"Demi Tuhan, akan kucincang kepalamu, Naruto! Shannaro!"

"Hinata, Ayah bilang berhenti! Astaga, bocah itu mengambil anakku!"

"Hei, jangan lari! Sialan, mereka cepat sekali!"

"Naruto! Ke sini kau!"

"Hinataaaa!"

Sore yang damai rusak seketika. Seruan teriakan murka menggema di penjuru desa. Sejumlah shinobi yang selamat dari Perang Dunia Ninja Ketiga mengejar Naruto Uzumaki dan Hinata Hyuuga. Pasangan baru ini mati-matian melarikan diri agar tidak tertangkap.

Mereka berlari sekuat tenaga di jalan-jalan desa, hingga beberapa orang mengaduh tertabrak. Namun mereka terus berlari, tanpa sekedar menoleh apalagi meneriakkan kata maaf. Melompati atap, menjatuhkan genteng, menyibak jemuran nona-nona. Tetap saja, kabur lebih penting daripada berhenti dan mengembalikan bra yang tersangkut di tangan.

"Hinata-chan, ya Tuhan, cepatlah! Mereka semakin dekat, kita harus bersembunyi!" Naruto melempar asal bra itu ke belakang. Untung Hinata cepat menghindar.

"Sembunyi dimana, Naruto-kun?" sahutnya terengah.

.

.

.


Hiding Somewhere

Author: Ritardando Stanza Quint

Disclaimer: Masashi Kishimoto. Authornya nggak ngambil keuntungan materil dalam bentuk apapun dari ini uwu

Rated: T

Genre: Romance/Humor

Pairing: Pair paling manis paling oenjoe paling greget sedunia: NARUHINA!

WARNING: Typo, humor sedikit—bahkan mungkin engga lucu orz. Gaje dan canon yang dimodifikasi demi khayalan tingkat absurd author. No bashing, this is just for fun!


Chapter 1

"Kita kehilangan mereka!" seru Sakura geram. Kepalan tinju yang sudah ia siapkan untuk Naruto diarahkannya ke tembok terdekat. Seketika terdengar suara retak—entah temboknya entah tulangnya. "Dia harus bertanggung jawab karena perkataannya saat perang itu! Apa maksudnya bilang pada Hokage Keempat aku pacarnya? Sekarang semua orang mengira aku pacar si bodoh itu! Amit-amit, ih, tak sudi!"

"Dia berhutang satu ciuman padaku." Sasuke—yang entah bagaimana tidak dihukum karena pernah mengkhianati desa-mengusap bibirnya sekilas. "Aku selalu ingat ia pernah menciumku saat masih di Akademi. Aku harus mengembalikan ciuman itu," desahnya sensual.

"Dia akan membawa anakku kawin lari…." Tatapan mata Hiashi kosong. "Tadi mereka sempat berlari sambil berpegangan tangan. Tidak salah lagi, mereka pasti akan kawin lari…." katanya penuh depresi.

"Kurasa kau benar, Hiashi-san." Tsunade mengangguk, wajahnya masih menyiratkan marah. Tangannya tampak berurat, mengepal tinju. "Aku tak percaya dia mengacuhkan misi yang kuberikan hanya untuk kencan dengan Hinata. Padahal ini misi penting dan nama baikku sebagai Hokage dipertaruhkan! Dan sekarang dia lari begitu saja?" Nada suara Tsunade meninggi.

"Tak bisa dimaafkan!" teriak Sakura.

"Betul!" sahut yang lain, kompak bersatu seperti hendak mendemo. Tangan-tangan mengacung ke atas, disahuti teriakan berapi-api.

"TANGKAP NARUTO DAN HINATA!"


"Kau lelah, Hinata-chan?" Naruto bertanya cemas. "Kau baik-baik saja?"

"A-aku tidak apa-apa." Hinata menjawab pelan, berusaha mengatur napasnya. Sebelah tangannya ia tumpukan ke pohon besar di pinggir desa.

"Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu bernafsu menangkap kita," Naruto menyeka keringat di dahi. "Kita 'kan tidak punya salah -ttebayo..."

Pertanyaan menggantung di situ. Masing-masing berusaha menghimpun oksigen sambil tetap waspada. Siapa tahu tiba-tiba ada yang mengejar mereka lagi. Untunglah, di tepian Konoha ini, nyaris tidak ada orang berlalu lalang. Untuk sementara, mereka aman.

"Kita harus sembunyi," ucap Naruto. "Paling tidak, sampai marah mereka mereda."

"I-iya," timpal Hinata. "Soalnya kita tidak mungkin lari terus..."

Biru safir dan amethyst memindai sekitar. Mencari tempat apa saja untuk bersembunyi. Lebih baik lagi jika tempat tersebut adalah rumah kosong. Sayangnya bangunan terdekat hanyalah sebuah gubuk kecil, itu pun dirasa terlalu dekat dengan pemukiman penduduk. Sembunyi di situ pasti cepat ketahuan.

Hinata hampir mengaktifkan byakugan-nya untuk memindai lebih jauh ketika Naruto menggumam pelan,

"Hei, Hinata-chan... Bagaimana kalau kita sembunyi di sana?"

Pandangan Hinata mengikuti arah yang ditunjuk Naruto dan terkesiap sedikit.

"Bu-bukit ... Hokage?"

Hinata tampak ragu. Di bukit itu hanya ada lima buah wajah terpahat, mana ada tempat berlindung?

"NARUTOOO!"

Teriakan marah Sakura terdengar dari kejauhan, menyadarkan Hinata dari lamunannya.

"Cepat, Hinata-chan!" Naruto bergegas menarik tangan gadis itu. Sedikit tersandung, Hinata berusaha menyamakan langkah dengan si pemuda.

"Itu mereka!" teriak Tsunade. "Di depan sana!"

"KEJAR MEREKA!" Seruan Sakura mengge legar.

Naruto dan Hinata mempercepat langkah, berlari sekuat tenaga dari amukan gerombolan shinobi elit Konoha.

Naruto menarik tangan Hinata berbelok, menuju hutan yang terdapat di pinggiran Konoha. Tidak lebat, tapi akan cukup menyulitkan para pengejar.

Dedaunan yang menghalangi, disibak paksa. Melompati semak-semak, bergerak dari dahan ke dahan. Sesuai perkiraan Naruto, empat ninja tadi mengikuti mereka ke dalam hutan.

"Hinata," Naruto menoleh cepat pada gadis di sampingnya sembari terus berlari. "Buat bunshin."

Meskipun tidak mengerti apa yang Naruto rencanakan, Hinata segera membentuk segel tangan, dan seseorang yang sangat mirip dirinya muncul dari balik kepulan asap.—bunshinnya. Di saat bersamaan, Naruto juga membuat bunshin, namun dengan jumlah lebih banyak.

"A-aku hanya bisa buat satu bunshin, Naruto-kun," sahut Hinata. Kini dua gadis dan lima pemuda berlari bersama-sama menerjang hutan.

"Tidak masalah. Kau," Naruto berkata pada salah satu bunshinnya, "pergi dengan Hinata."

"Hinata yang asli atau yang bunshin?" tanya bunshin Naruto.

"Tentu saja yang bunshin! Kau ini bodoh sekali -dattebayo!"

"Hei, aku ini dirimu!" balas si bunshin, tak terima dikata bodoh. "Aku bodoh karena kau juga bodoh, tahu!"

Naruto manyun, tak bisa membantah. Setelahnya ia beralih pada Hinata. "Kita akan membuat mereka berpencar. Pertama-tama, tiga bunshinku akan muncul bersamaan dan berlari menjauh dari kita. Setelah cukup jauh, bunshinku yang keempat dan bunshinmu akan muncul. Mereka akan mengira bunshin kita adalah yang asli dan berpencar mengejar mereka."

