Attack on Titan/Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
A RiRen Fanfiction. Other pairing would be include.
Pelukis dan Pematung
By: Terre Liat and Eren Fetish
Drama, Shounen Ai, yaoi, hurt and comfort.
.
.
.
Sebuah fiksi kolaborasi dari dua writer tersesat. Sebut saja mawar dan melati. #ditamparsejagat.
Biar kerenan dikit, sebutlah Terre Liat dan Eren Fetish.
Dalam fiksi ini kami membagi tugas dengan kadar rata dan diratakan. Bagian Levi dikerjakan oleh Terre liat, dan bagian Eren jelas yang mengaku Eren Fetish di atas.
Don't kill us. Kami hanya penggila Levi dan penikmat Eren yang digabungin jadi begini. Selamat menikmati.
.
.
Pelukis dan Pematung
=Prologue=
.
.
Sosok patung tanpa kepala, menyembunyikan ekspresi yang sebenarnya melambangkan kekosongan. Bentuk dan rupa dari sang wajah. [Levi Ackerman].
.
.
.
Stohess, salah satu distrik dari jejeran distrik penting di wilayah Great Wall Sina. Tempat bernaung para manusia yang namanya tertera jelas dalam daftar bangsawan yang dihormati. Bebas catatan hukum, punya akte tanah berhektar-hektar, industri di sana-sini, dan apa saja yang orang-orang dari tembok Rose terlebih Maria bahkan tidak berani bermimpi untuk setara dengan mereka.
Ackerman. Bangsawan kelas atas yang namanya menggetarkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Turun temurun menghasilkan individu berkualitas yang bahkan tirani sang penguasa tidak punya daya untuk merusaknya. Dan seni adalah satu suatu kualitas terbaik yang akan selalu mengharumkan nama mereka.
Di sebuah bengkel pribadi, seorang pria terlihat duduk termenung di atas kursi kayu. Menunggu olahan tanah oleh orangnya hingga siap untuk ia bentuk. Matanya menatap kosong deretan patung berbagai bentuk, model dan ukuran. Mulai patung manusia dengan tangan yang mengepal, gaya memeluk, memegang tongkat, membawa buku, otot bisep dan trisep yang kekar, seluruh badan dengan guratan sempurna bagian dada dan six pack otot perut, dan sebagainya hingga patung utuh tanpa busana. Dari sekian banyak perbedaan itu, hanya satu yang sama. Mereka semua tanpa kepala.
Kata orang sang Maestro memiliki ciri khas itu, dan patung tanpa kepala sudah menjadi karakternya yang melekat pada nama Ackerman-nya yang melegenda. Namun hanya ia sendiri yang tahu, bahwa patung tanpa kepala bukan karena inginnya.
Ia ingin membuatnya.
Namun tak mampu.
Sang maestro tidak bisa membentuk kepala? jika ada yang mengetahui itu maka nama Ackerman yang ia sandang akan tercoreng.
Tapi sedikit melegakan karena ketidak mampuan yang ia maksud bukan dalam hal membentuk ukuran yang pas, ukiran dan guratan wajah yang persis dengan aslinya. Jika boleh jujur, Levi hanya tidak memiliki model dalam otaknya. Dan ia tidak ingin segampang itu membentuk kepala dan wajah yang abstrak. Ia butuh wajah yang bisa menggerakkan dirinya. Ia butuh…
Seseorang.
Namun ia tidak tahu siapa orang itu. Merasa kekosongan yang sudah menghantuinya bertahun-tahun, kini ia sudah sampai pada limit.
Satu patung yang baru saja melewati tahap pembakaran terbanting tanpa daya. Membentuk puluhan patahan dan ribuan serpihan di atas lantai keramik berwarna madu. Dua orang asisten yang tadi sibuk mengolah tanah mentah menoleh dengan terkejut. Baru kali ini melihat sang atasan melampiaskan amarah pada benda tak bersalah yang biasanya menjadi kebanggaan di dalam galerinya yang sebentar lagi diusulkan menjadi museum dan diperuntukkan kunjungan publik.
