.
Gintama © Sorachi Hideaki
Divergent © Veronica Roth
.
Tattoo © takanashi misaki
I own nothing but this fic. If anything, it would've been Yorozuya Sugi-chan instead.
.
Sangat disarankan baca (atau setidaknya ngerti) setting novel Divergent
.
.
Happy reading ^^
.
Mind to RnR?
.
.
.
.
.
Angin dingin matutine* meenyeruak ribut, seolah saling berebut menjilat paruh atas tubuh telanjang Hijikata Toshirou begitu daun jendela terayun terbuka. Bulu kuduknya meremang saat ia menyadari musim belum berganti: kuncup sakura paling tua masih nyenyak berhibernasi.
Ia menendang selimut tebal berwarna gelap—seperti seluruh warna barang-barang lain di ruangan berjengkal mati 10x13 m² itu dan meraba-raba nakas, meraih sebungkus rokok. Adalah gerakan refleksnya untuk baru mencari geretan setelah satu gulungan nikotin manis terapit di sela bibir.
"Ini belum jam lima pagi."
Sepotong tangan menawarkan api; Toshirou harus mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan agar ujung lintingan rokok di bibirnya dapat mencecap nyala korek yang disodorkan. Di bawah tangan kanannya yang menjadi tumpuan berat tubuhnya, sosok lain menggeliat malas-malasan, menarik selimut (mungkin) untuk mencegah (beberapa) bagian tubuhnya terekspos. Padahal ada satu organ yang sudah menyapa Toshirou sejak beberapa saat yang lalu lelaki itu terbangun.
(sebenarnya istirahat pertama yang didapat Toshirou setelah bekerja keras 52 jam belakangan rusak berkat dia, tapi toh Toshirou sempat dengan raut wajah gemas mengecupnya sebelum membuka jendela. Mungkin tak apa)
"Lihat siapa yang bicara."
Toshirou mengedikkan dagunya ke sebatang kiseru yang mendekorasi sela jemari—masih dari pemilik tangan yang sama yang tadi sempat menawarkan api. Yang sama-sama tanpa malu telanjang bulat, memamerkan tiga cetakan tato yang mewarnai lekukan tubuhnya (yang terhitung kecil dibandingan dengan dua orang lain); pinggul kanan, tepat di atas tulang belikat kiri, memanjang hingga mengecup rusuknya dan yang terakhir masih agak merah, menjejak tulang lehernya hingga batas bahu.
Pemilik ketiga tato itu hanya terkekeh.
"Kau tahu kopi tidak pernah mengambil peran aktif buat membangunkan siapapun di sini."
Toshirou hanya mendengus. Lawan bicaranya benar-benar tidak tahu malu; santai saja menyeberangi konter dapurnya tanpa merasa perlu menutup setidaknya beberapa belas senti privasinya. Padahal ada manusia lain yang bernapas dalam satu petak atap yang sama.
Walau memang tadi malam mereka bertiga bersepakat saling pamer, sih.
"Pakai bajumu, eksibisionis."
Yang diajak bicara mengangkat sebelah alis.
"Baru tadi malam aku dipanggil masokis."
Toshirou menjentikkan abu rokoknya di kusen jendela yang sempurna bulat. Dia tahu ini jelas akan menjengkelkan lawan bicaranya. Ia menyeringai saat bibirnya mengerucut tidak suka sementara ia masih berada tiga lompatan jauhnya di belakang konter, kedua tangannya sibuk menakar balok gula di dalam cangkir.
"Bangunkan Gintoki, brengsek." Ujar lelaki itu, sengaja mengeraskan dentingan mug dan sendok beberapa oktaf di atas nada wajar.
"Tuh. Dengar, kan, pengangguran?" Toshirou menendang sepotong tungkai yang menyembul di antara tumpukan bantal yang tumpang tindih dengan seprai yang terlipat sembarangan; separuh kehilangan fungsi aslinya menutup kulit kasur dan separuh baralih fungsi menjadi selimut sekunder. Gumaman yang samar-samar terdengar seperti makian bercampur keluhan keluar serak dari balik gundukan kain.
Lelaki yang kini mengolesi roti dengan selai stroberi banyak-banyak menghela napas. Kiseru absen dari apitan bibirnya dan diletakkannya di asbak tepat sejangkauan tangan dari tempatnya berdiri. "Terserah. Tapi aku mau seprai dan selimut sudah dimasukkan dalam mesin cuci sebelum Zura datang."
