[FanFic] - 49 days
黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi
49 days © Alenta93
.
Length : 2138 words
Pairing[s] : AkashiXKise | Aomine/Kise | slight AkaKuro
Genre[s] : romance | mistery | hurt/comfort
Warning[s] : MxM relationships, complex situation
Summary :
"Orang yang Aominecchi suka bukan aku, kan? Karena aku pasti akan merasa bersalah." / "Bersalah kenapa?" / "Karena― karena aku menyukai Akashicchi." / Aomine tahu ia adalah orang terbodoh sedunia. Ia hanya ingin melakukan sesuatu untuk orang yang disukainya, namun apa yang ia lakukan? Ia malah menyakiti partner terbaiknya!
.
Comments :
Hai, another 20-12-2013, christmas, new year n valentine's story :D FanFic kali ini nggak bakal jadi multichap panjang soalnya saya ada tanggungan 2 multichap yang masih on going orz takutnya ntar malah nggak kelar" hhehe
Jadi buat 49 days bakal kebagi dalam 3 chapter: ore (me), aitsura (them) dan omae (you) .. Bisa dibilang masing" chapternya ini semacam prologue, main story n epilogue .. XD
Clue : lihat tanggal atau keterangan waktu untuk kejelasan plot, biar kalian bisa tahu kronologi *bah*maksudku* runtutan dari cerita ini seperti apa :D
Hai, please read n enjoy~ :D
.
.
-49 days-
.
.
Chapter one-ore [me]
.
.
[12月16日]
"Aominecchi,"
"Hmm?"
"Apa ada orang yang Aominecchi suka?"
Aku sontak menolehkan kepalaku usai mendengar kalimat itu berakhir. Aku menatap pemuda pirang yang duduk dengan memeluk lutut di sebelahku. Glup. Tiba-tiba saja aku tak sanggup bahkan hanya untuk menelan ludah. "Ke-kenapa kau tiba-tiba menanyakannya, Kise?!"
Kise Ryouta―si model cengeng itu menggelengkan kepalanya pelan, sementara pandangannya menyapu lapangan indoor sekolah kami―Teikou Junior High. Sejenak, Aku mendapati manik madunya berbinar. "Apa ada orang yang Aominecchi suka?" Kise mengulangi pertanyaannya.
Jantungku berdetak di atas normal―bahkan melebihi saat aku menyelesaikan latihan harian kami. Inilah hal yang paling tak kusuka: ditanya langsung seperti ini, sontak membuatku menarik pandangan darinya. Aku yang berselonjor kembali memainkan bola di tanganku, memutar-mutarnya di atas jari telunjukku.
Haruskah aku menjawab pertanyaan bodohnya?
"Inai'ssu ka? (Tidak ada'ssu?)"
"Iru. (Ada.)" Jawabku begitu saja saat ia bertanya memastikan. Bodoh! Kapan kau bisa tumbuh menjadi anak pintar, Daiki? Aku mememat kedua sisi bola di tanganku. Aku merutuki kebodohanku yang dengan mudahnya menjawab setelah dipancing oleh orang bodoh seperti Kise. Huh, membuatku semakin terlihat bodoh saja!
"Orang yang Aominecchi suka bukan aku, kan?"
DEG
Ia terkekeh kecil, menatapku dengan kepala yang ditumpukan di atas kedua lututnya yang tertekuk sebelum kembali menyapukan pandangan ke tengah lapangan. "Karena aku pasti akan merasa bersalah."
Kenapa― Aku menepuk bahunya saat binar manik madu itu meredup. "Bersalah kenapa?"
"Karena―" Ia menghela nafas pelan sebelum mengucapkan sebuah kalimat, "Karena aku menyukai Akashicchi."
Tanpa sadar aku menarik tanganku yang semula menepuk bahunya. Aku menggenggam udara kosong. Nafasku semakin tercekat kala aku mendapati Kise―yang ternyata tengah―menatap lurus sosok di seberang lapangan. Sosok pemuda mungil bersurai merah. Akashi Seijuurou―Kapten kami.
