Love In Fairytale

Harry Potter © J.K. Rowling

.

.

Pairing : Draco Malfoy and Hermione Granger

Rated : T

Genre : Romance & Fantasy

.

.

Warning : Bad Language, OOC Story, OOC Character, Bad Story, Many Typo

Summary : Keindahan sebuah fatarmogana membelah angkasa raya dan menyatukan dua angkasa yang tidak mungkin di satukan. Draco dan Hermione di satukan melalui belaian lembut fantasi khayalan, dongeng.

.

.

Don't Like Don't Read

.

.

# Cinta itu datang tanpa di duga. Cinta itu sangat besar kekuatannya. Dapat memulihkan segala luka di hati. Memberikkan campuran berbagai warna dalam sebuah hati yang kosong. Pelangi menghiasi hari yang sunyi. Cinta dapat menyatukan apa saja. Menyatukan dua insan manusia yang saling membenci satu sama lain, bukan masalah kan? #

Chapter 1 : Prologue-Found An Old Book

"Ibu, apakah aku juga bisa menjadi seorang putri seperti buku dongeng ini?"

Seorang gadis kecil tersenyum senang saat mengatakan keinginannya tadi. Betapa bahagianya jika dirinya bisa menjadi seorang putri yang cantik, menggenakan gaun yang indah, dan yang terpenting mendapatkan pangeran yang elok rupanya.

"Memangnya apa yang akan kamu lakukan jika kamu di beri kesempatan untuk menjadi seorang putri?" sang ibu pun mengelus-elus rambut sang anak. Melalui sentuhan, menyalurkan campuran kasih sayang dan kehangatan yang tiada tara.

"Aku akan memimpin negeri ini dan membuat semua orang tersenyum. Karena senyuman itu seakan pelangi yang membelah langit dan menunjukkan bahwa langit itu indah. Ibu bisa bayangkan kan kalau dunia ini di hiasi dengan berbagai pelangi?," gadis kecil ini tersenyum semakin lebar. Sang ibu terkejut dengan ucapan gadis berumur 8 tahun ini.

"Ibu tidak bisa mengatakan kalau kamu bisa menjadi seorang putri apa tidak. Percayalah pada hatimu, walaupun ini seakan fatarmogana, namun hatimulah yang suatu saat akan menuntunmu kepada dunia fantasi dalam dirimu."

#

Pagi hari telah datang. Sang surya mulai menampakkan diri menyambut semua orang. Memberi warna cerah yang menghiasi angkasa. Seakan memberi semangat untuk menjalani hari yang baru. Harum khas embun mengelilingi atmosfir udara di bumi. Memberikkan kesejukkan tiada tara. Menenangkan hati.

Sinar matahari berhasil masuk melalui celah-celah tirai kamar seorang gadis. Gadis ini pun mengerjapkan matanya berulang kali sebelum terbuka secara sempurna. Menampilkan kedua bola mata cokelat madu yang sangat indah. Pancaran mata, sinar matanya yang begitu menawan. Rambut keritingnya sekarang pun menjadi liar.

Gadis ini pun mulai bangun dan menggerakkan tangannya, meregangkan beberapa otot yang sempat menegang selama terlelap oleh buaian mimpi. Gadis berambut senada dengan warna matanya ini memfokuskan kedua bola matanya kearah jam digital yang terdapat di meja samping tempat tidurnya.

06.00 a.m.

'Masih dua jam lagi sebelum pelajaran Profesor Snape.'

Gadis ini mulai beranjak dari singgasananya dan mulai menggerakkan kakinya menuju kamar mandi.

Di lihatnya ruang rekreasi masih sepi dari orang lain. Tanpa pikir panjang, kedua kakinya melangkah menuju kamar mandi.

30 menit kemudian.

Gadis ini memasukki kamarnya kembali dan bersiap-siap.

Hermione POV'S

Perkenalkan semuanya, namaku adalah Hermione Jane Granger. Jika bisa di bilang aku bukanlah seorang gadis biasa. Karena aku adalah seorang penyihir.

Ya benar, aku adalah seorang penyihir. Aku resmi menjadi siswi di sekolah sihir Hogwarts selama enam tahun dan sekarang aku menjalani tahunku yang ke tujuh. Dan sekarang aku di sini juga adalah seorang Ketua Murid Perempuan.

Tapi aku memilikki perbedaan yang sangat menonjol di bandingkan para penyihir lain. Aku adalah keturunan muggle. Aku bukan lahir dari pasanggan penyihir, sama sekali tidak. Dan ini adalah salah satu mimpi buruk penghantar setiap langkahku di sekolah ini.