"Kalian boleh pulang hari ini." Levi, begitu ia dipanggil. Hanya mengeluarkan suara berat dan datarnya.
Tanpa ada pertanyaan, dua orang asisten tadi langsung mengangguk patuh dan angkat kaki. Jika bosnya sudah mengatakan hal itu artinya beliau tidak ingin diganggu.
Ada yang kosong di sudut hatinya, dan baru kali ini orang sejenius dirinya tidak mampu menebak hal apa yang pantas dan seharusnya mengisi ruang kosong itu.
Wanita?
Bukan. Ia baru sadar bahwa ketertarikan seksualnya bukan pada lawan jenis saat tanpa sengaja ia melihat sahabatnya sedang menonton film biru yang pemerannya adalah dua lelaki dewasa. Bukannya menghardik, Levi justru meminta film itu untuk dinikmati sendiri di dalam kamar.
Masalahnya, sudah bertahun-tahun sejak hal itu terjadi, ia tidak pernah sekalipun menemukan laki-laki yang menarik perhatiannya. Sedikitpun, bahkan saat sahabatnya yang seorang dokter sesat membawanya ke sebuah club malam khusus kaum gay di Utopia yang menyediakan penari telanjang. Levi justru muak. Tidak suka dan… hendak membakar club malam itu.
"Aku butuh kepala."
Farlan sang sahabat mengernyit bingung di sore hari saat Levi random mengucapkan sesuatu. "Kepala? Aku sudah membawamu ke sebuah tempat yang menyediakan beraneka jenis kepala Levi, dari yang besar, kecil, putih, kehitam-hitaman, dari yang masih lemas dan sudah tegak tersedia di sana tapi kau menolak."
"Bukan kepala itu. Kepala dalam artian yang sebenarnya. Kepala yang memiliki wajah."
"Maksudmu! Kau ingin memenggal kepala manusia?"
"Tidak."
"Lalu?"
Levi terpekur dalam diam. Menatap patung tanpa kepala yang berjejer suram di galeri mewahnya. "Aku butuh seseorang yang wajahnya bisa mengisi kepalaku. Setiap ekspresinya membangkitkan gairahku. Aku butuh… dia."
Dan Farlan hanya mengangkat bahu sebelum meninggalkan sahabatnya itu. Bersiap membuat laporan konsultasi pada Isabel jika saja Levi butuh seorang psikiater. Sementara sang seniman profesional yang dimaksud benar-benar memikirkan hal itu.
Dia butuh kepala.
Dan jika seluruh distrik di Sina dan Rose tidak menyediakan kepala yang dimaksud. Bagaimana dengan Maria?
.
.
.
Sapuan kuas keputusasaan, membentuk gradasi warna harapan di atas kanvas kehidupan. Satu warna, setumpuk keinginan.
.
.
Satu lagi goresan cat disapukan Eren pada kanvas yang telah terjejal warna-warna lain. Pemuda itu mendengus pelan. Ini lukisan yang mampu ia selesaikan untuk kesekian kalinya, tapi ia tidak pernah menemukan kepuasan. Eren senang—jatuh cinta pada kegiatan melukis, tapi lukisannya tidak akan pernah sempurna tanpa ada yang satu kalimat yang menunjukkan bahwa karyanya bisa dibilang 'berharga'.
Eren putus asa.
Eren mencintai lukisannya, tapi tidak menemukan 'harga' dari semua karyanya.
"Eren, kau melukis lagi?"
Rambut serupa kayu manis milik Eren bergerak pelan ketika kepalanya mendongak dan melempar pandangan pada sosok gadis berwajah dingin dengan seikat kayu di tangan.
"Mikasa?"
Suara gaduh terdengar. Gadis itu membanting kumpulan kayu bakar hingga simpul rotannya putus dan menghamburkan bilah-bilah itu tepat di hadapan Eren.
