Disclemer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance / Drama / Family
Pairing : SasuFemNaru slight other
Rate : M
Warning : Gender Switch, AU, Mengandung unsur GL dan BL, OOC, OC, Tipo's, alur kecepatan, cerita pasaran, EYD ancur, alur mudah ditebak, bikin bad mood, dan segala kekurangan lainnya.
.
Red Chain
Chapter 1 : Pertemuan
Story By : Uchy Nayuki
.
.
DON'T LIKE
DON'T READ
.
Pagi yang cerah pada bulan September yang dingin, membuat sesosok gadis berambut pirang dengan style acak-acakan mengerang di balik selimutnya. Kedinginan dengan udara yang perlahan masuk kedalam kamarnya. Dibalik selimut tebal itu, dia memeluk tubuhnya sendiri sambil tengkurap, membuatnya tampak seperti seekor ulat.
Sedangkan pirang lain yang di ketahui adalah tersangka pembukaan jendela yang membuat sosok tersebut kedinginan, hanya bisa berkacak pinggang. Mendelik tajam pada sosok di balik selimut itu. Dia melangkah dengan terhentak, sampai berdiri tepat di sisi ranjang. Kemudian menarik selimut kasar.
"Bangun, bodoh! Ini sudah siang!"
Teriakan yang keluar dari mulutnya hanya dianggap angin lalu. Dia berdecak kesal, sebelum menjitak kepala pirang itu. Membuat sosok sang korban refleks memegang kepalanya yang berdenyut sakit, kemudian balas mendelik padanya.
"Apa yang Nee-san lakukan? Tidak bisakah Nee-san membangunkanku dengan normal?"
Wanita berambut pirang pucat dengan style ekor kuda yang di ketahui adalah Kakak dari si pirang pemalas, kembali berkacak pinggang. Dia pun menunjuk jam weker katak yang sekarang terongok tak berbentuk di pojok kamar. Memberitahu secara tidak langsung kepada sang Adik atas apa yang telah dia lakukan.
"Kau sudah di bangunkan dengan normal. Tapi kau-nya saja yang terlalu bebal" wanita itu bersidekap dada. Kemudian melangkah menuju pintu. "Cepat mandi dan bersiap-siap. Aku akan mengantarkanmu ke Kampus" setelah itu dia menghilang.
"Ck! Dia tidak tahu apa, udara sekarang bisa membuatku mati beku" gadis pirang tersebut berdecak kesal, kemudian menutup jendela yang tadi di bukakan oleh sang Kakak. Sebelum melaksanakan ritual pagi untuk menyegarkan tubuhnya.
.
.
.
"Aku dengar flat sebelah akan segera di tempati siang ini"
Gadis pirang yang sekarang mengenakan topi rajut yang menutupi hampir seluruh rambutnya, kecuali poni depan, melirik minat pada sang Kakak. Di bibirnya terukir senyum lebar. "Aku harap dia wanita cantik dengan tubuh bohai" ujarnya bersemangat. Roti di genggamannya bahkan terlupakan begitu saja.
"Tidak ada wanita" sang Kakak menyela kalem. Dia menyeringai tipis. "Kau pikir kenapa flat sebelah selalu kosong semenjak kita pindah kesini, hah? Aku tidak akan membiarkanmu menggoda wanita selama kau ada dalam pengawasanku, Naruto"
Gadis yang di ketahui bernama Naruto itu menatap tak percaya sang Kakak. "Demi rambut nanasnya Shikamaru! Nee-san, bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?!" dia memekik histeris, merasa tak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Kau terlalu keras kepala. Sudah ku katakan jika aku telah memilih untuk mencintai para wanita, menyerahlah Nee-san" ujarnya seraya menghela napas.
Sang Kakak menggeleng pelan. "Tidak, tidak. Menyerah itu bukan gayaku" setelah itu dia tersenyum lebar. "Lagipula Paman Nagato mendukungku. Dia yang menyetujui rencanaku untuk tidak menempatkan wanita di flat sebelah" adunya dengan semangat.
Naruto menatap tajam Kakaknya itu. Kemudian membuang muka. "Kau dan Paman Nagato sama saja" lalu dia berdiri dari duduknya seraya menenteng tas pada bahu. "Nee-san ingin mengantarku ke Kampus, bukan? Ayo, cepatlah! Kelas pertamaku akan segera di mulai satu jam lagi" ujarnya seraya melihat jam tangan.
