NARUTO © Masashi Kisimoto
The Black Hole © Lemmiere Chrys
Sebelumnya, author tidak bermaksud untuk mem-bashing para tokoh disini. Dan satu lagi. Yang alergi yaoi :p sebaiknya klik tombol back. Jangan malah ngasih flame picisan. Anda sudah saya peringati.
Genre: Hurt/Comfort, Family
Pair: NaruKiba
Rate: M for lemon, language, and violence
Warning: Deathfic, Typos (keyboadku udah jebol), AU, OOC, OC, yaoi, violence, dan…lemon implisit.
Summary: Lubang hitam. Hatinya kini sudah bolong, karena lubang hitam itu makin membesar seiring bertambahnya kepedihan yang ia alami. Kepedihan yang mendalam, hingga membuat lubang itu menjadi hitam pekat.
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
=x=
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
"Bagaimana? Apakah sakit?" pria berambut kuning itu menampakan seringainya, seringai jahat yang sengaja dibuatnya untuk membuat sosok remaja di depannya itu meringkuk ketakutan—dan kesakitan.
Remaja itu-dengan tato segitiga merah di pipinya—terus menahan sakit. Ya, Inuzuka Kiba. Di usianya yang masih remaja itu, ia sudah dipaksa menerima semua perlakuan dari orang itu. Pamannya! Ya! Hidupnya menjadi kacau sejak ibunya meninggal setelah melahirkan adik perempuannya, dan setelah itu ayahnya entah pergi kemana, seenaknya saja meninggalkan kedua Inuzuka muda itu pada adiknya, Deidara.
Salah! Itu sebuah kesalahan besar. Kau tahu Deidara? Kolektor benda antik yang suka berjudi, langganan alkohol, dan…homoseks. Beruntung bagi Kiba bahwa sampai sekarang Deidara tidak menyentuh yang macam-macam dari tubuh Kiba. Si kuning itu lebih tertarik dengan pacarnya, Hidan. Namun hal itu tidak meringankan beban si sulung Inuzuka.
Dipukuli dan dipukuli tiap harinya. Tamparan, sudah. Pukulan, selalu. Ditendang, sudah. Disayat, sudah. Apalagi beban yang harus dipikul olehnya? Jawabannya sederhana. Kirei. Inuzuka Kirei—adik perempuan Kiba yang baru berumur sepuluh tahun itu—Dei memanfaatkan kehadirannya untuk dijadikan borgol bagi Kiba agar tidak macam-macam.
"Katakan padaku, bodoh. Berjanjilah untuk selalu pulang kerumah." seringai menyeramkan itu masih menghiasi wajah Deidara.
Kiba hanya mengerang, sakit merasakan ngilu pada tiap inchi tubuhnya itu, "Y-ya, janji…" kemudian ia berhasil mengeluarkan suara—bahkan nyaris bisikan.
"Lalu kemarin itu kau kemana, un?! Beruntung bagimu karena aku tidak berbuat yang macam-macam pada adik tersayangmu itu!" Dei menjambak Kiba, meneriakinya tepat di depan wajah.
"Aku ha-hanya mengikuti pelajaran tambahan sampai malam di sekolah. L-lalu ingat kan semalam…semalam ada badai. Aku tak berani pulang kerumah, ma-maka kuputuskan untuk menginap dirumah Lee…" ia berusaha menjelaskan, menyusun kata-kata dengan sebaik mungkin agar Deidara tidak menganggapnya berbohong.
Namun kelihatannya percuma, "IDIOT!" ia menghentakkan kepala Kiba ke ubin. Kiba meringis, sedikit dirasakan pandangannya berkunang-kunang karena benturan dengan ubin. "Hanya karena badai kau tidak berani pulang kerumah, hah? Tikus saja cukup berani untuk melintasi got-got kotor di tengah badai, dasar bayi pengecut!" mata Deidara menatap liar pada Kiba, murka setengah mati. Emosinya meledak-ledak saat itu, ditambah lagi semalaman ia telah menegak habis botol-botol vodka.
