Sebelum usianya menginjak 11 tahun, Taeyong selalu berpikir bahwa dirinya hanya lah seorang anak biasa di antara berjuta-juta anak biasa lainnya, tidak ada yang special dalam dirinya, tidak ada hal yang benar-benar membedakannya dari anak-anak lain. Ia tidak masalah dengan fakta tersebut, tentu saja. Menurutnya, lebih baik memiliki kesamaan dengan banyak orang daripada berbeda tapi hanya sendirian.

Lalu, di ulangtahunnya yang ke 11, seseorang dengan pakaian yang menurut Taeyong aneh—jubah hitam panjang yang menyapu lantai—datang ke kediamannya sembari membawa sebuah surat, surat yang akan mengubah hidup Taeyong untuk selama-lamanya, dan juga menjelaskan maksud kedatangannya kepada kedua orangtuanya yang sama terkejutnya seperti Taeyong.

HOGWARTS SCHOOL of WITCHCRAFT and WIZARDRY

Tuan Lee yang baik,

Dengan gembira kami mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihor Hogwarts. Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan.

Tahun ajaran baru akan dimulai pada 1 September. Perwakilan staff dari sekolah kami akan menemani Anda untuk membeli semua barang yang akan Anda butuhkan selama satu tahun ke depan.

Of Charms and Potions

Various NCT Pairings

Romance, Fantasy, Friendship

NCT © SM Entertainment

Taeyong menghembuskan napasnya kasar, tangannya terkepal erat, berusaha keras menahan keinginan untuk meninju sebuah wajah berhiaskan ekspresi congkak yang kini berada di hadapannya.

Ia benar-benar membenci Nakamoto Yuta dan kroni-kroni Slytherinnya yang bodoh.

Taeyong kira, sejak berakhirnya Perang Sihir bertahun-tahun yang lalu, penindasan terhadap penyihir kelahiran Muggle sudah tidak lagi ada. Namun nyatanya ia salah, karena buktinya, selama lima tahun menjadi murid Hogwarts, dirinya masih saja mengalami penindasan.

Penindasan yang dilakukan oleh musuh bebuyutannya sejak tingkat satu, Nakamoto Yuta.

Yang membuatnya heran, pemuda bermarga Nakamoto itu seolah-olah hanya menyadari eksistensi dirinya, dan buta terhadap eksistensi para penyihir kelahiran Muggle lain di angkatannya. Tidak usah jauh-jauh, Moon Taeil, si genius dari Ravenclaw sendiri merupakan seorang penyihir kelahiran Muggle, namun nyatanya Yuta tidak pernah sekali pun menindasnya. Bahkan hubungan di antara kedua orang berbeda asrama itu bisa dibilang cukup baik.

Taeyong tidak tahu apa yang sudah ia lakukan sehingga membuat dirinya terlihat berbeda di mata Yuta. Ia tidak tahu apa yang sudah dirinya lakukan hingga membuatnya menjadi bulan-bulanan salah satu Chaser dari tim Quidditch Slytherin ini.

"Mungkin dia suka padamu?"

Taeyong langsung tanpa sadar memutar bola matanya begitu ucapan dari teman terdekatnya di asrama, Hansol, kembali terulang di otaknya. Ia memang sudah beberapa kali mengeluh pada Hansol tentang perilaku Yuta yang membuatnya kesal setengah mati, dan Hansol, dengan santainya selalu membalas setiap keluhannya dengan kalimat yang sama.

Memikirkan kemungkinan bahwa musuh bebuyutannya ini menyukainya benar-benar membuatnya merinding.

Tidak mungkin, kan?

"Minggir, Nakamoto," Taeyong akhirnya membuka mulut, mengeluarkan satu demi persatu kata lewat giginya yang terkatup rapat. Siswa Hufflepuff yang berada di tingkat lima itu berulangkali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya melalui sudut matanya, merutuk dalam hati begitu melihat bahwa ia sudah terlambat selama hampir sepuluh menit untuk mengikuti kelas Transfigurasinya.

"Kalau aku tidak mau bagaimana, Lee?" Yuta, yang masih berdiri dengan senyum congkaknya itu membalas, memberikan penekanan ketika mengucapkan marga milik Taeyong.