"Hm, baiklah" wanita berambut pirang pucat itu berdiri dari duduknya. Kemudian merapikan meja sebentar, sebelum menemui Adiknya yang menunggu di ruang tamu.
"Ayo!"
.
.
.
Mobil Sedan yang di dominasi warna kuning cerah itu berhenti di depan gerbang Konoha University. Sang pengemudi melirik gadis pirang yang ada di sampingnya yang terlihat akan segera keluar dari dalam mobil. Dia bisa melihat style pakaian sosok itu yang tentu saja akan membuat siapapun meragukan gerndernya yang sebagai seorang perempuan. Penampilannya benar-benar jauh dari kata feminim.
"Belajarlah dengan giat. Dan setelah Kuliahmu selesai, jangan keluyuran. Langsung pulang" kata-kata yang selalu di ucapkannya tiap mengantar sang Adik, keluar kembali dari mulutnya. Meskipun dia tahu Adiknya yang bebal ini tak akan pernah mendengar, karena hampir setiap hari gadis itu pulang malam. Keluyuran bersama dengan teman-temannya.
Sang Adik menutup pintu mobil. Kemudian menunduk, menatap sang Kakak dari balik jendela. Kepalanya terlihat mengangguk-angguk. "Hm-hm, aku tidak janji" setelah itu dia melenggang pergi.
Wanita yang diketahui bernama Deidara Namikaze itu hanya bisa menghela napas melihat kelakuan sang Adik. Kemudian dia menatap jalan yang ada di depannya. Hm, hari ini dia cuti, mungkin dia bisa duduk-duduk santai di flatnya, dengan segelas jus jeruk dan pai apel sebagai pelengkap. Dia mengangguk memikirkan itu. Dan dia pun menekan pedal gas, melajukan mobilnya dari sana.
.
.
.
Kelas Ekonomi hari ini masih terlihat seperti biasa, ribut tentu saja. Banyak dari mereka yang mengobrol membicarakan sesuatu yang tidak penting, bahasa kerennya menggosip. Mau itu wanita atau pun pria, sama saja. Mereka terus mengoceh sampai mulut berbusa. Sama seperti salah seorang dari empat manusia yang ini yang sekarang mendudukkan diri mereka di deretan paling pojok ruangan.
"Hey, kalian tahu. Hari ini akan ada Mahasiswa baru di Kampus kita"
Tiga dari empat orang itu melirik tak minat pada sosok yang berbicara. Setelahnya, mereka fokus kembali pada kegiatan masing-masing.
"Oi! Dengarkan aku!"
Naruto melirik malas pada sosok itu. "Kau tadi bilang Mahasiswa, bukan?" tanyanya memastikan. Kemudian dia menatap kembali ponselnya setelah mendapat anggukan dari yang bersangkutan. "Jika bukan Mahasiswi, aku tidak minat" dan dia kembali hanyut dalam dunianya.
Tiga temannya hanya bisa saling pandang ketika mendengar perkataan gadis itu. Kemudian mengedikkan bahu, maklum. Memang tidak ada yang bisa menarik perhatian gadis ini kecuali wanita dan ramen, tentunya. Mereka tahu tentang orientasi seksual sang gadis yang menyimpang, jadi mereka besikap biasa saja. Tidak ada kata jijik atau kata-kata yang sejenis dalam pertemanan mereka ini. Mereka berteman karena mereka memang bisa saling mengerti satu sama lain.
"Ck, biarkan saja si Naruto itu" laki-laki dengan tato segitiga terbalik di kedua pipinya, berdecak sebal. Kemudian, menatap dua temannya yang lain, yang juga tak tertarik dengan informasi yang baginya trending topic itu. "Aku dengar dia akan masuk jurusan Akutansi. Dan akan sekelas dengan kita untuk kelas Ekonomi hari ini" umbarnya kembali memberi tahu.
"Hoaaamm, aku tak tertarik" si rambut nanas menguap lebar, kemudian memilih tidur di mejanya.
"Hey, dengarkan aku Shikamaru!"
"Zzzz…"
"Gah, sialan kau rusa!" kembali laki-laki itu berdecak kesal, kemudian beralih pada temannya yang satunya lagi. "Kau tahu Gaara, ku dengar dia tampan" katanya kembali, tak peduli jika sosok di hadapannya hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Kau bilang apa tadi, Kiba? Tampan?"
