Summary: Ibarat permen, Tsukishima Kei itu nano-nano. Pedas, asem, asin, bahkan rasa Tsukuyomi juga ada. Hanya saja, Kinoshita Saki belum merasakan sisi manisnya. Bahkan interaksinya dengan Kei kebanyakan berakhir dengan pose OTL. Semua bermula dari acara pertukaran pelajar yang mengharuskan dia numpang di rumah si pemuda berkacamata, ditambah dengan perkenalan yang tidak bisa dikatakan semulus paha para waifu otaku di Jepang, bisakah Saki bertahan menghadapi si kacamata berlidah tajam dan tidak bunuh diri di dahan pohon kacang?

.

.

.

Kinoshita Saki punya firasat buruk. Bukan datang dalam bentuk mimpi buruk nan absurd seperti mimpi digigit banci. Bukan. Tapi karena pagi-pagi buta ini dia sudah melihat kakak laki-lakinya bangun dan melakukan pekerjaan rumah membantu ibu, walaupun hanya dengan berbalut kaos dan boxer yang motifnya nano-nano. Saki jadi ingat lagu masa kecilnya:

Lihat boxerku. Penuh dengan bunga. Ada yang putih, dan ada yang merah.

Anyway. Yang membuat perasaan Saki tidak enak adalah fakta bahwa kakaknya sudah bangun, pagi-pagi, segar bugar dan ditambah lagi dia sedang mengangkat-angkat barang untuk dirapikan. Biasanya kakak laki-laki satu-satunya itu harus dibangunkan berkali-kali dulu, entah ditepok, delus-elus, atau dicipika-cipiki oleh ayah mereka yang berjenggot tebal.

"Kakak."

Kakaknya menoleh, wajah seram itu menampakkan senyum lima jari.

"Pagi, Saki-chaaan."

Waduh, perasaan Saki tambah tidak enak. Kok kakaknya senang sekali sih?

"Jangan senyum-senyum begitu. Seram, tau." Saki mengucek mata, menghapus sisa-sisa kantuknya yang tertinggal. Tubuh mungil dengan piyama piyo-piyo itu bangkit dari tempat tidur, "Kenapa kakak sudah bangun pagi-pagi?"

"Heee? Kau lupa, ya Saki-chan? Hari ini kan kau mulai program pertukaran pelajarmu di Miyagi."

Mendengarnya Saki ingin tersedak.

"Hah? Bohong! Aku kan berangkat seminggu lagi."

Kakaknya cuma tertawa mendengar adik semata wayangnya protes.

"Nggak apa-apa kok. Seminggu atau sekarang, kan nanti Saki akan tetap berangkat. Itu ibu loh, yang nyuruh. Wahhh, nanti aku bakal kangen loh."

Mulut bilang kangen, tapi senyumnya menipu. Entah apa yang ada di kepala mahasiswa yang satu ini. Biasanya dia sangat sayang dengan adiknya, tapi semua berubah sejak Negara Api belajar berenang.

Lupakan kalimat terakhir itu.

"Kakak. Kakak kalau tidak tulus jangan terlalu kelihatan, dong."

Kakaknya tertawa lagi. Lalu dengan lengannya yang besar dan berotot itu dipeluknya adiknya secara tiba-tiba. "Yang betah ya, di sana. Kalau bisa jangan cepat-cepat, pulangnya." Dieratkannya pelukannya pada tubuh mungil sang adik. Aneh, biasanya Saki akan ngomel-ngomel karena tubuhnya yang tipis –dan renyah- terasa sesak oleh himpitan pelukan maut sang kakak, tapi kali ini dia diam saja. Apa dia shock karena akan berangkat secepat ini?

"Kak." Saki memanggil kakaknya dengan wajah lempeng.

"Ya?"

"Aku anak nemu di pinggir jalan, ya?"

HECTIC HOURS

Disclaimer: Haikyuu is not mine. Kalau Haikyuu punya daku, tidak akan kubiarkan abang Tsukishima Kei dianggurin.