Taeyong menarik napas, lalu menghembuskannya secara perlahan, upayanya untuk menenangkan diri dari rasa sebal terhadap sosok pria bersurai cokelat kemerahan yang berdiri di hadapannya. Yuta beruntung karena dirinya adalah seorang Hufflepuff, kalau saja Taeyong seorang Gryffindor, dengan darah mereka yang mudah panas, ia yakin Yuta sudah terkena satu-dua mantra yang meluncur keluar dari tongkatnya. Masa bodoh dengan poin asrama yang akan dikurangi dan kemungkinan besar mendapatkan detensi.

Lagipula Taeyong tidak akan menggunakan mantra yang berbahaya, hanya mantra-mantra ringan yang mampu membuat Yuta minggir dari hadapannya, memberikannya jalan agar ia bisa bergegas menuju kelas Transfigurasinya yang telah dimulai sejak bermenit-menit yang lalu.

Tapi Taeyong bukanlah seorang Gryffindor.

Ia hanyalah seorang Hufflepuff dengan tingkat kesabaran tinggi.

"Nakamoto, bisakah kau menggangguku lain kali saja? Ini baru awal semester, demi Tuhan. Apa kau tidak punya hal lain untuk dilakukan?" Taeyong berkata dengan nada memohon, benar-benar kehabisan akal sekaligus panik karena keterlambatannya.

"Kalau kau memohon sambil bersujud di kakiku, mungkin aku akan minggir dari hadapanmu dengan sukarela, Lee," Yuta tertawa, membuat Taeyong rasanya ingin meluncurkan mantra Silencio dari tongkatnya agar tawa Yuta dapat berhenti mengganggu gendang telinganya.

Oke, masa bodoh. Aku tidak bisa terlambat lebih lama lagi, Taeyong berkata dalam hati setelah menyadari bahwa ia sudah terlambat selama 15 menit. Profesor di kelas Transfigurasinya merupakan salah satu Profesor tegas yang tidak mentolerir segala macam keterlambatan, bahkan meskipun kau adalah Harry Potter yang telah menyelamatkan dunia sihir sekali pun.

Tanpa pikir panjang, Taeyong mendorong Yuta, cukup untuk membuat pemuda Slytherin itu terdorong ke samping dan memberikannya jalan untuk berlalu dengan cepat, kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas Transfigurasi.

Mudah sekali. Mungkin aku seharusnya melakukan hal tadi sedaridulu.

Taeyong mengedikkan bahunya, memutuskan untuk tak memikirkan tentang musuh bebuyutannya itu lebih lama. Yang penting sekarang adalah fakta bahwa ia sudah terlambat selama 15 menit. Lebih, malah.

"20 menit, Tuan Lee," Taeyong menggigit bibirnya begitu mendengar suara tajam yang ditujukan kepadanya itu. Ia bahkan menghentikan langkahnya selama beberapa detik, sebelum kembali melanjutkan langkah dan mendudukan diri di samping Hansol. "10 poin dikurangi dari Hufflepuff. Kalau kau terlambat lagi lain kali, aku tak akan segan-segan untuk mengusirmu keluar dari kelas, Tuan Lee."

Taeyong menganggukan kepalanya kaku, diam-diam mencubit lengan Hansol, yang kini tengah berusaha keras untuk menahan tawa.


"Kenapa kau tak bilang bahwa Nakamoto sudah kembali dari liburannya? Aku kira aku masih dapat menikmati masa-masa tenangku selama beberapa hari lebih lama, tapi lalu Chaser sialan itu menunjukkan batang hidungnya di hadapanku," Taeyong menggerutu, menatap menu makan siangnya dengan tak berselera. Kini ia sedang berada di Aula Besar, di meja para Hufflepuff, ditemani oleh Hansol yang juga tengah menikmati makan siangnya. "Padahal aku sudah berharap ia tidak akan kembali tahun ini, melanjutkan pendidikan di Dumstrang atau apa, mungkin Beauxbatons, tapi tentu saja ia kembali. Tentu saja ia datang lagi untuk merusak hari-hariku seperti tahun-tahun sebelumnya."

