Assassination Classroom (c) Matsui Yuusei
Sink a Song (c) Roux Marlet
Alternate Reality, 3-nen-E gumi utatan
For #AnsatsuHalloweenPartII
.
.
.
Author's Note:
Fanfiksi kedua Roux di FAKI! Setting di sini mirip canon dengan pengambilan waktu antara kelulusan SMP dengan tujuh tahun kemudian dan adanya grup vokal yang terdiri dari lima orang pentolan kelas 3-E.
.
.
.
Chapter 1: Ambivalence
.
.
.
.
.
Ada yang pernah berkata, logika tidak akan berjalan tanpa logistik.
Nagisa Shiota mengakui kebenarannya. Dia mencangklong ranselnya sambil berjalan cepat keluar kelas, pikirannya tertuju hanya pada satu tempat: kantin. Sekarang sudah hampir pukul setengah dua siang dan jam makan terakhir pemuda berambut sewarna langit itu terhitung belasan jam sebelumnya. Rasanya sia-sia dia berangkat ke sekolah dengan kondisi perut kosong—hanya beberapa persen yang dia ingat dari lima mata pelajaran hari itu. Perutnya perih sekali sejak satu jam terakhir dan tanpa sempat memikirkan untuk mengunyah antasida dia sudah memutuskan akan membeli makanan apa di ruangan paling pojok dari gedung sekolahnya itu.
Nagisa mengeluh pelan ketika menyaksikan lautan manusia telah mengepung area yang penuh harta karun itu. Salahkan sistem jam pelajaran di SMA-nya ini yang memaksa para siswa untuk belajar tanpa istirahat selama lima jam dari pagi. Tidak ada yang mau mengalah, semua berdesakan dengan semangat pantang menyerah. Bahkan Nagisa, yang meski tak cukup semampai untuk bisa dilihat namun mestinya tetap mencolok dengan warna rambut seperti itu, juga ikut terdesak dan terdorong. Mana peduli dia itu artis lokal atau bukan, saat manusia sedang lapar kekalapannya bisa melebihi hewan bunting yang anaknya diusik.
Hari itu hari Sabtu dan sekolah memang hanya berlangsung setengah hari seperti biasanya. Nagisa mungkin hanya sedang sial karena terlambat bangun tadi pagi, meski ibunya sudah membangunkannya berkali-kali. Dia teramat lelah sejak semalam, apalagi ketika bangun tadi pagi ada hal yang sangat mengganggunya—
—ponselnya bergetar dan Nagisa meraih, mengeluarkannya dari saku. Dia mengernyit.
Ah, ada pesan obrolan dari orang itu.
Orang yang semalam harusnya jadi sasaran telak dari rencananya yang jitu. Bukan macam-macam, hanya teguran yang tak membuat nyawa terancam. Namun mangsa yang tidak diburu malah yang kena batu.
"Nagisa-kun, kau harus datang ke sini segera. Isogai dalam keadaan genting..."
Apa lagi itu?
Pesan-pesan berikutnya muncul dengan cepat, meletup-letup dalam ponselnya.
"Kau harus lihat keadaannya..."
"Cepat datang."
"Buruan!"
"Kereta jam 13.45 masih bisa terkejar."
Apa yang terjadi dengan mantan ketua kelasnya di tahun terakhir SMP-nya itu? Semalam Hiroto Maehara sakit perut terus-menerus sampai nyaris tidak sanggup naik ke panggung untuk bernyanyi, dan hari itu Yuuma Isogai yang kena musibah—atau apapun itu?
"Ada apa dengan Isogai-kun?" Nagisa mengetik balasan.
"Datanglah cepat." Tanpa menjawab pertanyaan, balasan Karma Akabane sama menyebalkan dengan orangnya. "Pertemuan kita juga dimajukan hari ini, Kayano sudah ada di sini juga. Aku bahkan belum sempat pulang dari sekolah."