Sampai pada kata 'Zura' sebentuk kepala berambut perak awut-awutan praktis meloncat dari balik selimut. Dengan mata membelalak ia setengah berteriak, "Zura?!"
Toshirou menjentikkan rokoknya sekali lagi.
"Kemarin lusa dia bilang kalah taruhan dengan—uh, siapa—Tsumamoto—Satsuma—"
"Tatsuma." Bayangan pantat yang menyembul dari balik konter menjawab.
"Ya, itulah."
Gintoki membekap mulutnya. "Kau yang bakal menatonya? Kau? Oi, Takasugi-kun!"
Takasugi-kun—Takasugi Shinsuke yang sedari tadi masih tidak menggubris permintaan Toshirou untuk mengenakan sandang menatap Gintoki tajam dengan sebelah tangan mengangkat baki sarapan. Gintoki langsung melompat dari atas ranjang, menunjuk Toshirou yang tertinggal.
"Hijikata-kun bilang dia dengan sukarela bakal membereskan ranjang pagi ini, Takasugi-san." Ujarnya.
"Sialan—"
"Zura datang begitu fajar tiba, Hijikata-kun." Shinsuke mengangkat bahu. "Aku mau studioku bebas dari semua sampah sisa semalam sebelum Elizabeth mencium ada yang tidak beres." Lanjutnya, bahkan tidak perlu merasa repot menutupi sebentuk seringaian.
Gintoki melambaikan tangan. "Fiiight~"
"Brengsek." Toshirou melumat sisa puntung rokoknya di kusen jendela sebelum akhirnya bangkit dari ranjang.
.
.
.
[ "Tato pertama?" ]
[ Bahkan ia tidak perlu menjawabnya secara verbal. ]
[ Lawan bicaranya mengernyitkan alis. ]
[ "Baiklah…" ucapannya menggantung, sebelah alis dinaikkan sementara tangan kanan merentang. Ujung-ujung bibirnya berkedut. ]
[ Dia tidak suka ini. ]
[ Dia tidak bisa mencoba menyukai lawan bicaranya. ]
[ Lebih tepat dibilang mungkin tidak mau. ]
[ "Semakin dekat tulang akan semakin sakit, lho." Ia melihat lawan bicaranya mengeluarkan jarum panjang dari kotak. Tanpa sadar telapak tangannya terkepal. Metodenya benar-benar berbeda dari apa yang beberapa tahun belakangan ini telah diakrabinya. ]
[ Ia salah. Tata urutannya salah. Perangainya salah. Sikap tubuhnya salah. Baginya ia praktis adalah definisi kesalahan. ]
[ "Punya gagasan bagus di mana kau akan meletakkan tato pertamamu?" ]
[ Ia menarik kerah kaos hitam yang dikenakannya, menunjuk satu titik. Lawan bicaranya otomatis terkekeh, tidak memerdulikan etika. Ia terang-terangan memandang keputusan konsumen sebagai hal yang menggelikan. Moral Dauntless bila dipandang dari kacamata seorang mantan Abnegation—dan, seberapa banyakkah dosanya bertambah saat batinnya menambahkan ejaan f-a-c-t-i-o-n-l-e-s-s—memang setakar bedebah. ]
[ "Masokis." ]
[ Namun begitu mendengar satu kata terakhir lolos dari bibir lawan bicaranya, otomatis kedua ujung bibirnya terangkat keatas. ]
.
.
.
"Tunggu, brengsek."
Ia tidak perlu menoleh untuk memastikan sebatang shinai* teracung ke punggungnya.
"Seorang Amity tidak boleh berkeliaran membawa benda berbahaya begitu." Ucapnya. Lidahnya mencecap rasa asam yang pekat saat ia mengatakan kalimat yang berisikan kurang dari sepuluh kata itu.
Mujurkah bila dikatakan pandangan tidak dapat mengadopsi wujud fisik?
Mungkin perasaan campur aduk yang membuatnya mual berkepanjangan ini akan sedikit terangkat, dan dapat seetidaknya membuatnya lebih lega bila ia terbujur di lantai aula, darah menggenangi sosoknya yang kejang-kejang meraup nyawa.
"Aku tahu kau brengsek." Ucapan sengit itu masih berlanjut.
