Love is a Beautiful Pain


Aku berusaha tak memikirkanmu. Bukan berarti aku berusaha untuk menghapus dirimu dari ingatanku.


Awal pertemuanku dengan lelaki itu terjadi saat liburan musim panas. Kami bertemu saat aku dan gege-ku berlibur di villa milik keluarga. Lebih detailnya aku bertemu dengannya saat ia sedang duduk tenang di pinggir karang belakang villa. Aku yang iseng, mendekatinya lalu berkenalan dengannya.

"Hai, bolehkah aku duduk disebelahmu?" tanyaku. lelaki itu menoleh dan memandangku. Matanya seperti laut yang tengah membeku di musim dingin.

"Silahkan," jawabnya. Setelah mendapatkan jawabannya, kududukkan diriku disebelahnya. kami tenggelam dalam keheningan selama beberapa saat, hingga suara paraunya terdengar lagi.

"Kau pindah kesini?" aku menggeleng, "Tidak, aku hanya menghabiskan liburanku selama 3 minggu di villa keluarga." Jawabku.

Kami diam kembali. Sesekali kulirik lelaki di sebelahku ini, lelaki ini hanya diam memandang lurus menuju laut yang berada di hadapan kami.

"Kau tinggal disini?" tanyaku membalas pertanyaannya yang tadi. Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaanku. Benar-benar laki-laki yang pendiam, pikirku.

"Aku belum memperkenalkan diri padamu. Namaku Kris," katanya. "Dan itu bukan nama asli," Kenapa dia memperkenalkan dirinya dengan nama palsu?

Karena penasaran kutanya dirinya, "Nama aslimu? Kenapa kau tak memperkenalkan dirimu dengan nama asli?" tanyaku. Dia diam sebentar kemudian menatapku, "Aku tidak begitu suka nama asliku. Panggil saja Kris itu sudah cukup. Namamu?"

"Yixing, Zhang Yixing. Apa kau punya sejarah yang buruk dengan namamu?" tanyaku lagi. Kata-kataku seperti orang yang sok.

Dia menggeleng, "Tidak, aku hanya tidak suka dengan nama asliku saja. Kau umur berapa? Sepertinya 17 tahun," tanyanya yang menjawab pertanyaannya sendiri.

"Bulan Oktober nanti aku berusia 17 tahun. Kau warga disini kan, Kris?" lelaki ini mengangguk seraya merenggangkan tangan-tangan besar dan panjang miliknya.

"Kau suka bermain gitar?" tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk dengan semangat, "Ya aku suka! Kau juga?"

"Tidak, aku tidak bisa bermain gitar. Nanti malam sekitar jam 7 datanglah lagi dengan membawa gitarmu. Aku ingin mendengarkanmu memainkan gitarmu," katanya sambil berdiri seperti hendak pergi.

"Kau mau kemana?" tanyaku. Dia tersenyum, "Kembali ke laut," jawabnya. Senyum hangat itu menghiasi wajahnya yang dari tadi hanya terlihat datar dan dingin. Ia kemudian melambaikan tangan padaku, dan berjalan pergi ke arah jalan.

"Ke laut? Dia cukup aneh. Atau mungkin itu perumpamaan?"

Kesan pertamaku padanya adalah, dingin sekaligus menghangatkan ditambah juga dia sedikit aneh. Senyuman yang tadi ia berikan padaku masih kuingat hingga saat ini. Awal berpikir mengapa aku bisa mengingat senyumannya, mungkin karena awalnya dia yang dingin bisa tersenyum dengan hangat seperti itu di akhirnya.

Setelah makan malam berdua dengan kakakku. Aku izin untuk bermain di karang depan villa, tentu kakakku mengizinkanku. Tetapi sebelumnya ia mendumel cukup panjang, ia mendumel hanya untuk mengingatkanku untuk berhati-hati pada orang asing dan jangan pergi terlalu jauh. Dan aku hanya bisa diam mengangguk mendengar omelannya.