Aku mendengus. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sementara aku tak ingin mengganggunya yang tengah menatap sosok yang disukainya. Tak banyak yang bisa kulakukan selain tertawa getir. Aku bahkan kalah dari si bodoh ini. Si bodoh yang menghancurkan perasaanku tanpa disadarinya. Dia tanpa sengaja membuatku bungkam. Tak membiarkanku untuk sekedar mengutarakan perasaanku padanya. Ya, aku menyukainya. Aku―Aomine Daiki, menyukai seorang Kise Ryouta. Itulah yang kurasakan selama ini. Namun, perasaan ini harus kutahan― bahkan sebelum aku sempat mengutarakannya, saat perasaan ini baru berkembang. Harus kutekan dan kukurung jauh dalam jeruji besi hingga tak mampu untuk meluap.
"Kalau―" Aku membuka mulutku. Sebenarnya apa yang akan kutanyakan? "Kalau ada orang yang menyukaimu, tapi dia bukan Akashi, bagaimana?" Pertanyaan yang terdengar bodoh memang. Bagaimana tidak? Hey, aku sedang menanyakan nasibku pada orang yang kusuka.
"Hnngg?" Kise menoleh padaku―masih dengan menyandarkan kepalanya pada kedua lututnya. "Tentu saja aku tak bisa melarangnya. Tapi―" Manik madu itu beralih menatap lantai. "Tapi aku akan mengucapkan beribu maaf padanya karena―" Tangannya terkepal dan meninju-ninju sepatu kedsnya pelan. "Karena aku―"
"Karena kau tak bisa membalas perasaan sukanya." Aku memotong kalimatnya dan melanjutkan. Membantunya menjawab, membantu meringankan beban di bahunya yang malah menambah beban pada bahuku. Tanpa sadar aku menahan nafas menunggu jawabannya tadi. Huh? Untuk apa? Padahal aku sudah tahu jawabannya, tapi aku menunggu kemungkinan akan sebuah kesempatan. Kesempatan? Kesempatan apa yang kau tunggu, Daiki? "Bodoh." Gumamku.
Memejamkan mata sejenak, menarik nafas sebelum menghembuskannya perlahan, aku mengarahkan pandanganku menatapnya. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Kise?" Aku mengerling padanya. "Kau tahu, semua takkan berguna kalau kau mengatakannya padaku."
"Tapi―"
"Katakanlah." Aku membalas tatapan manik madunya sekalipun hatiku bergemuruh menolaknya. Aku tak sanggup menatapnya. "Kau tak boleh takut mengatakannya. Jawabannya tidaklah penting―bukan, jawabannya tentu saja penting." Aku menggaruk belakang kepala, sejauh ini aku tidak tahu apa yang kukatakan. Mulutku seolah bergerak dengan sendirinya. "Kau harus berani dulu. Setelah mengatakannya, kau akan merasa puas―kurasa. Setidaknya kau lega. Kau akan bersyukur jika ia juga memiliki perasaan yang sama. Jika tidak―" Aku menghela nafas. Aku tidak tahu, aku belum pernah melakukannya. "Jika tidak, mungkin akan terasa sakit, tapi― Yah, kau harus siap dengan apapun jawabannya. Itu kuncinya." Katakanlah aku menyemangatinya atau mungkin menasehati, namun sebenarnya itu adalah nasihat yang tepat untukku sendiri.
"Terima kasih, Aominecchi~" Samar, aku mendengar gumamannya. Dan dari sudut mataku, aku menangkap sebuah senyuman tergurat manis di wajahnya.
Pecundang! Aku merutuki diriku sendiri. Aku menyuruh Kise untuk tidak takut menyatakan perasaannya, tapi apa yang kulakukan? Aku malah melakukan sebaliknya: aku―lari.
Aku hanya tidak ingin senyum dan binar di manik madu itu sirna jika aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Aku mengarahkan pandanganku mengikuti tatapan manik madu itu. Dua sosok mungil dengan surai merah dan blue aqua tampak tengah berbincang di seberang lapangan.
"Ne, Aominecchi," Kise tersenyum memandangku. "Tidakkah kau berpikir Akashicchi dan Kurokocchi itu mirip?"
Aku mengangkat sebelah alisku sebelum kembali melempar pandangan ke seberang lapangan. Apa-apaan pertanyaan si bodoh ini? "Bodoh. Tapi mereka bahkan tidak ada hubungan darah, Kise."
"Tapi Aominecchi setuju denganku kalau mereka mirip kan?"
"Tidak."
