Yuuuhuuu... Ligaara membawa first fic nih.. judulnya 'karena cinta dan balas dendam'
Awalnya sih, saya lagi dengerin deretan Ost drama korea di hp saya. Lagunya mewek" gitu. Eh tiba" kepikiran deh bikin fic. Maaf kalo ficnya kayak sinetron. Cuman, nggak terlalu nyinetron juga sih. Soalnya kalo dibilang dramatis kayaknya kebagusan buat fic ini. Maaf juga kalau ada kesamaan fic atau mirip. Sumpeh! Nggak bermaksud sama sekali buat niru.
Disclaimer : Masashi Kishimoto.
Pairing : Sasuhina, Saihina
Rated : T. Tapi mungkin kedepan akan ada yang berubah
Warning : AU, OOC, Apalagi Mikoto. First Fic, Sasuke-nya belum terlalu keliatan. ide pasaran tapi yang buat seratus persen saiiah.
Maaf kalau jelek. Kalau masih ada misstypo kasih tau ya. Kritik, saran sangat dibutuhkan. Flame juga boleh asal harus bermutu dan kasih tau letak ketidak sukaan anda (harus masuk akal), atau kesalahan saya.
Summary : apa yang ku lakukan? Membuat otou-san meninggal? Membuat Neji nii dan juga Hanabi-chan membenciku? Hanya gara-gara kesalahan yang ku buat bersama pria Uchiha sekaligus ayah dari bayi yang aku kandung sekarang. Siapa yang peduli padaku dan bayi yang ku kandung ini? Bahkan ayah kandungnya pun tidak mau bertanggungjawab atas perbuatan nista kami berdua. Otou-san memberikan dua pilihan sebelum ia meninggal. Balas dendam, atau menggugurkan bayi ini. Mana yang harus ku pilih? (Hinata's POV)
Enjoy it.
-karena cinta dan balas dendam-
"APA? Kau hamil? Jadi diam-diam kau masih berpacaran dengan Uchiha berengsek itu ha?" Bentak Hiashi pada anak sulungnya yang sudah berumur 19 tahun ini. Suara sang kepala keluarga ini menggema di seluruh rumah sederhana milik keluarga Hyuuga. Sementara yang dibentak tadi hanya bisa berlutut sambil memeluk kaki ayahnya seraya berurai air mata. Mata sang gadis bengkak. Ia sungguh menyesali perbuatannya ini. Ia sungguh menyesal karena ia juga tidak menuruti perintah ayahnya untuk menjauhi apapun yang berhubungan dengan Uchiha. Mereka itu malapetaka.
Dan sekarang, beginilah dia. Kedua tangan kecilnya memeluk kaki kanan ayahnya sambil menangis. Meminta ayahnya untuk memaafkannya sekaligus menerima bayi yang dikandungnya ini menjadi cucunya, bagian dari keluarga Hyuuga.
Sebenarnya Hiashi tak ingin membentak anak sulungnya yang ia sayangi ini. Ia Sayang kedua anak gadisnya dan juga keponakannya, anak dari saudara kembarnya. Namun hal yang telah anak sulungnya lakukan dengan pria dari keluarga Uchiha itu sungguh keterlaluan. Sungguh mencoreng nama baik Hyuuga yang sebenarnya sudah jatuh dan terpuruk ini.
Yah, begitulah. Keluarga Hyuuga adalah keluarga yang kaya akan materialnya. Hiashi adalah seorang konglomerat kaya raya. Rumahnya bak istana, besar dan mewah. Perusahaannya juga sangat sukses. Kehidupannya bersama kedua putri dan keponakannya makmur. Walaupun istri yang ia cintai sudah meninggal sewaktu melahirkan anak keduanya, ia tak pernah berniat mencari wanita lain untuk dijadikan istri sekaligus ibu tiri dari kedua putrinya. Kehidupannya lancar dan bahagia.
Tapi itu dulu, sebelum Sasuke, salah satu pewaris perusahaan Uchiha corp datang ke kehidupan putri sulungnya Hyuuga Hinata. Memberikan segenggam cinta yang bisa membuat putrinya itu mabuk kepayang. Sehingga Hinata pun melakukan apapun yang ia pinta. Termasuk memberi tahukan hal-hal yang dianggap rahasia penting kokohnya perusahaan Hyuuga yang dibangun oleh kakeknya. Ia mengetahui itu semua karena ia seorang heiress. Pikirannya pada saat itu memang pendek. Ia memberitahukan rahasia itu pada Sasuke karena ia pikir hubungannya bersama Sasuke akan langgeng sampai ke pelaminan. Mau tidak mau nantinya perusahaannya menjadi milik Sasuke juga. Ia pikir Sasuke meminta rahasia itu untuk ia pelajari nantinya sebagai pemimpin perusahaan Hyuuga. Ia pikir Sasuke benar-benar serius padanya.
