapus kembali. Ponselku pun telah bebas dari genggamanku. Yang barusan sangatlah kekanak-kanakan.

Jam menunjukkan pukul enam pagi. Masih terlalu awal, namun biasanya kami telah membuka mata lebar pada jam ini. Waktu kami habiskan untuk berbicara hal-hal tidak penting, seperti mengapa ayam – yang mengingatkanku pada gaya rambutnya, ugh – berkokok paling keras hanya saat matahari akan terbit. Tidak pernah sedikitpun memori yang terbersit di otakku mengenai momen dimana topik utama pembicaraan kami mengenai hal yang menurut kami agak terlalu menggelikan untuk disebut – cinta.

Kami tidak pernah berlagak seolah-olah sepasang angsa yang berenang di danau gula. Kami selalu seperti Tom dan Jerry yang merasa puas saat melihat salah satu dari kami menderita – yang mana menjadi salah satu alasan kami memutuskan untuk bersama.

Kembali aku melihat percakapan kami sebelumnya – kebiasaan yang kulakukan tiap kami berkelahi. Mengingat kembali saat aku marah ketika ia menolak menemaniku ke pesta housewarming rekan kerjaku dengan alasan ada urusan penting yang harus segera diselesaikan. Yang mana berakibat pada kebohongan yang kubuat sebagai alibi atas ketidak hadiranku.

Sasuke-kun

Last seen yesterday at 8:54 PM

Sakura

Kau benar-benar tidak bisa menemaniku sebentar saja besok? 8:27

Sasuke-kun

Ada banyak urusan yang harus diselesaikan sebelum kembali ke Amerika. 8:39

Sakura

Selalu saja tentangmu dan pekerjaanmu 8:40

Tidak ada waktu untukku 8:40

Bulan depan adalah ulang tahunku, dan kamu akan pergi lama beberapa hari lagi 8:40

Lalu aku harus apa? Menunggumu untuk menelpon sepanjang hari lalu bilang pada diriku sendiri kalau aku tidak apa-apa saat kamu bahkan lupa mengucapkan selamat dan berpura-pura seolah aku tidak marah seperti tahun lalu? 8:40

Apa aku segitu tidak pentingnya? 8:40

Aku sudah lelah dengan semua ini dan kehidupanmu yang sibuk dengan segala urusanmu dan bukan aku. 8:40

Sasuke-kun

Aku benci pesan panjang 8:53

Tidak ada waktu untuk membacanya 8:53

Sakura

OK, fine. Bacalah yang satu ini. AKU INGIN PUTUS. 8:53

Aku kembali mengalihkan pikiranku yang semakin kalang kabut. Kuputuskan untuk menuju kamarku dan kembali tidur, mencoba memfokuskan diri pada fakta bahwa hari ini adalah hari langka dimana aku tidak perlu berurusan dengan meja operasi dan segala tetek bengeknya. Sesaat setelah aku beranjak dari sofa, ponselku kembali bergetar. Dengan segera kuambil benda tersebut dan membuka pesan yang baru masuk. Debaran jantungku dapat kudengar dengan lebih jelas ketika kalimat 'Buka pintunya, ada yang harus kita bicarakan' tertulis di layar.

Sejujurnya, aku mengharapkan kelanjutan pertengkaran kami via telepon, bukan empat mata. Bukankah ia sibuk? Dan mengapa pula menyuruhku keluar jika ia bisa saja langsung membuka pintu dan masuk? Meskipun ini masih pagi buta, aku menyempatkan sejenak mengecek diriku di depan cermin. Aku tidak pernah melewatkan waktu untuk membuat diriku terlihat lebih rapi didepannya, meskipun hubungan kami sedang tidak baik sekalipun – seperti saat ini. Dengan terburu-buru aku meraup wajahku dengan air dan menyikat gigi. Tak lupa sedikit moisturizer dan lip balm. Aku tidak ingin memberikan kesan bahwa kesibukan kami dan adu gengsi yang sedang berlangsung menyita waktuku untuk memperhatikan diri sendiri di musim dingin sialan ini.