Saat aku baru menutup pintu depan villa, seseorang sudah berdiri di depan pintu. Orang itu berambut blonde, berperawakan tinggi, dan tubuh yang sedikit atletis. Ya, orang itu Kris.

"Bagaimana kau tau jika ini villa-ku?" tanyaku padanya. Dia tersenyum, "Aku mendengar suaramu yang berasal dari bangunan ini. Makanya aku tau kau ada dimana." Jawabnya.

Aku terbingung-bingung mendengar jawabannya, "Apa suara dumelan Luhan-ge terlalu keras? Tapi Kris tak mengenal Luhan-ge, dan sejak Lu-ge mendumel aku hanya diam tak bersuara." gumamku dengan pikiran yang berputar-putar.

"Sudahlah lupakan. Ayo, aku ingin mendengar permainan gitarmu." Ajaknya. Aku mengangguk, dan berjalan mengikutinya dari belakang. Kami berdua berjalan memutar villa untuk sampai ke karang yang kami duduki tadi siang.

"Kris, apa kau mempunyai indra keenam atau kekuatan apalah? Dan bagaimana kau bisa mengetahui rumahku, dan mengetahui jika aku suka gitar?" tanyaku memulai percakapan saat kami berdua telah duduk berdampingan seperti tadi siang.

Kris terkikik geli, "Sudah kubilang aku mendengar suaramu," jawabnya sambil menatapku. Aku membuang wajahku dari tatapan mata elangnya.

"Mainkanlah," perintahnya. Aku mengangguk, dan memposisikan diriku dan gitarku senyaman mungkin. Stelah itu, aku menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Perlahan kupetik gitarku, dan kumainkan sebuah melodi hangat.

Kulirik lelaki yang berada di sebelahku, ia memejamkan mata, sepertinya ia menikmati permainan gitarku. Aku tersenyum, saat ia menoleh padaku.

"Ikan-ikan di laut menyukai permainanmu," lirihnya dengan suara beratnya. Aku hanya diam menanggapi ucapannya, dan menruskan permainanku.

Setelah itu dia diam memandang langit malam. Masih kuteruskan melodi itu, hingga mendekati klimaks. Bisa kurasakan jika jari-jari Kris mengetuk-ngetuk tanah mengikuti irama gitarku. Beberapa kali terdengar jika ia bersiul saat mendapatkan ritme yang cocok. Aku memetik senar gitar dengan pelan diakhir lagu, kulihat Kris bertepuk tangan.

"Bravo~!" ucapnya. Aku tersenyum, dan menggaruk belakang telingaku karena malu. "Kris, jika dipandang-pandang, wajahmu seperti campuran, ya." Kataku.

Kris terlihat kaget, kemudian tertawa kaku. "Benarkah? Aku tak tau jika aku memiliki wajah campuran."

"Akan kubelikan kopi, kau mau?" tawarnya, aku mengangguk. "Beli dimana? Aku mau ikut. Aku ingin mengenal tempat ini lebih jauh,"

Kris berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Kuraih tangannya, dan kuberdirikan tubuhku. Tangan orang ini hangat, tidak seperti penampilannya yang dingin. Tubuhku sedikit menggigil, udara malam di pantai tetap saja dingin walaupun sekarang musim panas.

Kris berjalan mendahuluiku menunjukkan sebuah cafe kecil sederhana, tetapi sepertinya memiliki banyak orang yang menyukai tempat ini. "Masuklah, walaupun kecil tempat ini penuh dengan makanan dan minuman yang enak." Terangnya padaku. Aku mengangguk, kemudian kubuka pintu cafe itu dan berjalan masuk.

"Uwah," aku cukup terpukau dengan interior yang ada di dalamnya. Besok akan kuajak Luhan-ge makan ke cafe ini, pikirku semangat. Kris terlihat senang saat melihat reaksiku. Ia kemudian menarik lengaku agar duduk di salah satu meja kosong di pojok.