Ternyata cinta itu hanya tipu daya Sasuke juga Uchiha untuk dapat menjatuhkan Hyuuga, yang sebenarnya musuh berat Uchiha.
Kini, Hyuuga bangkrut. Hiashi sekarang tidak punya apa-apa. Perusahaannya terpaksa pailit. Rumah, beserta hal-hal mahal lainnya ia jual untuk membayar pesangon para karyawannya yang berdemo. Berulangkali ia ingin membangun perusahaannya lagi dari nol. Namun hasilnya gagal. Uchiha yang semakin berjaya selalu saja menjatuhkannya. Untuk itulah Hiashi melarang keras Hinata berpacaran dengan Sasuke. Itu tidak boleh terjadi.
Namun ternyata Hinata sudah terlanjur buta karena cinta. Diam-diam ia masih berpacaran dengan Sasuke karena ia benar-benar mencintainya.
Cinta? Ya, cinta memang telah membelenggu Hinata. Kata-kata manis Sasuke selalu meluluhkan hati gadis yang baru mengenal cinta ini. Hingga akhirnya Hinata mau saja diajak Sasuke melakukan perbuatan nista itu.
Karena cinta.
Karena janji-janji manis Sasuke yang mengatakan bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Kalaupun terjadi sesuatu, ia akan bertanggung jawab. Namun semua janji Sasuke semuanya janji palsu. Semuanya bohong.
Karena cinta.
Karena cinta, Hinata buta. Karena buta, Hinata terjerumus ke sebuah lubang yang gelap yang hanya memiliki harapan semu. Tidak memiliki harapan tepatnya. Hidup Hinata sudah hancur. Apalagi ketika mendengar dari mulut kekasihnya itu bahwa ia tidak mau bertanggung jawab. Ia memutuskan Hinata dan meninggalkannya begitu saja.
"Suruh Uchiha itu bertanggungjawab padamu dan aku akan menerima bayi itu di keluarga kita." Ucap Hiashi setelah menghela nafas berat dan panjang. Efek dari penyakit yang menggerogotinya akhir-akhir ini. Ia difonis dokter menderita penyakit jantung. Apalagi penyebabnya kalau bukan jungkir baliknya kehidupannya juga keluarganya dalam tempo yang sangat singkat.
Jelas saja dada Hiashi sakit, nafasnya sesak, ketika mendengar pengakuan nista putri kesayangannya ini.
Hinata menundukkan kepalanya dan menggeleng lemah. Ia mencoba berbicara di sela-sela isak tangisnya, "A-aku su-dah coba be-berbica-ra padanya. Namun, i-ia tidak mau mengakui-nya.. I-ia tidak mau be-bertang-gung j-jawab. Otou-san, maafkan aku.. aku mohon." Tangis Hinata semakin pecah ia semakin mengeratkan pelukannya di kaki kanan ayahnya yang sudah semakin tua ini.
Dada Hiashi terasa semakin sakit. Semakin perih. Nafasnya tercekat. Ia mencengkram kemeja dibagian dada kirinya. Matanya terpejam kuat menahan perih. Kedua halisnya saling bertautan. Nafasnya terdengar begitu berat. Pasti sangat sulit untuk mengambil udara begitu saja. Suara-suara aneh terdengar darinya saat mengambil nafas.
"Hhhhmmkk.. Ne-Neji,a- ambil-kan a-ku mi-num. Hhhmmkk." Kata Hiashi di sela-sela asthma-nya. Ia terlihat sangat kesakitan. Perlahan Hinata menengadahkan kepalanya. Melihat keadaan Hiashi yang terdengar berbeda. Ia melepaskan pelukannya dan menolong ayahnya yang sedang menahan perih.
Ia berdiri, merangkulkan tangan ayahnya dipundak kecilnya. Namun Hiashi menepis tangan Hinata dengan kasar saat ia ingin memapah Hiashi berjalan menuju sofa.
Hinata tercengang. Sebegitu marah kah Hiashi terhadapnya? Sebegitu hina kah perbuatannya dengan Sasuke itu? Tentu saja.
Melihat kesusah payahan Hiashi menuju sofa seorang diri, Hanabi yang sedari tadi diam dan menangis menghapiri Hiashi untuk memapahnya berjalan sampai ke sofa. Padahal jarak sofa dan Hiashi tidak begitu jauh, namun sangat sulit. Hanabi melakukan hal yang sama dengan Hinata. Ia menaruh satu tangan Hiashi di pundaknya dan membantunya berjalan dan mendudukkannya di sofa.