"Hey bocah, dengarkan aku—" PLAKK! Ditamparnya dengan keras pipi kanan Kiba, "Kau sama pengecutnya dengan ayahmu itu, kau tahu?" ia berbisik di telinga Kiba.
Remaja itu hanya bisa menatap nanar, kosong. Sempat-sempatnya saja si kuning brengsek itu menghina ayahnya! Memang, Kiba benci ayahnya. Benci, sangaaat benci. Kau bayangkan saja, bagaimana rasanya ditinggal orang tua, lalu dititipkan pada pria bejat ini. Namun Kiba masih hormat sebagai seorang anak, dan kata-kata Deidara barusan rasanya sedikit menyengat telinga Kiba.
"Ayah. Tidak. Pengecut, Dei." Kiba berkata mantap, seolah-olah telah mendapat kekuatannya lagi.
"Aha? Oh ya? Lalu apa namanya kalau bukan pengecut, dear? Ia pergi begitu saja tanpa alasan, meninggalkanmu dan adikmu disini—bersamaKU. Bahkan Kirei-mu yang manis itu, dulu ia masih sangat kecil bukan? Dan ayahmu meninggalkan dia disini dalam kondisi sakit. Amat sakit sampai-sampai bila aku tak menolongnya bocah itu pasti akan mati." Lancar sekali kalimat itu keluar dari mulutnya.
"Hentikan. Hentikan itu, Dei. Sampai kapanpun ayah bukanlah orang yang pengecut." Kiba bersikukuh.
Deidara mendesah, "Well, well, terserah kau saja. Biarpun kau berkali-kali membela kakakku itu, dia tak akan kembali lagi kemari pastinya," ia mulai berdiri, "Oh ya. Tunjukkan bahwa kau anak yang sopan, red fang. Panggil aku paman. Ok?" ia tersenyum simpul sambil memberi tendangan pada rusuk Kiba, lalu meninggalkannya begitu saja. "Nanti jangan berani-berani pulang telat, un. Aku berangkat. Jaa~" Ucapnya manis sambil mengambil kopernya dan keluar dari flat apartemen kecil ini. Urusan bisnis pastinya.
Masih merintih—meraba rusuknya yang ngilu—Kiba bangkit sambil berpegangan pada kursi. Diliriknya jam dinding. Great. Jam 7. Ia sudah terlambat ke sekolah. Namun bagaimanapun, ia harus datang. Nanti siang ada ulangan kimia yang mau tak mau harus diikutinya. Dengan langkah gontai, ia membersihkan dengan cepat luka-lukanya , tak sempat sarapan barang satu lembar roti pun, ia berangkat. Bahkan ia lupa menulis pesan bahwa ia telah berangkat sekolah untuk adiknya yang terbaring sakit di tempat tidur. Kiba pun berlari-lari kecil menuju halte bus.
Luka di tubuhnya memang selalu sukses ia tutupi memakai make up dan segala macamnya. Namun luka di bathinnya tetaplah menganga dengan lebar.
.
.
.
KIBA POV
"Ngghhh…." aku meregangkan tangan, berusaha menyingkirkan semua rasa pegal ini.
Dammit! Rasa ngilu yang tadi pagi belum hilang, justru harus ditambah dengan semua pekerjaan ini. Geez~ mengepel lantai gedung olahraga sebesar ini dan sendirian pula, kapan selesainya! Ini memang gara-gara si kuning brengsek itu. Kalau saja tadi tidak pakai acara pukul-pukul, pasti aku tak akan telat sampai sekolah! Aaah menyusahkan!
Aku masih terus menggerutu dalam hati, walaupun untungnya pekerjaanku—ralat, hukuman—ini sudah hampir selesai. Aku tinggal mengembalikan alat-alat kebersihan pada tempatnya.