Genre: Romance, Humor

Warning: 1. OOC, Bahasa suka-suka. Author mencoba membuat karakternya se-IC mungkin, tapi tampaknya tidak mudah, sodara-sodaraaaaah.

2. Setting fic ini semi AU. Akiteru Tsukishima akan lumayan banyak muncul. Sedikit berbeda dengan manga dan di anime, no angsty Akiteru di sini.

Okay, let's enjoy this fanfic. :)

.

.

.

Hidup tidak pernah lebih sulit dari saat ini bagi seorang Kinoshita Saki. Pertama, dia pindah dari tempatnya sejak lahir ke daerah asing yang… yah, tidak pernah dikunjunginya. Berpisah dari teman-temannya yang mulai akrab setelah beberapa bulan sekolah, 'diusir' dari rumah lebih cepat seminggu, tanpa Saki sempat membuat persiapan, serta-

Saki melihat sebuah bangunan rumah yang kini ada di hadapannya.

-tinggal bersama dengan sebuah keluarga asing untuk waktu yang tidak bisa dibilang singkat.

Biarpun kata ibunya kalau keluarga tempatnya menumpang nanti adalah teman lama ibunya, tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman merepotkan orang, dan tentu saja dia gugup bertemu mereka pertama kali. Lagipula, Saki kan punya kebiasaan suka nyanyi di kamar mandi keras-keras, joget-joget di ruang tamu sambil mendengarkan lagu dari seiyuu kesayangannya sambil beres-beres rumah, dan menirukan dialog aktris dan aktor opera sabun Turki yang diputar di TV.

'Bisa tidak ya, aku melakukannya di rumah ini nanti? Hhhhh…'

Saki menarik napas panjang. Dikepalkannya kedua tangannya kuat-kuat lalu skot jump sebentar untuk menghilangkan rasa gugupnya. Bertemu dengan orang-orang baru biasanya membuatnya melakukan hal yang memalukan secara refleks. Gadis itu berdoa semoga saja kali ini berbeda.

Terakhir, Saki merapikan pita hijau yang menguncir rambutnya.

Yosh.

Dia siap.

Tangan terjulur ke atas untuk meraih bel. Dengan merdunya bel berbunyi. Tidak ada yang membuka pintu. Mungkinkah mereka keluar rumah? Ataukah mereka lagi main cilukba di lantai dua? Saki mulai berpikir yang tidak-tidak. Dipencetnya lagi bel rumah itu. Pada 'ting-tong' keduabelas, baru pintu dibuka.

"Selamat siang." Bibir Saki melengkung. Senyum ceria ala kasir waktu menghadapi pelanggan dipamerkannya. Saking lebarnya senyumnya, matanya mengatup dan orang yang membuka pintu jadi tidak kelihatan. Karena tidak ada jawaban, Saki menurunkan kadar kecerahan senyumannya. Baru Saki sadar, kalau dia berhadapan bukan dengan mata orang, tapi dada.

Saki mendongak, ke atas, ke atas, terus ke atas, lalu terperangah. Mata hijaunya membulat, bibirnya monyong. Sebenarnya dia sadar kalau wajahnya berekspresi tidak elit. Anak gadis gitu, loh. Tapi itu normal kok, kalau gadis lain menemukan pemandangan di depannya pasti akan bereaksi sebelas dua belas dengannya. Karena yang membuka pintu itu benar-benar vitamin untuk mata, saudara-saudara. Saki merasa dirinya tiba-tiba jadi anak soleh, dan ini adalah rejekinya.

Pemuda yang di hadapannya itu:

Tinggi. Cek.

Ganteng. Cek.

Cara berpakaiannya bagus. Cek.

Dompetnya tebal. C-

BLAM!

Belum sempat Saki mengecek fakta yang satu itu, pintu terbanting dengan 'ramah'.

Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi, lalu sebuah teriakan kencang terdengar dari luar kediaman keluarga 'Tsukishima'.

'OI! DASAR NGGAK SOPAN!"

.

.

.