Hinata mencoba menyentuh ayahnya. Ia sangat perihatin dengan keadaan ayahnya ini. Namun dengan kasar, Hiashi kembali menepis tangan Hinata.
Begitu sakit hati Hinata mendapat perlakuan dari ayahnya ini. Orangtua satu-satunya yang ia miliki kini membencinya. Menganggapnya pengganggu, perusak, atau hal-hal yang lebih buruk lainnya. Genangan air di matanya begitu menyeruak. Menerobos keluar dari pertahanan kelopak matanya. Hatinya sakit, perih. Asalkan ia tahu, bukan saja mereka yang malu, bukan saja mereka yang sakit. Tapi Hinata jauh merasa sakit. Bukan saja Hiashi yang merasa sakit di dadanya, Hinata juga. Ia jauh lebih merasa sakit. Perih, nyeri, segala ia rasakan. Ia punya hati.
Ia rasakan segala rasa sakit di hatinya.
Kekasihnya, orang yang telah membuat dirinya juga keluarganya hancur dan terpuruk, orang yang menanamkan benih di rahimnya, ayah dari bayi yang ia kandung, tidak memperdulikannya. Ia ditinggalkan.
Jadi harus kemana lagi ia mengadu? Keluarganya adalah tempat satu-satunya yang ia miliki sekarang. Dan ia akan di tinggalkan juga oleh mereka? Sungguh ironis memang kehidupan Hinata sekarang.
Bagai guci mahal yang hancur berkeping-keping dan akhirnya hanya menjadi sampah tak berharga. Mengotori. Pecahan belingnya tajam, kalau tidak segera dibuang, akan membahayakan.
Dan semua itu bermulai dari satu orang. Uchiha Sasuke.
"Neji-Nii, cepat! mana minumnya? Kasihan Otou-san." Seru Hanabi panik.
Dari arah dapur, Neji dengan tergesa-gesa membawa gelas berisi air putih. Dan segera memberikannya pada Hanabi yang duduk di sebelah Hiashi yang sedang menyandarkan badan lemahnya di sandaran sofa.
"Otou-san, ini minumlah." Ucap Hanabi sambil menyodorkan segelas air putih. Hiashi yang masih mencengkeram kemejanya di sebelah dada kiri dengan satu tangannya, menerima gelas yang diberikan Hanabi dengan tangan yang lain.
Hiashi mulai merasa baikan, walaupun nafasnya masih tersengal-sengal. Ia menatap Hinata yang berdiri di hadapannya. Hinata kelihatan begitu cemas. Tangannya ia tautkan di depan dada. Dari tadi air matanya terus keluar tatkala melihat penyakit ayahnya kambuh. Ia sudah beberapa kali melihat penyakit Hiashi kambuh, namun tidak separah ini.
"Hinata." Panggilnya dengan suara lirih.
"Ya, Otou-san?" Hinata yang sedang berdiri, kembali berlutut di hadapan Hiashi yang sedang duduk agar ayahnya tak perlu menatapnya ke atas saat sedang berbicara dengannya. Ia rasa tidak sopan. Oleh karena itu Hinata berlutut.
"Kau.. harus balas dendam.. pada keluarga Uchiha," ucapnya seraya menatap mata Hinata lurus-lurus.
Hinata hanya bisa menundukan kepala mendengarnya. Itu sungguh sulit. Bagaimanapun juga, ia mencintai Sasuke walaupun pria itu telah menghancurkan hidup, dan harapannya. Harga dirinya, satu-satunya hal yang ia punya, hal yang juga sebenarnya paling mahal, lebih mahal daripada kekayaan atau rumah mewah, juga telah direbut oleh Sasuke. Tapi ia tetap tidak bisa melakukannya.
"A-aku tidak bisa Otou-san," Ucap Hinata lirih. Takut-takut membuat Hiashi marah lagi dan membuat penyakitnya kambuh. "Balas dendam bukanlah satu-satunya hal untuk menyelesaikan masalah." Lanjutnya yang kini mulai menatap balik mata yang sama persis seperti miliknya itu.
Hiashi menghela nafas berat. Ia memijit pelipisnya yang terasa pegal.
"Kalau begitu tidak ada jalan lain," Ucapnya mulai pasrah.
"..." hening. Tak ada seorang pun dari keempat orang Hyuuga yang berada di ruangan itu yang bicara. Ketegangan semakin terasa. Semuanya diam menunggu keputusan sang pemimpin.
Apakah Otou-san akan menerima bayi ini tanpa kehadiran ayahnya?