Bukannya membalas ucapan Taeyong, Hansol malah sibuk menyuapi dirinya dengan sendok demi sendok dari menu makan siangnya. Ia bahkan tak menoleh sama sekali selama Taeyong sibuk berbicara, atau lebih tepatnya mengeluh, di sampingnya.

"Taeyongie!" Taeyong hampir saja melonjak karena terkejut, begitu mendapati seseorang yang tiba-tiba datang, merangkul pundaknya dengan begitu akrab, serta memanggil namanya tepat di sebelah telinganya dengan suara yang kelewat keras dan ceria. Tanpa menolehkan kepala pun, Taeyong langsung tahu siapa sosok yang tengah merangkulnya kini.

"Ten," Taeyong membalas sapaan pria bersurai hitam legam yang kini mendudukkan diri di samping kanannya yang memang tidak ditempati oleh siapa pun itu dengan antusiasme yang minim, bahkan nyaris tidak ada. Ten adalah seorang siswa asrama Gryffindor yang berasal dari Thailand. Nama lengkapnya memang terlalu sulit untuk diucapkan oleh lidah orang awam, dan karena itulah semua orang memanggilnya dengan Ten, ditambah dengan fakta bahwa ia memang lebih sering dipanggil dengan nama panggilan tersebut sejak kecil.

Taeyong ingat bahwa awal mula kedekatannya dengan Ten adalah ketika asrama Hufflepuff dan Gryffindor berbagi jadwal kelas Herbologi yang sama di tahun ketiga, dan Ten, yang benar-benar payah dalam pelajaran Herbologi, secara kebetulan mengerjakan pekerjaannya tepat di samping Taeyong, yang bisa disebut lumayan dalam ilmu tentang tumbuhan-tumbuhan ajaib di dunia sihir tersebut.

Singkatnya, Taeyong membantu Ten untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya di tahun ketiga itu, bahkan pada ujian-ujiannya, dan sejak saat itu, Ten selalu menempel pada Taeyong di setiap kesempatan yang ada.

"Hai padamu juga, Hansol," Ten beralih untuk menyapa Hansol dengan nada yang sama cerianya, yang hanya dibalas oleh Hufflepuff bersurai pirang keemasan itu dengan lambaian tangan ala-kadarnya. "Omong-omong, Tae, apa kau tahu bahwa Bakamoto Yuta diangkat menjadi kapten tim Quidditch Slytherin? Aku baru mendapat kabarnya dari Sicheng beberapa menit yang lalu. Kukira kau harus tahu."

"Apa?" Taeyong membulatkan matanya kaget begitu mendengar informasi yang keluar dari mulut Ten. "Nakamoto yang itu? Nakamoto Yuta? Terpilih menjadi kapten tim Quidditch?"

Ten menganggukan kepala, lalu mengulurkan tangan untuk mengambil kentang goreng dari piring Taeyong. "Aku kaget sekaligus kesal sekali ketika mendengarnya. Menurutku Jaehyun lebih pantas untuk menjadi kapten daripada si Bakamoto itu. Tapi well, dia sudah menjadi seorang Prefek."

Dalam hal membenci Yuta, Ten hanya kalah sedikit bila dibandingkan dengan Taeyong. Sesungguhnya Yuta tidak pernah melakukan apa pun terhadap pria kelahiran Thailand tersebut, namun sejak memproklamirkan diri sebagai sahabat Taeyong, Ten ikut-ikutan membenci Yuta yang kerap menindas sahabatnya itu. Setiap kali Yuta dan Ten bertemu, terutama ketika ada Taeyong di tengah-tengah mereka, pasti keduanya akan terlibat dalam sebuah perang, lebih tepatnya perang ejekan.

Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa Ten benar-benar mengagumi sosok Jung Jaehyun, Prefek dari asrama Slytherin, sekaligus Seeker dari tim Quidditch asrama ular tersebut.

Jaehyun memang populer, semua murid Hogwarts tahu tentang dirinya. Keluarganya merupakan salah satu keluarga penyihir terhormat, salah satu keluarga penyihir berdarah murni tertua di dunia sihir. Keluarganya bahkan disebut-sebut bersepupuan dengan keluarga Sirius Black, si ayah baptis dari Harry Potter, pahlawan dunia sihir.

