Judul: Promise

Sub-Judul: Price for your heart

Fandom: Naruto

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: General

Rating: T

WARNING: Shonen-ai

Pairing: Sasu/Naru

Summary: Keduanya selalu mengingat dan menepati janjinya.


-

Promise

( Price for your heart)

-

Sepuluh hari adalah waktu yang lebih dari cukup untuk seseorang terbaring di ranjang rumah sakit tanpa kesadaran. Angin semilir memainkan helaian gorden tipis berwarna putih yang bertengger di bingkai jendela besar di seberang ranjang putih itu.

Naruto membuka kedua kelopak matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah atap berwarna putih. Dapat dirasakannya tubuhnya terbaring di atas sebuah ranjang yang empuk dan hangat. Perlahan bola matanya beralih pada pemandangan di hadapannya, di seberang tempat tidur.

Jendela besar, sebuah kursi kayu cokelat, sebuah kursi plastik berwarna putih, sebuah meja kayu berwarna cokelat tua, dan sebuah vas bunga kosong di atasnya. Dinding berwarna putih pucat tampak terang dengan pantulan sinar matahari. Entah itu pagi atau siang, atau mungkin juga sore, ia tak mampu membedakannya.

Sedikit ia mencoba menggerakkan tangan kanannya, seketika itu pula rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Meringis, ia sekarang mencoba menggerakkan jemarinya perlahan. Bergerak. 'Oh, untunglah tidak hancur…'—pikirnya sedikit merasa lega.

Sebuah bunyi ketukan dari arah samping menyeruak keheningan. Naruto berusaha menggerakkan lehernya untuk menoleh, namun rasa sakit itu begitu menyiksanya. Mulutnya sedikit terbuka dengan bergetar, dengan hembusan napas keras ia mendesis, "Ya.."

Pintu terbuka, terdengar langkah sepatu memantul di permukaan lantai keramik, mendekat. Dari sudut matanya Naruto dapat melihat sosok berperawakan tinggi yang baru saja menghampiri ranjangnya. Seorang wanita setengah baya dengan setelan jas putih, menatapnya dengan begitu hati-hati.

"Kau sudah siuman?" wanita itu mengulurkan tangan kanannya, hendak menyentuh Naruto. Tepat sebelum tangan itu menyentuh dahinya, Naruto terbatuk, sesuatu dalam tenggorokan—atau kerongkongannya—apapun itu, ada sesutau yang salah dan ia mulai menyadari itu.

Wanita di samping tempat tidurnya segera memijit dadanya, tangan kirinya menepuk dahi Naruto, berusaha menenangkannya, "Tenang, tenang, bernapas pelan-pelan. Shizune! Shizune! Bawakan alat bantu pernapasan!" wanita itu mengeraskan tekanannya pada dada Naruto setelah berteriak ke arah pintu di belakangnya.

Dalam hitungan detik seseorang yang lainnya muncul dengan pakaian yang tidak jauh berbeda dengan wanita setengah baya itu, jas putih panjang. Orang itu nampak sedikit lebih muda dari wanita yang pertama. Rambut hitamnya bergoyang, mengikuti langkahnya yang tergopoh-gopoh. Tangannya tampak kerepotan membawa peralatan putih dan keperakan. Tabung-tabung dan selang di tangan satunya lagi.

Naruto merasakan sesuatu menyentuh mulut dan hidungnya. Sebuah selang ditusukkan ke dalam hidung dan mulutnya. Ah atau apapun itu, ia tak begitu bisa menebaknya. Detik berikutnya udara mulai mengalir masuk ke dalam tenggorokannya. Naruto mengerang perlahan, mengisap udara sebanyak-banyaknya dan menyebabkannya tersedak. Wanita setengah baya di sampingnya memijit dadanya perlahan, "Pelan-pelan," ujarnya setengah berbisik.

Naruto sedikit melirik pada wanita bertangan lembut itu, seorang wanita berambut emas, dengan tanda yang asing—tapi juga tak asing—di dahinya. Wanita itu tersenyum lembut ke arahnya dengan bola mata berwarna hijau terang yang memancarkan suatu perasaan nyaman. Naruto mengangguk sedikit, atau begitulah ia upayakan.

"Jangan banyak bergerak," wanita itu kembali bersuara.

"Tsunade-sensei, apa perlu saya panggil keluarganya?" wanita berambut hitam di belakang wanita berambut emas yang dipanggil Tsunade itu berujar dengan suara yang dipelankan.

"Dia tidak punya keluarga," jawab wanita bernama Tsunade itu singkat. Wanita berambut hitam terkesiap sebentar, sebelum sikap profesionalisme kembali menguasainya.

"Kalau begitu saya panggilkan guru sekolahnya atau semacamnya," ujarnya dengan tenang, setelah dengan cepat mampu mengontrol emosinya. Tsunade mengangguk mengiyakan.