"Kau harus..."
"..."
"Menggugurkan bayi itu."
Ketiga Hyuuga muda yang berada di sana hanya bisa membelalakan matanya ketika mendengar perintah Hiashi pada anak sulungnya Hyuuga Hinata. Apa itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh Hinata?
"A-aku juga ti-dak bisa me-laku-kan i-itu Otou-san. Maafkan aku. Aku mohon, terimalah bayi ini di keluarga kita." Hinata terus menangis sambil memohon. Ia tundukan kepalanya, ia bungkukkan badannya. Berharap Hiashi mau menerima permohonannya.
Hiashi berdiri dari tempat duduknya. Menatap anak sulungnya yang sedang berlutut dengan tatapan penuh amarah. Tatapan mengerikan yang belum pernah dilihat oleh Hinata, Hanabi, maupun Neji.
"Apa kau bilang barusan? Keluarga kita? Aku sudah tidak menganggapmu sebagai keluarga Hyuuga lagi! Bukankah aku sudah katakan bahwa kau tidak boleh sedikitpun berhubungan dengan Uchiha? Mereka itu licik! Sekarang kau lihat sendiri. Kau rasakan sendiri akibatnya jika kau tidak menuruti kata-kataku. Dan sekarang, aku tidak menganggapmu sebagai bagian dari keluarga Hyuuga lagi! Mana ada Hyuuga yang tidak menuruti kata-kata pemimpinnya?" Hiashi membentak Hinata habis-habisan. Urat-urat pembuluh vena di pelipisnya bermunculan. Menonjolkan warna hijaunya. Emosi Hiashi membludak. Membuat penyakitnya kambuh kembali.
Sakit kembali menggerogoti dadanya. Kepalanya-pun juga tak kalah sakit. Pening. Seharusnya, orang yang memiliki penyakit seperti Hiashi ini tidak boleh stres. Sementara dirinya? Bagaimana tidak stres ketika seorang orangtua dihadapkan dengan pengakuan nista anaknya. Putri kandungnya.
Hiashi mencengkram kemeja di bagian dadanya lagi. Sakit yang ia rasakan tak bisa di tahan lagi kali ini. Perlahan, pertahanannya ambruk. Ia jatuh, namun segera di tahan Neji dan dibiarkannya Hiashi di sofa tempatnya duduk tadi. Ketiga Hyuuga muda itu panik. Takut teramat sangat. Nafas Hiashi tersengal-sengal. Dia masih cukup sadar untuk memberikan kata-kata terakhirnya.
Ia rasa ajalnya sudah tiba. Shinigami mungkin akan mencabut nyawanya sekarang. Hanabi panik, Neji panik, Hinata tak kalah panik.
"Neji-nii, cepat panggilkan ambulance!" perintah hanabi di sela-sela tangisnya.
"T-ti-tidak perlu Ha-Hanabi." Cegah Hiashi yang terbaring lemah sebelum Neji mengeluarkan handphonenya untuk menelepon rumah sakit.
"Tou-san rasa i-ini s-sudah waktu-nya u-untuk me-meninggalkan ka-kalian." Ucap Hiashi yang terlihat kesulitan untuk berkata-kata di sela-sela asthma yang menggerogotinya.
"Oji-san, anda tidak boleh berkata seperti itu!" Neji membentak Hiashi. Namun Hiashi tidak marah kepada Neji, karena yang ingin ia ajak bicara sekarang hanyalah Hinata. "Hinata." Panggil Hiashi terdengar sangat lirih. Sangat rapuh.
Hinata mendekati ayahnya.
"Tou-san i-ingin me-minta se-suatu. B-boleh?" Tanya Hiashi. "Ya, Otou-san. Katakanlah." Ucap Hinata setengah berbisik.
"Kau.. Ha-harus bi-bisa ba-las dendam kepada Ke-luarga Uchi-ha i-itu," pinta Hiashi menatap Hinata dengan tatapan sendu, memohon kepada Hinata agar mendengarkan kata-katanya yang satu ini. Agar menuruti perintahnya yang satu ini. Permintaan terakhirnya.
Yang ditatap yaitu Hinata tidak mampu menatap balik mata ayahnya yang semakin sekarat ini. Ia hanya menundukan kepala, sambil meremas kain rok yang ia pakai. Ia tak sanggup menatap mata Hiashi, karena ia tidak bisa menjalankan perintahnya yang satu itu.
"Ayah mohon." Suara ayahnya itu terdengar semakin rapuh. Betapa durhakanya Hinata bila tidak bisa menuruti permohonan terakhir ayahnya. Tapi rasanya ini bukan permohonan, ini seperti perintah.
