If I Never Knew You

Random POV

.

.

.

[Sasuke's POV]

"Sakura…!" aku terbangun dengan keringat di sekujur tubuhku. Tubuhku yang tak memakai pakaian terasa basah kuyub seperti habis disiram air seember, benar-benar basah kuyub. Kedua telapak tanganku mengusap wajahku yang juga sudah basah oleh keringat.

Aku menatap wanita yang cantik yang tengah terlelap di sampingku, wanita cantik berambut merah. Namanya Karin, atau lebih tepatnya sekarang dia adalah istriku. Cukup beruntung, Karin tidak sempat terganggu akibat aku yang tiba-tiba terbangun barusan

Aku menggeser tubuhku, hingga aku bersandar di ujung ranjang King Size milikku.

Kembali pikiranku melayang pada mimpiku barusan. Memikirkan sosok yang baru saja menjadi penyebab aku terbangun tiba-tiba. Entah kenapa, akhir-akhir ini, wajahnya selalu mengganggu tidurku. Ah! Tidak, mungkin lebih tepatnya, semenjak aku menikah, ia selalu membayangiku. Dalam mimpiku, ia memang tidak berwujud menyeramkan tapi.. ah, aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana lagi. Yang pasti aku selalu terbayang oleh sosoknya.

Aku kembali menghela nafas panjang, sosok yang namanya kupanggil dalam mimpiku, Sakura, lagi-lagi ia melintas di pelupuk mataku. Aku menelan ludahku membasahi kerongkonganku yang terasa kering.

Aku menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhku, dan meninggalkan tempat tidur. Tak lupa, pakaian ku yang berserakan di lantai, ku jumput dan ku kenakkan.

Aku melangkah ke dapur, bertelanjang dada mencari air minum, yang sekiranya akan membasahi kerongkongan yang terasa kering akibat mengeluarkan keringat yang terlalu banyak.

Di dapur ini kembali aku duduk termenung.

"Sakura…" desahku menyebut nama, mantan kekasihku, yang selalu mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

Rasa rindu seringkali menyerang konsentrasiku. Terkadang aku ingin menghubunginya, tapi selalu ku urungkan. Semakin ku simpan rindu ini, semakin pula menyesakkan dadaku. Entah bagaimana dia sekarang. Tepi keadaan dan keputusanku membuat aku hanya bisa menyentuhnya dengan hatiku.

o0O0o

[Sakura's POV]

Mataku tak pernah berhenti mengeluarkan air mata. Setiap kali aku menatap photo pria tampan yang tengah ku genggam.

Sebelum mengenalnya, aku hanyalah berusaha sebagai gadis yang tegar menghadapi cobaan hidup. Aku selama ini, sebelum mengenal sosok pria itu, aku hanya berpasrah pada keadaan dan menerima nasib. Sehingga di kepasrahan itu, aku malah bisa menikmati hidup.

Tapi semua berubah saat pria itu datang. Aku yang selama ini kuat, menjadi sosok manja nyaris cengeng pada pria itu. Ia datang dengan pesonanya yang menghipnotis semua kaumku. Dan saat itulah aku mabuk kepayang oleh keindahan yang di tawarkan oleh cinta buta. Rasa yang tak bisa kulukiskan dengan kata. Tapi bisa kurasakan. Saat itu ia datang menjadi sosok pangeran, datang dan tercipta untukku. Sang pangeran yang selama ini hanya ada dalam kisah dongeng, dan muncul menjadi nyata, yang hanya tercipta untukku

Awalnya kami hanya berkenalan, kehadirannya ku anggap biasa saja. Karena aku cukup tahu diri, siapa aku.

Tapi ia berhasil meyakinkanku, bahkan membuktikan padaku, kalau cinta tak mengenal kasta, rupa atau fisik. Cinta itu harus buta agar tak perlu banyak menilai. Cinta itu indah, sehingga ia bisa di nikmati oleh siapapun.

Tapi kulupa, karena kebutaan cinta itulah, siapapun yang telah terjebak di dalamnya, bisa di raih dan diarahkan oleh siapapun.

Sasuke, sosok yang paling ku benci sekaligus paling kucinta. Sosok yang telah membuatku menjadi gadis tolol yang bahkan hanya untuk membuang fotonya, aku tidak mampu. Seakan aku masih bergantung padanya.