"Aominecchi~"
"Sifat mereka jauh berbeda, Kise."
"Aominecchi, kenapa kau tak pernah satu pemikiran denganku'ssu?"
Aku berdecak saat sikapnya yang seperti ini kambuh. Tapi setidaknya, aku tak lagi melihat tatapan sendu saat ia mengatakan akan mengucapkan beribu maaf pada orang yang menyukainya karena ia tak dapat membalasnya.
.
*55*
.
[12月20日]
Aku tengah berjalan menyusuri koridor kelas hendak menuju gym, namun langkahku terhenti saat mendapati sosok bersurai blue aqua―partner terbaikku itu tengah terpaku di depan pintu ruang kelas yang sedikit terbuka. Aku menelengkan kepala sejenak sebelum melangkah mendekatinya. "Tetsu!"
"..."
Aku menautkan alis saat Kuroko Tetsuya tak menghiraukan panggilanku. Aku menatap punggung kecil yang berjarak tak lebih dari lima langkah di depanku ini bergetar samar. Kuputuskan untuk melangkah mendekat. Khawatir. Aku takut terjadi sesuatu padanya. "Tets―" Melihat sebelah tangan Tetsu yang menggenggam erat handle pintu geser itu, juga manik saffirnya yang memandang jauh ke depan membuatku menyeret pandangan mengikuti tatapannya. Dan dapat kulihat dari celah pintu itu― Sesuatu yang membuatku tercekat hingga dadaku terasa sesak.
Akashi Seijuurou tengah berciuman dengan Kise Ryouta.
Menggigit bibir bawah, aku menangkupkan telapak tanganku menutup kedua mata Tetsu. Menghilangkan pemandangan yang kutahu menyakitinya―juga menyakitiku. Tubuhnya menegang sesaat, namun tak berusaha menampik tanganku. Aku membungkuk, merengkuhnya dari belakang, menumpukan daguku di atas surai blue aquanya. Tanganku yang lain terulur menggenggam sebelah tangannya yang meremat handle pintu itu dan mengusapnya pelan.
"Sebaiknya kita pergi, Tetsu." Ujarku kemudian menuntunnya melangkah. Membawanya menjauh dari kelas itu.
Kami duduk di bangku taman yang melingkari sebuah pohon tanpa dahan. Aku membiarkan Tetsu yang masih terdiam dengan pandangan kosong seperti saat aku menemukannya. Aku yakin dia begitu terkejut dengan pemandangan itu. Vanilla milkshake yang kubelikan untuknya pun dianggurkan hingga esnya meleleh. Aku tak menyangka Tetsu terpuruk seperti ini. Ya, posisi kami saat ini sama. Kami sama-sama melihat orang yang kami sukai berciuman dengan orang lain.
Akashi Seijuurou, orang yang Tetsu suka tengah berciuman dengan orang yang kusuka, Kise Ryouta. Bayangkan seperti apa kekalutan yang kami alami.
.
*55*
.
[12月28日]
Ekspresi itu masih terlihat jelas dalam ingatanku. Aku meremas jaket hitamku di dalam loker sebelum menariknya keluar dan mengenakannya cepat. Menarik tas selempang di samping kaki, aku kemudian melangkah keluar ruang ganti. Apa yang harus kulakukan? Senyum cerah itu pudar, binar manik madunya pun berubah kosong. Aku tahu, sudah tiga hari berlalu, apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan untuknya?
Aku memandang langit kelabu sejenak sebelum memalingkan pandangan dan mendapati sosok itu tengah berjalan di koridor yang menghubungkan gym dengan ruang kelas. Sontak kaki membawaku melangkah cepat menghampirinya. "Tetsu!"
Pemuda mungil itu menghentikan langkahnya dan menolehku. "Aomine-kun? Domo. (Halo.)" Sapanya dengan wajah datar―seperti biasa, namun kali ini dengan manik saffir yang setengah kosong.
Sejenak aku mengalihkan pandangan menyusuri lantai yang kupijak. Aku tidak tahu apa ini benar atau tidak, tapi aku harus mencobanya. Lebih baik mencoba daripada berdiam diri melihat orang yang kau sukai seperti mayat hidup seperti itu, kan?
Menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya, aku membuka mulutku. "Tetsudatte moratte dekiru no kana, Tetsu? (Tetsu, apa aku bisa meminta bantuanmu?)"