Setelah wanita berambut hitam itu hilang dari pandangan, Tsunade meraih sebuah suntikan di atas rak berwarna keperakan di samping meja kecil tepat di sebelah ranjang tempat Naruto terbaring. Meneliti sebentar, tangannya menggenggam lengan atas Naruto dan menusukkan suntikan itu perlahan. Naruto sedikit meringis, namun tubuh lemahnya tak kuasa untuk bahkan memprotes apapun perlakuan yang diterimanya.

Samar-samar pandangannya mulai menjadi kabur, bunyi-bunyian terdengar samar. Suara langkah kaki, gemeletuk sol sepatu dengan lantai keramik, suara percakapan, dan isak tangis.

+-+

"Hei, kau bisa dengar tidak?" sebuah suara membuatnya terjaga.

Gelap. Naruto berusaha mengerjapkan matanya, namun seketika ia sadar ia masih menutup matanya. Kelopak matanya terasa begitu berat.

"Jangan semamumu begitu," suara itu kembali terdengar. Naruto berusaha membuka matanya lagi, namun kali ini kepalanya malah menjadi sakit dan dirasakannya syaraf-syaraf di kepalanya berdenyut hebat. Ia meringis tanpa suara.

"Jangan semaumu mati duluan," suara itu berulang di kepala Naruto, berdengung dengan suatu perasaan aneh berkelibat di dadanya dan kini dirasakannya dadanya terasa disayat-sayat.

Sebuah tangan lembut dan hangat menyentuh dahinya. Dapat dirasakannya tangan itu sedikit bergetar. "Kalau kau mati, aku akan mencabik-cabik mayatmu sampai habis. Jangan mati, bodoh," suara itu berbisik lirih.

Rasa kantuk itu datang lagi, namun kali ini Naruto menghirup napas dalam-dalam, berusaha menguasai kesadarannya. Harus. Tenang, pelan-pelan—begitu ia ingat wanita berambut emas mengajarinya.

"Kalau kau bangun, aku buatkan baling-baling kertas musim panas yang kau mau," suara itu kembali membuatnya terfokus. "Kubelikan ramen kesukaanmu. Menu spesial dalam mangkuk besar, dengan daging dan sayur,"

Naruto sedikit merasa geli, ditariknya sudut bibirnya, namun bibirnya kaku. Bahkan senyumpun ia tak bisa? Naruto merutuk dirinya sendiri dalam kepalanya.

Sebuah suara langkah sepatu mendekat, berhenti setelah kira-kira sangat dekat dengan tempat Naruto terbaring. "Aku sudah selesai menjaga toko, kau boleh pulang," suara seorang anak perempuan yang ringan. Namun terasa getaran kecemasan—atau rasa kasihan? Entahlah—dari nada suaranya.

Tangan lembut di dahi Naruto terangkat, sedikit dirasakannya kekecewaan. Ia ingin tangan itu tetap di sana.

"Sudah bawakan barang yang aku pinta?" suara lembut di samping tempat tidur Naruto kembali terdengar.

"Sebungkus kertas lipat, gunting, sekotak paku payung, dan sedotan," anak perempuan tadi menjawab bersamaan dengan bunyi kantung plastik yang diacungkan ke udara.

Suara langkah kaki menjauh, Naruto sedikit merasa tidak nyaman. Tidak ada siapapun di sampingnya membuat tubuhnya mendingin, menggigil—kalau saja ia bisa bergerak.

+-+

"Benar-benar mau buat baling-baling kertas?" seorang gadis berambut merah muda menghampiri meja cokelat tua di samping jendela.

"Tentu saja," pemilik suara lembut yang begitu dirindukan Naruto sejak semenit yang lalu itu menimpali dengan singkat. Tangan cekatannya tengah sibuk menggunting kertas lipat warna-warni di tangannya.

"Bangau kertas untuk memohon kesembuhan orang sakit itu biasa. Tapi 'baling-baling kertas'?" anak perempuan itu menyeret sebuah kursi dengan suara berdecit.

"Aku tidak memohon pada siapa-siapa. Aku hanya ingin membuatnya menepati janji," pemuda berambut hitam mulai meraih kertas kedua.

Gadis berambut merah muda mengerutkan keningnya, "Janji? Janji apa?"

Pemuda berambut hitam dengan cekatan telah menyelesaikan kertas keduanya dan mulai meraih kertas ketiga. "Musim panas kemarin, kau ingat acara wisata menginap sekolah kita ke pantai?"

Gadis berambut merah muda menganggukan kepalanya.

"Di malam saat kalian semua main kembang api, dia tiba-tiba datang menghampiriku dan berkata 'Buatkan aku baling-baling kertas musim panas'."

"Eh?" gadis berambut merah muda sedikit terkejut. Raut mukanya jelas menggambarkan kebingungan. "Buat apa?"

"Aku juga tidak tahu, makanya langsung kutolak permintaannya itu," pemuda berambut hitam meraih kertas keempat.