Aku Sakura, wanita yang mengalami kelumpuhan akibat gangguan syaraf neuron yang terhubung ke tulang punggung. Sehingga syaraf di kakiku, tidak merespon perintah dari otakku. Jangankan merespon, bagian bawah tubuhku mati rasa. Pertumbuhan bagian bawahku tergolong normal, tapi sama sekali tidak menjalankan fungsinya sebagai alat gerak. Bahkan jika saja aku tidak melihat, maka aku merasa bahwa aku sama sekali tidak memiliki kaki.

Lagi-lagi keperihan ku rasakan jika mengingat sosok pria itu. Aku membenci sekaligus mencintainya. Aku membenci dia yang dengan sengaja mencampakkan aku dalam keadaan tidak berdaya.

Di balik kebencianku, ada sisi dimana aku begitu mencintainya. Dia pria pertama yang telah membuatku begitu mengenali jati diriku sebagai wanita. Aku tahu bagaimana rasanya saat jatuh cinta. Bahagianya berduaan atau dengan kata lain berkencan, meski harus berada di atas kursi roda. Tapi saat indah itu, masih dalam kenangan, bahwa kencan di atas kursi roda sama sekali tidak buruk.

Sudah 3 tahun berlalu, namun kenanganku bersama dia masih lekat teringat dalam pikiran ini. Ya, tetap lekat di hatiku. Ternyata memang tidak mudah menggapai asa dan harapan. Tidak semudah ucapan di bibir ataupun membalikkan telapak tangan. Begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan dan dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah cinta. .

Bagai sebuah siaran TV, kenangan indah dan buruk itu silih berganti masih terlihat jelas di depan mataku.

Malang tak bisa ditolak, untung tak dapat diraih, ternyata pria itu memilih untuk berpaling. Uh... sesak rasanya rongga dada ini. Semuanya, terutama hari paling menyakitkan dan merupakan mimpi terburuk diantara mimpi terburuk. Ia datang, dengan tatapan sendu, dan langsung mengatakan kalau ia akan pergi menjauh dariku. Ia kan pergi ketempat di mana tak bisa kujangkau meski andai kedua kakiku bisa berlari untuk menghalanginya. Tempat yang ia maksudkan adalah pernikahannya dengan wanita lain. Akhirnya aku hanya bisa lihat dia pergi menjauh.

Akal sehatku berkata, "Kalau emang itu yang terbaik buat dia, aku kan senang " Itu pilihan hidupnya dan mungkin itu jalan terbaik baginya. .

Setiap kali mengingat semuanya, air mataku tak bisa lagi ku bendung. Meski aku sudah mencoba kuat, tapi semua sia-sia belaka. Hati dan pikiranku tak bisa ku kontrol untuk menyatu. Otakku memerintah agar aku kuat, tapi aku tak bisa menuruti. Dan hatiku meminta untuk menumpahkan airmata karena rasa sakit, dan aku tak kuasa menolak.

"Sakura" panggilan dari dalam rumahku. Suara itu jelas adalah suara ibu.

Aku buru-buru menyeka air mataku, memperlihatkan wajah seperti biasa, normal di depan ibuku.

"Ya, Bu", Aku memalingkan wajah dan berusaha melempar senyum. Seperti biasa pula, aku berbohong sebagai gadis ceria penuh ketabahan yang duduk diatas kursi roda, di temani buku dan musik dari gadgetku. Dan sejauh ini sukses.

Ibu pun segera berdiri di belakangku. Mendorong kursi rodaku perlahan keluar meninggalkan rumah.

"Mau kemana, Bu?" tanyaku karena ibu tidak berkata apa-apa.

"Mengajakmu jalan-jalan. Kau tidak bosan?" tanyanya perlahan.

Mataku sedikit membulat, aku adalah anaknya, ikatan kami bisa di katakan kuat. Dan nada perlahan ibu, aku merasa ia juga menyimpan kegetiran.

Sembari ibu mendorong kursiku jalan-jalan mengelilingi taman kesukaanku. Pandanganku mengabur terhalang oleh linangan airmataku. Mengingat ucapan ibu barusan, aku malah merasa kalau ibu tahu keadaanku yang selalu bersedih mengingat kejadian dan cobaan yang selalu begitu bodoh, sampai-sampai rasa perih ini, malah di rasakan oleh orang di sekitarku. Padahal, aku hanya ingin, agar cukup aku yang merasa.

Aku memang bodoh, bahkan hanya untuk membuang photonya pun, tidak sanggup aku lakukan, dan malah membawaku makin jauh kedalam lembah kesedihan.