Deringan ponsel kuabaikan sembari menyisir rambut merah jambu milikku. Tubuhku yang tadinya berbalut piyama satin telah terganti oleh sweater dan celana panjang hitam. Aku tahu ia akan mengajakku jalan, karena itu merupakan kegiatan favorit kami. Sebelum memakai sneakers, tak lupa kulilitkan syal rajut di leherku, serta membawa satu syal lain karena aku hafal betul ia selalu saja lupa mengenakannya. Panggilan yang kedua tidak kulewatkan, dan aku hanya mengangkatnya dengan berkata aku akan segera keluar sebelum kututup. Dari 'Hn'-nya yang bernada kalem kali ini, dapat kusimpulkan bahwa ia tidak sedang marah.

Pintu pun terbuka, menampakkan sosoknya yang sedang berdiri di luar pagar. Entah bagaimana selalu terlihat keren seperti biasanya sesibuk apapun dirinya. Raut wajahnya menunjukkan senyum tipis – sangat tipis, namun aku dapat melihatnya – seolah kejadian yang lalu tidak pernah hadir dalam sejarah kami. Senyuman itu kubalas dengan lebih lebar, lalu mataku tertuju pada juluran tangannya yang hendak menggenggam milikku. Tubuhku terasa tertarik lebih dekat dengan sosoknya yang sialnya saat ini mengarahkan manik obsidian-nya dengan tatapan lembut. Aku menutup mataku, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Belum tiga detik berlangsung hingga aku kembali membukanya untuk memastikan bahwa ia memang Sasuke, bukan orang lain.

"Uchiha tidak mencium orang di pinggir jalan seperti ini. Aku benci PDA." Pipiku yang sudah memerah karena dinginnya udara makin menjadi-jadi. Sasuke hanya terkekeh melihatnya.

"Jadi, kemana kita?" tanyaku memecahkan keheningan yang terjadi sesaat setelah kami mulai berjalan, dengan tanganku yang masih berpegangan erat dengannya.

"Hanya berjalan."

"Hanya berjalan? Entah kemana?"

"Kemana saja."

Aku mencoba membebaskan tanganku, namun Sasuke malah menggengamnya lebih erat, bahkan menautkan jari kami. Aku tak punya pilihan selain menyerah kepada kekuatan tangannya. Ibu jarinya mulai mengelus milikku dengan pelan – membuatku senang sekaligus bingung. Aku hanya mengalihkan wajahku ke kiri, mencoba menyembunyikan kedua tulang pipi nakalku yang tidak ingin berhenti menaikkan sudut bibirku.

"Tidak suka?"

"Bukankah ini PDA? Berpegangan tangan di tempat umum," bahkan aku tak sanggup menatap wajahnya saat berbicara. Sasuke pasti tengah berbahagia berhasil mempermalukanku di depan khalayak.

"Ayolah, sekali saja." Nada bicaranya masih datar, namun aku dapat merasakan secercah permohonan di dalamnya.

"Aku 'kan hanya mematuhimu," ledekku senang, tetapi tetap tidak melepakan tautan tangan kami. Sambil terus berjalan, aku memutuskan untuk sedikit menyandarkan kepalaku ke bahunya, yang kembali mengingatkanku betapa tingginya Sasuke dibandingkan diriku.

Langkah kami membawa kami ke taman yang tidak asing bagiku, namun salju yang turun memberi kesan seolah tempat ini bukan Tokyo yang aku ketahui. Tokyo bukan lagi kota asing bagiku, karena disini lah aku menetap sejak aku kuliah hingga menempuh residensiku saat ini. Berbeda dengan Sasuke yang hanya singgah di kota kelahirannya ini beberapa kali untuk mengunjungiku jika sempat. Proyek yang ayahnya pertanggungjawabkan padanya selama setahun terakhir ini berlokasi di Amerika Serikat, dan akan berlanjut hingga bulan depan. Kesibukan kami cukup menyita waktu, jadi di saat dimana Sasuke sedang berada di Tokyo dan masih saja sibuk – dan tidak sempat mengatur ulang jadwal padatnya itu – selalu membuatku tak dianggap, kesal, dan marah yang berujung pada pertikaian.

