Abu.
Masih hangat, masih berasap, dengan sulur tipis kelabu melayang di udara. Sisa-sisa api kecil berkelip belum mati. Tidak terlalu jauh, sepotong patahan kayu menancap dari tanah - lima serpihan yang lebih kecil mencuat mengelilinginya, membentuk parodi simbol kematian dengan kulit kayu yang mengelupas sebagai sayapnya. Beberapa bara api bersinar diantara celah-celahnya, terbakar sekaligus tidak membakar.
Inhale. Exhale.
Sulfur dan Karbon monoksida dan debu dan asap api bercampur di udara.
Pemandangan reruntuhan itu hampir familiar.
Ia membuka sebelah mata saat angin berhembus pelan, menyebarkan ribuan bunga api melesat ke langit malam terhiaskan warna darah.
Ini... menyakitkan.
Bukan hanya mengacu pada rasa sakit fisik - bukan hanya rasa sakit karena pecahan kayu yang tertanam di punggung begitu dalam hingga kau selalu merasakan nyeri di lukanya saat hujan, bukan hanya sensasi menggigit dari pecahan kaca yang menggurat dan selamanya membekas di lenganmu atau bingkai berat yang dulunya adalah daun pintu dan sekarang menindih kakimu. Ada juga gema sensasi seperti tangan yang mencakar dadamu, merobek daging dan tulang dengan mudah, mencapai organ jantungmu dan kemudian meremas -
Ia menarik napas, tajam dan gemetar, panjang dan pendek di saat bersamaan.
Bernapas.
Inhale, exhale.
...
Rasanya sakit.
Sangat.
Dan rasa sakitnya tidak semua karena luka fatal fisik.
Itu adalah memori - memori tentang teman dan rekan dan keluarga yang gagal kau selamatkan meskipun kau tahu peristiwa yang akan datang. Tahu, tapi masih tak berdaya untuk menyelamatkan mereka.
(Gagal. Apapun yang kau lakukan selalu gagal.)
(Lagi dan lagi dan lagi.)
... Rasanya menyakitkan.
Rasanya lebih menyakitkan di dalam daripada di luar, sangat menyakitkan hingga rasanya hampir... tak tertahankan.
Tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menanggungnya. Ia sudah berjanji kepada mereka bahwa ia akan terus hidup untuk mereka. Ia sudah berjanji.
Tidak peduli jika ia harus mengingat segalanya. Tidak peduli jika pada akhirnya sia-sia. Tidak peduli... jika ia satu-satunya yang tersisa.
(Always remember.)
.
.
.
.
.
.
Blink.
Ia terbangun di sebuah makam tua.
Tak bernyawa. Tandus. Lengkap dengan partikel kecil debu yang menari-nari di sudut ruangan.
Selain dari kurangnya pasokan oksigen, ini bukan tempat yang buruk untuk bangun. Cahaya hangat bersinar melalui celah-celah di dinding membentuk bintang-bintang kecil bertebaran di lantai batu. Langit-langitnya memiliki semacam pola hiasan yang diukir dengan rumit, yang biasanya kau temui pada kastil-kastil tua. Cukup mewah, sebenarnya.
Ia bergerak bangkit dan mengayunkan kakinya turun. Tubuhnya terasa seperti seseorang meratakannya dan menjadikannya sebagai karpet. Ia merasa... tidak baik. Lelah. Pemandangannya mungkin akan segera berhenti berputar.
Ia membuka mulut dan berhenti saat suara yang keluar dari tenggorokannya seperti besi-besi yang saling bergesekan. Melengking tajam. Seperti kuda yang sekarat. Seperti pedang yang saling begesekan.
Ini membawa ingatan kembali.
Seberapa pun menggodanya untuk kembali merebahkan diri dan tidur lebih lama, ia merasa waktu istirahatnya sudah memakan waktu yang lama. Terlalu lama.