"Oi, Kei. Tadi yang memencet bel siapa? Kok sampai berteriak-teriak begitu." Akiteru bertanya sambil menggosok kepalanya yang basah. Tubuhnya hanya berbalut handuk di bagian pinggang karena dia baru saja mandi karena kepanasan. Air menetes dari leher ke dadanya yang bidang. Sementara kulitnya yang putih mulai bersemu terkena udara hangat di ruang tamu.

Di sebuah sudut kota di Indonesia, seorang author sedang mengelap darah yang menetes dari hidungnya.

"Bukan siapa-siapa," Kei menjawab malas. Jari-jarinya asyik berkutat dengan game online. "Paling-paling cuma sales."

"Kau yakin?" Akiteru menjawab skeptis. Adiknya itu, walaupun terhitung pintar, suka agak ajaib kelakuannya. Makanya temannya juga sedikit. Teman Kei paling-paling si Yamaguchi dan teman-temannya seklub voli. Itupun sama anehnya dengan adiknya, walaupun jenis dan tingkat 'keajaiban'nya berbeda.

Apakah mereka juga masuk ke dalam generasi keajaiban?

"Coba aku lihat dulu," ujar si sulung Akiteru.

"Oh, ok-, eh, tunggu, kak!" Kei berteriak, teringat kalau kostum Akiteru masih sama seperti tadi. Orang normal pasti akan langsung nosebleed tingkat tinggi melihat tubuh semolek itu hampir tanpa busana di siang yang panas ini.

Oke, fix.

Author perlu keramas saat ini juga. Cobaan ini terlalu besar.

Kembali kepada Kei, dia masih mengejar kakaknya yang tanpa dosa melenggang ke arah pintu.

"Kak, pakai dulu bajumu!"

"Apa sih? Aku kan laki-laki. Bukan perempuan yang harus pakai be-ha kalau nggak pakai baju." Tangan Akiteru terjulur untuk meraih gagang pintu.

"Kalau adikmu bicara, sekali-kali didengerin kenapa, sih?" Kei mengomel. Tangannya terjulur hendak menjambak kepala kakaknya. Tapi karena di fanfic ini author tidak mengijinkan Kei menjadi adik durhaka, maka Kei tidak berhasil menjambak kepala kakaknya dan dia malah tersandung lipatan tatami. Tubuhnya oleng ke depan dengan tangan tetap terjulur ke arah Akiteru.

SRAT!

Sebelum terjatuh dan mencium lantai, Kei sempat menggenggam sesuatu dengan tekstur lembut dan agak basah. Jangan mikir macam-macam, itu bukan pantat Akiteru kok, Kei hanya memegang handuk yang membalut tubuh bagian bawah Akiteru saja-

Kei berkedip.

-dan membuat handuk itu terlepas dari tubuh sang kakak.

"Ah, pintunya sudah terbuka," gumamnya pasrah. Gadis bermata hijau yang tadi mengetuk pintu itu juga masih berdiri de depan rumah mereka.

'Aduh.'

Kei sih bingung, kagok, dan dalam hati ingin membenturkan kepala ke tembok saat itu juga. Salah sendiri, sekarang Akiteru malah terekspos ke dunia luar dengan birthday suit alias bugil. Tapi namanya juga Kei, dia malas berkomentar atau bereaksi lebay. Dia kan nggak ekspresif seperti Hinata.

Di sepersekian detik yang menjadi salah satu bagian hidupnya itu, Kei menemukan kesamaan pose antara dia dengan gadis yang datang ke rumah mereka. Tangannya sama-sama terjulur, mungkin karena dia ingin mengetuk pintu lagi. Tapi wajahnya horor. Bola matanya selebar gundu menatap ke depan, lalu turun… turun… turun… ke bagian bawah tubuh milik Akiteru. Di lain pihak, Akiteru yang masih inosen dan merasa dipelototi oleh seorang gadis tak dikenal, juga ikutan melihat ke bawah.

Satu detik.

Dua detik.

Ti-

"AAAAAAAARRRRRRRRRRRRGGGH!"