Meskipun dirinya adalah seorang Slytherin, Jaehyun tidak memiliki sifat arogan seperti kebanyakkan Slytherin lainnya. Ia cukup ramah kepada siapa saja, dan kualitas-kualitas Slytherin yang ia miliki hanya-lah kecerdikannya, sifat ambisiusnya, dan fakta sederhana bahwa Jaehyun sendiri-lah yang meminta pada Topi Seleksi untuk meletakkannya di Slytherin, sama seperti sebagian besar keluarganya.

Meskipun sudah lima tahun menempuh pendidikan di sekolah yang sama, Taeyong tidak pernah benar-benar berinteraksi dengan pemuda bermarga Jung itu. Meskipun sama-sama berdarah Korea—Taeyong biasanya langsung mendekatkan diri dengan orang-orang yang berasal dari tempat yang sama dengannya—ia tidak pernah benar-benar tertarik untuk mendekatkan diri dengan Jaehyun.

Menurutnya, ada sesuatu yang aneh dalam diri Jaehyun. Sesuatu yang tersembunyi, namun ia tidak tahu apa.

Seolah-olah semua sikap baik Jaehyun selama ini hanya-lah sebuah topeng yang dipasangnya. Seolah-olah Jaehyun sesungguhnya tidak se-sempurna yang ditunjukannya di depan publik.

Well, anggap Taeyong berlebihan. Tapi tetap saja ia tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman yang selalu dimilikinya ketika berdekatan dengan Jaehyun, perasaan tidak nyaman yang muncul dalam dirinya setiap kali melihat senyum dari Prefek Slytherin itu.

"Oh, Hansol, aku baru ingat bahwa Johnny sempat mencari-carimu tadi," Hansol yang sedaritadi hanya mendengarkan percakapan antara Ten dan Taeyong dalam diam, menolehkan kepala dengan cepat begitu mendengar ucapan Ten. "Kalau tidak salah ia mencarimu karena tugas Herbologi. Ia sibuk di perpustakaan sejak kemarin malam, mengerjakan tugas Herbologi yang harus dikumpulkan hari ini."

"Kenapa ia selalu memiliki masalah dengan tugas Herbologinya, sih," Taeyong dapat mendengar Hansol menggumam pelan, sebelum membereskan buku-buku dan beberapa lembar perkamen miliknya yang sebelumnya tersebar di atas meja. Hansol memang tadinya berniat untuk makan sambil mengerjakan tugas Sejarah Sihirnya sedikit demi sedikit. Tak butuh waktu lama, Hansol sudah berdiri dengan barang bawaan yang berada di pelukannya. "Aku duluan, Tae. Sampai bertemu di kelas Jimat dan Guna-Guna nanti."

Taeyong hanya menganggukan kepalanya, meskipun ia sendiri ragu apakah Hansol melihatnya atau tidak, karena sosok temannya itu sudah meninggalkan meja dengan langkah cepat, melangkah keluar dari Aula Besar untuk pergi mencari seorang pria keturunan Korea-Amerika dengan nama Johnny Seo, yang merupakan teman satu asrama Ten.

Johnny adalah sahabat Hansol sejak kecil, keduanya bertetangga, dan sama-sama menerima surat penerimaan mereka di Hogwarts di ulangtahun mereka yang ke-11, meski pada akhirnya dipisahkan di asrama yang berbeda. Meskipun begitu, Johnny dan Hansol tetap saja lengket seperti lem, selalu dapat ditemukan bersama ketika sedang tak ada kelas. Mereka bahkan sering mengunjungi ruang rekreasi satu sama lain. Johnny adalah tamu tetap di ruang rekreasi Hufflepuff, begitu pula sebaliknya.

Taeyong mengedarkan pandangannya, hanya untuk menemukan Aula Besar yang sudah hampir kosong. Ia memang baru datang ke Aula Besar ketika waktu makan siang sudah hampir usai, semua karena omelan panjang lebar yang ia terima dari Profesor Transfigurasinya.