Aku selalu di pandang sebelah mata. Aku seakan adalah sampah masyarakat yang harus di buang. Sama sekali tidak ada nilainya. Pantas di injak-injak dengan sejuta cacian dan makian.

Apakah salah jika aku menjadi siswi di sini?

Apa salahnya kalau aku bukan lahir dari kalangan penyihir?

Kedua pertanyaan itu terus melayang di alam pikiranku. Pertanyaan yang ingin sekali ku tanyakan kepada semua penyihir. Pertanyaan itu selalu menghantarkanku pada kesendirian dan ketakutan.

Walaupun perang dengan si kakek keriput tanpa hidung itu telah berakhir dan kemenangan ada di pihak kami, tetap saja beberapa penyihir rendahan masih saja mempermasalahkan masalah 'status darah'.

Menyebalkan.

Dan aku bisa di katakan adalah penyihir yang jenius. Bukannya aku mau berbangga diri. Aku selalu saja berkutat dengan segala macam buku yang bisa menunjang pelajaranku selama di sini. Siang dan malam selalu saja aku gunakan untuk belajar dan belajar. Aku juga selalu menjawab semua pertanyaan yang di ajukan para profesor di sini.

Namun kebiasaanku ini malah membuatku di cap 'Nona Tahu Segala'.

Apa salahnya kalau aku mau belajar dan selalu menjawab semua pertanyaan yang ada?

Aku melakukan semua ini memang juga memilikki alasan yang kuat. Sebuah alasan yang menjadi penopangku saat aku lemah.

Alasannya agar aku tetap di akui di tempat ini. Agar para penyihir itu tahu kalau aku tetap bernilai dengan menjadi murid yang pintar.

Apakah ini salah lagi?

Ah, sudahlah, aku tidak mau memikirkan masalah ini lagi. Membuat kepalaku semakin terasa berat.

Oh iya, aku ingat, aku tadi bermimpi ketika aku kecil dulu. Ketika aku yang saat itu sangat menyukai cerita dongeng yang banyak mengandung dunia fantasi yang aku pikir tidak akan pernah mungkin ku gapai. Namun itu pikiranku waktu kecil. Tapi sekarang, ternyata ada sekolah sihir. Mungkin ini juga adalah salah satu alasan aku masuk ke sekolah ini.

Dunia fantasi, aku benar-benar menyukainya. Dunia di mana banyak sekali imajinasi tertuang di sana. Kekuatan pikiran yang saling berkesinambungan, menyambungkan fatarmogana dan kekuatan magic. Magic itu sangatlah indah, benar kan?

Saatnya kembali kealam nyata. Aku pun mengedarkan pandanganku kearah jam digitalku berada.

07.15 a.m.

Empat puluh lima menit lagi sebelum pelajaran Profesor Snape di mulai. Sebaiknya aku harus cepat dan segera ke Aula Besar untuk sarapan pagi.

Aku pun langsung mengambil tas dan beberapa buku yang di perlukan dan langsung keluar dari kamarku. Kedua kakiku ku langkahkan menuju pintu keluar. Karena terlalu cepat berjalan, tanpa sadar aku menabrak seseorang.

Brakk!

"Auw…" aku pun mengaduh kesakitan. Begitu juga dengan orang yang ku tabrak.

Pasti dia lagi. Si sialan yang selalu saja menggurungku di sangkar kehancuran.

"Apa-apaan kau darah lumpur sialan, kemana matamu yang selalu saja menampakkan kesegalaan tahumu itu!" lelaki di hadapanku pun berseru nyaring sambil bangkit berdiri. Memarahiku dan mencaci makiku. Selalu saja seperti ini.

"Seharusnya kamu yang harus menggunakan matamu yang sok itu dan jangan sebut aku sialan, karena kamu lebih sialan daripada aku!" aku pun membalasnya dengan nada dingin dan mencoba bangkit berdiri. Api dalam kepalaku serasa ingin menyembur ke segala arah. Manusia rendahan.

Kami pun saling menatap satu sama lain. Di dalam mata kelabunya itu, penghinaan dan merendahkan. Mata kelabu yang begitu dingin. Seakan membekukkan siapapun yang berada di depannya. Membuat mereka seakan tidak berkutik sekalipun.

Tapi tidak bagiku.

Bagiku matanya itu adalah mata terburuk yang pernah ku lihat.

"Beraninya kamu darah kotor, manusia rendahan yang paling merasa dirinya tahu segalanya, padahal tidak lebih dari sampah yang harus di buang!" seru lelaki berambut pirang platina di hadapanku ini.

"Seharusnya kalian yang menyebut dirinya sebagai 'darah murni' yang hebat dan berkuasa, padahal tidak lebih dari seorang bajingan, bukan begitu, Draco Malfoy."