Kakaknya dan gadis itu berteriak berjamaah.

Kei sampai harus tutup kuping sambil tetap memasang tampang tembok.

"Berisik."

.

.

.

Kinoshita Saki, umur sepuluh tahun. Kegemarannya adalah makan kue lidah kucing. Kegemarannya yang lain lagi adalah nonton kartun crayon Shin-chan. Buatnya, anak TK berwajah sebulat mangga matang itu benar-benar lucu…. walaupun otaknya mesum. Apalagi kalau dia sedang tidak pakai celana lalu 'belalai'nya yang kecil digambari dengan spidol.

"Gajaaah, gajaaaah." Shin-chan goyang-goyang absurd di layar kaca.

Saki tertawa terbahak. Remahan kue lidah kucingnya belepotan di mulut dan dia hampir tersedak.

"Saki. Kalau makan jangan sambil tertawa. Nanti tersedak," tegur ibunya.

"Ah, ibu cerewet."

Lima tahun kemudian, Kinoshita Saki, lima belas tahun, harus menerima fakta kalau gerutuannya pada ibunya itu berbuah pahit dan getir, melebihi pahit dan getirnya air mata buaya teman-temannya di klub drama jaman dia SMP dulu.

Tuhan tahu tapi menunggu, kata seorang pengarang buku kenamaan.

Surga di telapak kaki ibu.

Durhaka pada orang tua itu dosa besar.

Dan sederetan peringatan lainnya yang dicuekin oleh gadis itu di usia belia kini menghantam wajah dan kehormatannya di usia yang sebenarnya juga masih belia, sih. Kalau melihat belalai gajah Shin-chan Saki akan tertawa sampai berguling-guling di lantai, ternyata itu tidak berlaku kalau dia melihat belalai orang dewasa, live di depan matanya yang masih suci tak ternoda tapi sekarang statusnya janda.

Dari luar, Saki memasang muka datar.

Di dalam hati, dia menangis dan berjanji akan bunuh diri di bawah pohon kacang.

Tapi karena bunuh diri juga termasuk dosa besar, akhirnya niat itu tidak jadi.

Saki duduk diam di dalam rumah keluarga Tsukishima, menahan gemetar setelah melihat adegan 'buah terong bergelantungan dengan suburnya', di depan pintu rumah yang akan ditinggalinya enam bulan ke depan.

Enam bulan ke depan.

Enam bulan ke depan….

Enam bulan ke depan….

Kata-kata itu bergaung di telinganya berulang-ulang.

Saki menutup wajahnya. Bagaimana dia bisa melihat tampang Tsukishima Akiteru selama enam bulan ke depan?!

"Kei! Apa-apaan kau tadi?! Kenapa kau menarik handukku, bodoh?!"

"Haaaa? Aku tidak sengaja, tau. Bukannya kakak yang bilang 'aku bukan perempuan yang harus pakai be-ha kalau nggak pakai baju'?"

"Itu tidak ada hubungannya! Lagipula bukannya tadi kau yang melarangku keluar karena nggak pakai baju?"

"Ish. Gitu aja dibawa-bawa."

"KEIIII! Jangan seenaknya berkomentar enteng begitu! Sekarang bagaimana caranya menghapus ingatan gadis itu?!"

"Maksudmu ingatan kalau dia sudah melihat peni-"

BUAGH!

"Argh! Kakak! Sakit, tau!"

Ya, benar, Kei dan Akiteru sedang asyik tonjok-tonjokan, mengabaikan Saki yang masih belum pulih dari shock terapy-nya. Kedua bersaudara Tsukishima itu akan terus-terusan baku jambak kalau sebuah panci tidak melayang ke arah mereka berdua.

PRANG!

"…"

"…"

Hening.

Dua orang raksasa remaja yang tadinya bertengkar kini diam dengan wajah memutih, pucat, di hadapan sang ratu alias Tsukishima Megumi, ibunda mereka tercintah.

"I-ibu."