Sedangkan ia hanya menghela napas. Telapak tangannya masih terbalut handuk yang mulai merekah merah.
Batu bara dalam mangkok putih yang hanya berjarak kurang dari sepuluh langkah di hadapannya masih mendesis. Ia menelan ludah.
Memang beginilah seharusnya.
.
.
.
"Hari ini aku akan pergi sampai malam."
Toshirou meletakkkan buku yang baru beberapa baris bisa dibacanya.
"Katakan pada Gintoki tidak perlu membuatkan makan malam untuk bagianku."
Toshirou menatap Shinsuke yang mengenakan jaket dengan pola yang menjejak kontras dengan sebagian besar warna monokrom yang membungkus tubuhnya. Setelah beberapa jam melihatnya berseliweran tanpa busana, agak aneh bagi Toshirou untuk melihat kain menutup tiap lima senti potongan kulit yang tadinya terekspos.
Sampai Toshirou ingat pada suhu positif tiga derajat tepat di balik pintu apartemen mereka.
"Tunggu." Ia mendengar dirinya sendiri menukas, membuat Shinsuke batal mengambil sepatu boots yang sewarna dengan jeans dan v-neck long sleeve-shirt yang telah lebih dulu dikenakannya.
Toshirou bergegas menghampiri Shinsuke, dengan cekatan mengalungkan scarf merah milik Gintoki yang batal (atau kelupaan) dikenakannya sebelum idiot keriting itu berbelanja makan malam. "Di luar dingin sekali." Ujar Toshirou, menyimpulkan scarf itu serapi mungkin, ingatannya tentang Shinsuke yang merapikan seragam kerjanya bercampur aduk dengan Gintoki yang mengacaukan kerah bajunya beberapa detik pertama setelah mereka ditugaskan berpatroli bersama.
Hasilnya tidak terlalu rapi—tapi setidaknya leher Shinsuke dinilainya sudah cukup aman dari gigitan radang dingin. Toshirou mengecup dahi Shinsuke sebelum menepuk pundaknya, menyilakannya pergi.
Tapi Shinsuke malah mematung, pandangannya lekat pada scarf itu. Toshirou menggaruk kepalanya kikuk sebelum berkomentar, "Dengar, aku tahu itu memang kurang rapi—"
"Factionless."
Mulut Toshirou menganga. "Apa?"
Shinsuke menyentuh scarf itu dengan hati-hati sebelum melanjutkan, "Ini kenang-kenangan Gintoki sebelum diadopsi."
Gintoki bukannya kelupaan menghangatkan leher.
Toshirou menggigit bibir bawahnya—bagaimana bisa ia tidak memperhatikan betapa kontrasnya warna menyala dengan dominan all-black pada outfit yang dikenakan Shinsuke? Ia benar-benar kurang tidur beberapa hari (genapkan jadi satu minggu) ini.
"Uh—maaf, kupikir kau pasti bakal kedinginan, jadi—"
Ucapannya terpotong saat sepasang bibir mengulum bibirnya sendiri. Lembut, tanpa perlu ketukan permisi dari lidah yang bukan miliknya. Ia hanya merasakan kehadiran organ tanpa tulang itu saat Shinsuke menjilat bibir bawah Toshirou pelan sembari memutus kontak tanpa perlu terengah kehabisan napas.
"Kupikir aku hanya dalam masalah kalau tertangkap kamera pengawas." Ujarnya. "Untungnya aku punya Gintoki dan kau yang cerewet sekali membahas titik buta kamera." napas mereka berbenturan saat Shinsuke berbicara sambil menengadah (mengingat perbedaan tinggi tubuh yang lumayan signifikan).
"Terimakasih, Toshirou." Bisiknya.
Sebentuk senyum tulus terbit di bibir Shinsuke sebelum ia berbalik, mengayun daun pintu membuka dan menghilang dari pandangan.
Telinga Toshirou terasa panas. Mungkin terkadang hal-hal manis yang spontan dilakukan bisa jauh lebih memacu jantung (dan, kalau Toshirou boleh jujur, ia dengan malu-malu menambahkan kata merangsang di akhir kalimatnya) serta adrenalin dibanding bergilir menjajal keefektifan berbagai posisi yang direkomendasikan hampir tiap malam.
.
.
.