Aku baru tahu, cinta juga membuatku begitu bodoh. Tidak bisa lagi membuatku tuk sadar diri, siapa aku. Mungkin memang benar, merebut sang pujaan kita, hanya bisa terjadi dalam sebuah permainan atau sandiwara cinta.

o0O0o

[Normal POV]

"Shhhh…grrrr" di kantornya sekarang, Sasuke lagi-lagi harus menggeram. Mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh wajah dengan kasar dan cepat. Sampai-sampai meninggalkan jejak merah di wajahnya yang putih bak porselen.

"Yo, Teme. Sepertinya keluargaku itu memberikanmu banyak masalah ya" Naruto yang tiba-tiba muncul di depan pintu langsung saja menyapa, bahkan sebelum ia duduk di kursinya.

Sasuke hanya mendesah nafas, bukan hanya masalah dengan Karin. Tapi gambaran Sakura kini mulai menghantuinya. Ia selalu di kejar oleh rasa bersalah dan penyesalan yang begitu mendalam.

Sasuke hanya bisa mendesah nafas. Mengambil sebatang rokok di atas meja kerjanya. Menyulut dan menghisapnya dalam-dalam.

"Sejak kapan kau merokok, Teme…" tanya Naruto keheranan. Ia tahu sahabat temanya itu sangat memperhatikan kesehatan. Naruto makin menautkan alis, seperti apa beban yang di alami sahabatnya itu, sampai-sampai ia frustrasi dan bahkan berani menyentuh salah satu media 'pembunuh' itu.

"Uhuk…uhhuk..!" Sasuke malah terbatuk. Ia memang tidak terbiasa merokok, jadi baru beberapa hisapan, ia sudah tersedak asap.

"Sudah cukup kawan, ini bukan gayamu" ujar Naruto sambil merampas batangan rokok yang masih menempel di mulut Sasuke.

"Ceritalah" pinta Naruto sebagai bentuk perhatian pada sahabat. Tatapannya tak lepas dari pada Sasuke, untuk meyakinkan Sasuke agar menceritakan keluh kesah yang di pendam.

"Bukan di sini, Naru" balas Sasuke pasrah.

Berikutnya Sasuke menggulirkan pandangan ke arah pintu.

"Masuklah, Sasori"

Seorang pria muda, mungkin seumuran dengan mereka berdua, berambut merah, muncul didepan pintu. Pria yang di panggil Sasori itu adalah salah satu orang kepercayaan Sasuke. Pria inilah yang biasa mengambil alih tugas Sasuke jika Sasuke sedang dalam urusan.

"Aku ingin kau ke manufacture Hi. Cari seorang gadis bersurai merah muda yang bernama Sakura. Awasi dia dan laporkan apapun tentang dia padaku"

Sasuke segera mencatat alamat rumah yang di maksud. Setelahnya ia menyerahkan pada Sasori. Sementara itu Naruto hanya menautkan alis penasaran. Tapi ia masih menahan beberapa pertanyaan yang muncul di kepalanya.

"Baiklah. Tuan!" jawab Sasori.

Inilah yang di sukai Sasuke dari Sasori. Ia tidak banyak bertanya jika Sasuke memberinya tugas.

Sekali lagi terdengarlah nafas Sasuke, ketika Sasori sudah meninggalkan ruang kerjanya.

"Aku butuh ketenangan" ujar Sasuke berdiri dari tempatnya seraya membenahi arsip-arsip yang masih berserakan di atas meja kerjanya.

Sepertinya asisten atau sekretarisnyalah yang harus kerja keras lagi.

"Hana. Tolong selesaikan semua ini" ujarnya pada sekretarisnya yang duduk tidak jauh dari tempatnya, yang sedari tadi diam.

"Baik Tuan" ternyata benar, sekretarisnya yang bernama Hana inilah yang harus lembur gara-gara bosnya yang tengah di landa frustrasi.

Sasuke segera meninggalkan meja kerjanya, di susul Naruto.

o0O0o

Di dalam restoran yang berseberangan dengan kantor milik Sasuke.

Sasuke dan naruto duduk berhadapan. Dari tadi, baik Naruto maupun Sasuke belum mengucapkan sepatah kata pun.

Naruto hanya bisa menopang dagu, ia yang biasanya tak bisa diam mengganggu sahabatnya itu, kini hanya diam menopang dagu, sesekali tangannya mengaduk-aduk makanan yang telah di pesan.

Sementara itu Sasuke bahkan tidak memesan apa-apa kecuali segelas teh oblong, yang bahkan juga belum di sentuhnya. Yang sering terdengar adalah suara desah napas berat dari Sasuke.