Matahari masih enggan menunjukkan sosoknya bahkan setelah kami berjalan cukup jauh untuk mencapai kafe di ujung jalan. Dari sekian banyak breakfast menu yang ditawarkan, kami memutuskan untuk memesan earl grey. Sasuke dan aku memiliki banyak sekali kesukaan yang sama, dan ini salah satunya. Meski begitu, sifat kami agak berbeda. Kami menyukai satu sama lain seperti orang pacaran, memahami satu sama lain seperti sepasang suami-istri, dan seringkali bertengkar seolah kami adalah saudara.

Saat bel di sebelah meja kasir berbunyi, Sasuke beranjak dan mengambil pesanan kami. Tak lama kemudian, dua cangkir porselen putih telah hadir di hadapan kami.

"Silahkan, Miss." Pandanganku beralih ke tangan besar miliknya yang menyodorkanku cangkir hangat tersebut.

"Terimakasih, Sir." Cangkir tersebut telah berpindah ke tanganku, disambut dengan tawa pelanku sebagai respon dari panggilan anehnya itu. Sasuke telah menyeruput miliknya, berbeda denganku yang menunggu agar suhunya sedikit turun. Sambil terus mengaduk teh milikku aku mengalihkan pandangan ke pemandangan orang-orang yang mulai sibuk berlalu lalang di jalanan melalui jendela di depan kami. Sejenak aku melupakan betapa dinginnya pagi ini, merutuki keputusanku untuk hanya mengenakan sweater. Seharusnya aku juga mengenakan mantel, tetapi aku tidak menyangka kami akan berjalan cukup jauh. Aku pikir kami akan membicarakan pertengkaran kami, lalu kembali menghangatkan diri di dalam rumah, namun anehnya hingga saat ini baik Sasuke maupun aku tidak membicarakannya sedikitpun.

Aku dapat merasakan tatapan dalam dari Sasuke yang berada di samping kananku ini, yang kemudian terhenti sebab saat ini ia sedang berdiri, dan mendorong stool-nya agar lebih dekat denganku. Sebelum kembali duduk, kedua tangannya sibuk membuka kedua kancing mantel cashmere hitamnya, melepasnya dari tubuhnya dan menyampirkannya di kedua bahuku. Kehangatan mulai menguar di tubuhku, ditambah dengan aroma cedarwood khas Sasuke yang mulai berlomba-lomba dengan wangi bergamot dari earl grey untuk memasuki hidungku.

"Kenapa yang itu?" tanyanya, memperhatikan tanganku meraih cangkir Sasuke yang sudah ia minum setengahnya, alih-alih milikku yang baru sekali kucicipi.

"Aku merasa yang ini lebih enak," ujarku sembari meliriknya yang sedang tersenyum, "dan memang benar lebih enak."

Sasuke hanya diam memperhatikanku menikmati teh miliknya, tangan kanannya menopang kepalanya yang kemudian makin mendekatiku seraya berbisik, "tapi aku tidak yakin kalau teh itu lebih enak darimu."

Aku hampir tersedak mendengarnya. Dapat kurasakan kembali darah yang berdesir di pipiku, pasti aku sudah terlihat seperti kepiting rebus. Situasiku saat ini tidak kunjung membaik lantaran orang usil di sampingku ini tidak kunjung menjauhkan wajahnya dariku, dan mata kelamnya terus menatapku dengan intens. Oh, dan jangan lupa seringaian liciknya yang sayangnya membuatnya terlihat lebih tampan tujuh kali lipat. Jari telunjuknya menekan ujung hidungku yang memerah kedinginan, membuatku untuk berinisiatif untuk menjulingkan mata emerald-ku dan menjulurkan lidahku. Melihat wajah usilku, Sasuke hanya tertawa. Pemandangan yang aku sukai, dan sudah lama tidak kulihat.

"Jadi apalagi yang kita lakukan?" tanyaku begitu acara menyeruput pagi kami telah usai. Sedikit berharap ada waktu lebih untuk kami habiskan bersama, sebelum jam kantor dimulai.

"Habiskan waktumu bersamaku seharian."

"Are you serious?" mataku melebar mendenganya, "seharian? Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanyaku khawatir, namun senyumanku mulai tak tertahankan lagi.