Saki hampir bisa mendengar kata-kata 'ampuni hidup kami yang tidak berarti ini, ratu,' di belakang kata-kata kedua kakak beradik itu barusan.

Megumi nyengir, tapi auranya masih aura kyuubi berekor sembilan yang lagi lapar.

"Anak-anakku yang manis," ucapnya lembut. "Apa yang sudah kuajarkan tentang tata krama terhadap tamu?"

Akiteru bersungut, Kei melengos, lalu menjawab bersama-sama, "Ta-tamu adalah raja." Ucap mereka lirih. Kalau kondisinya lain, Saki pasti akan ber-'KYAAAH' ria karena mereka tampak manis layaknya anak TK. Sayang, kondisinya sedang anfal.

Megumi melanjutkan, "Anak pintar. Kalau ada tamu, kita harus bersikap bagaimana selayaknya tuan rumah?"

"Sopan dan beradab," jawab mereka lagi kompak.

'Seperti menghapal mata pelajaran kewarganegaraan. Sugoi!' pikir Saki takjub.

"Nah," Megumi mengatupkan kedua tangannya, senyum masih mengembang, suara tetap riang, "Sekarang, setelah kalian mengerti, mari kita mulai semuanya dari awal lagi. Lupakan yang sudah terjadi. Hapus ingatan kalian tentang insiden Akiteru bugil tadi-"

Akiteru menangis dalam hati. Saki tersedak kedondong tak kasat mata. Kenapa harus diungkit lagi, sih? Dia harus menyalahkan siapa atas kesialannya hari ini?!

"-Lupakan juga kalau Kei yang sudah menyebabkan semua ini terjadi-"

Kei buang muka. Padahal mukanya ganteng, kok dibuang? Saki tak habis pikir.

"-Dan lupakan tentang uang jajan kalian yang ibu potong mulai minggu depan-"

'TIDAAAAK!'

Jiwa kedua pemuda itu terguncang gempa seratus skala Ritcherdan arwah mereka melayang. Saki mengheningkan cipta. Sedangkan ibu mereka, sih, adem ayem tenang sentosa setelah bertitah secara diktator.

"Saki, kemari, sayang." Megumi memanggil Saki yang sedang memandangi Kei dan Akiteru yang sedang meregang arwahnya, semuanya dikarenakan penyesuaian tarif oleh ibunda merangkap presiden bayangan di rumah tangga mereka. Dengan bergegas gadis itu berdiri dari sofa berwarna tanah di ruang tamu keluarga yang menjadi bakal host-nya. Secara refleks dia meluruskan rok bermotif polkadotnya yang sebenarnya tidak kusut.

Here it goes.

Dari wajah yang semula penuh senyum tapi mengancam, seorang Tsukishima Megumi bisa membalik ekspresinya yang seram menjadi begitu menawan. Senyumnya cantik dan lembut. Saki jadi ingat ibunya di rumah, dan kegugupannya perlahan menguap.

"Aki, Kei, ini adalah Kinoshita Saki. Karena program pertukaran pelajar antara sekolahnya dan Karasuno, mulai sekarang dia akan tinggal di sini. Oh ya, ibunya dan aku adalah sahabat semasa SMP dan SMA. Senang rasanya kami bisa berkomunikasi lagi setelah sekian lama. Menitipkan putrinya kepada keluarga kita berarti mereka menaruh kepercayaan pada kita. Aku juga sudah menganggap kalau Saki adalah putriku sendiri. Kalian sebagai laki-laki keluarga ini harus membantunya, mengerti?"

Hanya perasaan Saki saja atau badan Akiteru menegak sedikit, seolah menerima perintah dari komandan perang.

"Ah… ano.. terima kasih Tsukishima-san-"

"Panggil saja aku bibi, ibu juga boleh. Siapa tahu kau berjodoh dengan salah satu anakku, nee?"

"Hah?"

"Tidak, tidak. Lupakan saja," Megumi mengibas-ngibaskan tangannya.

Apa yang dikatakannya tadi spoiler?