Toshirou menatap lubang gelap itu jerih. Perutnya serasa diaduk membayangkan apa yang menantinya di bawah. Ia bukan kelahiran Dauntless, dan kelihatannya bahkan mereka yang kelahiran Dauntless baru sekali ini melihat pintu masuk yang sedemikian rupa.
Memang benar ia tidak biasanya sepenakut ini, tapi tinggi gedung tempatnya berpijak sekarang dengan dasar lubang itu sekitar seratus meter. Semua peserta inisiasi nampaknya berpikiran sama.
Toshirou menelan ludah.
Harus ada yang memulai, kalau tidak ingin didorong beramai-ramai oleh instruktur inisiasi mereka.
Namun dua sosok lebih dulu mengambil langkah.
Toshirou terperangah sepersekian detik melihat kedua pemuda seumur dirinya itu melompat tanpa ragu dari bibir gedung—
Sampai ia menyadari beberapa jemari di kedua sisinya yang mengait potongan kemeja tartan yang dikenakannya.
.
.
.
Sebagai ganti ritual 'okaeri-tadaima', mereka bertiga punya kebiasaan untuk saling menyapa dan menyambut secara fisik. Tak perlu menyertakan definisi unsur seksual dalam benak—misalkan Gintoki yang cukup mengecup dahi siapapun yang ada kebetulan ada di apartemen.
Semakin sering dilakukan, semakin menjadi insting untuk saling memangkas jarak tanpa canggung (dan sebenarnya, tanpa disadari juga tanpa emosi berarti).
"Sayang aku dapat shift sehari penuh." Gintoki menyalakan timer microwave sambil menggunting simpul yang menyatukan daun bawang.
Toshirou mengertakkan leher. "Jangan bercanda. Shinsuke bahkan belum mengeluarkan kotak jarumnya saat Katsura sudah berteriak-teriak kerasukan." Ujarnya, alisnya bertaut tidak suka. "Bocah kepang itu saja jauh lebih tenang." Lanjutnya, sementara Gintoki tertawa di balik konter.
"Kamui? Aku jadi tambah menyesal tidak bolos shift." Sahutnya, kedua tangannya sibuk mengupas wortel.
"Oh, ya, Shinsuke bilang tidak usah buatkan makan malam bagiannya. Dia bakal pulang telat." Celetuk Toshirou, kedua matanya masih fokus pada catatan pengintaian yang baru dua jam lalu dikirim oleh Yamazaki Sagaru.
"Lagi?" kali ini Gintoki berhenti menggerakkan tangannya, potongan kentang disingkirkan dari telenan.
"Hmm." Jawab Toshirou, menggarisbawahi beberapa kalimat.
"Hijikata-kun."
"Hmm?"
"Oi, Hijikata-kun."
"Hmmh."
Toshirou sedang menggerakkan stabilonya sepanjang kalimat 'peningkatan dosis serum menyebabkan ruang ketakutan menjadi lebih realistis' sebelum Gintoki dengan paksa menarik laporan itu. "Hei!" Toshirou refleks berteriak, tangan kirinya menjangkau kertas laporan yang diacungkan Gintoki tinggi-tinggi, namun ia baru menyadari ia tidak bisa bergerak; kedua lutut Gintoki mengunci pinggangnya, sementara dadanya ditekan oleh siku kanan Gintoki.
"Menurutmu apa tidak aneh?" Gintoki berbisik, kedua ujung hidung mereka saling berbenturan.
"Apanya?" Toshirou melemaskan diri, tahu tidak ada gunanya melawan.
"Buat apa Shinsuke sering-sering keluar?"
Toshirou memutar bola matanya.
"Memangnya kaupikir apa pekerjaannya? Memelototi layar rekaman seharian penuh?" ia bertanya balik, skeptis.
"Studionya berada di sini." Gintoki menyipitkan matanya.
.
.
.