Ia berdiri dan mendekati bebatuan besar di ujung ruangan. Jari-jemarinya mengetuk permukaan tekstur batu. Dulu ada sebuah pintu masuk di sini. Tapi jalan ini tertutup, dan ia masih terlalu lemah untuk menembus reruntuhan ini. Tapi tentu saja, oksigen pasti datang dari suatu tempat.
Sebuah kilatan cahaya menarik perhatiannya. Ia menoleh, dan menatap.
...
Itu... ia hampir melupakannya.
Ia menghela napas. Kakinya mulai melangkah mendekat hingga ia berdiri tepat di depannya. Ia kembali menatap, kali ini pada bayangan dirinya yg terpantul pada permukaan itu.
(Permukaannya mengkilat memantulkan cahaya. Bersih. Putih bening. Dengan lingkaran warna pelangi dimana cahaya bertemu permukaannya.
Terakhir kali ia melihatnya sebersih ini adalah sesaat sebelum ia membuatnya merobek daging dan menggores tulang dan menembus segala bentuk perlindungan hingga seluruh permukaannya bermandikan merah yang takkan hilang hingga akhirnya ia menyerah dan membiarkannya terus menarimenarimenari -)
- Blink.
Ia terdiam sesaat, sebelum tangannya perlahan terangkat dan menggenggamnya. Dengan gerakan yang sangat lembut dan terlatih ia menyarungkannya dan menggantungnya di pinggang.
Ia kembali menoleh ke reruntuhan sisa-sisa pintu.
Sekarang, jalan keluar dari sini.
Ia mendongak, matanya menelusuri langit-langit mencari celah cahaya. Jika retakan pada batu tebal itu bisa membuat cahaya menembus masuk, mungkin ia bisa menemukan titik lemahnya dan -
- ketemu.
Ia mulai bergerak perlahan dan memanjat naik. Jemarinya mencengkeram dinding batu melalui celah-celah kecil yang ada karena erosi waktu. Otot tangan dan kakinya seperti terbakar karena tubuhnya masih lemah untuk menahan berat tubuhnya. Tapi ia terus bergerak naik dan mengabaikan tangannya yang mulai gemetaran.
Rasanya lama sekali sebelum akhirnya ia berada tepat di permukaan langit-langit yang diincarnya.
Tangannya bergerak ke pinggang dan jemarinya bergerak menggenggamnya. Matanya masih mencermati retakan panjang pada batu di hadapannya. Sedikit tekanan di sini dan putar di sini maka seharusnya akan membuat -
Crack.
Senyum mengembang di sudut bibirnya. Sebelum ia menarik napas dalam-dalam, udara yang memasuki paru-parunya masih sepelan kupu-kupu. Lemah. Belum kembali seperti yang seharusnya.
Ia menarik tubuhnya melewati lubang yang ia buat itu. Hal pertama yang dilihatnya adalah kumpulan rumput hijau di tanah.
Matanya berair saat melihat lautan hijau padang rumput. Dengan langit seperti pita berwarna biru terang yang membentang di atasnya. Bintik-bintik cahaya matahari terpantul dari pepohonan. Ia berdiri dan mulai terhuyung-huyung, tidak terbiasa mendapatkan keseimbangan kembali dengan cepat.
Ia menatap pemandangan di hadapannya sesaat. Menikmati bagaimana angin menerpa wajahnya dan membelai rambutnya. Menghirup aroma rumput dan segar embun sesudah hujan. Memandang kagum kumpulan warna di hadapannya. Hingga akhirnya ia bergerak maju.
Walau beberapa langkah yang diambilnya masih membuat kakinya gemetar. Dan mereka bilang tidur itu membuat orang bertenaga.
.
.
Songs of Dragoon
.
a Lord of The Rings OC Fanfiction
.
.
an Adventure...
of a Torment Soul...
The Wandering Soul that Knows no Rest
It has Her Gift...
That Bestowed Upon It...
and Become It Curse
A Journey...
to Find The Promise...
to Rest, in Eternal Slumber
It has not Identity, Nothing to Left...
But Memories Remain...
and It Ability to Remember
and Then...
The Paths is Set,
and The Journey is Begin...
.
.