"Iya. Terima kasih, bibi. Aku harap aku tidak merepotkan. Salam kenal semuanya." Saki berusaha menunjukkan sisi manisnya dengan tersenyum malu-malu. Semua anggota keluarga Tsukishima tersenyum ramah.

"Cih."

Kecuali satu orang tentunya.

"Kei, jangan begitu," tegur ibunya sembari berkacak pinggang. "Senyum sedikit, kek."

"Ano… tidak apa-apa kok, bibi."

"Tidak, tidak. Kalian kan akan satu sekolah, harus akrab dan saling bantu. Kei, perkenalkan dirimu padanya."

Seseorang tolong beritahu, kenapa suhu di ruangan ini turun beberapa derajat? Apakah tatapan mata dingin dari seorang Kei bisa membuat perbedaan sebesar ini? Saki tidak tahu apa yang menyebabkan dirinya dipelototi 'sehangat' ini oleh orang yang baru dikenalnya. Tapi alasan apapun yang dimilikinya, tidak adil kalau hanya dia yang merasa tidak nyaman.

Jadi Saki hanya bertingkah sesuai impulsnya saja. Apa saja akan dilakukannya asal pemuda di hadapannya ini terganggu. Apa saja.

Termasuk tersenyum lebar seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Kinoshita Saki. Senang berkenalan."

Mata keemasan itu menatapnya malas.

"Tsukishima Kei," balas pemuda itu tanpa minat. Lamat-lamat, Saki bisa mendengar kata 'Tsk, payah.' keluar dengan nada mencibir dari bibir cowok di hadapannya.

-TBC-

.

.

Next Episode:

Saki : "Kei, senyummu itu menyeramkan. Tapi aku tidak takut padamu. Di chapter selanjutnya aku yang akan lebih banyak muncul!"

Kei : "Ho... challange accepted. Di antara kita akankah Tsukuyomiku -"

Saki : "-Atau Emperor Eye-ku-"

Kei & Saki : "-yang akan menang!"

Author : "Tolong ya, kalau mau bawa-bawa parody, kasih tau aku dulu biar bisa pasang disclaimer! Boge! Hinata Boge!"

Shoyo : "KENAPA AKU DIBAWA-BAWA?! Episode selanjutnya : Chapter 2... Eh, kok nggak ada judulnya?"

.

.

.

Author corner"

Iyaaaaah. Tall-and-handsome, desu. Minna-san bisa memanggilku 'cute-chan'. #tolong jangan lempari author dengan tomat baik yang masih segar maupun yang sudah busuk, apalagi flame, ya.

Untuk chapter 1 yang tidak sempurna ini, maafin yah. I'm just a new author who loved Haikyuu! so much, especially Tsukishima dan Sugawara...dan Nishinoya... dan Kageyama. Okey. So, yang Author sukai banyak.

OTL. Tapi yang dibikinin fic cuma abang Kei -bacanya jangan disambung-

Balik lagi ke topik, yes, ini fic pertama Author. Mungkin banyak kesalahan di sini, tapi harap dimaklumi yah :)

Buat Author sendiri, Author seneng banget bikin fic ini, secara yang ngeramein fandom Haikyuu!, terutama yang dari Indonesia, kok masih dikit ya?

#sediiiiih

Setting fanfic ini, kaya udah dicantumin lagi, adalah semi AU -kayanya, i'm not sure- #dilempar panci.

Beberapa perubahan dibuat, antara lain hubungan Kei dan Akiteru tidak pernah renggang, Hitoka Yachi gabung sejak awal tahun, dan beberapa perubahan lain yang menyusul -sebenarnya, sih, belom kepikiran-

Author berharap fic ini banyak dibaca, banyak menghibur minna-san, dan banyak direview dan difavorit.

Meskipun gaya bahasa Author nggak sebagus senior-senior di luar sana -menerawang dengan gaya Asahi-

Okeh. Dengan segala kerendahan hati, plis review yah, minna-san. Kalau nggak, Author nangis, loh #anceman gak mutu.

Soshite, thank you and see you on the next chapter.

,