Pertanyaanku berhasil membuatnya kembali fokus. Manik saffir itu menatapku dengan tanda tanya. Tetsu menelengkan kepala, "Nan desuka? (Soal apa?)"
Aku kemudian mengatakan permintaanku padanya.
Dan detik pertama yang kudapati usai aku mengatakannya adalah, manik saffir itu terbelalak sempurna. Bibirnya bergetar menyuarakan isi hatinya, "Fuzakeru na! (Jangan bercanda!)"
Aku tercekat mendengarnya. Manik mataku tak lepas memandangnya yang mengepalkan kedua tangannya erat, sementara bibirnya terkatup rapat. Satu hal yang dapat kusimpulkan: aku telah membuat Tetsu marah. Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan selain ini.
Menunduk dan memejamkan mata sesaat, kedua tanganku terulur meraih bahunya. "Kumohon, Tetsu. Hanya kau yang bisa melakukannya."
Mata bulatnya tak menghindari tatapanku. Ia membalas tatapanku dan menggeleng tegas.
"Tetsu."
Kulihat ia menggigit bibir bawahnya kuat sementara kedua tangannya semakin terkepal erat hingga bukubukunya memutih. "Kau egois, Aomine-kun!"
Kalimat itu membuatku menurunkan tanganku dari bahunya. Aku tahu. Aku sangatlah egois memang. Dilihat darimanapun aku mementingkan diriku sendiri. "Aku tahu, Tetsu. Aku tahu ini konyol. Tapi aku mohon padamu."
Aku kembali tercekat kala sebulir air mata jatuh, membuat gurat tipis pada pipi Tetsu yang nyaris pucat itu. Dadaku terasa sesak. Apa yang kau lakukan, Daiki?
"Kau―" Giginya bergemeletuk menahan marah. Nafasnya terdengar berat seiring dengan tetesan air mata yang terus mengalir. "Kau tak memikirkan perasaanku, Aomine-kun!" Tetsu kemudian mengulurkan tangannya memegang kedua sisi kepalanya, meremat helaian blue aquanya. "Kau hanya memikirkan semua untuk kebaikan Kise-kun! Tapi bagaimana denganku? Apa kau memikirkan perasaanku?!" Tangan gemetarnya kemudian turun mencengkeram dadanya.
Bodoh! Apa yang sudah kulakukan?! Aku mengumpat yang kutelan bulat-bulat. "Tetsu, maaf~" Aku mengulurkan tanganku hendak merengkuh dan menenangkannya namun Tetsu melangkah mundur. Hatiku mencelos. Aku telah menyakitinya.
Sejenak Tetsu mengusap lelehan air matanya kasar. "Aku tak menyangka, Aomine-kun―" Suaranya serak. "Kukira aku sahabatmu, tapi kenapa kau merelakanku semudah itu demi orang yang kau suka?!"
Sepasang manik saffir itu memandangku nyalang, sukses membuat dadaku semakin sesak. Dan kalimat-kalimat yang Tetsu ucapkan setelahnya menghujam jantungku. Aku― tak seharusnya melakukan ini. Aku tak seharusnya meminta ini.
"Kau bahkan tak mengerti bagaimana perasaanku! Apa kau tahu?" Nada tingginya melunak namun masih diiringi dengan isakan. "Tidak hanya Kise-kun, tapi kau, semuanya, juga aku― kita semua hancur, Aomine-kun!"
Setelahnya, Tetsu berbalik, melangkah cepat memamerkan punggung mungilnya yang bergetar itu dan semakin menjauh. Aku mengepalkan tanganku erat. Bodoh! Bodoh! Apa yang kau lakukan, Daiki? Kau melukainya! Aku memejamkan mata erat.
"Aku tak menyangka, Aomine-kun― Kukira aku sahabatmu, tapi kenapa kau merelakanku semudah itu demi orang yang kau suka?!"
Kalimat itu terngiang di kepalaku, wajah Tetsu saat mengucapkannya terpampang jelas disana. Partner terbaik kau bilang? Huh! Kau bahkan tak pantas berpasangan dengannya di lapangan. Apa yang kau tahu tentangnya, Daiki? Yang ada dalam otakmu hanya Kise, Kise, Kise, dan Kise Ryouta.