"S-sekali lagi, maafkan aku Otou-san. Aku te-tetap tidak bisa. Gomen." Bisik Hinata lemah. Ia tahu, ia begitu lemah karena cinta. Hiashi memang tipikal orang yang keras kepala. Jika ia memberikan perintah, perintah itu harus dilaksanakan. Tapi ia tidak pernah sekalipun mengajarkan anak-anaknya untuk keras kepala. Ia tak pernah mengajarkan Hinata untuk menuruti sifatnya. Namun mengapa Hinata sekarang menjadi begitu? Apa mungkin karena gen? Tidak. Semua ini bukan karena Hiashi, juga bukan karena gennya. Sebelumnya Hinata tidak pernah seperti ini. Ya, sebelum Uchiha datang ke kehidupannya. Tak salah lagi, ini karena Sasuke.
Karena cinta.
Sekali lagi, karena cinta membuatnya buta.
Mata Hiashi yang menatap sendu Hinata semakin merapat. Semakin kecil celah antara kelopak mata itu. pandangannya menghitam. Bayangan Hinata yang ada di penglihatannya semakin memburam. Hingga saat ia menutup mata seutuhnya, setetes air keluar dari ujung mata sebelah kanannya.
Hiashi meninggal.
Ia sudah tiada lagi di dunia ini.
Tangis diantara kedua wanita Hyuuga semakin pecah saat Hiashi sudah tidak bisa membuka matanya sendiri. Neji yang asalnya tidak menangis pun kini ikut menyumbangkan airmatanya tanda duka ikut berkabungnya dirinya atas kematian pamannya, saudara kembar almarhum ayahnya yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri.
Hanabi menangis paling kencang. Di umurnya yang ke 16 ini ia kehilangan kedua orang tuanya. Ia memeluk tubuh besar ayahnya. Menangis di dada bidang ayahnya yang sedang terbaring lemah tak bernyawa.
Hinata mendekati Hiashi. Ia juga ingin menyentuhnya. Ia juga ingin memeluknya. Namun, Hanabi dengan kasarnya mendorong tubuh kakaknya hingga Hinata tersungkur ke lantai dingin tak berkarpet.
"Hanabi-chan?" Hinata bingung. Mengapa adik yang di sayanginya menjadi sekasar itu terhadapnya.
"Jangan sentuh Ayahku!" Bentak Hanabi yang pada umumnya sedang labil."Kau sudah membunuh Ayahku. Kau sudah membuat aku kehilangan orangtuaku!" lanjut Hanabi lagi dengan tatapan marah. Mukanya merah padam karena ia sangat teramat emosi kepada kakak kandungnya ini.
"Hanabi, Ayahmu Ayahku juga. Memangnya Nee-chan tidak sedih karena kejadian ini? Nee-chan juga sedih." Hinata mencoba menjelaskan. Tak hentinya air mata menuruni pipi putihnya. Entah seberapa banyak air mata yang ia keluarkan hari ini.
"Lalu kenapa kau tidak bisa menerima permohonan Otou-san ha?" hanabi sengaja memanggil Hinata dengan sebutan 'kau'. Karena ia tidak sudi memanggil orang yang ia rasa adalah pembunuh ayahnya dengan sebutan kakak. Kakaknya tidak pernah membangkang perintah orangtua. Kakaknya selalu menuruti apasaja yang di perintah ayahnya. Bahkan jika ayahnya mau, ia dapat membunuh dirinya sendiri.
Hinata diam, ia tak sanggup berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Ia tak sanggup menjawab. Bahkan untuk menatap mata adiknya yang tomboy ini saja ia tak bisa. Lemah. Ia tahu ia memang sangat lemah.
"Kenapa tidak menjawab? Apa karena cinta? Bodoh!" Hanabi menatap Hinata dengan tatapan sinis. Ia tidak sudi berada di dekatnya lebih lama lagi. Oleh karena itu..
"Neji Nii-san, tolong keluarkan semua barang-barang dan baju wanita ini dari rumah kita. Aku tidak mau serumah dengan pembunuh!" Seru Hanabi dengan menekan kata 'pembunuh' di nada bicaranya.
Hinata membelalakan matanya. Ia diusir? Dari rumahnya? Rumah keluarganya? Oleh adik dan sepupunya?
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah peribahasa yang tepat untuknya.
Neji datang dari arah kamar Hinata seraya membawa tas besar, juga koper kearahnya. Dengan kasar ia lemparkan tas itu pada Hinata yang masih duduk tersungkur di lantai dingin sambil berurai air mata.