Oh. Membaca nama gadis itu membuat Nagisa langsung berputar haluan menuju gerbang keluar sekolah, bertekad membeli makanan di dekat stasiun saja nanti, menyimpan gerutu dalam hati sambil setengah mengabaikan fakta bahwa hari itu Karma rajin masuk kelas.
Kaede Kayano yang bertindak merangkap manajer dalam grup mereka bisa begitu cerewet kalau sampai pertemuan rutin mereka ditunda karena satu orang datang terlambat. Tapi, hei, salah sendiri reschedule dadakan seperti ini. Mereka baru saja manggung semalam, kenapa tidak ada istirahat barang sehari? Dan mestinya yang lain maklum karena sekolah Nagisa punya sistem yang lain sendiri, dijadwalkan masuk kelas di akhir pekan sampai siang hari. Hampir sama seperti sistem di Kunugigaoka sih, tapi Karma selalu sudah pulang sebelum matahari berpuncak—kalau dia tidak membolos, sih.
Panjang umur. Ada pesan baru dari yang sedang dibicarakan sementara Nagisa sudah berada di jalan menuju stasiun terdekat.
"Isogai ditonjok orang."
Nagisa berhenti melangkah dan membulatkan mata, hampir meloloskan sebuah seruan kaget.
.
.
.
.
.
Ibu Nagisa bilang saat itu akan tiba, tapi rasanya dia tidak siap kalau datangnya sekarang. Apalagi semalam ia dan 3-nen-E gumi utatan baru saja memeriahkan pesta ulang tahun Norita Yuuji yang digelar di gedung mahal.
Nagisa Shiota setengah mengurungkan niatnya untuk pergi ke tempat yang dimaksud Karma karena sesuatu yang terjadi pada dirinya sendiri pagi tadi, tapi dia khawatir dengan Isogai. Bagaimana bisa si ikemen yang berbudi pekerti baik itu bisa ditonjok orang? Dan yang lebih penting lagi, siapa yang memukulnya? Karma tidak membantu—sepertinya dia sengaja tidak membaca pesan dari Nagisa setelahnya.
Kereta sudah hampir tiba dan Nagisa sudah memegang sebungkus onigiri yang baru dibeli. Perutnya sudah tak lapar lagi. Pertentangan pikiran melanda hatinya dan saat akhirnya Nagisa memutuskan untuk berbalik lalu pulang saja, seseorang di belakangnya memekik kaget.
"Nagisa-kun..." gadis itu terkesiap, tampak salah tingkah. Si pemuda mengenalinya sebagai Tsuchiya Kaho yang dahulu adalah teman seangkatannya di SMP Kunugigaoka. Melirik seragamnya, dia melanjutkan ke sekolah yang sama dengan Karma.
"Aku ingin kau memberikan ini pada Maehara."
Nagisa menaikkan alis melihat sebuket bunga di tangan Kaho. Hal terpenting yang diingatnya dari gadis itu adalah kejadian memalukan yang dialaminya bersama pacar barunya di bawah terpaan hujan saat kelas tiga SMP—setelah dia memutuskan hubungan dengan Maehara secara sepihak.
"Bu-bukannya ini dari aku, lho!" wajah gadis itu memerah dalam sekejap dan dia mengalihkan pandangan. "I-ini... seorang teman sekelasku adalah fansnya, dan ketika dia tahu dulu kami satu sekolah..." dia berhenti, kesulitan mencari kata, sementara Nagisa diam dan menunggu. "Intinya, bunga ini untuknya! Tolong berikan padanya."
Gadis itu menyurukkan buket bunga itu ke tangan Nagisa yang bebas dari onigiri dan langsung ambil langkah seribu. Tidak ada kartu apapun pada buket itu, dan Nagisa hampir yakin bahwa Kaho sendirilah yang ingin memberikannya pada Maehara.
Bagaimana bisa begitu? Dahulu Maehara pernah dicampakkan ke tanah secara harafiah oleh Kaho—yang adalah pacarnya, entah yang keberapa.