"Yang lain bisa ditunda." Sasuke ikut tersenyum meliahtku bahagia, sebelum aku memberikan pemandangan sepasang kekasih yang berpelukan kepada pelanggan kafe yang lain. Peduli setan dengan aversi Sasuke dengan PDA. Lagipula, ia sudah melanggarnya tadi pagi.

Kami berjalan ke arah yang sudah kami tempuh untuk mencapai kafe barusan. Aku merasa tidak perlu mempertanyakan tujuan kami, fakta bahwa Sasuke akan ada di sampingku sepanjang hari cukup untuk menerbangkanku ke Mars. Sepanjang perjalanan, ia sibuk berkutat dengan ponselnya, entah mengirim pesan atau menelpon. Yang jelas mendengar kata-kata 'diundur', 'urusanku lebih penting', dan 'jangan hubungi aku untuk hari ini' di setiap panggilan yang ia terima membuatku bahagia.

Sesampainya di depan rumah, alih-alih masuk, Sasuke membukakan pintu passenger seat mobilnya untukku. Aku hanya menurutinya dan masuk, menghela napas lega lantaran akhirnya dapat menghangatkan diri. Mobil yang kami tumpangi pun telah beralih dari tempat asalnya. Jalanan masih sepi, dan Sasuke menyetir dengan santai dengan tangan kanannya – tangan kirinya tengah kugenggam erat di pangkuanku.

"Sakura," Sasuke berdehem sebelum memanggil namaku.

"Ya?"

"Beritahu aku alasan kemarahanmu kemarin."

"Karena Sasuke-kun menolak menemaniku di pesta Shizune-senpai." Ujarku kembali murung, rasa bersalah telah berbohong terhadap seniorku itu kembali merayap.

"Tapi kau mengerti kalau aku baru saja kembali ke Tokyo tiga hari yang lalu dan selalu ada rapat seterusnya, 'kan?" aku mengalihkan pandanganku ke jendela, tidak siap menatapi raut wajahnya yang penuh rasa bersalah. "Look, Sakura. Aku mengerti ini sulit, tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Hanya empat minggu lagi dan kita bisa tinggal bersama."

Aku masih tak kuasa menatapnya, namun kali ini cairan bening di pelupuk mataku mulai meluap, dan tidak terbendung lagi. Aku mencoba benahan isakanku, tidak ingin mengganggu fokus Sasuke yang sedang berkendara. Sayangnya aku gagal, sehingga mobil kami harus berhenti di pinggir jalan. Sasuke mengecup tanganku yang sedari tadi masih tertaut dengan miliknya, lalu mendekapku erat hingga akhirnya aku dapat menghentikan tangisanku.

Tatapan kami bertemu. Sungguh, aku benci memperlihatkan diriku yang sedih – terlebih lagi menangis – di depannya. Sasuke yang dahulu selalu kebingungan saat melihat seseorang bersedih, namun ia berbeda hari ini. Kali ini, ia mengusap air mataku dengan jemarinya. Aku kembali memeluknya, merasakan tepukan pelan di punggungku dan surai pink milikku yang dielus lembut olehnya.

"I love you," ketiga kata itu terlepas dari mulutku dalam bisikan tanpa sadar.

"I love you too, bubblegum." Sasuke mengeratkan pelukan kami, sebelum melepaskannya. Aku menatapnya dalam, lalu tertawa meskipun wajahku terasa agak kering akibat menangis. Sasuke memang hobi membuat panggilan aneh untukku, yang biasanya membuatku jengkel. Namun hari ini merupakan pengecualian. "Bagaimana dengan permintaanmu untuk putus? Kenapa kau memutuskan hal bodoh semacam itu meskipun kita sudah menikah?"

Ia tertawa lepas, tidak berhenti mengacak-acak rambutku. "Karena aku ingin Sasuke-kun menghubungiku. Karena kita selalu sibuk dan aku lelah ditinggal sendiri. Jika aku tahu kalau seperti ini jadinya, seharusnya aku tidak mengiyakan lamaranmu atau mengajakmu kabur saja."

Sasuke hanya terkekeh mendengarnya, lalu melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, kami melewati banyak tempat yang spesial bagi kami, seperti Universitas tempat kami menyelesaikan studi, gerai fast food yang menjadi tempat favorit kami belajar bersama, halte tempat kami berteduh, dan banyak lagi. Setelah perjalanan panjang, Sasuke menghentikan mobil di depan sebuah pagar besi hitam. Segera ia keluar dari mobil, membukakan pintu untukku serta pagar hitam tersebut.

