Sebentar lagi.
Ya, sebentar lagi Mikasa akan kembali ke kampung halamannya. Adik kecilnya akan menjemputnya di stasiun kereta—jika surat terakhirnya sampai seminggu yang lalu.
Ah, tak sabar rasanya bertemu kembali dengannya!
Paradox
~ Sequel of The Tears ~
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
WARNING: Sekuel, AU, possibly OOC, menjurus inses kayaknya, kalau ada mistypo dengan amat sangat saya mohon beritahu saya
DLDR~
Chapter 1 : Awkward
.
.
.
Seorang gadis remaja tampak duduk termenung di kursi penumpang, menonton pemandangan pagi yang satu-persatu bergerak ke arah berlawanan dengan laju kereta yang ditumpanginya. Surai legamnya yang sebahu ia kuncir rendah. Tangan kanannya menggenggam secarik kertas—tiket kereta.
Mikasa baru kembali kota seberang. Beberapa tahun yang lalu, ia masih bercocok tanam buah delima di desanya untuk menghidupi keluarganya—yang hanya adiknya dan dia sendiri. Orangtua mereka sudah lama tiada, maka gadis itulah yang melanjutkan usaha pertanian mereka.
Sekitar empat tahun yang lalu, Mikasa mendapat kabar bahwa ada pemilik ladang besar buah delima di kota seberang tersebut yang membutuhkan lebih banyak lagi pekerja berpengalaman. Tentu saja bekerja di sana akan lebih mendapat penghasilan berlipat-lipat lebih besar dari pada usaha sendiri, bukan? Apalagi ladang sebelumnya hanyalah sebatas halaman belakang rumah mereka. Gadis obsidian itu tak dapat menolaknya, mengingat keadaan mereka yang super pas-pasan saat itu. Ia ingin adiknya mendapatkan gizi yang cukup.
Baru saja akan memejamkan matanya, Mikasa mendengar suara teriakan salah seorang petugas kereta yang menyebutkan tempat perhentian berikutnya. Dan itu adalah nama kota terdekat dari desa tempat tinggalnya. Segera saja ia mengusap-usap wajahnya, serta mengecek semua barang bawaan di kakinya. Setelah yakin semua lengkap, ia bersiap untuk berdiri.
Laju kereta pun terhenti. Suara asap yang mengepul panjang sebagai tandanya. Perlahan, pintu-pintu di sisi-sisi kereta terbuka. Gadis itu buru-buru melewati lautan manusia yang notabene kebanyakan berbadan besar-besar, dan akhirnya berhasil keluar dari besi panjang itu. Ia membungkuk sedikit sambil menghirup udara segar di sekitarnya dan mengeluarkannya dengan brutal. Kemudian, ia melakukan beberapa gerakan pemanasan untuk melenturkan tubuhnya yang kaku-kaku akibat terlalu lama duduk di dalam kereta. Setelah dirasa cukup, matanya mendeteksi setiap sudut stasiun, mencari adiknya itu.
"Ah...tidak ada... Apakah dia belum datang? Atau surat terakhirku tak sampai..? Aah, tidak mungkin." Mikasa bertanya-tanya sembari mencari tempat menunggu yang nyaman. Tetapi, tak sempat ia menghampiri tempat yang ingin ia tuju, seseorang merangkulnya dari belakang. Gadis itu tersentak dan segera berbalik badan. Seorang pemuda beriris sewarna dengan lautan masih belum melepaskan rangkulannya dari Mikasa.
Tetapi, tak masalah. Toh, Mikasa sangat mengenalnya dengan baik.
"Armin! Aku kangen!" Gadis bersyal merah itu segera membalas rangkulan adiknya itu. Entah kenapa, Mikasa merasa agak kesulitan untuk melakukan hal itu. Kedua lengannya segera merasakan lelah berlama-lama merangkul adik kesayangannya itu. Akhirnya, ia melepaskan rangkulannya—diikuti pemuda pirang di depannya. Mikasa menyadari sesuatu.
"Armin, kau..."
Yang diajak bicara hanya memasang wajah penuh tanya sambil membantu membawakan salah satu tas kakaknya.
"...Kau—dasar tiang listrik! Ah, sebal!" Mikasa memanyunkan bibirnya, agak iri dengan adiknya yang telah mengejar tinggi badannya—walaupun hanya berbeda sekitar lima sentimeter. Seingat sang kakak, empat tahun yang lalu, Armin hanya sebatas batang hidungnya saja.