"Pesanlah apa saja, hari ini biar aku yan traktir. Sebagai tanda pertemanan," katanya. Aku makin semangat, semua orang tidak akan menolak jika akan di traktir. "Terima kasih, Kris!"

Kris tersenyum kemudian dia melambaikan pada salah satu pelayan pria. Pelayan pria itu berjalan mendekat, dan memberikan senyumannya yang lebar pada kami. Dari senyumannya itu, aku bisa melihat deretan giginya yang rata terlihat memenuhi senyumannya dengan rapi.

"Ada yang ingin kalian pesan?" tanyanya. Kris mengangguk, eh, aku belum memilih! Dengan segera kubaca menu yang ada di depanku.

"Kau tau kesukaanku kan, Yeol?" kata Kris pada pelayan itu. Pelayan itu meringis menunjukkan giginya lagi, "Tentu aku hafal apa yang kau suka." Jawabnya. Aku menautkan alis, mereka sepertinya dekat sekali.

"Kau mau pesan apa Xing?" lontar Kris padaku. "Aku pesan cappucino saja,"

"Tak mau memesan cake?" tawarnya. Aku menggeleng, kulihat Chanyeol menulis apa yang kami pesan. Kemudian ia hormat dengan gaya yang cukup konyol pada kami dan pergi menuju dapur. Aku ingin tertawa melihat tingkah konyol pelayan itu. Mungkin dia cocok jadi moodbooster.

Kris menopang dagunya dan menatap ke luar jendela, aku menatap wajahnya dengan intens. Wajah lelaki yang ada di hadapanku benar-benar tampan. Kulitnya yang putih pucat dan rambutnya yang blonde sama sekali tidak kontras. Dia seperti albino, jika matanya merah.

"Ngomong-ngomong matamu indah sekali," celetukku. Kris terkejut dan menoleh padaku. "Benarkah?" Aku mengangguk.

"Terima kasih, kau orang kedua yang memuji mataku. Dan kau sangat memperhatikanku," katanya. Matanya memang indah, mata yang biru seperti laut yang bersih. Kami diam tak berbicara, untungnya cafe ini cukup ramai. Aku bisa melihat beberapa kali Kris tersenyum kecil.

Aku menoleh ke arah yang dituju pada Kris, "Apa ada yang lucu?" tanyaku. Kris menatapku dengan ekspresi seperti mengecek sesuatu.

"Gadis-gadis itu membicarakanmu," bisik Kris. aku menoleh melihat arah yang ditunjuk Kris diluar cafe ini. Bagaimana Kris bisa mendengar suara mereka yang berada di sebrang jalan? "Apa kata mereka?"

"Katanya, kau cantik sekali. Mereka tau kau pria, tapi mereka tetap mengatakan kau cantik, dan.."

"Dan?" Kris berdeham.

"Dan mereka mengatakan jika kita serasi."

Bisa kulihat ada semburat merah jambu di wajah pucat Kris. Kris kemudian terlihat tertawa melihatku, "Apa ada sesuatu di wajahku hingga kau menertawainya?" selidikku kesal.

"Telingamu merah sekali, kau malu diledek cantik?", "Aku tidak cantik, Kris!" seruku. Kris menganggukkan kepalanya diselingi dengan tawa. Aku memang tak cantik, sebenarnya yang cantik kakakku bukan aku. Jika boleh kukatakan.

"Kau tau Xing. Tempat ini tempat yang tepat untuk berlibur. Pantainya sepi, orang-orang disini tidak banyak yang bekerja menjadi nelayan. Jadi jika kau datang untuk bermain di laut, kau akan merasa laut adalah milikmu sendiri." Ujarnya. Aku mengangguk mengerti, aku tau tempat ini sangat sepi saat aku baru pertama kali datang. Untungnya Luhan-ge sudah mengenal tempat ini.

Pelayan pria yang tadi datang dengan nampan berisi 2 cangkir di tangannya, dia berjalan pelan-pelan menuju meja kami. Dibelakangnya ada seorang laki-laki yang pendek, tingginya hanya sebahu pelayan itu. Dia mendorong pelayan itu berniat mempercepat langkah pelayan tinggi itu.