Keempat bunshin Naruto mengerang. "Sialan, kau akan menjadikan kami tumbal!"

"Kalian bawel sekali, sih!" Naruto membalas dengan seruan kesal. "Kalian kan bunshin, diamaterasu sama Teme juga nggak papa, 'kan!"

"Tidak adil! Kami juga mau sama Hinata-chan!"

"BERISIK! Aku akan membawa Hinata-chan yang asli!"

"Curang, curang!"

"Mentang-mentang kami bunshin, kau bersikap seenaknya!"

"Aaaargh!" Naruto mengacak rambutnya kesal. "Sudah! Kau ke sana, kau ke arah sana, dan kau ke sana, sekarang!" Naruto memberi perintah pada tiga bunshinnya.

Para bunshin menggerutu, namun tetap pergi ke arah yang ditunjuk Naruto.

Sekarang tinggal dua Hinata dan dua Naruto. Mereka terus berlari, semakin masuk ke dalam hutan.

"Byakugan!"

Hinata mengaktifkan kekuatan matanya. Dengan cepat ia membaca situasi dan melaporkannya pada Naruto. "Mereka sudah berpencar, Naruto-kun. Sasuke-kun, Sakura-chan, dan Tsunade-sama berpencar mengejar tiga bunshinmu."

"Bagus!" Naruto tersenyum puas. "H-hei, mana ayahmu, Hinata-chan?"

"Ayahku..." Hinata tercekat. "Ke sini. Mengejar kita."

"Sial!"

"Ta-tapi..." Kalimat Hinata terhenti. "Sepertinya, ayahku tidak menggunakan byakugan-nya."

Alis Naruto menaik sedikit. "Kenapa? Padahal dengan byakugan dia bisa melacak kita dengan mudah..." Ia menggumam.

"Aku tidak tahu," Hinata menggeleng. "Yang jelas, ini keuntungan bagi kita."

"Yosh! Benar! Sekarang, kau dan bunshin Hinata," Naruto berkata pada bunshinnya, "pergi dan buat ayah Hinata ke arah yang salah, sejauh mungkin dari kami!"

Bunshin Naruto mengangguk dan menarik tangan bunshin Hinata, bergegas pergi ke arah berlawanan.

Sementara itu, Naruto dan Hinata yang asli terus menjauh beberapa jarak, sebelum mereka memutuskan untuk berbalik arah menuju bukit Hokage—tujuan awal mereka. Napas mereka sudah semakin berat karena terus berlari, namun mereka tak boleh berhenti sebelum sampai tujuan. Mereka tidak akan tahu selama apa bunshin-bunshin itu mampu menjauhkan—

POOF!

"Sial! Ternyata hanya bunshin!" Terdengar raungan marah Sakura dari kejauhan.

Tinggal menunggu waktu hingga yang lain menyadari yang mereka kejar hanyalah bunshin. Naruto dan Hinata mempercepat langkah—kini mereka sudah mendaki bukit, sedikit lagi sampai ke puncak.

Hinata tak dapat menahan diri untuk bertanya, "Naruto-kun, di mana kita akan sembunyi?"

Naruto terkekeh. Awalnya Hinata kira Naruto akan mengatakan sesuatu seperti, "Percayalah saja padaku, Hinata-chan!" (yang akan membuatnya klepek-klepek), tapi nyatanya Naruto malah menjawab, "Tidak tahu. Kita cari saja gua atau apa."

Hinata menepuk jidatnya. Tentu saja, apa yang ia harapkan dari Naruto Uzumaki? Memangnya pemuda itu akan menemukan tempat persembunyian semacam gua yang nyaman, di balik pahatan batu-batu wajah—

"Hei, hei, Hinata-chan, kemari!"

Naruto melambaikan tangan. Hinata mengerjap sekali, menyadari ia sudah tertinggal beberapa langkah. Bergegas ia menyusul.