Armin hanya terkekeh—tanpa suara. Ya, peristiwa kecelakaan empat tahun yang lalu—tepat di hari ulang tahunnya yang ke-12—berhasil membuat terusaknya kemampuan pita suara di dalam lehernya. Peristiwa yang sangat tabu diingat oleh kedua bersaudara itu.
"Hei, ada apa dengan kedua tanganmu?" tanya Mikasa menatap tajam kedua tangan yang kini sedang menjinjing tas besarnya, penuh dengan lilitan perban. Si pemilik tangan tersebut hanya menggeleng sambil melengkungkan bibirnya ke atas. Mikasa tahu, adiknya pasti sedang mengungkapkan 'tidak apa-apa' saat itu.
"Akh! Pasti ada apa-apa! Katakan padaku!"
Sepanjang perjalanan pulang, Mikasa terus menanyai hal itu pada Armin. Namun, adiknya itu tampak tak memberikan jawaban yang memuaskan si penanya. Akhirnya, Mikasa pun memutuskan untuk menunda rasa ingin tahunya sampai mereka tiba di rumah saja.
.
.
.
Betapa terkejutnya Mikasa ketika mendapati rumah mereka kini memiliki halaman depan dan pagar yang lumayan kokoh.
"E...EH?! INI RUMAH KITA?!" Gadis bersurai hitam itu membelalakkan kedua matanya tak percaya. Sedangkan adiknya hanya mengangguk polos—kemudian mengembangkan senyumnya. Ah, apa yang ia lewatkan empat tahun terakhir ini? Kenapa Armin tak mengabarinya mengenai ini lewat surat?
"Armin bilang dia ingin memberimu kejutan, Mikasa." Sebuah suara datang dari belakangnya. Ia pun menoleh cepat dan mendapati beberapa orang yang dirasa dikenalnya.
"Eren? Sasha? Jean? Christa?"
"Oi, Mikasa! Kau tampak sehat, ya."
"Mikasa, selamat datang," ucap Christa dengan nada sopan seperti biasa.
"Jadi, kita mau makan-makan untuk merayakan kembalinya Mikasa, nih?!"
"Hush, Sasha..."
Mikasa terbahak melihat teman-temannya itu. Sama sekali tak berubah setelah empat tahun tak bertemu dengan mereka.
"Armin, masuklah duluan. Kau 'kan membawakan tas-tasku yang berat, bukan?" Yang diajak bicara mengangguk, lalu segera membawa masuk barang-barang yang dibawanya.
"Jadi, bagaimana? Kau mau mengadakan perayaan—uph—" Jean segera menutup mulut si brunette doyan makan itu dengan kedua telapak tangannya.
"Maafkan anak ini, Mikasa. Insting hewannya tambah liar."
"Ah, tak apa, Jean. Kalau begitu datanglah nanti sore ke sini. Aku membawa daging sapi yang banyak." Mikasa tertawa mendengar kata-kata temannya satu itu mengenai 'insting hewan' Sasha.
"Kita adakan pesta barbeque!"
"Sashaaa!"
"Maaf, maaf!"
Mikasa perlahan menghampiri Eren. Pemuda itu segera menyadarinya, lalu membulatkan matanya melihat teman lamanya yang mengendap-endap ke arahnya.
"Hei, mereka dekat sekali..."
"Ooh, mereka 'kan jadian sejak festival memasak setahun yang lalu." Mikasa mengangguk-anggukkan kepalanya tanda baru tahu. Kemudian pandangannya kembali berpaling ke 'rumah baru'nya itu.
"Oh ya, bagaimana ceritanya rumah kami bisa jadi begini? Seingatku, uang yang kukirimkan perbulannya hanya untuk membeli bahan pangan dan keperluan seadanya..."
"Ng...Mikasa, kau 'kan tahu Armin bekerja sekarang..." sahut Christa yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan mereka dalam diam.
"Iya, aku tahu. Tapi sebesar apa gajinya?"
"Itu, setahuku Armin bekerja part-time di berbagai tempat setiap harinya. Sudah begitu, dia juga menyetor panen buah delima kalian ke salah seorang pedagang buah di pasar, 'kan?" tambah pemuda bermanik lumut itu.