"Ini pesanan kalian," ucap pelayan pria bertubuh tinggi itu. Aku mengangguk, mataku terfokus pada orang yang berada di belakang pelayan ini. Lelaki yang berada di belakang itu maju di hadapanku dengan melompat.

"Kau orang baru, ya?! Wajahmu cukup cantik untuk seorang pria!" ucapnya. Apa dia juga tidak berpikir dia juga cantik? Lelaki pendek bersemangat ini mengulurkan tangannya padaku. "Aku Byun Baekhyun! Salam kenal! Maaf mengataimu cantik, um.."

"Yixing, Zhang Yixing."

"Ah, Yixing! Dan ini sahabatku Park Chanyeol! Sejak kapan kau datang ke pulau ini?!" tanyanya bersemangat. Ia dengan tiba-tiba duduk di sampingku, tentu aku menggeser tubuhku.

Aku menoleh pada Kris, dan Kris hanya mengendikkan bahunya. Aku menghela nafas, "Baru tadi pagi aku datang." Jawabku. Mata lelaki itu berbinar, ia menatap Kris dan diriku secara bergantian.

"Bagaimana kau bisa akrab dengan Kris?!" memangnya Kris orangnya sulit untuk didekati, ya? Lelaki bernama Baekhyun itu terlihat tersenyum-senyum menunggu jawabanku.

"Entahlah, kami baru bertemu tadi siang," Kris yang menjawab. Aku mengangguk menimpali jawaban Kris. Kulihat lelaki bernama Chanyeol yang sejak tadi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya dia cukup kesusahan dengan Baekhyun itu.

"Baek, ayo kembali. Mungkin Yixing dan Kris butuh waktu berdua. Kau terlihat sedang menganggu kencan mereka." Kata Chanyeol. Lelaki itu menarik kerah Baekhyun dan membawanya masuk ke dapur. Kris cekikikan melihat pasangan konyol itu. Aku juga ikut tertawa saat Baekhyun berusaha kembali lagi ke meja kami. Tetapi Chanyeol menghambat langkah Baekhyun dengan cepat.

Kris memutar-mutar cangkir di depannya. Ku intip cairan yang berada di cangkir berwarna biru muda itu. "Itu apa?", "Teh hijau. Kau mau?" tawarnya. Aku menggeleng, aku tak suka yang pahit-pahit. Aku yakin sejak tadi Kris sama sekali tidak menambah gula di tehnya.

"Kau banyak sekali menambahkan gulanya, bukannya capuccino sudah cukup manis." Katanya. Aku mengangguk senang. "Aku suka yang manis-manis!"

"Hati-hati terserang diabetes," desisnya seraya menyeruput tehnya. Aku menjitak pelan kepala Kris.

"Bukannya terlalu banyak gula seperti itu akan meninggalkan rasa tidak enak di lidahmu." Kata Kris lagi. Beberapa kali kulihat mulutnya mengecap-ngecap setelah meminum tehnya. "Mungkin lidahmu sekarang yang merasakan rasa tidak enak," tukasku. Kuminum capucino-ku dengan santai.

Aku tertawa saat melihat wajah kesal Kris. Dia mempoutkan mulutnya seperti dibuat-buat. Seketika suasana dalam cafe benar-benar tanpa suara. Aku penasaran dan menoleh ke belakang melihat apa yang terjadi di belakangku. Bisa kulihat Chanyeol sudah berganti pakaian dan naik ke sebuah panggung kecil. Dia membawa gitar yang cukup manis.

"Dia bisa bermain gitar?" gumamku. "Ah, bahkan dia sehebat dirimu," timpal Kris. bagaimana dia bisa mendengar gumamanku? Ah, sudahlah. Aku membuat diriku menghadap belakang, agar aku bisa melihat pertunjukannya.