"Aku akan turun ke bawah," kata Naruto saat Hinata sudah sampai di puncak bukit. Yang dimaksud Naruto adalah monumen berupa pahatan rupa para Hokage yang memang terletak sedikit di bawah puncak bukit, di sisi yang menyerupai tebing dan menghadap desa. "Kau bisa menunggu di sini sebentar, 'kan, sekalian mengawasi apakah ada yang mengejar kita?"

Hinata mengangguk.

Kemudian Naruto mengalirkan cakra ke kakinya, seperti yang biasa dilakukan para ninja saat ingin memanjat pohon. Pemuda itu melompat ke bawah—Hinata menahan napasnya sedikit, dan menghela napas lega saat Naruto mendarat dengan selamat di kepala Hokage Kelima.

Naruto berjalan dengan hati-hati. Jatuh dari sini akan sangat berbahaya, mengingat tingginya monumen dengan tanah. Ia memeriksa satu per satu patung Hokage, meraba wajahnya, telinganya, matanya, berharap menemukan semacam tombol menuju gua rahasia—yang nyatanya tidak pernah ada.

"Kau menemukan sesuatu, Naruto-kun?" Hinata berseru tertahan dari atas sana.

"Tidak ada, Hina—AH! Ada, ada!" Naruto menyahut cepat. "Ada gua di sini, di patung Hokage Ketiga!"

Hinata cepat-cepat mengalirkan cakra ke kaki dan melompat ke bawah, menyusul Naruto. Ia mendarat tepat di atas kepala Hokage Ketiga, dan dengan hati-hati ia bergelantungan di telinganya. Ia beringsut mendekat menuju Naruto yang 'hinggap' di wajah Hiruzen Sarutobi, Sang Hokage Ketiga dalam sejarah Konoha.

"Di mana, Naruto-kun?" tanyanya. Ia tidak melihat apapun yang bisa dijadikan tempat persembunyian di wajah Sarutobi.

"Di sini!" jawab Naruto. "Di lubang hidung Hokage Ketiga!" jawabnya semangat.

Ngik.

"Lubang ... hidung?"

"Aku sudah mengecek ke dalam," Naruto bergerak memasuki lubang hidung Hiruzen Sarutobi. Seandainya ada penduduk desa menyadari, di bawah lubang hidung Hokage Ketiga ada sesuatu berwarna oranye dan ungu bergelantungan, mencoba masuk.

"Lihat, di dalam lubang hidungnya ada semacam ruangan! Ini lebih baik daripada sembunyi di hutan, Hinata-chan!" Naruto bergerak mengelilingi ruang kosong dalam lubang hidung itu. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung dua orang. Sinar matahari masuk sedikit, remang-remang, hingga dapat disimpulkan pastilah sangat gelap ketika malam hari.

Gua Lubang Hidung.

Mereka akan bersembunyi di lubang hidung.

Tepatnya, lubang hidung Hokage Ketiga.

Masa di lubang hidung, sih, Naruto-kun?

Naruto melanjutkan, "Kita akan sembunyi di sini, paling tidak sampai marah mereka mereda! Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa kita dikejar -dattebayo..."

Hinata tak menyahut, ia juga sama tak tahunya. Yang ia tahu, ia dan Naruto berjanji temu di Ichiraku. Naruto menyebutnya kencan. Tapi belum sempat melangkah masuk, Tsunade dan tiga shinobi lainnya meneriaki mereka dari ujung jalan. Itulah awal mula kejar-kejaran ini.

Sebuah pertanyaan melintas di benaknya, memaksa untuk diucapkan. "A-ano, Naruto-kun, a-apa kita akan ... bermalam di sini?"

Naruto menoleh dan mmenatap Hinata sejenak. "Untuk hari ini, sepertinya iya. Mereka masih sangat sangat marah, 'kan. Kalau sudah tidak marah lagi, kita akan keluar dan bertanya apa kesalahan kita. Setidaknya itu lebih baik daripada keluar sekarang dan dihajar gerombolan orang mengamuk, bahkan sebelum kita bertanya!" Naruto tertawa.