Naruto yang mulai bosan harus mencari ide untuk mencairkan suasana. Dan sepertinya bukan Naruto jika ia tidak bisa melakukan itu.

"Sepertinya Karin itu memang menjadi sumber masalahmu" belum ada tanggapan dari Sasuke.

Naruto menarik sudut bibir, kali ini ia memiliki kata-kata jahil agar Sasuke mau mengeluarkan keluh kesahnya.

"Ah… aku ingat. Sudah tiga tahun kalian menikah. Dan kalian belum punya anak. Sasuke, kau tidak…" kali ini Sasuke benar-benar bereaksi. Ia menatap tajam Naruto. Tampak pula wajah kesalnya di perlihatkan pada Naruto. Ia kenal betul dengan sahabatnya ini.

"Apa?" nadanya masih terasa datar, namun menyimpan rasa jengkel.

Merasa berhasil dengan rencananya. Bukannya membuat Naruto berhenti, bahkan ia akan melakukan lebih jauh.

"Maksudku, kau tidak impoten kan?"

"Brengsek! Yang ada, Karin lah yang minta berhenti atau jedah" ketus Sasuke.

Meledaklah tawa Naruto saat itu juga. Gara-gara tawa Naruto yang tiba-tiba tertawa, membuat para pengunjung lain sontak menoleh. Hal ini tentu saja membuat Naruto harus buru-buru minta maaf.

"Susah juga. Jika menjalankan rumah tangga tanpa dasar cinta yang kuat" ucap Naruto dengan nada menurun.

"Hubungan kami serasa hambar. Semua berjalan begitu saja. Sekedar melakukan kewajiban" ujar Sasuke sambil memainkan gelasnya yang masih terisi penuh didepannya.

"Sebenarnya masalah apa saja yang di berikan sepupuku itu" tanya Naruto, kali ini dengan nada serius.

"Naruto, ini bukan hubunganku dengan Karin. Tapi … aku…" Sasuke sepertinya tidak mampu melanjutkan ucapannya. Sebenarnya ia ingin bercerita tentang Sakura yang tengah di awasi Sasori kini.

Pandangan Sasuke menerawang jauh, mengingatkan tentang Sakura. Satu sosok yang membuatnya selalu merasakan getir tatkala mengingat betapa tak berdayanya Sakura di atas kursi roda. Dan yang pasti, ia bisa membayangkan, bagaimana perasaan Sakura saat ia memutuskan untuk meninggalkan dan memilih menikah dengan Karin. Hal inilaha yang selalu menghantui pikiran Sasuke. Sesal dan sedih, apa lagi?

Naruto tidak langsung menanggapi. Ia sedikit heran, sangat jarang atau mungkin tidak pernah, Sasuke mau menceritakan masalah pribadinya. Olehnya itu, Naruto tidak mau menyela, kwatir jika Sasuke malah membatalkan curhatannya.

Karena tidak ada tanggapan dari Naruto. Sasuke pun memutuskan untuk meluapkan keluh kesahnya pada sahabatnya.

"Kau ingat ketika perusahaan ayah di ambang kebangkrutan? Di saat itulah Uzumaki datang membantu dan menyokong dana…" Sasuke mulai bercerita.

"Uh hm… terus?" Naruto tampaknya makin tidak sabar menunggu kelanjutan cerita Sasuke.

Kembali Sasuke menghembuskan nafas perlahan.

"Dengan syarat, aku harus menikah dengan Karin" ucapan Sasuke terhenti tiba-tiba.

"Ya aku tahu. Dan aku tahu pula kalau Karin itu sangat mencintaimu"

"Kau salah, cinta dan ambisinya selama ini padaku, tidak lebih dari sebuah emosi. Bukan rasa asasi, rasa cinta yang sesungguhnya…" lagi-lagi Sasuke menghentikan ucapannya. Ia sedikit ragu untuk melanjutkan ceritanya.

"Lalu?"

"Bukan hanya itu. Ia terlalu sering bertengkar dengan ibu"

"Lantaran?"

"Karin menolak memberikan cucu. Karin tetap memilih berkarir" sasuke lagi-lagi mendesah nafas, "Dan pada akhirnya yang ada adalah pertengkararan Ibu dan Karin"

"Lalu kenapa kau mau bertahan?"

"Oooh…", Naruto menganggukkan kepala tanda mengerti. Latar belakang kenapa Sasuke bisa menikah dengan Karin sudah ia ketahui juga.

"Tunggu!" Naruto mengangkat telapak tangannya, "Soal Sakura tadi… dia siapa?"