Aku dapat melihat 'Malfoy junior' di hadapanku ini mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mungkin akan bersiap membuat pipiku mendapat tanda merah atau mungkin membunuhku.

"Lihat saja nanti, Hermione Jane Granger, wanita jalang!"

Malfoy pun keluar dari ruang rekreasi Ketua Murid. Membanting pintu dengan keras. Melampiaskan kemarahan yang tersimpan dalam dirinya.

Ya, Draco Malfoy, si bajingan yang sama sepertiku, menjabat sebagai Ketua Murid. Aku tidak terima kalau aku mendapat pasangan seperti dia. Hidupku seakan dalam neraka.

Lelaki yang hidupnya selalu di liputi dengan kesombongan, kearoganan, kelicikkan, semua hal yang berhubungan dengan kata 'jahat'. Lelaki yang merasa dirinya hebat karena menyandang nama 'Malfoy' dibelakangnya.

Aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia bisa mendapatkan teman. Ayolah, dengan semua kejahatannya, siapa yang mau sama dia? Aku rasa semua temannya saat ini sudah buta. Tidak bisa membedakan mana yang baik dan jahat.

Jika saja aku benar-benar ada dalam dunia dongeng sekarang, aku ingin agar seluruh Malfoy di hapuskan dari dunia ini. Karena merekalah sumber kehancuran dunia. Virus berbahaya yang harus di cari penangkalnya. Jika tidak dunia akan semakin hancur dengan segala kelakuan busuk mereka.

Semoga saja aku bisa mewujudkannya.

Back To Normal POV'S

Hermione kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda dan keluar dari ruang Ketua Murid. Hermione terus melangkah dan melangkah, secepat mungkin untuk bisa sampai di Aula Besar.

"Mione…"

Hermione yang merasa namanya di panggil pun membalikkan badannya dan dapat melihat dua laki-laki sedang berjalan ke arahnya. Satu berambut hitam, berkacamata, dan memilikki mata hijau emerald. Satu lagi seorang lelaki berambut merah menyala.

"Hai Harry, hai Ron…" Hermione membalas dengan senyuman. Harry dan Ron pun sudah sampai di hadapan Hermione.

"Kau mau ke Aula Besar?" Ron Weasley bertanya dan langsung mendapat anggukan kepala dari Hermione.

"Kalau begitu ayo kita sama-sama," Harry duluan berjalan dan di ikuti oleh Hermione dan Ron.

Mereka bertiga akhirnya sudah sampai di Aula Besar. Sudah banyak siswa-siswi lain yang berkumpul untuk mengisi perut mereka yang di mana cacing sudah menggerutu minta di kasih asupan gizi. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung menuju meja asrama mereka, asrama Gryffindor.

"Hai Harry, Ron, dan Mione," salah seorang siswi Gryffindor menyapa mereka bertiga. Seorang siswi dengan rambut merah menyala seperti milik Ron.

"Hai Ginny," sapa mereka bertiga secara langsung.

Harry mengambil duduk di sebelah Ginny. Hermione dan Ron duduk bersebelahan. Hermione langsung mengambil beberapa makanan yang tersedia. Hermione mengambil pai apel dan segelas susu cokelat hangat untuk menjadi sarapannya hari ini.

"Mione, apakah kau baik-baik saja?" Ginny membuka suara dan menanyakan keadaan gadis berambut keriting itu. Wajah Hermione saat ini memang sedikit pucat.

"Iya, aku baik-baik saja Gin," Hermione membalas dengan senyuman meyakinkan. Ginny pun hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Mereka berempat makan dengan tenang. Tidak ada satupun di antara mereka yang berniat membuka suara. Menciptakan kesunyian di antara mereka walaupun atmosfir sekitar mereka penuh dengan bisik-bisik tetangga.

"Oh iya aku baru ingat!" Ron mengehentikkan aktivitas makannya sebentar. " Mione, apakah kamu sudah mengerjakan tugas dari Profesor Snape?" Ron membuka suara. Harry dan Ginny hanya geleng-geleng kepala.

'Mulai lagi dia,' kata Ginny dan Harry dalam hati.

"Ron Weasley, sudah berapa kali aku ingatkan kamu tentang selalu mencatat semua tugas dari para Profesor di sini. Jangan selalu saja bergantung kepada orang lain," Hermione pun berkacak pinggang, menunjukkan betapa marah dirinya kepada lelaki di hadapannya ini.

"Sudahlah Mione, abaikan saja lelaki bodoh di hadapanmu itu," kata Ginny. Harry yang berada di sebelahnya hanya bisa tertawa.

"Sepertinya kita harus membuat ramuan yang bisa membuat otaknya bisa bekerja dengan baik," Harry tertawa.