Wajah Hinata memerah.

Bukan itu fokus utamanya. Otak gadis itu mulai melayang, berbunga-bunga memabukkan, mengingat fakta ia akan tidur dengan Naruto. Tentu saja bukan tidur seperti pikiran kotor kalian, Kawan. Pastinya ia dan Naruto akan tidur berlawanan pojok, namun mengetahui kenyataan itu saja sudah membuatnya senang setengah mati.

Gadis itu menepuk pipinya pelan—plok plok. Sadarlah, Hinata!

"Oh," Ia teringat, "kita membutuhkan air dan makanan," katanya khawatir. "Kita tidak membawa bekal sedikitpun."

"Kurasa kau benar, Hinata-chan. Mungkin aku bisa ke rumah dan mengambil sejumlah perbekalan."

Hinata merasa aneh dengan rencana itu. Kalau bisa pulang ke rumah, kenapa tidak pulang sekarang saja? Tapi tak urung ia arahkan byakugan ke arah apartemen Naruto dan menggeleng. "Tidak bisa... Ada shinobi yang berjaga di rumahmu, Naruto-kun."

"Duh," Naruto menggaruk kepalanya. "Air, ya... Hmm... Ada sungai kecil di dalam hutan. Mungkin kita bisa sekalian menangkap ikan di sana. Hehe, kuharap kau tidak keberatan dengan ikan tanpa garam, Hinata-chan." Naruto tertawa ringis.

"Tidak apa-apa," Hinata menjawab pelan. "Mengingat kondisinya, aku maklum."

Hinata berjalan menuju mulut 'lubang hidung,' dan memfokuskan byakugan ke arah hutan tempat mereka 'main' Ayo-Kejar-Naruto-dan-Hinata sebelumnya. "Tsunade-sama dan yang lain sudah kembali ke desa," ujarnya pelan. "Dan Ayah masih tidak menggunakan byakugannya."

Naruto melangkah ke lubang hidung satunya lagi, memandangi matahari senja yang mulai kelelep—tenggelam. Langit berwarna oranye terang namun syahdu, dan dalam hitungan menit langit sudah mengenakan jubah hitam kelamnya.

Gelap seketika dalam lubang hidung. Sinar rembulan hanya mampu mencapai sedikit di bagian depan. Hinata, yang duduk di lubang hidung sebelah kanan, diam menatap langit—tepatnya tidak tahu harus melakukan apa, terjebak bersama Naruto di dalam lubang hidung.

Naruto, yang duduk menyandar di lubang hidung sebelah kiri, juga tak melakukan apa-apa. Malam baru beberapa menit, ia belum mengantuk.

Situasi canggung berubah seketika saat Hinata bersin sekali.

"Hatchii!"

Si pemuda pirang jabrik berdiri, melangkah mendekati Hinata yang sibuk menyeka hidungnya.

"Kau flu?"

"Ti-tidak," sahut Hinata cepat. "Hanya bersin biasa."

"Kau kedinginan," ucap Naruto saat melihat Hinata—tanpa sadar-menggosokkan tangannya. Naruto melepas jaket hitam-oranyenya dan menyampirkannya ke bahu Hinata.

"Pakailah," katanya.

"A-aku tidak apa-apa," Hinata mengembalikan jaket itu pada pemiliknya. "Kau lebih butuh jaket itu, Naruto-kun. Agak dingin di sini."

"Aku sudah biasa," sahut Naruto (sok) enteng. Padahal angin malam yang membelai kulit tannya terasa menusuk, menggigil. Tapi ia tahankan agar tidak membuat Hinata khawatir (dan demi terlihat laki).

"Konoha mulai masuk musim gugur," Hinata mengingatkan. "Pakailah jaketmu, Naruto-kun. Kau bisa sakit nanti."

"Heh," Naruto menyeringai. "Daya tahan laki-laki itu lebih kuat, tahu. Aku—HATCHIIM!"

Sejumlah cairan tersembur keluar. Untung tidak mengarah ke Hinata.