"Aku juga tahu itu, Eren. Aku hanya tak mengira, ternyata gajinya jika dikumpulkan bisa jadi sebesar itu nilainya," ujar Mikasa melirik kembali pasangan konyol tadi. Masih dengan akrabnya bercengkrama di depan pagar rumahnya. Namun, segera berkedip ketika salah satu dari pasangan itu melirik cepat ke arahnya—si gadis omnivora rupanya.
"Mikasa! Kami ke klinik dulu! Jean mimisan! Nanti kami ke sini!" teriak Sasha—yang memapah Jean berjalan menjauhi kediaman teman surai hitamnya itu. Mikasa melongo, tak mengerti apa penyebab pemuda itu bisa mimisan. Sedangkan bagi Eren dan Christa, itu pemandangan yang sudah biasa mereka lihat. Kemungkinannya hanya ada dua. Pertama, hidung Jean terkena elakan kepalan tangan atau sikut Sasha. Kedua, Jean tak sengaja melihat celana dalam di balik rok kekasihnya itu ketika tersibak.
Mikasa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan kedua manusia itu. Eren hanya menepuk-nepuk pundak gadis itu, seolah berkata 'harap maklumi mereka'.
"Ah, Mikasa, aku juga harus ke klinik untuk membantu mereka. Soalnya, hari ini klinik desa sedang sepi petugas. Daah, sampai nanti." Kali ini Christa yang menyusul perginya dua orang tadi. Gadis pirang itu sampai sekarang memang masih suka membantu pekerjaan di klinik tempat ayahnya bekerja.
Mikasa mengangguk sembari melambaikan tangan pada gadis itu. Dan sekarang tersisa dia dan teman surai umber-nya di situ.
"Hei, Eren."
"Ya?"
"Kau tahu, apa yang terjadi pada tangan Armin?"
"Ah, itu...jika kau tahu, kakinya juga diperban lho."
"Eh?!"
"Aku tak tahu apakah ada hubungannya dengan ini sih... Tapi, dia sekarang di dalam rumah sering terlihat sedang—"
"HEI! KAU MASIH SERING MENYUSUP KE DALAM RUMAH KAMI?! SAMPAI TAHU APA YANG SEDANG TERJADI DI DALAMNYA?! KAPAN KEBIASAAN BURUKMU ITU SEMBUH, HAH?!"
"Yaa maaf~ Penasaran sih..."
"Dasar! Kalau Armin tahu, dia bisa panik, tahu!"
"Iya, iya, Nona Besar. Mohon maaf~ Dan kau belum mendengarkan kata-kataku sampai selesai, Mikasa!"
"Oh—Oh iya, benar. Jadi dia kenapa?"
Eren tak jadi membuka mulut untuk menjawabnya, ketika melihat si pemuda blonde yang bersangkutan tampak menghampiri mereka berdua.
"Eh, Armin..? Ada apa?" tanya Mikasa spontan saat melihat adiknya itu. Yang ditanya segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah note serta pulpen yang diselipkan di situ. Kemudian ia mulai menulis sesuatu di benda tersebut.
"Ah, benar. Armin sekarang membawa itu ke mana-mana untuk mempermudah komunikasi, Mikasa. Hm...yak, kalau begitu aku pulang, ya! Nanti aku ke sini lagi. Sampai nanti!" Dan Eren pun segera menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan itu, Armin yang telah selesai dengan tulisannya, menunjukkannya pada kakaknya.
'Sebelum acara nanti sore, ada baiknya kau istirahat dulu, Mikasa. Kau baru kembali dari perjalanan jauh. Aku khawatir kau kecapekan.'
"Ah, baiklah, baiklah. Ayo, kita masuk." Mikasa menepuk surai pirang Armin—yang ia akui tangannya mulai kesulitan menjangkaunya.
.
.
.
Isi rumah mereka tampak tak berubah di mata Mikasa. Ah, ia rindu pada rumahnya itu.
Pandangan gadis itu segera jatuh pada tas dan barang-barang bawaannya yang lain tergeletak di pojok ruang tengah. Ia cepat-cepat menghampirinya untuk mengeluarkan seluruh isinya. Namun, segera dihentikan oleh sang adik. Alasannya, ia ingin kakaknya itu beristirahat dahulu setelah perjalanan panjang. Akhirnya, Mikasa mengangguk saja setelah Armin menuliskan tiga patah kalimat di note-nya.
'Mikasa tidur saja. Aku yang akan membereskan tas-tasmu. Nanti siang aku akan membangunkanmu.'