[ Seluruh saraf Gintoki mengejang saat ia merasakan invasi tanpa permisi dari Toshirou. Brengsek—bukannya mereka sepakat dia yang akan masuk? ]
[ Gintoki mencakar punggung Toshirou dengan tenaga berlebih—meminta atensi penuh sebelum Toshirou berani-beraninya menggerakkan tubuhnya. ]
[ Tidak berguna. ]
[ Toshirou, tanpa aba-aba mundur; menjejak merah kental yang mengalir lambat-lambat dari lubang sempit Gintoki yang berdenyut meradang ((mungkin) efek dari terlalu lama dibiarkan menganggur). Sayangnya mungkin bagi Toshirou, dinding yang berkedut memijat dirinya justru membuatnya makin terangsang; alih-alih kesakitan karena metafora nafsunya ditindih dari segala arah. Ia justru membenturkan kepala batang vertikalnya kuat-kuat pada permukaan yang berkeriut ribut itu; turut ribut menggapai sesuatu di dalam. ]
[ Astaga, apakah tidak ada sosok yang masih belum ditakar sekarat dengan masokis diantara mereka. ]
[ Gintoki menyunggingkan seringai miring. ]
[ "Hijikata-kun." ]
[ "Hijikata-kun." ]
[ "Hijikata-kun." ]
[ "Hijikata-kun." ]
[ Toshirou mendecakkan lidah—foreplay paling buruk, batin Gintoki sekelebat—sebelum lidahnya mulai menjejak garis kasatmata, memutari dada Gintoki, berhenti, dan mulai menyesap. Mengisap. Seolah berharap akan ada sambutan lain selain punggung Gintoki yang mencembung. Seolah berharap ada suara lain yang menyahuti erangan yang berlompatan keluar dari tenggorokan Gintoki. ]
[ Seolah berharap ada kuku tambahan yang menggores punggungnya. ]
[ "Hi—ii—jikata—ku—uuhn—n—!" ]
[ Toshirou berhenti bergerak. Ia membiarkan dirinya tenggelam sedalam mungkin dalam Gintoki, tapi ia berhenti bergerak. Lidahnya juga tidak lagi mencecap apapun. ]
[ Kedua tangannya menyisir rambut perak Gintoki. ]
.
Apa memang selalu seperti ini?
[ Jemarinya—kasar, buku-buku jarinya kapalan, Gintoki baru sadar. ]
[ Apa memang selalu seperti ini? ]
.
.
.
Toshirou terpesona.
Torehan permanen yang mengadaptasi simbol Dauntless tercetak sempurna di punggung lengan Yamazaki.
Shinsuke—nanti akan ada waktunya ia merapal nama itu dalam tidurnya yang menjadi gelisah beberapa bulan ke depan—dengan bangga tersenyum. Pandangan matanya terangkat, bertemu dengan sorot mata Toshirou yang masih jernih, polos tanpa tercemar setitik noktah pun.
Tanpa malu-malu ia mengangkat kaosnya, menunjukkan tato yang mewarnai kulit perutnya—pinggang; ya, lebih condong ke kanan—menguapkan kesan pucat pada kanvas semulus porselen itu.
Tatapan matanya nakal, berbeda dengan seniman tato lain yang sebelumnya dijumpai Toshirou.
"Akan kuberikan gratis." Ujarnya, lantas mencondongkan badan, memangkas jarak. Deru nafasnya yang (bagaimana bisa) begitu teratur berbenturan dengan daun telinga Toshirou. Bulu kuduk Toshirou meremang; bila ia benar-benar lulus tes inisiasi Dauntless semestinya ia sudah terbiasa dengan peniadaan jarak; namun degup jantungnya masih berdentam terburu-buru saat menyadari bila ia nakal menggeser pantat, ia bisa merasakan dua daging kembar itu berbenturan dengan telinganya.
Memikirkannya sudah membuat Toshirou ketar-ketir.
(Ia jadi semakin mempertanyakan bagaimana ia bisa mendapatkan ranking tinggi sebagai hasil final inisiasinya tanpa berbuat curang)
"Layanan studioku selalu maksimal… akan kupastikan kau mendapat tato permanen terbaik."
(sebenarnya sudah ditambah bonus bekas cetakan gigi dangkal)
.
Seumur hidupnya, Toshirou baru tahu bila gigitan lembut pada daun telinga bisa membuat waktu tidurnya terpotong beberapa jam.
.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note :
Matutine : Just before dawn
Shinai : Pedang bambu yang dibuat latihan pedang.
.
….tanpa banyak kata, ini headcannon yang mendadak muncul saat re-read trilogi Divergent. Bagus banget, sayangnya alurnya kecepetan (kayak situ alurnya jelas aja /digampar reader). Jadi ya.. jadilah fic nggantung kayak gini.
Thanks buat yang udah menyempatkan mampir dan membaca fic ini *wavehands*
All best regards are dedicated to you guys *tebar bunga*