"Kau baru saja bersin, Naruto-kun." Hinata menurunkan jaket di bahunya dan ganti menyampirkannya pada Naruto. "Aku tidak mau merasa hangat kalau kau kedinginan. Kalau tidak bisa sama-sama hangat, sama-sama dingin juga tidak apa-apa." Ia tersenyum lembut.

Naruto terkesima sesaat. Tak menyangka Hinata akan bertindak dan berucap seperti itu. Ia raih dan pakai lagi jaketnya.

"Terima kasih, Hinata-chan," lirihnya.

Hinata membalas dengan seulas senyum malaikat. Rona merah mewarnai pipinya.

Lalu diam lagi. Duduk bersebelahan, menengadah ke langit, memandang awan yang berarak.

"Hinata-chan, aku..."

Hinata menoleh, menunggu kelanjutan kata-kata Naruto.

Naruto tampak gelisah. Beberapa saat membuat Hinata bingung, akhirnya ia mendekat ke telinga Hinata.

Naruto belum berkata apa-apa, hanya deru napas mengenai telinga Hinata. Jantung gadis itu langsung melonjak squat jump.

"Na-Naruto-kun..."

"Hinata-chan, aku..."

Hinata menunggu. Aku apa, Naruto-kun? Imajinasinya mulai membayangkan hal-hal manis nan menyenangkan yang akan diucapkan Naruto. Hatinya mulai berharap imajinasinya menjadi nyata; Naruto mengucapkan sesuatu yang membuat pikirannya terbang melayang menembus awan, lewati bulan, terus, terus naik hingga langit ketujuh.

"Aku..."

Dapat dilihat Hinata wajah Naruto sedikit memerah. Imajinasinya semakin mengkhayal yang tidak-tidak.

"Aku ... aku haus..."

Segala khayal buyar seketika. Mood Hinata langsung turun ke titik terendah. Dipaksakannya seulas senyum. "Aku juga."

Naruto menghembuskan napas lega. "Ternyata kau juga haus! Sebenarnya leherku sudah terasa kering dari tadi, tapi aku malu mengatakannya padamu. Kalau tahu begini, harusnya kukatakan dari tadi, ya!" Naruto tertawa.

Tak urung, gadis itu ikut tertawa. Tapi sebagian besar ditujukan pada dirinya yang terlalu berharap. Bodoh, mana mungkin,'kan? batinnya.

"Kalau begitu," Hinata berusaha bersikap normal, "besok, pagi-pagi sekali, kita akan ke sungai. Di sana banyak air."

"Yeah," Naruto menggumam. "Sayang sudah malam. Kita harus menahan haus, kalau ke sungai sekarang akan bahaya."

Hinata mengangguk setuju.

Lalu hening lagi. Mengamati desa Konoha dari jauh, yang kini telah bekerlap-kerlip cahaya lampu. Mata Hinata semakin berat, lelah. Ia nyaris jatuh tertidur kalau Naruto tidak berseru,

"Ah! Benar juga!"

Hinata sedikit terlonjak. Ditolehkannya kepala pada Naruto, "A-ada apa, Naruto-kun?"

"Hehe," Naruto menyunggingkan senyum lebarnya. "Aku tahu bagaimana caranya supaya kita sama-sama hangat!"

"E-eh?" Hinata mengerjap, lalu wajahnya berubah antusias. "Bagaimana caranya? Oh—apa kau akan membuat api unggun?"

Naruto menggeleng. "Kita tidak akan membuat api unggun. Asapnya akan keluar dan orang-orang akan curiga karena kakek Hokage akan tampak seperti merokok dari hidung!" Ia terkekeh.

Hinata jadi semakin tidak mengerti. "Jadi ... apa yang akan kaulakukan, Naruto-kun?"

"Maaf, Hinata-chan..."

"?"

"Aku akan melakukan ... ini." Naruto merengkuh Hinata dalam satu pelukan besar. Dekapan yang tiba-tiba itu membuat Hinata berjengit kaget.