Mikasa kembali mengangguk—namun masih berdiri di tempat. Sedangkan Armin beranjak untuk membongkar isi tas-tas kakaknya itu, tapi segera tertahan sesuatu.
"Armin." Jemari lentik Mikasa yang menahan lengan kiri adiknya segera mendapatkan respon. Armin menghentikan langkah kakinya. Wajahnya tampak bertanya-tanya, apa yang hendak kakaknya sampaikan.
"Apa...apa kau masih ingat 'bahasa jari' kita..?" tanya Mikasa yang hanya memandangi lantai kayu di situ. Sesungguhnya, ia agak malu membahasnya saat itu. 'Bahasa jari' yang mereka ciptakan empat tahun yang lalu—berkomunikasi menggunakan jari dan telapak tangan yang hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Cara itu lebih singkat dibanding menggunakan huruf dan angka.
Armin tersenyum tipis mendengar pertanyaan kakaknya itu. Tangan kirinya meraih telapak tangan Mikasa, dan jari telunjuk kanannya menyentuh permukaannya. Perlahan ia gerak-gerakkan jari itu di atasnya. Ah, gadis itu segera mengerti apa yang tersirat di telapak tangannya itu. Dan ia sedikit bersyukur.
'Aku masih ingat kok.'
"Lalu, kenapa...kau menggunakan note..?" balas Mikasa—masih memandang lantai.
Yang ditanya terdiam sebentar, kemudian segera menggerakkan telunjuknya kembali.
'Karena di desa ini tidak ada yang mengetahuinya selain kita, bukan?'
Mikasa belum sempat membalas, jari itu sudah mulai menari-nari di atas telapak tangannya lagi.
'Maaf, aku keterusan memakai note. Sudah empat tahun aku berbicara pada orang-orang menggunakan ini.'
Gadis itu segera menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak! Ti—tidak apa-apa kalau lupa... Itu 'kan...hanya sekedar...permainan semasa kecil...haha... A—aku hanya penasaran saja...apa kau...masih ingat—"
Kalimat terbata-bata Mikasa sukses terputus, ketika di saat itu juga, tangan kanan Armin menarik lengan kiri gadis itu—dan membuat tubuhnya jatuh ke dalam pelukan erat si pirang. Gadis itu kaget luar biasa. Ia memang tak pernah dipeluk oleh laki-laki, kecuali ayah dan adiknya. Tetapi, ia tak terbiasa dengan pelukan adiknya—yang berwujud seperti itu. Malahan, sekilas sempat terbesit di pikiran Mikasa, bahwa yang memeluknya saat itu adalah orang lain—yang lebih tinggi darinya. Ia ingin meronta, namun segera membatalkan niatannya setiap teringat bahwa orang itu adalah adiknya. Tetapi, ia tetap tak bisa menghilangkan semburat di wajahnya sedikit pun.
Sadar-sadar, Mikasa mendapati Armin kembali memainkan jari di atas telapak tangannya—tanpa melepas pelukannya.
'Aku tidak mau melupakannya...'
"Be...begitu, ya..." ucap Mikasa canggung.
Seolah mengerti kecanggungan yang dirasakan kakaknya, Armin melepaskan dekapannya. Ia kembali berjalan menuju sekumpulan tas di pojok ruangan setelah kedua tangannya mengisyaratkan agar kakaknya segera beristirahat di kamar. Dan Mikasa menurut saja, karena memang ia kurang tidur selama di kereta.
Dengan syal yang masih terlingkar di leher, gadis itu langsung merebahkan badannya di atas kasur kamarnya. Peduli setan sepatunya masih terpasang di kedua kakinya. Ia sudah muak dengan kasur keras yang ia rasakan selama empat tahun sepanjang ia bekerja di kota seberang. Sesekali, ia teringat akan pelukan adiknya tadi, namun cepat-cepat ia pejamkan matanya—berharap melupakan perasaan anehnya tadi.
.
.
.
"Kakak, bangunlah! Atau kugelitiki kakimu nanti!"
Ah... Armin mengganggu tidurnya lagi.
Biarkanlah aku tidur beberapa menit lagi, Armin.
"Kaaak! Ayo, bangun!"
Huh? Kenapa adiknya memanggilnya 'Kakak' lagi?
'Kan sudah berkali-kali kubilang, panggil aku 'Mikasa' saja, karena usia kita hanya berbeda dua tahun, dan aku tak begitu suka keformalan!