Kami memasuki halaman rumah yang penuh dengan beraneka macam pohon dan tanaman tersebut dengan Sasuke yang berangkul bahuku. "Bagaimana dengan aturan PDA-mu itu?"

"Rules are meant to be broken, Sakura."

"Baiklah kalau begitu," pandanganku pun teralihkan ke rumah yang ada di depan kami. Bangunan itu bergaya mid-century dengan sedikit sentuhan modern. Aku tidak bisa tidak kagum melihat desain eksterior dan lanskap rumah ini.

"Kau kekanak-kanakan," gumam Sasuke. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar ini, namun tiap kali Sasuke mengucapkannya, aku tetap saja tersinggug, "bahkan hal-hal remeh seperti ini membuatmu senang."

"Tapi kau mencintai bubblegum-mu ini yang kekanak-kanakan dan senang dengan hal-hal remeh, 'kan?" aku menyikut pinggang Sasuke, menggodanya. Dahinya mengerut, namun dapat kulihat guratan merah di pipinya. Aku tertawa.

"Cukup, ayo masuk." Mengalihkan pembicaraan, Sasuke mengeluarkan kunci dari saku celananya, dan membuka pintunya. Menampakkan dekorasi interior yang membuatku lebih kagum dari yang sudah aku tunjukkan.

"Rumah siapa ini?"

"Kau suka?" aku hanya mengangguk, tidak menghiraukan tarikan tangannya.

"Kalau gitu ayo kita keliling. Aku yakin kau pasti suka desain kamar utamanya." Sepanjang Sasuke menyeretku, aku terus mengedarkan pandangan ke pelosok rumah ini.

"Baiklah," aku pun membuka pintu yang ada di depan kami. Sebuah kasur king size dengan bedding berwarna netral, lengkap dengan dua nakas dengan lampu tidur di tiap sisinya. Terdapat karpet di antara kasur dan dresser dengan foto pernikahan kami terbingkai di atasnya. Televisi LED terpasang di sisi yang sama dimana dresser tersebut bersandar, tepat di atasnya. Tunggu... foto pernikahan kami?

Aku menatap Sasuke kegirangan, memeluknya sesaat lalu melepasnya."Ini rumah kita?"

Sasuke mengangguk pelan, tersenyum. "Ini rumah kita!" Sahutku setengah berteriak.

"Dan kado ulangtahunmu yang membuatku sibuk akhir-akhir ini. Tidak pernah ada meeting dan urusan lain." Ucapnya seraya mengecup jidat lebarku ini. Aku berjinjit, menyamai tingginya dan menekan bibirku diatas miliknya. Sasuke membalasnya, menghisap bibir bawahku dan menekannya. Alih-alih melepaskan ciuman, Sasuke malah memperdalamnya – bahkan mendorongku sehingga aku harus melangkah mundur. Tanganku yang memukul-mukul dadanya sebagai tanda ingin berhenti tidak digubris olehnya. Tanpa sadar aku jatuh terbaring di kasur itu.

"A-apa ini?" aku mencoba mengalihkan pandanganku dari wajah Sasuke yang tidak ada sepuluh sentimeter jauhnya dariku.

"Habiskan waktumu bersamaku seharian. I told you, didn't I?"

.

.

.

.

The End.


PDA (Public Display of Affection) : menebar keintiman lewat demonstrasi fisik yang dipertontonkan didepan khayalak ramai, e.g. pelukan di tempat umum.


Author's Note :

Oke, yang scene paling akhir tolong dilupakan, saya gabisa nulis yang begituan hehe.

Sudah lama saya nggak baca maupun nulis di FFn, dan kembali karena bosan. Mulai dari nol, ganti username dan hapus tulisan saya yang saya gak suka.

Fiksi ini adalah rombakan dari cerita yang gak sengaja saya temukan di quora. Maaf banget kalau gaya tulisannya aneh, soal itu taruh aja di review ya. Terima kasih banyak buat yang udah baca fiksi ini maupun karya saya yang lain.

xoxo,

atlantisienne