Tidak ada kata jawaban dari Sasuke melainkan hembusan nafas yang terdengar sedikit cepat dalam beberapa tarikan.

"Dia kekasihmu?" kembali Naruto bertanya penuh selidik.

Sasuke hanya membuang muka melihat para pengunjung restoran yang keluar masuk melalui pintu.

Melihat Sasuke, mengertilah ia sekarang, sedihnya Sasuke bukan hanya masalah rumah tangganya belaka. Tapi masih ada hal lebih membuat sahabatnya itu bersedih. Pasti soal Sakura, dan Naruto yakin, Sakura memang adalah kekasih Sasuke. Jadi sedihnya Sasuke karena rasa bersalah, telah meninggalkan Sakura.

Bagi Naruto, ia bisa membaca adanya raut kesedihan di wajah sahabatnya itu. Dan ia tahu, Sasuke masih mencintai si Sakura.

Ia tahu Sasuke bukanlah type pria yang mudah ingkar. Ia tahu, Sasuke sama sekali tidak tertarik pada Karin, tapi janjinya di atas ikatan pernikahan memaksa Sasuke untuk tetap bertahan.

Dan Sakura, nampaknya Naruto juga penasaran dengan gadis itu.

"Kalau kau masih peduli, kenapa tidak kembali kepadanya?"

Sasuke hanya menggeleng kepala, entah apa maksudnya. Kali ini Naruto tidak mengetahui maksud Sasuke.

"Terus. Kenapa pula kau malah mengutus Sasori mengawasinya, kenapa bukan kau saja yang melakukan"

Sasuke menatap pada Naruto, "Aku takut" jawab Sasuke singkat.

"Takut kenapa?" tuntut Naruto.

"Aku adalah pria berengsek untuknya. Bahkan hanya untuk sekedar menatapnya. Aku merasa tidak pantas. Masih banyak pertimbangan, aku…" Sasuke sengaja tidak melanjutkan ucapannya.

Naruto pun juga mengambil napas panjang, "Aku tidak tahu masalahmu memang rumit, atau kau yang sengaja membuat rumit"

"Kau tidak akan mengerti, meski ku jelaskan" ujar Sasuke perlahan sambil menundukkan kepala.

Naruto mengangkat bahu pasrah, Sasuke adalah pria serius, setiap masalah, pasti akan di tanggapi dengan serius pula. Setidaknya itulah yang di pahami Naruto tentang Sasuke.

"Mungkin" selanjutnya Naruto memilih menikmati pesanannya.

o0O0o

Ibu Sakura atau Mebuki sambil tersenyum riang bersama Sakura, mereka terus mengelilingi taman bunga.

Sesekali tangan jail Mebuki memetik tangkai bunga.

"Ibu…!" geraman perlahan Sakura.

"Hahaha…" tertawalah Mebuki, ia memang sengaja melakukan itu, hanya sekedar untuk menggoda Sakura. Mebuki tahu, betapa sayangnya Sakura pada tanaman hias, tentunya ia tahu pula, Sakura pasti sangat keberatan jika tanaman hiasnya di ganggu.

"Sangat di sayangkan, jika yang cantik ini tidak menghiasimu" ujar Mebuki lagi, sambil menyisipkan setangkai kuntum bunga dan di selipkan di rambut Sakura.

"Haahh…! Ibu" desah Sakura pasrah, lagi pula, percuma untuk protes lagi. Bunga sudah terlanjur di petik.

Mebuki tersenyum antusias sambil menyisipkan sekuntum bunga tadi. Berikut Mebuki menatap, wajah polos Sakura. Ia teringat, bahwa selama ini, orang luar yang bisa menyentuh tanaman hias milik Sakura, hanyalah Sasuke.

Melihat wajah polos sang puteri. Miris hatinya seketika, mengetahui, betapa sakit dan sedihnya sang puteri yang di campakkan oleh seorang pria bernama Sasuke.

Namun ia pun tak bisa terlalu menyalahkan Sasuke. Sangat wajar, pria mana juga yang mau hidup bersanding dengan wanita cacat seperti putrinya.

Tanpa sengaja Sakura melihat raut kemurungan di wajah sang ibu.

"Ibu"

"Tidak apa-apa, nak" ujar Mebuki sedikit serak. Ia sepertinya sudah tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan mengingat nasib sang puteri.