Eh?
Kenapa...Armin dapat berbicara?
"Kicauan burung di atap... Seolah memberitahu... Pagi telah datang..."
Ah, lagu yang sering dinyanyikannya...dan—suara indahnya.
"Mentari memancarkan sinar... Senyum lebar sang gembala... Di mana... Di mana dombaku... Terlelap di ladang... Tak kunjung—"
Adik kecilnya memang sering membangunkannya sembari menyanyikan lagu itu—dulu. Dan sekarang...suaranya...sudah—
Mikasa membuka kelopak matanya perlahan. Ia merasakan kehangatan di pipinya. Sebuah tangan tengah mengusap pipinya yang...basah. Eh? Basah?
"—Ar...min..? Kau bilang sesuatu..?" Dipandanginya si adik yang duduk di kasur—di sebelah tempatnya tidur tadi. Wajah pemuda itu tampak khawatir menatap Mikasa yang baru saja bangun itu. Armin segera menggerakkan telunjuknya di atas punggung tangan kakak satu-satunya itu—melakukan 'bahasa jari' mereka.
'Kenapa kau menangis? Ada apa?'
Menangis? Kapan ia menangis?
Ah.
"Aku tak apa-apa...cuma mimpi buruk..." Pernyataan yang kurang lebihnya berdusta. Ia tak ingin menceritakan mimpinya di mana Armin sedang bernyanyi sambil membangunkannya. Sebenarnya, menurutnya itu adalah mimpi yang indah, di mana ia dapat mendengar suara adiknya lagi. Namun, di sisi lain juga sebuah mimpi buruk, di mana ia mengetahui bahwa kenyataan itu tak mungkin terjadi lagi.
Berusaha melupakan mimpinya tadi, Mikasa melirik jam dinding di kamarnya. Jarum pendeknya menunjuk ke angka satu, sedangkan jarum panjang dan jarum detiknya tidak begitu ia perhatikan. Kurang dari tiga jam, ia harus menyiapkan halaman depan untuk pesta barbeque.
Armin yang tampaknya sudah lega telah membangunkan Mikasa, segera beranjak dari kasur kakaknya itu. Lalu, melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Tangannya terlipat ke depan, selembar handuk tersampir di sana.
"Ah, kau mau mandi, Armin?" Si blonde mengangguk singkat di ambang pintu kamar sang kakak. Diam-diam, Mikasa kembali memperhatikan telapak tangan adiknya yang terperban itu. Iris hitamnya lalu berpindah fokus ke kaki tak beralas adiknya itu setelah teringat kata-kata Eren. Benar saja, juga diperban. Jika ditanya lagi, pasti adiknya tak akan memuaskan rasa ingin tahunya—seperti sebelumnya.
Sementara gadis itu masih bertanya-tanya mengenai perban-perban adiknya, yang bersangkutan pun sudah menghilang dari depan matanya.
Tak lama, Mikasa menjentikkan jarinya—tanda baru mendapat ilham. Adiknya tidak mungkin mandi dengan perban-perban menempel di tubuhnya itu bukan? Empat tahun yang lalu, ketika kepala dan leher Armin masih terlilit perban, ia selalu melepasnya setiap akan mandi. Mikasa selalu membantu membalurkan obat dan memasangkan perban yang baru setelah kelar mandi.
Mikasa segera keluar dari kamarnya dan membelok ke arah belakang. Dilihatnya pintu kamar mandi tertutup. Telinga Mikasa bekerja dengan seksama, mendekati pintu tersebut. Gadis itu terheran-heran, walaupun adiknya berendam terlebih dahulu, tetapi itu terlalu sunyi. Tangannya mulai menggapai kenop pintu tersebut. Namun, segera melepasnya, dan mengepalkan tangannya tinggi-tinggi.
"Apa yang kulakukan?! Menguntit orang mandi?! Bodoh! Sama saja seperti yang Eren lakukan!" teriaknya dalam hati. "Sudahlah, nanti saja selepas mandi kutanyakan lagi."
Tiba-tiba saja jantungnya terpacu hebat ketika sesuatu—atau mungkin seseorang—menyentuh kedua pundaknya dari belakang.
"A...A—ARMIN?! KA—KAU...KE—KENAPA ADA DI SINI?!" pekik gadis itu yang tak ia sadari melengking mendekati angka gelombang audiosonik tertinggi, sehingga adiknya perlu menutup kedua telinganya.