Chanyeol terlihat tenang, berbeda dengan tadi saat bersama Baekhyun. Chanyeol mendudukkan dirinya, dan menghembuskan nafas. Perlahan sebuah melodi terdengar dari gitar yang ia petik. Aku jadi ingin membalas permainannya! Aku jadi ingin bermain gitar lagi.

"Kau ingin bermain? Bermain lah, mintalah Baekhyun kursi lagi." Kata Kris tiba-tiba. Aku menatap Kris dengan senang, kemudian kuraih gitarku dan aku berjalan menuju Baekhyun untuk meminta kursi. Baekhyun membawakan sebuah kursi dan menaruhnya di sebelah Chanyeol. Kurasa Chanyeol tidak menyadari keberadaan Baekhyun. Dia benar-benar berkonsentrasi pada permainannya.

Kudukkan diriku, dan kupetik gitarku mengikuti permainan Chanyeol. Kulihat pelanggan-pelanggan cafe ini menikmati permainan kami. Chanyeol terlihat terkejut saat melihatku, kemudian melemparkan senyuman khasnya padaku. Kulihat wajah Kris yang terus memasang senyumannya padaku. Aku lebih suka melihat senyuman Kris daripada wajahnya yang dingin.

Permainan kami berakhir, tepuk tangan dari para pelanggan menyeruak masuk ke telingaku. Aku dan Chanyeol saling membungkuk kemudian membungkuk bersama kepada pelanggan. Kami kemudian turun dari panggung, Chanyeol langsung di sambut oleh Baekhyun dengan pelukan. Aku tertawa kecil melihat aksi Baekhyun.

"Kalian akrab sekali, ya? Kalian seperti sepasang kekasih." Ucapku. Baekhyun mengembungkan pipinya dan menghampiriku. "Dia hanya sahabatku Xing~!"

Aku mengangguk mengerti. Sepertinya Baekhyun dan Chanyeol berargumentasi tentang hubungan mereka hingga akhirnya Chanyeol mengalah dan memeluk leher Baekhyun dengan gemas. "Kau hebat juga bisa langsung menyamakan irama, Yixing-ah!" puji Chanyeol. Aku mengangguk, dan mengucapkan terima kasih padanya.

"Bagaimana jika besok kau dan gegemu datang. Suara gegemu cukup enak untuk di dengar, kan? Itu cocok sekali dengan permainan gitarmu." Suara Kris tiba-tiba muncul di antara kami. "B-bagaimana bisa kau tau jika kakakku pandai menyanyi?!" tanyaku.

"Sudah kubilang aku dapat mendengar suara kalian," jawaban yang sama. Dia tidak menjelaskan kenapa. Tapi sepertinya Baekhyun dan Chanyeol sudah terbiasa dengan diri Kris yang sedikit aneh. Aku hanya bisa memandang Kris dengan bingung.

"Sudahlah jangan pikirkan apa kata-kata Kris. Dia memang seperti itu sejak 1 tahun yang lalu. Dia seperti pangeran yang melegenda." Kata Chanyeol. Aku mengangguk, "Tunggu! Satu tahun yang lalu? Kau baru Kris?" tanyaku. Kris mengangguk, dia menggaruk lehernya terlihat canggung.

"Bagaimana jika kita pulang? Sudah hampir jam 8," saran Kris, "Ya, oke." Kris menyerahkan beberapa uang pada Baekhyun, dia kemudian melambai pada mereka berdua. Aku berjalan beriringan bersama dengannya.

"Besok datanglah lagi dengan kakakmu! Tapi kami tak memberi honor!" seru Baekhyun, aku mengangguk melambaikan tangan padanya. Kris merangkulku dengan erat. "Ada apa?" tanyaku padanya. Dia menggeleng menundukkan kepalanya, "Tidak ada apa-apa." Suaranya berbeda..

"Kau tak apa?" tanyaku lagi. Kulihat wajahnya yang menunduk kebawah, pucat sekali. "Kris kau pucat sekali! Ayo kuantar pulang!" Lagi-lagi dia menggeleng.