"Arghh!" Aku menggeram dan menendang udara kosong, kesal. Aku bahkan tak mampu meraih lengannya sebelum Tetsu pergi. "Bodoh!"
Aku kemudian kembali melangkah menyusuri koridor di bawah langit yang mulai gelap dengan semburat jingga yang hangat―namun rasa hangat itu sama sekali tak sampai padaku. Aku menggigit bibirku keras, mengumpat beribu sumpah serapah, merutuki diriku yang begitu bodohnya.
Aku bukannya tidak memikirkan perasaanmu, Tetsu. Aku tahu. Kau mungkin lebih hancur dariku, tapi― aku hancur melihat Kise seperti ini. Aku tahu aku bukanlah sahabat yang baik. Maafkan aku, Tetsu. Maafkan aku yang telah meminta sesuatu yang jelas akan menyakitimu lebih dalam.
.
*55*
.
[12月31日]
"Aomine-kun,"
Aku tengah meneguk air mineral di ruang ganti usai latihan saat Tetsu yang telah berseragam rapi dengan balutan mantel hitamnya masuk kemudian berjalan menghampiriku.
"Aomine-kun menyimpan ponselnya kan? Bisa Aomine-kun berikan padaku?"
Aku mengerutkan dahiku. "Nani ga? (Apa?)"
"Yarimasu. (Aku akan melakukannya.)" Jawabnya singkat.
Mataku membulat tak lepas memandangnya yang menatapku dalam. "Tetsu?" Tanyaku khawatir. Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini. Tunggu! Tetsu, kau tidak berniat―
"Aku akan melakukan seperti permintaan Aomine-kun padaku tempo hari." Ujarnya tanpa ekspresi―datar seperti biasanya.
Aku tertawa getir sebelum menggeleng. "Tidak, Tetsu. Kau tak perlu melakukannya. Kau sudah menolaknya kan? Lupakanlah." Ujarku menepuk bahunya.
"Bisa Aomine-kun berikan ponsel itu padaku?"
"Tetsu! Kau hanya akan―"
"Aku sudah mengatakan kalau aku akan melakukannya bukan, Aomine-kun?" Manik saffir itu menatapku dalam, seolah tak membiarkanku menolak perkataannya. "Kalau Aomine-kun tak mau memberikannya, aku akan mengambilnya sendiri."
Aku menatapnya, tak ada keraguan dalam manik saffir itu. Tak mendapatkan jawaban karena aku hanya berdiri mematung, Tetsu kemudian berjongkok, meraih dan membuka tasku untuk mencari ponsel itu. Setelah menemukannya, ia kembali berdiri. Tetsu kemudian membungkuk dan mengucapkan, "Terima kasih, Aomine-kun." padaku sebelum melangkah pergi.
"Hanya untuk empat puluh sembilan hari." Ujarnya lirih dan terus melangkah, tanpa menoleh.
Aku mengepalkan tangan erat sebelum melemparkannya pada jajaran loker di sampingku saat punggungnya menghilang di balik pintu. Suara keras itu terdengar mengisi kekosongan saat tinjuku beradu dengan lempengan besi pintu loker itu. Dou iu koto da? (Apa maksudnya?)
"Mukatsuku!" Aku mengumpat kesal. Inilah akhir dari kebodohan yang telah kulakukan. Aku mengucapkan permintaanku tanpa pikir panjang, bahkan tanpa memikirkan perasaanya. Sekarang, Tetsu akan semakin jauh menumpuk rasa sakitnya itu sendirian―dengan beban tambahan atas permintaanku. Bodoh! "Ore no sei da! (Ini salahku!) Chikuso!"
Duk
Dahiku berbenturan dengan pintu loker. Memejamkan mata erat, aku tak henti memukul loker tak bersalah itu. "Sial!"
.
.
Chapter one-ore-End
.
.
A/N :
Silahkan menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi *plaaakk* XDD
Yep, sampai disini dulu .. chapter aitsura akan di post satu minggu lagi hhoho benernya udah selesai sih, cuma emang sengaja kusesuaiin biar last chapter yang omae di post pas valentine :D
*bows* please, bear with it ne~ *wink*
Sankyuu udah mampir n nyempetin baca~ :*
Btw otanome, Kuroko Tetsuya o/ Happy 3101 day :D