Dari ekspresi wajahnya, Mikasa dapat menebak pemuda itu seolah berbalik tanya padanya, tentang kenapa kakaknya ada di situ.
'Jadi, Mikasa sedang apa?'
Si gadis obsidian mendapati pundak kanannya yang kali ini menjadi 'alas menulis' adiknya. Ketika Mikasa kembali melirik wajah Armin, wajahnya terlihat tanpa dosa, namun ia tahu si pirang itu sedang ingin menggodanya. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu mendorong sang kakak masuk ke dalam kamar mandi. Tentu saja yang didorong memberontak keluar, tapi sayang tenaga yang dimilikinya tak sebesar tenaga adiknya. Badan Mikasa lebih kecil darinya. Ia kalah telak.
"A...Armin?! Apa maksudmu?!" tanya sang kakak gusar dan panik. Kemudian, disambut dengan isyarat kedua tangan adiknya yang menunjuk-nunjuk beberapa objek di sana.
"APA?! Mandi bareng?!" Tingkat kepanikan Mikasa bertambah lima kali lipat. Bersamaan dengan itu, darahnya mulai meluap-luap ke kepalanya, menyebabkan semu merah muncul di wajahnya. Apalagi saat adik semata wayangnya itu mulai melucuti kancing-kancing kemejanya dari bagian paling atas. Mikasa yang telah berubah mirip udang rebus, langsung berjalan cepat ke arah pintu. Tetapi tak ia sangka, Armin mengejarnya dan menahan pintu tersebut.
"I...Ini tidak lucu...A—Armin! Ce...cepat minggir!" Si gadis surai hitam berseru begitu sembari menutupi wajah dengan syal merahnya, agar tak melihat adiknya yang tengah memakai baju setengah terbuka itu. "A—ARMIN—!" Nada seruannya bertambah panik. Dalam paniknya, perlahan air matanya terurai, membuat jemari sang adik spontan menyekanya. Namun, tangan Mikasa pun dengan refleks menepis jemari tersebut dengan cepat. Armin agak terkejut, kemudian segera merasa agak menyesal atas tindakan yang dilakukannya barusan. Ia pun membuka pintu yang dipunggunginya sedari tadi. Dan segera disambut oleh lari kakaknya keluar dari situ. Sekilas ia dapat mendengar isakan gadis itu. Sang adik menutup pintu kamar mandi kembali, membiarkan tubuhnya merosot dan terduduk—masih membelakangi pintu tersebut. Ia menenggelamkan kepala pirangnya di sela-sela kedua lutut kakinya—berseru dalam hati,"Apa yang telah kulakukan?!"
.
.
.
"Mikasa! Aku sudah bawa kayu bakar yang banyak, nih! Yang semangat dong, makannya!"
"I...iya, Sasha..."
"Kau juga, Armin!"
Pemuda pirang itu mengangguk pelan, lalu menyantap daging panggang di depannya tanpa terlihat adanya napsu.
Jean yang merasakan keganjilan di antara mereka berdua, segera melambaikan tangan ke arah teman-temannya yang lain agar mendekat ke arahnya. Telapak tangan kanannya ia sandarkan di pipi kanannya, bersiap untuk berbisik.
"Hei, ada apa ya? Mereka saling diam sedari tadi lho..."
"Iya, nih... Aku juga jadi sungkan berkunjung ke sini saat keadaannya begini..." tambah si pemilik surai umber itu.
"Apa mereka bertengkar, ya?" celetuk Sasha setelah meneguk segelas lemonade.
"Kurasa bukan bertengkar..." ujar teman dekat si pemuda Kirschtein yang ikut angkat bicara.
"Lalu, apa, Marco?" Sang brunette kembali mengambil segelas lemonade lagi.
"Hm... Suasananya nampak...canggung..."
Christa yang tadinya mendengarkan percakapan teman-temannya, menghampiri Mikasa yang terduduk sunyi.
"Mikasa..? Kau tidak doyan makanannya?"
"Ah...eh...do—doyan kok..!"
"Apa yang kau pikirkan, Mikasa?"
"Eh... A...aku...cuma bengong—"
Gadis lembut itu menghela napas, lalu berjalan ke arah teman-temannya lagi sambil menggeleng. Kini, giliran Eren yang mendatangi si gadis obsidian.