Padahal selama seminggu terakhir hidupnya benar-benar tenang, tanpa gangguan dari Yuta dan kawan-kawan Slytherinnya. Yuta memang memperpanjang masa liburannya selama satu minggu, karena keperluan penting yang mengharuskannya tinggal di Jepang, kampung halamannya, untuk lebih lama. Taeyong tidak peduli dengan alasan dibalik liburan Yuta yang diperpanjang, yang ia pedulikan hanyalah fakta bahwa Yuta masih sama menyebalkannya seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Bakamoto masih menindasmu, Tae?" Suara Ten menyadarkan Taeyong dari lamunannya, dan Taeyong baru sadar bahwa menu makan siangnya telah habis tak bersisa, padahal ia ingat sekali bahwa beberapa menit yang lalu masih ada beberapa potong chicken wings, sosis serta kentang goreng di atas piringnya. Ten. "Katakan saja padaku, aku akan membalas semua perlakuannya."

"Ya, ya, balas saja ia dengan mengalahkan Slytherin secara telak di pertandingan Quidditch antar asrama nanti, Ten," Taeyong berkata, menepuk-nepuk kepala Ten. Sama seperti Yuta, Ten adalah seorang Chaser untuk tim Quidditch Gryffindor. Menurut Taeyong, yang tidak terlalu menaruh perhatian pada Quidditch, kemampuan keduanya bisa dibilang setara. "Aku harus mengambil buku Jimat dan Guna-Guna sekarang kalau tidak mau terburu-buru nanti. Kau tidak ada kelas?"

"Ada, Rune Kuno," Ten menghela napas begitu nama mata pelajaran itu keluar dari mulutnya. "Aku benar-benar menyesal telah memilih mata pelajaran itu di tahun ketigaku. Harusnya aku memilih Satwa Gaib saja, bukannya Rune Kuno. Aku memang senang menyiksa diri sendiri. Bodoh."

Taeyong tersenyum simpati, meremas pundak Ten pelan sebelum bangkit dari duduknya. "Ayo, aku butuh ke ruang rekreasi dan kau harus ke kelas Rune Kuno, kan?"

"Siap, tuan Prefek."

Oh, ya. Tahun ini, Taeyong memang mendapatkan sebuah kejutan kecil di dalam amplop yang ia terima dari Hogwarts. Di dalamnya tidak hanya terdapat daftar buku-buku pelajaran yang akan ia butuhkan untuk tahun kelima, namun juga sebuah lencana kecil berhiaskan huruf P.


"Kau terlihat… berantakan."

"Halo, Doyoung. Terimakasih atas pujiannya."

"Apa yang kau lakukan, sih? Mengunci diri di dalam bilik toilet, lalu keluar dari dalamnya dengan rambut dan wajah tak karuan begitu. Kau pasti sedang merencanakan sesuatu, ya? Membuat ramuan-ramuan aneh lagi, kan?"

"Hm? Mungkin," Siswa Ravenclaw bersurai pirang yang bernama Moon Taeil itu berkata dengan nada setengah melamun, kembali melangkahkan kaki memasuki bilik toilet yang sudah menjadi tempatnya berada selama beberapa jam terakhir.

"Astaga, Moon. Kau tahu sudah berapa kelas yang kau lewati hari ini? Profesor Binns yang biasanya tak peduli dengan sekitarnya saja menanyai tentang ketidakhadiran murid geniusnya. Tapi kau malah—"

"Jam berapa sekarang?"

"Huh?"

"Jam, Doyoungie. Jam."

"Dua? Tiga? Entah, aku tidak membawa jam," Doyoung mengedikkan bahu, sudah bersiap untuk kembali meneruskan ceramah panjangnya, kalau saja Taeil tidak berjalan keluar dari dalam bilik toilet dengan sebuah kuali tembaga, dan Doyoung dengan cepat mengenali kuali tersebut sebagai kuali yang bisa mengaduk sendiri, tanpa membutuhkan tenaga dari pemiliknya.

Doyoung berjengit begitu mencium aroma dari ramuan yang berada di dalam kuali, bukan karena aromanya yang tidak mengenakkan.

Malah sebaliknya.