Gadis berambut merah muda mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, "Lalu apa maksud 'janji' itu?"

Pemuda berambut hitam dengan segera menyelesaikan kertas keempat, "Aku bilang padanya untuk berpikir imbalan apa yang akan dia berikan kalau kubuatkan baling-baling kertas yang ia mau itu,"

Gadis berambut merah muda tertegun, hening sejenak menyesap. Gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi plastiknya. "Itu…apa ada hubungannya dengan kecelakan itu..?" tanyanya hati-hati.

"Desas-desus tentang bunga langka di tebing batu karang dekat penginapan kita tinggal itu menguasai isi kepalanya. Ia pikir kalau ia bawakan aku bunga bernilai tinggi itu maka aku akan membuatkan baling-baling kertas sesuai permintaannya," pemuda itu menutup kedua matanya dan menghirup aroma musim panas yang akan segera berakhir.

"Dan dengan bodoh dia nekat mendaki tebing terjal itu dan terjatuh, menghilang berhari-hari," gadis berambut merah muda melanjutkan perkataan sang pemuda sambil menghela napas dengan kepala tertunduk.

Pemuda berambut hitam menghentikan kegiatannya. Dipandangnya sesosok rapuh yang terkulai lemah di atas ranjang putih di sudut ruangan. "Kalau dipikirkan sekarang, aku begitu kejamnya saat itu," ujarnya dengan senyum pahit.

Gadis berambut merah muda menelan ludah, tersenyum sedikit, "Kau hanya kurang memperhatikan sekelilingmu saja," ucapnya hati-hati.

Pemuda berambut hitam melemparkan pandangannya ke arah luar jendela, mata hitam pekatnya berkilau dengan pantulan sinar matahari. Pupil matanya berkilat seperti pecahan kata hitam. "Aku tidak pernah memikirkan perasaan siapa-siapa,"

Gadis berambut merah muda menarik sudut bibirnya sedikit lebih tinggi, "Paling tidak sekarang kau berusaha mengubah hal itu, Sasuke-kun," ucapnya.

Si pemuda berambut yang dipanggil Sasuke itu menopang dagunya, "Apa artinya kalau orang yang betul-betul ingin aku perhatikan itu tidak ada?" desisnya, seolah pertanyaan itu diperuntukkan bagi dirinya sendiri.

"Dia akan sembuh. Siuman, lalu mulai berbicara dan bergerak. Pasti akan sembuh," gadis berambut merah muda semakin melebarkan senyumnya.

Pemuda bernama Sasuke di hadapannya menoleh ke arahnya, kedua mata onyx-nya seolah mencari sesuatu dalam bola mata emerald gadis berambut merah muda itu. "Pasti," ulang gadis itu dengan mantap.

Sasuke kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap langit biru dan gumpalan awan putih yang menggantung di sana. "Kemantapan hati seperti itulah yang menarik darimu. Terima kasih, Sakura," ujarnya dengan segaris senyum tipis. Angin semilir beritup, memainkan gorden tipis berwarna putih yang kini menari lembut di sekitar mereka.

Gadis berambut merah muda di seberang meja yang dipanggil Sakura itu menyibak helaian gorden dengan tenang, "Aku senang. Senang melihat kau begitu banyak berubah," ia menatap Sasuke lekat, "semua berkat dirinya," lanjutnya.

"Maka dari itulah," Sasuke beranjak berdiri, menghampiri ranjang tempat terbaringnya orang yang mulai disadarinya begitu ia kasihi itu, "aku akan membuatkan dia baling-baling kertas yang ia mau. Sebagai gantinya, aku mau dia bangun. Dia harus sembuh. Harus," ujarnya dengan tegas dengan senyum tersungging di bibirnya.

Sakura menahan helaian rambutnya yang dimainkan angin, menatap sosok yang dibalut perban di atas ranjang itu dan mengembangkan senyumnya, "Tuh dengar Naruto! Cepat sembuh. Kalau tidak, awas kau," dan iapun tertawa renyah.

+-+

Suara-suara itupun meredup. Terdengar bunyi hentakan kaki, kursi yang diseret, jendela yang ditutup dan langkah kaki menjauh. "Sampai besok," dan suara lembut itupun lenyap bersamaan dengan bunyi derit pindu yang tertutup.

Seluruh otot tubuhnya kaku, tulang di sekujur tubuhnya terasa ngilu. Angin malam berputar dalam ruangan. Namun anehnya malam ini ia tak merasa kedinginan lagi. Sesuatu yang hangat tersimpan rapat dalam hatinya.

Naruto tersenyum dalam hatinya, "Aku akan sembuh. Pasti. Untukmu,"

+-+

- OWARI -


Ada saran? Kritik? Yang lainnya?

Suka? Tidak suka?

Silahkan ungkapkan pendapat kalian :)

Typo-error udah dikoreksi, makasih buat kalian yang udah ngingetin :)

Penyakit tak kunjung sembuh = Typo. Gomen.. T_____T