Ia menyeret tubuh Hinata dengan paksa. Ia membawanya keluar dari rumah sederhana keluarga Hyuuga. Hinata mencoba berontak, namun tenaga Neji jauh lebih besar daripadanya. Hanabi mengikuti Neji dari belakang.
Ia jatuhkan Hinata didepan pintu beserta tas dan koper besar itu. Hanabi yang berada di belakang Neji menatap puas. Matanya menatap rendah Hinata yang tersungkur di lantai teras seraya berujar..
"Jika kau tidak mau membalas dendam pada keluarga Uchiha itu, biar kami yang melakukannya." Dengan satu tenaga ia menutup pintu rapat-rapat untuk Hinata.
BLAM
BRUG BRUG BRUG
"Hanabi-chan.. Buka! Neji Nii-san.. tolong bukakan pintunya.. aku mohon. Hiks."
Hinata menggedor-gedor pintu dari luar namun hasilnya nihil. Tidak ada satupun dari mereka yang bersedia membukakan pintu. Ia tidak tau harus kemana lagi. Ia harus mencari tempat tinggal baru. Ia melangkah keluar dari gerbang rumah sederhana keluarga Hyuuga. Padahal di luar hujan deras. Tapi Hinata memaksakan untuk keluar. Ia sudah tidak di terima di keluarga ini.
Satu-satunya orang yang dia punya untuk dipercayai ialah sahabatnya. Sahabat baiknya yang selalu mendengar keluh kesahnya. Mendengar curahan hatinya. Bahkan jika dulu ia bertengkar dengan Sasuke, ia selalu mengadu kepadanya. Sahabatnya yang selalu siap mendengarkan Hinata kapanpun. Sahabat yang selalu merelakan dada bidangnya untuk tempat tangisan Hinata. Sahabatnya yang selalu tersenyum lembut kearahnya. Sahabat yang senang sekali melukisnya bila ia sedang tidur-tiduran sambil memandang awan yang bergrak akankah sahabatnya itu menerimanya ditengah orang-orang lain membencinya dan membuangnya? Ia juga ingin mencurahkan perasaannya pada sahabat baiknya tentang masalah ini. Setidaknya ia akan mencoba dulu.
Ia berjalan, setapak demi setapak menuju rumah sahabatnya yang jaraknya cukup jauh dari tempatnya sekarang. Hujan deras mengguyur tubuh mungilnya yang lemah. Seluruh energinya telah terkuras oleh air mata yang ia teteskan entah berapa banyak oleh insiden tadi.
Ia hentikan langkahnya sejenak. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit yang yang berlapiskan awan kelabu. Tetes-tetes hujan mengguyur paras cantiknya. Ia merasa benar-benar sendiri. Bahkan mataharipun tak mau menemaninya. Matahari pasti sedang menertawakannya di balik awan sana. Yang menjadi sahabatnya sekarang hanya awan, dan Hujan. Awan hitam yang meneteskan air matanya. Mungkin ia ikut bersedih bersamanya. Ikut berkabung atas kematian ayahnya. Ikut meneteskan airnya menemani air mata sang gadis Hyuuga.
Entah hanya kebetulan atau bagaimana, matahari hanya menemaninya di saat ia senang itu juga tidak selalu. Sementara awan dan hujan menemaninya disaat ia sedih. Ia suka awan, pada saat ia masih SMA, ia sering menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran di rumput sambil menatap awan bersama sahabatnya Shikamaru, yang sekarang sudah pindah ke Kyoto dan bertunangan dengan seorang pengrajin kipas. Ia suka hujan, jika ia sedang sedih, Hanabi atau Neji selalu mengajaknya bermain hujan-hujanan untuk melupakan kesedihannya. Tapi sedih kali ini terasa berbeda. Hujan kali ini terasa begitu sepi, tak ada yang menemani. Hujan kali ini hanya diramaikan oleh suara deru hujan yang begitu deras.
Ia suka awan, ia suka hujan, tapi ia tak suka petir. Petir hanya mengingatkannya pada rasa perih. Rasa perih ketika ia mendengarkan sendiri dari mulut pria yang ia cintai bahwa dirinya tak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Deru suara hujan yang besar tak menandingi ke jelasan suara Sasuke di telinganya. Awan dan Hujan menemaninya pada saat itu. Bahkan petir ikut membentaknya seperti Sasuke yang juga membentaknya pada saat itu, mendorongnya sampai ia jatuh tersungkur ke aspal becek. Sementara dirinya sendiri masuk kedalam sebuah mobil mewah yang melindungi tubuhnya dari guyuran hujan. Mobil mewah berwarna hitam tadi melaju kencang meninggalkan dirinya yang masih tersungkur di tengah guyuran hujan. Setelah itu ia tak pernah algi melihat batang hidung Sasuke secara langsung. Yang ia lihat hanya Sasuke yang berada di balik layar televisi yang menghadirkan berita kesuksesan perusahaan Uchiha yang membuat hatinya semakin sakit tercabik-cabik.