"Teganya… teganya… teganya kalian pada diriku," Ron memasang wajah memelas, berharap mendapatkan bantuan.

"Ron, ekspresimu saat ini seperti banci yang dulu tinggal di sebelah rumahku saat aku berada di dunia manusia," ucap Hermione. Harry dan Ginny yang mendengarnya pun tertawa, bahkan sambil memegang perut mereka. Hermione pernah menceritakan kepada mereka betapa gila yang Hermione katakan sebagai 'banci' di samping rumahnya dulu. "Semuanya, aku duluan ya."

Hermione beranjak pergi meninggalkan Aula Besar. Tanpa di sadari, sepasang mata kelabu memandangnya dengan tatapan kebencian luar biasa.

#

Pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam berjalan dengan baik. Seperti yang sudah di duga, Ron mendapat detensi dari Snape. Membersihkan kuali di hari Sabtu. Hermione, Harry, dan Ginny hanya bisa menyemangati teman seperjuangan mereka ini. Semangat dari sahabat, besar efeknya kan?

Hermione seperti biasa menjalani ritual membacanya. Jadi saat ini, perempuan bermata cokelat madu itu melangkahkan kedua kakinya menuju perpustakaan. Madam Pince menyapanya, walaupun tanpa di barengi senyuman. Namun Hermione tetap mengetahui maksud dari wanita galak itu.

Hermione menyisiri satu-persatu rak yang ada. Mencari buku yang menarik hatinya. Hermione sangat menyeleksi setiap buku yang akan di bacanya. Bukan hanya judul yang bagus, yang terpenting adalah isi yang bagus, menarik, dan yang terpenting bisa membuatnya penasaran.

Tak lama kemudian, Hermione menemukkan sebuah buku usang. Hermione membersihkan buku yang sedikit berdebu itu.

Sebuah buku berwarna cokelat tua.

"Love In Fairytale-Lightness and Darkness."

'Waow, cerita dongeng.'

Hati Hermione bersuka sekarang. Sebuah buku usang memang, namun dari judulnya saja sudah membuatnya penasaran. Rasa penasaran itu semakin menarik dirinya untuk menelusuri lebih dalam akan alur cerita tersebut. Ingin ikut merasakan apa yang di lakukan oleh sang tokoh utama. Menambatkan hatinya dan pikirannya hanya untuk buku ini.

Tanpa Hermione ketahui apa yang ada di balik buku itu.

Sebuah sihir yang akan mencengkramnya dalam dunia fantasi.

Hermione bersiap untuk keluar dari perpustakaan. Namun lagi-lagi…

Brakk!

"Kamu lagi, kamu lagi, darah lumpur!"

Suara ini. Suara perusak hari seorang Hermione Granger.

"Kamu duluan yang menabrakku, Malfoy junior," Hermione meringis kesakitan. Tabrakkan kali ini lebih menyakitkan di banding yang tadi pagi.

"Apa kamu bilang!"

Tanpa mereka sadari, buku dongeng yang di pinjam Hermione bersinar dengan terang. Terang itu sangat menyilaukan kedua mata mereka. Tidak bisa melihat. Tidak bisa di jangkau.

"A-apa yang terjadi?" Hermione kebingungan dengan semua hal yang terjadi saat ini.

"Aku juga tidak tahu bodoh!" Draco sendiri juga bingung. Lelaki bermata kelabu ini mencoba untuk mencari tongkat sihirnya.

Namun, hasilnya nihil.

Sinar terang itu lama-lama semakin menyilaukan. Semakin dan semakin bertambah besar. Tak lama kemudian, sinar itu memakan keberadaan Hermione Granger dan Draco Malfoy tanpa seorang pun yang menyadarinya.

# Akankah sebuah dongeng dapat menyatukan dua insan yang saling membenci? Akankah dongeng ini dapat melunturkan semua kegelapan yang hitam dalam hati mereka? Bisakah sebuah dongeng yang banyak orang anggap 'bodoh' bisa memberi sebuah embun sejuk penyegar jiwa? Akankah Draco Malfoy dan Hermione Granger bisa bersatu, atau malah di pisahkan di sini untuk selamanya? #

#To Be Continued#

Sebuah awal yang mengerikkan.

Saya harap para reader sekalian menyukainya.

Sekedar pemberitahuan saja, saya tidak janji bisa mengupdate cerita ini dengan cepat. Tapi saya akan tetap usahakan untuk bisa update cepat demi para reader semua.

Bagaimana pendapat reader sekalian? Banyak typo yang melebihi dosis, alur cerita yang terlalu cepat, atau masih banyak sekali pendapat anda?

Silahkan lemparkan saja semuanya ke dalam ruang review. Akan di terima dengan senang hati.

^^Mind To Read and Review?^^