"Na-Naruto-kun?!"

Wajah Hinata sudah sepenuhnya memerah sekarang, layaknya kepiting rebus. Ditambah lagi, perbuatan Naruto membuatnya panik dan tidak bisa menguasai diri.

"Jangan pingsan, Hinata," kata Naruto pelan, rendah. "Aku hanya ingin membuatmu hangat. Kalau kau pingsan, aku tidak tahu harus melakukan apa..."

Hinata tergugu.

"Le-lepas, Naruto-kun. Aku memang merasa hangat, tapi kau kedinginan," Hinata mencari alasan.

"Tidak," Naruto menggeleng. "Aku juga merasa lebih hangat, kok."

Hinata memutar otak mencari alasan lain. "K-kau bisa bersin lagi," tambahnya.

"Tidak akan," Naruto menjamin. "Mustahil bersin kalau hangat begini."

Hinata kehilangan kata-kata. Ia tak mampu menemukan alasan agar Naruto melepaskan pelukannya. Tidak, bukannya ia tak suka—justru bertahun-tahun ia menunggu kesempatan ini-namun rasanya terlalu tiba-tiba dan membuat panik.

Tapi harus ia akui,

... pelukan Naruto hangat.

Hangat, seperti mendekam di balik selimut. Padahal di alam terbuka begini, anginnya menusuk tulang.

Hinata jadi bertanya-tanya apakah Naruto merasakan kehangatan yang sama dengannya.

Berbagi kehangatan di dalam lubang hidung, ah, betapa mesranya. Lubang hidung Hokage Ketiga menjadi saksi bisu akan cintanya bertahun-tahun pada pemuda itu yang mulai berbalas (ia berharap).

Gadis itu memegang erat jaket Naruto, merapat agar lebih hangat, sekaligus takut pemuda itu melepas pelukannya dan pergi meninggalkannya bersama asa-asa yang pupus. Dan dalam beberapa menit, ia jatuh tertidur. Paras malaikat damainya membuat Naruto terpaku beberapa saat.

Naruto terjaga sedikit lebih lama. Ia sentuh pipi Hinata beberapa kali untuk memastikan gadis itu benar-benar sudah terlelap. Setelah yakin, ia bawa Hinata masuk ke dalam, untuk menghindari angin malam.

Naruto merebahkan Hinata dan menjadikan lengannya sebagai bantalan untuk gadis itu. Dengan posisi ini, mau tak mau Naruto harus berbaring di sebelah Hinata. Tapi dengan posisi ini pula yang membuat Naruto ragu apakah tetap mendekap Hinata atau tidak.

Naruto tak perlu berpikir lama-lama, karena Hinata—yang masih tertidur-menggeliat kecil dan merapatkan badannya ke Naruto. Alam bawah sadar memerintahkan Hinata bergerak ke tempat yang lebih hangat. Naruto menyeringai kecil, lalu merengkuh Hinata lagi, untuk tidur dalam pelukannya.

'Heh, lubang hidung Hokage Ketiga bukan tempat yang buruk juga,' batin jinchuuriki itu.

Segera, Naruto tenggelam ke alam mimpi. Tidak masalah tidur di alam terbuka tanpa bekal begini. Ada Hinata saja sudah membuatnya terasa sempurna.


Pagi menjelang.

Sedikit demi sedikit, sinar matahari merayap masuk. Walau pada akhirnya mentari tak mampu mencapai sudut terdalam lubang hidung—di mana dua manusia tidur bersama-tak urung Naruto mengerjap, terbangun.

Naruto bangkit, melepaskan Hinata dari lengannya pelan-pelan. Ia meringis sedikit saat tangannya terasa kesemutan.

"Ternyata Hinata berat juga -ttebayo..." gumamnya, memandang Hinata yang masih tidur.

Hinata menggeliat sedikit, lalu merubah posisinya menjadi memunggungi Naruto. Di saat itulah, bola mata Naruto membeliak, terkesiap kaget.