TOK TOK TOK
Pintu flat seorang pemuda bermata onyx dan berambut hitam di ketuk dari luar. pemuda yang sedang mengeringkan rambutnya yang basah oleh handuk kecil itu menghentikan aktifitasnya. Tubuhnya yang berkulit putih hanya dilapisi oleh sehelai handuk yang ia lilitkan di sekitar pinggang. Menutupi daerah pinggang, sampai lutut. Memperlihatkan dada bidangnya yang putih.
TOK TOK TOK
Pintu kembali di ketuk dari luar.
"Tunggu sebentar." Dengan cepat, si pemuda ini memakai T-shirt hitamnya. Sementara bagian bawah tubuhnya masih dilapisi handuk. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar untuk membuka pintu, melihat siapa orang yang mengetuknya.
CKLEK
Pintu dibuka. Di hadapannya terlihatlah sesosok wanita berambut panjang berwarna indigo. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Ia pasti sudah hujan-hujannan. Di samping kirinya terdapat koper besar, dan tangan kanannya menjinjing tas yang juga cukup besar. Wajah wanita itu sungguh pucat. Bibirnya yang keunguan, bergetar hebat. Nampaknya ia sangat kedinginan.
"Hinata?" Pemuda itu kaget melihat sahabatnya ini datang ke flatnya dengan keadaan yang err.. menyedihkan.
BRUK
Hinata ambruk. Tenaganya pasti sudah habis. Perjalanannya dari rumahnya menuju flat ini yang ditempuh dengan jalan kaki, hujan-hujanan pula. Ditambah lagi ia membawa tas dan koper berat. Sementara tenaganya yang ia isi tadi pagi sudah terkuras habis oleh tangisnya. Pantas saja ia ambruk.
Pria berkaos hitam tadi menahannya. Hinata jatuh kedalam pelukannya.
"Hi-Hinata? Kau tidak apa-apa?" Tanyanya terdengar khawatir. Ia membawa Hinata menuju sofa. Barang-barang Hinata yang sedari tadi di luar juga ia masukan kedalam flat mungilnya.
Pria tadi segera menuju dapur. Di bawakannya secangkir coklat panas untuk sahabatnya yang kedinginan ini. Ia letakan di meja depan sofa tempat Hinata duduk. Lalu berjalan masuk kedalam kamarnya. Dan ke luar sambil membawa sehelai bedcover.
"Ini, minumlah." Ia menyodorkan cangkir itu.
"Ah iya, arigatou Sai-kun." Ucap Hinata dengan nada yang lemah seraya menerima pemberian dari Sai, sahabat baiknya itu.
Sai membuka lipatan badcover itu dan menyelimutkannya di pundak Hinata, yang pasti kedinginan. "Gantilah bajumu dulu. Kau bisa gunakan kamarku. Setelah itu kau bisa bicarakan masalahmu," Usul Sai.
Hinata mengangguk. Ia letakan cangkir coklat panasnya di meja. Dia lepas bedcover yang sai sematkan di pundaknya. Lalu ia berjalan menuju kamar Sai membawa tas, dan kopernya.
Ia buka isi koper yang basah kuyup karena hujan. Ia buka rel sleting kopernya dan mendapati baju-bajunya yang berantakan di dalam koper. Neji pasti memasukannya sembarangan sehingga isinya berantakan.
Untungnya isi dari koper itu tidak sepenuhnya basah. Masih ada beberapa helai pakaian yang kering. Ia bisa memakainya. Ia ganti pakaiannya dengan baju hangat, dan keluar kamar untuk menceritakan masalahnya pada Sai.
"APA? Jadi Sasuke su-sudah.." Sai tercengang tidak percaya atas apa yang diceritakan Hinata. Hinata hanya mengangguk lemah. Sakit kembali ia rasakan di hatinya. Sakit hati yang teramat sangat jika mengenang penghianatan kekasihnya Uchiha Sasuke. Begitu banyaknya pengorbanan yang ia berikan demi satu nama itu. Sampai-sampai ia mengorbankan keperawanannya sendiri. Ia sadar kini, ia memang bodoh, tolol, atau kata-kata lain yang sejenis dengannya. Namun mau bagaimana lagi? Penyesalan memang selalu datang di akhir.