"Melukis tidak akan memperbaiki nasibmu, Eren."
Suara tegukan terdengar saat Eren menelan ludahnya. Mikasa tidak pernah terdengar sekejam ini sebelumnya. Tapi, memang benar apa yang baru saja gadis itu katakan. Lukisan seindah apapun yang Eren buat, tidak ada harganya. Tidak akan ada yang mau membelinya. Tidak di Shiganshina, dimana hanya ada kumpulan rakyat jelata di balik kokohnya dinding Maria. Tapi mana bisa Eren berhenti begitu saja?
"Jika kau ingin melihatku menyerah, patahkan lenganku, atau remukkan jariku, Mikasa."
Gadis itu berjongkok di depan Eren, lalu memukul pelan kepala si pemuda dengan keras. Setidaknya cukup keras untuk membuat Eren mengaduh dan mengusap kepalanya berulang-ulang. Mikasa memungut kembali kayu-kayu bakar yang tadi sempat ia lemparkan. Selesai mengumpulkan, tangannya yang cekatan kembali mengikat kayu-kayu itu dengan rotan. Mikasa mengangkatnya sedikit, lalu meletakkan kumpulan kayu itu di pangkuan Eren.
"Kalau kupatahkan tanganmu, siapa lagi yang mau membantuku mengangkat kayu bakar? Uang kita tidak cukup untuk membayar orang membawakan kayu yang tidak seberapa beratnya."
Eren menundukkan wajahnya. Lagi-lagi ia tidak mampu membantah setiap kalimat Mikasa yang ditujukan padanya, sekalipun itu berupa sindiran-sindiran tajam untuknya.
"Mikasa."
Gadis itu hanya menjawab dengan tatapan.
"Bisa kau bantu membawakan lukisanku?"
Mikasa maju selangkah lalu berjongkok untuk meraih lukisan yang Eren maksud. Kerutan di dahi Mikasa muncul. Satu tangannya meraba permukaan kanvas yang dipenuhi goresan warna-warna sedikit gelap membentuk siluet lelaki berambut pendek serupa kayu eboni. Di dalam lukisan Eren, ia duduk di sebuah kursi dengan latar sebuah ruangan besar mirip aula, terlihat memunggungi penikmat lukisan yang memandanginya. Dan sosok itu sendirian di sana, tidak ada yang bersamanya, dan tidak ada yang mengetahui apa yang sedang dilakukannya.
Pengamatan selesai, Mikasa melempar kanvas milik Eren begitu saja.
"Mikasa?"
"Kalau saja kau melukis diriku, dengan senang hati aku akan membawanya."
Tangan Eren yang tengah memegang kuas ditarik begitu saja oleh Mikasa hingga lelaki itu terlihat kepayahan mengumpulkan keseimbangan saat beranjak dari duduknya. hingga kumpulan kayu bakar kembali menyentuh tanah, tapi tak sampai berhamburan. Eren meraih simpul rotannya dengan tangan yang lain hingga bilah-bilah kayu itu bisa dibawanya.
Eren berjalan dengan satu lengan berada di genggaman Mikasa. Kakinya melangkah sambil sesekali menoleh ke belakang, menatap sang lukisan dari balik bahu sempitnya. Sudahlah. Nanti ia bisa membuatnya lagi di rumah. Lukisan yang sama, yang tidak sempurna juga tidak akan pernah ada harganya. Dan kesimpulannya, Eren merasa kemampuan melukisnya, jiwa seni miliknya, akan terbuang sia-sia seumur hidupnya.
.
Goresan putus asa milikmu tidak selamanya akan jadi sia-sia. Tidak sampai hal itu jadi jalan rahasia untuk menemukan bagian paling berharga.
Keinginanmu akan terkabul, asal goresanmu tetap muncul. Tidak perlu usaha besar dan berlebihan, cukup bentangkan imajinasi hingga yang lain sadar lalu begerak untuk menemukan.
.
.
Prepare for the first chapter. See u