Sang informan yang tenyata bernama Kiba itu berjengit kaget, ketika Naruto tiba-tiba mencengkram bahunya. Dia mengangguk kaku untuk menjawab pertanyaan gadis itu, lalu mengelus bahunya yang nyeri setelah Naruto melepas cengkramannya.
"Seberapa tampan? Apa dia lebih tampan dari Gaara?" tanya Naruto memastikan. Mendapat lirikan tanpa ekspresi dari sosok bersurai merah yang ada di sampingnya.
Kiba menggosok dagunya seraya memperhatikan Gaara. "Hm, bisa saja" ujarnya menerka-nerka. Kemudian dia menoleh pada sang penanya, dahinya terlihat mengkerut. "Kenapa kau bertanya tentang itu?"
Wajah Naruto terlihat suram. "Ck, sial! Aku dapat rival lagi" dia berdecak seraya melirik dua temannya, Shikamaru dan Gaara. Meskipun mereka adalah teman, tapi tidak dalam hal memperebutkan para wanita. Dia bisa menjadi jomblo seumur hidup jika banyak laki-laki dengan wajah di atas rata-rata yang berkeliaran dalam Kampus ini.
Selesai dengan gerutuannya, Naruto kembali menoleh pada Kiba. "Hey, Kiba. Namanya sia-"
"Oh ya ampun, dia tampan sekali!"
"Siapa namanya?"
"Kyaaa… Aku ingin berkenalan dengannya!"
Empat sekawan itu menoleh kearah pintu masuk yang menjadi asal suara-suara teriakan. Mata mereka melihat dengan jelas bagimana sesosok pemuda dengan rambut sekelam malam memasuki kelas dengan sangat elegan. Banyak gadis yang mengikutinya dari belakang seakan mereka itu adalah dayang yang sedang mengekori seorang Pangeran. Pesonanya benar-benar bisa menarik perhatian semua gadis.
"Siapa dia?" Gaara yang pertama kali angkat suara dalam keterdiaman mereka.
"Ah, aku tahu" Kiba bertepuk sekali, lalu menatap sosok sang reven. "Dia pasti anak baru itu" ujarnya kembali seraya mengangguk-angguk.
Sementara Shikamaru dan Gaara kembali fokus pada dunia masing-masing. Naruto malah melirik tak suka sosok reven tersebut. Matanya memicing ketika melihat banyak wanita-wanita cantik yang mengelilingi sang reven. Giginya bahkan bergemeratuk keras ketika mendapati wanita yang pernah di taksirnya berdiri di dekat sosok itu dengan wajah yang memerah malu-malu. Sialan, rivalnya kali ini tidak bisa di remehkan, itu pikirnya.
"Hey, Naruto. Berhentilah menatapnya begitu"
Naruto melirik Kiba sebentar, kemudian kembali mendelik pada laki-laki dengan gaya rambut menantang gravitasi itu. Dia bahkan menambah kadar permusuhannya ketika matanya bertemu pandang dengan manik obsidian sang pemuda. Mengatakan secara tidak langsung jika dia akan mengibarkan bendera perang diantara mereke berdua.
Bibirnya bergerak pelan tanpa suara. Mengatakan sebait kalimat permusuhan, kemudian kembali berbicara dengan Kiba.
"Fuck You!"
.
.
.
Sebuah Lamborgini hitam berhenti tepat di depan gerbang Konoha University. Sang pengemudi yang memiliki tanda lahir seperti keriput di pangkal hidungnya itu menatap sosok sang Adik yang ada di sampingnya. Memperhatikan Adik laki-lakinya yang terlihat bersiap-siap keluar mobil.
"Kau tak apa-apa jika tak kutemani,'kan?" tanyanya dengan raut datar.
Laki-laki yang memiliki wajah yang tak jauh beda darinya itu hanya melirik kecil. Kemudian mengangguk dan bergumam.
"Hn"
"Baiklah, semoga Kuliahmu menyenangkan"
Setalahnya, mobil tersebut hilang dari pandang mata.
Sasuke Uchiha, adalah nama dari pemilik wajah rupawan itu. Dia melangkah santai menaiki anak tangga untuk memasuki pekarangan Kampus. Sesampainya disana, dia hanya memasang wajah datar seraya mengabaikan berbagai macam pandangan antara kagum dan penasaran yang di tunjukkan padanya. Dia tidak punya waktu untuk meladeni mereka, karena sekarang dia harus segera bertemu dengan Pamannya itu.
.
.
.