"Neji dan Hanabi juga mengusirmu dan mengklaim kau sebagai penyebab kematian ayahmu?" Sai kembali bertanya. Hinata kembali mengangguk. Sakit hatinya semakin menjadi-jadi. Air matanya kembali bergerumun di kelopak matanya, dan menetes kala kelopak mata itu tertutup. Sakit, sesal, dan juga ada rasa dendam bercampur di hati Hinata sekarang.
Melihat sahabatnya yang menangis, Sai merangkul pendak sahabatnya ini. Semakin mendekatkan wajah sang gadis pada dada bidangnya. Ia memeluknya. Biarlah ia menangis sepuas hatinya dulu. Ia tidak ingin memaksa Hinata untuk tidak menangis lagi. Karena ia tahu, perasaannya pasti sakit sekali.
Hinata pasti sangat membutuhkan Sai. Dikala orang lain menjauhinya, mengusirnya, tapi Sai berbeda. Ia sungguh iba dengan keadaan Hinata. Entah apa jadinya kalau Sai tidak ada. Dari dulu, Hinata selalu mengangap Sai sebagai malaikatnya. Ia seperti matahari dan awannya. Yang selalu ada di kala ia susah dan senang. Sai, walaupun orang lain selalu menyebutnya 'si senyum palsu', tapi Sai selalu tulus tersenyum pada Hinata.
'Arigatou, Sai..' Batin Hinata yang semakin tenggelam di pelukan Sai.
Di kediaman Uchiha
"Aku dengar Hyuuga Hiashi meninggal." Ucap pria berambut raven dengan tatapan matanya yang tajam menatap punggung seorang wanita berambut panjang yang sedang tersenyum.
Pandangan wanita itu yang menatap ke luar jendela besar kediaman Uchiha tak terarah. Namun senyumannya yang begitu mengisyaratkan kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya. Ia terlihat senang di mata sang pria yang jauh lebih muda darinya ini.
"Mau sampai kapan Okka-san membuat keluarga itu terpuruk?" Tanya pemuda itu lagi dengan nada yang lebih tinggi. "Memangnya kenapa Sasuke? Kau merasa kasihan padanya? Baiklah, sudah cukup balas dendamnya. Aku sudah puas." Ucap wanita paruh baya itu lagi kepada anaknya Uchiha Sasuke. Masih menatap keluar dengan senyumnya yang terlilhat... Licik.
"Lebih baik begitu Okaa-san. Dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Otou-san yang berada nan jauh di sana juga pasti tidak mau keluarga Uchiha berbuat seperti itu pada Hyuuga!" bentak Uchiha Sasuke pada lawan bicaranya itu.
Lawan bicaranya itu terdiam ia hanya melirik Sasuke, anak bungsunya sedikit. Senyumannya memudar. Ia berbalik, menatap mata hitam yang bersorot dingin, dan amarah. Tidak seperti matanya yang sama hitamnya, namun matanya ini lebih menyorotkan rasa hangat.
Banyak orang yang bilang, sorot mata itu tidak bisa berbohong. Mungkin jika orang itu bertemu dengan Uchiha Mikoto, orang itu akan bilang kalau Mikoto adalah orang baik, dan jauh dari kata kejahatan. Namun orang itu benar-benar keliru. Karena mata Mikoto itu juga bisa menipu. Bahkan ia lebih licik dari pada seekor ular.
"Kau masih cinta pada gadis Hyuuga mantan pacarmu itu kan?" Tanya Mikoto dengan tenang.
Uchiha Sasuke tak bisa menjawab. Ia hanya menelan ludahnya yang berada di pangkal tenggorokannya. Jika boleh jujur, ia masih mencintai gadis Hyuuga itu. Begitu sakit juga hatinya ketika ia dengan kasar berkata pada gadis itu bahwa ia tidak mau bertanggung jawab atas bayi Sasuke yang dikandungnya. Itu semua perintah Uchiha Mikoto. Karena Mikoto menyimpan dendam pada Hiashi juga pada Hyuuga atas kematian Uchiha Fugaku, suaminya.
Namun, seperti yang dikatakan sasuke juga Hinata, dendam tidak akan menyelesaikan masalah.
Mikoto membalas dendam pada Hyuuga atas kematian Fugaku. Hiashi bangkrut. Hinata dihamili Sasuke. Gara-gara stres akan kebangkrutannya, Hiashi penyakitan dan akhirnya meninggal. Sebelum Hiashi meninggal, ia menyuruh hinata untuk balas dendam pada Uchiha.
Dendam tak akan menyelesaikan masalah. Akan kah Hinata membalaskan dendam Hiashi pada Uchiha?
_TBC_
Huuh, akhirnya selese juga chapter 1
RnR please...