"Aku tahu, Bu. Selama ini aku hanya berpura-pura tegar, di hadapan ibu. Aku hanya tak ingin ibu ikut-ikutan bersedih…" suara serak Sakura berheti saat itu juga. Air mata yang berusaha ia bendung, akhirnya tumpah juga membasahi pipinya yang halus.

Mebuki yang berdiri di belakang Sakura, beringsut dan berdiri di depan Sakura. Kedua tangannya memegangi kedua belah pipi Sakura, menatap sayu pada sang puteri.

"Apakah kau memang tidak bisa lepas dari pria itu"

"Aku membencinya…" saat ini juga, air mata Sakura mengalir makin deras.

Mebuki tidak mengeluarkan kata-kata selain memeluk erat putrinya. Ia juga pernah muda, rasa kehilangan dan patah hati karena di tinggal, juga pernah di alami olehnya. Dan ia tahu seperti apa rasanya. Apa lagi sang puteri, terlalu banyak penyebab sehingga putrinya itu lebih merasa kehilangan.

Mebuki terus membelai putrinya yang meluapkan segala keluh kesahnya dalam pelukannya. Mebuki pun tak bisa berbuat lebih, ia mengerti, pria mana yang mau hidup dengan putrinya yang tak bisa berbuat banyak.

Mebuki hanya bisa berandai. Andai saja pria itu, tidak bertemu dan berkenalan, bahkan menjalin cinta dengan putrinya, mungkin Sakura tidak akan terluka seperti ini.

o0O0o

"Sudah kubilang aku tidak mau" lagi-lagi pagi Sasuke di sambut oleh bentakan Karin dari ruang tengah. Siapa lagi yang di bentak kalau bukan Mikoto.

Yah tiga tahun pernikannya dengan Karin, sampai sekarang keduanya belum di karunia anak. Keduanya memang tidak ada masalah dalam fertilitas. Keduanya di nyatakan dokter kalau keduanya sehat. Hanya saja Karin menolak punya anak, dan tetap ingin jadi wanita karir. Alasan klasik, Karin tak ingin di repotkan oleh kehadiran anak, ia merasa terlalu muda untuk di repotkan sebagai seorang ibu.

Sementara itu baik Mikoto maupun Fugaku sangat berharap, mereka memiliki cucu yang menemani hari tua mereka.

Bukan hanya itu pula, Karin sering membantah Mikoto, dan Sasuke tidak suka.

Fugaku yang biasanya tegas pun, akhirnya di buat tak berkutik oleh ulah karin.

"Cih!" decihan Karin yang di anggap Sasuke adalah perbuatan kurang ajar pada ibunya, membuat darah Sasuke mendidih.

"Hey! Berhenti kau!" Bentak Sasuke pada Karin.

Karin yang sudah di depan pintu bersiap meninggalkan rumah, berhenti.

Karin tetap berdiri dengan posisi memunggungi keluarga Uchiha ini. Kepalanya sedikit di tolehkan sehingga hanya memperlihatkan sebagian wajahnya.

"Sasuke. Dulu aku sangat mencintaimu. Tapi menghadapi keegoisan kalian. aku sudah tidak tahan" ucap Karin ketus, masih dalam keadaan posisinya.

"Kau lah yang egois, kau melupakan kewajibanmu sebagai seorang wanita. Kau mengabaikan fungsimu sebagai isteri dan menantu…" balas Mikoto sedikit melengking. Keanggunan wanita paruh bayah itu lenyap seketika.

"Kaulah mertua egois" Karin memutar tubuh dan menghadap bahkan menuding Mikoto, "Punya anak! Memberi kalian cucu? Jangan harap. Aku tak ingin di pusingkan dengan urusan anak. Mertua egois sepertimu saja sudah cukup merepotkan, di tambah lagi anak. Mimpi!"

Usai berkata demikian, Karin melenggang pergi, tanpa menghiraukan panggilan Mikoto maupun Sasuke.

Kepergian Karin, di antar dengan geraman dan sumpah serapah dari Mikoto. Ia juga sudah muak dengan Karin yang terlalu sering menyombongkan diri atas jasanya pada keluarganya. Sehingga karin selalu berbuat seenaknya. Termasuk menolak mentah-mentah keinginan Mikoto.

Fugaku menghela nafas berat. Sungguh ia menyesal, telah memanfaatkan rasa cinta Karin pada Sasuke.

..

.

TO BE CONTINUED

.

.

Etto… sebenarnya ini sequel dari fict 'Terima Kasih' milik Mbakyu Yanti Sakura Cherry. Silakan kunjungi prequelnya untuk mencocokkan alurnya. :D.

Arigatou