"Moon, jangan bilang kalau kau baru saja membuat—"

"Seorang anak tahun keenam tiba-tiba datang padaku dan memaksaku untuk membuat Amortentia," Taeil memotong ucapan Doyoung, dengan tatapan yang sepenuhnya terfokus pada kualinya yang masih mengaduk sendiri isinya. "Dan aku berpikir, kenapa tidak? Aku memang belum pernah membuat Amortentia, tapi tampaknya percobaan pertamaku ini berhasil."

"Kau ini genius, tapi kenapa bodoh juga disaat yang bersamaan?" Doyoung menggerutu, melangkahkan kaki untuk berdiri di samping Taeil, menatap ramuan Amortentia yang berada di dalam kuali. "Anak tahun keenam? Siapa? Kau kenal?"

"Entahlah," Taeil mengedikkan bahu. "Kalau tidak salah namanya Mary? Atau Anne? Atau Mary-Anne? Atau Jane? Aku tidak ingat. Tapi yang jelas ia memberitahuku bahwa ia ingin memberikan ramuan ini pada Kun."

"Kun? Kun kita? Ya Moon Taeil! Kau sudah tidak waras, ya? Kau rela mengumpankan temanmu sendiri?" Doyoung memukul lengan Taeil dengan keras, tidak mempedulikan raut kesakitan yang muncul di wajah Taeil. Ia memukuli lengan teman seasramanya itu selama beberapa kali, sebelum akhirnya berhenti setelah merasa puas. "Buang ramuan ini sekarang juga, Moon. Aku tak akan pernah membiarkan Kun meminumnya."

"Siapa bilang Kun akan meminumnya? Anak tahun keenam ini jelas-jelas bilang bahwa ia akan memberikannya pada Kun lewat cokelat, jadi secara teknis, Kun akan memakannya, bukan meminumnya."

"Ya! Siapa yang peduli Kun akan meminum atau memakan? Kau mau melihat sahabatmu sendiri terkena efek samping dari ramuan cinta paling kuat di seantero dunia? Kau mau melihatnya gila karena Amortentia?"

"Aku hanya coba-coba," Taeil berkata dengan nada datar, meraih kualinya, menghentikan kualinya itu dari kegiatan mengaduk. Ia mengambil sebuah botol kaca berukuran kecil dari dalam saku jubahnya, memasukkan sedikit dari ramuan di dalam kuali itu ke dalam botol kaca tersebut, menutup tutup botol dengan rapat, dan kembali memasukannya ke dalam saku jubah. "Aku tidak akan benar-benar memberikannya pada Mary—atau Anne, atau Jane, masa bodoh."

Doyoung menghela napas, menatap Taeil yang kini tengah merapalkan mantra untuk mengosongkan isi kualinya. Ia sudah berteman dengan sosok yang kerap kali dipuji sebagai si genius ini sejak tahun pertamanya di Hogwarts, namun Doyoung sama sekali tak pernah mengerti Taeil.

Taeil, dengan wajahnya yang sering terlihat tanpa ekspresi, hingga orang-orang mengira bahwa Taeil selalu melamun setiap saat, sangat pandai dalam menyembunyikan pikiran dan perasaannya. Tidak pernah ada yang tahu apa isi dari kepala Taeil, apa maksud dari segala sikapnya yang kadang-kadang terlalu sulit untuk dimengerti. Semua orang selalu mengatakan bahwa perilaku Taeil adalah sikap normal para genius, dan selalu memilih untuk meninggalkan Taeil dengan dunianya sendiri.

Tapi tidak dengan Doyoung.

Ia ingin ikut masuk ke dalam dunia Taeil.

Ia ingin mengerti.

TBC.


Halo!

Meskipun di summary ditulis kalau fanfic ini adalah fanfic dengan pairing Jaeyong, masih bisa kok kalau misalnya mau request pair lain, kayak misalnya YuTae atau TaeTen, mungkin? Karena di chapter ini mereka sendiri udah ada porsinya dan tipe interaksinya masing-masing. Selain Jaeyong, pairing yang lain juga masih belum ditentuin, jadi masih bisa request di kolom review.

Semoga suka, dan maaf kalo ada salah-salah dengan istilah-istilah sihirnya. Kayaknya perlu baca buku Harry Potter lagi deh :')

Thankyou for reading!