"Sudahlah aku tidak apa-apa. Kau tak perlu mengantarku, aku yang harus mengantarmu. Kakakmu mulai khawatir," Kris melepaskan rangkulannya dari diriku, dan berjalan menjauhi diriku. Lagi-lagi bersangkutan dengan apa yang ia dengar. Telinganya terbuat dari apa sih?

"Bagaimana bisa telingamu dapat mendengar suara yang sangat jauh?" tanyaku berhati-hati. Ia meringis, "Seorang manusia sepertiku memiliki telinga seperti paus. Suara yang ingin kudengar, sejauh mana pun pasti akan terdengar." Jawabnya.

"Kau tidak gila, kan?" selidikku. "Tidak." Jawabnya dengan senyum kecut di wajahnya.

"Maaf bukan berarti aku.."

"Tidak apa-apa. Bukannya kau sudah mendapatkan bukti jika aku tidak gila? Apa kurang? Sebentar lagi kakakmu akan menelponmu, silahkan jika tidak percaya." Katanya dengan nada sedikit tinggi. Apa dia marah?

Drrt.. drrt..

Ponselku bergetar, benar! Luhan-ge menelponku, kuangkat telepon itu. Kris saat ini sedang berjongkok di trotoar dan tidak memperhatikanku.

"Kemana saja kau? Ini sudah hampir jam 8! Malam disini sangat gelap!" Lagi-lagi mengomel. Kukatakan padanya jika aku baik-baik saja, kudukkan diriku di samping Kris. Luhan masih saja mengomel panjang lebar, dan aku hanya diam menanggapinya, membiarkan kakakku tersayang itu mengomel.

Kris melirikku, kulemparkan senyumanku padanya. Dia kemudian berdiri, sepertinya dia benar-benar kesal karena ucapanku tadi. Aku merasa bersalah padanya.

"Sebentar lagi aku juga pulang, ge. Sudah dulu, bye." Ucapku dan langsung kututup teleponnya. "Dia menggerutu, sebaiknya sampai di rumah kau langsung masuk ke kamar." Saran Kris padaku. Aku menatapnya, dia masih terlihat kesal.

"Kris maafkan aku, aku-"

"Lupakan. Aku tidak apa-apa." Potongnya. Sudah terlihat dia benar-benar kesal tapi masih mengelaknya. Kudekatkan diriku, "Aku tidak apa-apa Zhang Yixing~" Kris memelukku dengan erat dan membisikkan kata-kata itu di telingaku.

Aku cukup bergidik geli karena hembusan nafasnya yang sangat dekat. Aku ingin melepaskan pelukannya, tapi tak bisa. Pelukannya sangat hangat, pelukan ini bisa membuatku tidur. Wajah Kris di selipkan di lekukan leherku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang teratur disana.

"Kau tau aku bahagia bisa mendengar suara kakakmu lagi," lirihnya. "Apa kau dan kakakku pernah bertemu?" tanyaku memastikan. Tapi aku yakin aku baru bertemu denganmu pagi ini. Kris tiba-tiba melepaskan pelukkanya, dan menggaruk kepalanya dengan canggung.

"Ah, maaf. Tolong lupakan kata-kataku barusan. Aku permisi dulu," Kris berlari pergi meninggalkanku dengan tiba-tiba. Aku masih termenung memikirkan kata-kata Kris.

Aku tak mengerti bagaimana Kris bisa mengatakan jika ia bahagia dapat mendengar suara kakakku. Tapi sejak saat itu aku terus-terusan memikirkan laki-laki bodoh bernama Kris itu. Pada saat aku pulang ke villa. Kakakku langsung melempariku dengan berbagai pertanyaan. Tetapi setelah ia mengomel, ia menceritakan sebuah legenda padaku. Aku yang notabenenya tidak menyukai hal-hal seperti malah kuanggap menarik saat itu. Dan legenda itu mengingatkanku pada ucapan Chanyeol.

tbc-