Nagisa memandangi bunga di tangannya dan ambivalensinya buyar seketika. Kereta yang ditunggu sudah tiba. Dia harus datang ke tempat itu dan menyampaikan bunga dari si penggemar Maehara.
Sejak debut 3-nen-E gumi utatan setelah kelulusan SMP setahun yang lalu, popularitas Hiroto Maehara memang yang paling melejit di antara mereka berlima—dalam banyak arti. Lebih banyak fans baru, tapi tidak ada di antara deretan mantan sang casanova yang tidak menjadi haters. Maehara sudah terbiasa dapat surat kaleng yang dianggapnya remeh...
...dan kejadian semalam membuat Maehara berpikir lagi, rupanya ada haters yang berani bertindak sedemikian ekstrem.
Nagisa tidak bisa meluruskan—tidak, selagi Karma masih bisa memasang tampang innocent seperti itu. Jadi biarlah Maehara berpikir bahwa pencahar yang ada dalam makanan semalam memang berasal dari haters.
Perjalanan tidak makan waktu lama dan tibalah Nagisa di kompleks elit Kunugigaoka—onigirinya yang sempat terlupa akhirnya dibuka. Dia perlu energi kalau mau jalan kaki ke tempat itu.
Pepohonannya masih sama, demikian pula hewan-hewannya. Gunung itu tetap menjulang lestari, tak peduli ada seseorang yang pernah mati diasasinasi. Keji. Kenyataan itu yang selalu membuat Nagisa merasa enggan kembali ke sini.
3-nen-E gumi utatan sebenarnya punya markas di belakang rumah Karma di tengah Kota Tokyo, namun entah dari siapa mulanya, tempat berkumpul mereka dipindah ke gedung kelas lama mereka yang dibeli dengan uang hadiah dari negara. Bahkan nama grup vokal mereka yang dibentuk dalam rangka festival sekolah untuk menyelamatkan kelas 3-E dari kalah sebelum berperang dipertahankan saat mereka go public.
Satu setengah tahun sudah berlalu sejak Koro-sensei meninggal dan tempat itu, yang adalah memoar sang guru, belum juga direnovasi—sebagian lantaran tidak ada yang menggunakannya, sebagian lagi karena anak-anak itu tidak ingin mengubah gedung yang sedemikian konvensional.
Namun Oktober sudah tiba dan cuaca sering jadi tak menentu. Selagi Nagisa berjalan dengan pemandangan gedung kelasnya di ujung mata, tetes air turun dari langit tanpa peringatan. Dipercepatnya langkah, kembali memikirkan Isogai, juga Maehara, apalagi Karma.
Heran rasanya beberapa hal terjadi sekaligus dalam hari itu: Isogai ditonjok orang, Maehara dapat bunga dari mantan, Karma masuk sekolah di hari Sabtu, dan Kayano seenak jidatnya mengubah jadwal. Nagisa menarik napas lega setelah sampai di bawah kanopi pintu depan gedung itu dan sudah setengah jalan untuk membuka kenopnya ketika seseorang membukanya duluan dari dalam.
"Nagisa-kun..."
Suara itu membuat satu perasaan di lubuk hati Nagisa mendesak keluar dengan alasan yang absurd. Sudah terlambat untuk berbalik sekarang, dia harus jalan terus dan menghadapi semua ini.
Langit yang berawan gelap dan penerangan minim dari balik pintu tidak bisa menyembunyikan raut Yuuma Isogai yang berlebam di kelopak mata. Anehnya, pemuda yang dulunya ketua kelas itu tersenyum.
"Nagisa sudah datang!" Isogai berseru ke dalam.
"Isogai-kun..." kalimat pertama Nagisa di hari itu meluncur keluar. Sang ikemen menoleh lagi padanya dengan terkejut.
"Nagisa-kun...?"
"...siapa yang menonjokmu?"
"...ada apa dengan suaramu?"
.
.
.
.
.
To be continued.