Celana Hinata... Bagian belakang celana gadis itu ternoda merah. Darah.

Naruto pucat pasi. Jantungnya berdegup lebih kencang.

Letak darah itu membuatnya tak ragu menjatuhkan vonis.

Hinata...

.

.

... WASIR!

[[Tuberculosis...]]


Apakah Hinata benar-benar wasir? Atau apakah darah itu adalah sesuatu yang lain?

Tunggu di chapter selanjutnya!


Omake:

Beberapa jam yang lalu, di tepi hutan Konoha...

"Aaaargh! Kenapa kau tidak memakai byakugan untuk melacak mereka yang asli, Hyuuga-san?!" Tsunade mengerang frustasi. Di belakangnya, Sasuke dan Sakura sudah memasang muka kusut, kesal tertipu bunshin Naruto.

Hiashi berusaha membela diri. "Aku tidak bisa, Hokage-sama. Byakugan-ku perlu istirahat."

"Haaah? Istirahat apa?!"

"Aku baru saja mengembangkan jurus baru," Hiashi menyibak rambut panjangnya yang kemilau. "Jurus itu sangat bagus, tapi membuat mataku sangat sangat lelah hingga tidak bisa mengaktifkan byakugan."

Air muka Tsunade mencerah seketika. Wajahnya bagai lebih muda lima tahun. "Benarkah? Jurus apa itu? Pasti akan sangat berguna untuk Konoha!"

Hiashi diam tak menjawab. Ia justru membuang muka. "... Tidak, jurus ini sama sekali tidak berguna untuk desa, tapi sangat berguna untukku..."

Tsunade berkacak pinggang. "Jurus macam apa itu, yang hanya berguna untukmu? Beritahu aku!"

"Tidak. Anda tidak akan mau mengetahuinya, Hokage-sama."

"Beritahu sekarang!" Tsunade berkata lantang mengancam. "Atau berita putrimu kawin lari dengan Uzumaki Naruto akan kusebarkan ke seluruh desa!"

Hiashi keringat dingin. Ia tidak mau nama besar keluarga Hyuuga tercoreng, hal ini harus tetap menjadi rahasia! Tapi ia juga tidak mau memberitahu jurus barunya pada Hokage...

Hiashi dilema.

"BERITAHU SEKARANG!" Teriakan Tsunade menggema, menyebabkan burung-burung di hutan sibuk terbang melarikan diri menyelamatkan telinga.

"Jurus itu..." Hiashi tercekat, suaranya mencicit. "Byakugan ... tembus pandang ... wanita..." Kata-katanya terdengar patah-patah dan berantakan.

Tsunade terkesiap keras. Ia cukup cerdas untuk mengetahui jurus apa yang dimaksud Hiashi.

"MENJIJIKKAN! MESUM!" Ditinjunya sang kepala keluarga Hyuuga. Laki-laki itu sampai harus segera dilarikan ke rumah sakit dan menginap di sana.

Dan begitulah alasan kenapa Hiashi tidak menggunakan byakugannya.


A/N: Haloooh, Quint kembali~! *lempar cokicoki ke udara* Fic ini awalnya direncanakan buat birthday fic-nya seseorang (kuharap dia nggak baca ini saking nistanya). Aku mau bikinin fic fluffy romance, tapi plot yang terpikir malah gaje begini -_- Terima kasih buat Einzbern 'clef' Azure dan Aletta Vivace yang sudah memberikan ide lubang hidung Hokage Ketiga! (mereka memaksaku menulis ucapan terima kasih ini) Gara-gara kalian rencana birthday fic-ku jadi rusak dan nista begini! Wakakakak

Yah, silakan sampaikan dugaan kalian, darah apa yang ada di celana Hinata, di kotak review. Aku akan menanti review kalian~

PS: Hari ini, 27 Juli, aku ulang tahun ke 17 loh :"3 Sekalian ucapin sesuatu, mungkin? *berharap*