"Mikasa, ada apa dengan kau dan Armin?"
Jean yang dari jauh samar-samar mendengar apa yang dilontarkan Eren, hanya dapat menepuk wajahnya sendiri karena perkataan pemuda manik lumut yang terlalu blak-blakan.
"A...apa..? Aku..? Dan Armin..? Ta...tak ada kok..! S...sungguh..!"
Wajah Mikasa yang tiba-tiba berubah semerah tomat tidak meyakinkan temannya, bahwa ia dan adiknya tak mengalami apa-apa.
Marco yang dikenal dengan kebijakannya segera mengambil keputusan dan menyampaikannya pada teman-temannya,"Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka berdua. Namun, ada baiknya jika kita membiarkan mereka berduaan saja dulu untuk menuntaskan masalah mereka."
"Aah...jadi barbeque-nya—"
"Sashaaa, jangan mulai!"
"Uh, baiklah, baiklah..."
Kali ini, Christa menghampiri Armin.
"Armin, kami pulang ya..." Yang diajak bicara menoleh heran.
"Ah, aku lupa Ayah memintaku membetulkan pagar rumah. Maaf, aku pulang duluan, Mikasa, Armin. Marco juga berjanji membantuku. Sampai besok, ya!" Tak menunggu persetujuan dari orang-orang yang bersangkutan, Jean pun menjejakkan kakinya keluar pagar sambil mengeret sahabatnya.
"Ng...aku suka dagingnya, Mikasa! Terima kasih sudah mengundang kami. Ng...lain kali kita makan-makan lagi, ya! Daah!" Sudah dapat ditebak, itu adalah lontaran kalimat seorang gadis Braus.
Sebelum pergi, Eren mendekati Mikasa dan berbisik,"Mikasa, kami pulang. Aku tak tahu, kalian bertengkar atau bagaimana. Tetapi, selesaikanlah masalah kalian baik-baik, ya... Daah..."
Gadis itu belum sempat membalas. Tetapi pemuda teman baiknya itu sudah meninggalkan sisinya sambil memberi isyarat ajakan pergi pada Christa yang masih duduk di sebelah Armin. Gadis itu segera mengangguk sebelum berbisik pada Armin mengenai hal yang serupa dengan kalimat Eren pada Mikasa tadi.
"Sampai besok!" Dan seluruh tamu mereka pun lenyap dari pandangan.
Setelah itu, kedua bersaudara itu merapikan semua alat memasak barbeque di halaman depan mereka dalam kesunyian. Tak ada satupun dari mereka yang berinisiatif menyapa satu sama lain. Tak ada yang berkomentar. Seolah saling tak mengenal.
.
.
.
Malam itu, keduanya tak dapat tidur dengan mudah. Keduanya gusar—gusar atas insiden kamar mandi siang itu.
Armin yang kesulitan memejamkan mata, mengambil salah satu buku novel yang tergeletak di bawah kasurnya—berharap dapat membuatnya mengantuk. Namun, tak lama, pemuda itu melempar buku tak berdosa itu menabrak dinding terdekat.
Mikasa meringkuk di kasur kamarnya, kepalanya dipenuhi oleh hipotesa-hipotesa tak berujung.
Kenapa jadi begini? Bukankah...seharusnya gadis itu bersukacita hari itu? Ia telah bertemu kembali dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, kenapa—
Sang kakak merapatkan wajahnya pada bantal. Perlahan bulir-bulir keluar dan turun ke pelupuk, membasahi kain berisikan kapuk itu. Batin Mikasa sibuk mengupas semua perasaan yang dirasakannya.
Kenapa harus begini..?
Di mana adiknya yang manis dan lugu itu..?
Di mana?
Aku tak menemukannya di mana-mana..!
Ke mana ia pergi?!
Siapapun!
Tolong beritahu aku—
tempat ia berada—!
.
.
.
- TBC -
Apaan sih ini :v
Bacotan gaje saya hahaha
Lirik lagu ngasal #dor
Oh ya, ini sekuel dari The Tears ya, kemaren-kemaren kan prekuelnya udahan...
Ini napa ada bau inses _(:,3_
KENAPA ARMIN NAPSUAN PLS KILL MEH #NGESOT
Dah sebates gituan aja, NO RETEM! o..o)9
Btw di sini Mikasa 18 taon ceritanya, Armin 16 taon :I
RnR? Makasih ya nyempetin mampir~