"Yehaa akhirnya… pulang…" aku bersorak lega saat melewati gerbang sekolah. Namun rupanya belum puas aku merasa lega, dua sosok remaja lelaki muncul dari tikungan jalan.
"Whoa… si taring merah rupanya…" ucap si pucat berambut indigo itu.
"Sakon, sepertinya aku akan mendapat uang saku tambahan sore ini. Khehehe.." si gendut terkekeh licik.
"Uang saku apa? Aku tidak punya. Seharian ini aku bahkan tidak jajan apapun. Kalau kalian ingin merampas, rampas saja dari anak orang kaya. Di dalam sekolah masih ada duo Hyuuga itu kok." Ucapku santai. Yah, aku memang tidak bohong.
"Eeeh kau menolak memberikan, huh?" si gendut tampak sangar.
"Peras saja dia sampai seluruh uangnya keluar, Jirobou!" lelaki pucat bernama Sakon itu menyeringai.
"Ya! Seperti memeras kain lap yang basah!" Jirobou mulai mendekat kepadaku. Aku yang sudah tau rencana mereka daritadi refleks berlari lawan arah dari mereka.
"Cih, merepotkan!" ok, dan kurasa mereka mulai mengejarku.
Bagaimanapun, aku lebih lincah dari mereka, sampai ketika aku menabrak seseorang saat berbelok ke tikungan jalan.
"Darn it, sakiiiit…" orang yang kutabrak itu tampak meringis sambil mengelus-elus bokongnya.
"Ah! Ma—waah!" belum sempat aku meminta maaf, Jirobou sudah menggenggam erat lengan kiriku, mematikan tubuhku hingga tak bisa bergerak dalam pitingannya.
"Kudapatkan kau, bocah!" Sakon terkekeh.
"Lepaska—" BUGH! Satu kepalan tangan kecil namun kuat menghantam sisi kiri wajahku.
"Eeeeh? Apa-apaan ini! Kenapa kalian malah berkelahi, oy!" pemuda yang tadi kutabrak justru protes melihat aku sibuk berkutat dengan kedua mahluk sialan itu.
"Diam kau! Ini urusan kami, kuning!" Sakon menggeram.
"What?! Kuning?! Sebutan apa itu!" langsung saja pemuda yang berambut kuning itu—oh, ini mengingatkanku akan Deidara—menjotos wajah Sakon. Kepalan tangannya sukses mendarat dengan lancar dan keras di hidung Sakon, dan sepintas aku mendengar bunyi KREKK!
"Adaaow! Hi-hidungku! Arrh sialan kau! Ji-Jirobou, kita sudahi saja!" Sakon mundur terhuyung-huyung. Darah perlahan-lahan mengalir dari kedua lubang hidungnya. Spontan, Jirobou melepaskan cengkramannya pada tubuhku dan segera merangkul Sakon pergi, "Tunggu pembalasan kami, bocah!" serunya.
"Whew… trims. Kau mengusir kedua gulma tersebut dan mematahkan hidung si mayat hidup itu." aku mengusap-usap pipiku yang memar.
"Yayaya, tapi bokongku sakit tahu karena tabrakanmu tadi!" ia protes dan masih meraba bagian belakang tubuhnya, seakan-akan takut bila bokongnya akan mendem.
"Che, iya iya maaf. Kita impas! Lihat aku juga kena batunya kan. Kalau saja tadi kau tidak muncul tiba-tiba, sudah pasti aku dapat lolos dari mereka." aku justru menggerutu.
"Nyahaha. Kau kocak sih. Bisa-bisanya kau dikejar mereka." pemuda itu malah terkekeh.
"Heh, malah tertawa kau! Aargh sudahlah! Aku pulang. Hari ini aku sudah cukup dapat lebam, kau tahu!" aku segera berlalu dari sana, meninggalkan si kuning itu yang masih terkekeh-kekeh. Mata birunya berbinar indah saat dia terlihat senang begitu.
Continued…
Mind to review? ^_^