"Kelas pertamamu hari ini adalah Ekonomi. Setalah itu di susul dengan Sastra"
Sesosok laki-laki dengan style rambut melawan gravitasi, mengangguk mengerti. Dia menatap kertas yang bertuliskan daftar pelajaran yang akan di ikutinya hari ini sesaat. Lalu memasukkan dalam saku mantel hitam yang di kenakannya. Kemudian menatap sang Paman yang juga seorang Dosen di Kampus ini dengan datar.
"Dimana ruangnya?"
Sang Paman tersenyum lebar, lalu berdiri dari duduknya. "Ayo, biar aku mengantarmu" ujarnya seraya melangkah menuju pintu.
Laki-laki itu pun berdiri dari duduknya, kemudian mengikuti langkah sang Paman meninggalkan ruangan tersebut. Dia berjalan bersisian dengan pria itu di koridor seraya menulikan pendengarannya ketika sang Paman terus mengoceh. Uchiha di sampingnya ini memang sangat jauh dari kata dingin.
"Pagi, Obito"
Langkah kakinya berhenti ketika seseorang berbicara dengan Pamannya. Dia menatap pria dengan masker yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu dengan datar. Sebelum beralih pada Pamannya yang balas menyapa laki-laki tersebut di sertai senyum lebar pada wajahnya.
"Pagi juga, Kakashi"
"Hm, siapa pemuda di sampingmu ini?" pria yang di ketahui bernama Kakashi itu sekarang menatap penasaran sosok sang reven. Lalu menatap kembali Obito, menunggu jawaban.
"Ah, dia keponakanku" Obito masih tersenyum lebar. Kemudian dengan tiba-tiba menepuk keras bahu sang reven. "Perkenalkan namanya Sasuke Uchiha" ujarnya dengan nada kekanakan. Tak peduli jika sang keponakan mendelik tajam padanya.
Kakashi mengangguk sekali. "Jadi kau Mahasiswa baru itu" ujarnya seraya memperhatikan Sasuke. "Perkenalkan, namaku Kakashi Hatake" dia mengangguk kecil pada sang reven.
Sasuke membalas anggukan itu. "Sasuke Uchiha"
Kakashi memperlihatkan senyum kecil, sebelum tatapannya beralih pada Obito. "Ah ya, Obito. Aku butuh bantuanmu untuk memeriksa skripsi murid-murid. Kau mau membantuku, bukan?"
Obito mengangguk kencang. "Tentu aku ma-" dia tak menyelesaikan kata-katanya ketika dia ingat ada satu hal yang terlupakan. Dan dia pun melirik pada Sasuke.
"Ah, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku harus mengantar Sasuke lebih dulu. Mungkin nanti setelah aku mengantarnya"
Sasuke mengedikkan bahu ringan seraya menatap Pamannya datar. "Kau hanya perlu mengatakan dimana letak kelasnya. Lalu akan ku cari sendiri" ujarnya kalem.
Obito terdiam sebentar, kemudian mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kau hanya perlu lurus kedepan kemudian belok kanan. Ruangan yang kau lihat pertama kali disisi kiri adalah kelasmu" katanya menjelaskan. Jeda sesaat, sebelum dia menoleh kembali pada Sasuke. "Kau mengerti, bukan?"
Sasuke mengangguk, kemudian langsung melenggang pergi. Tapi sebelum itu, dia sempat berbisik pada sang Paman.
"Incaranmu lumayan juga"
Dan dengan itu, dia meninggalkan Obito yang sekuat tenaga menahan hawa panas yang merambati seluruh wajahnya.
.
.
.
Bagi Sasuke, seluruh wanita di dunia ini sama saja. Oh ayolah, coba kau bayangkan sendiri jika seandainya para kaum Hawa itu selalu meneriakimu dengan suara yang seakan meledakkan telinga. Apakah itu nyaman? Tidak? Yah, itulah yang dirasakan makhluk super rupawan ini.
Pertama kali memasuki kelas, dia langsung mendapati dirinya di teriaki dengan suara melengking mereka. Dan apakah kau berharap dia akan menyumpal mulut mereka itu dengan kaos kaki Flying Dutchman? Oh, tentu saja tidak, pemuda yang menjadi impian para perempuan ini terlalu baik untuk melakukan itu.
Jadi karena itulah, dia hanya diam dengan masih tetap mempertahankan wajah datarnya. Melenggang santai memasuki kelas tanpa menghiraukan pandangan kagum dan terpesona seluruh wanita yang tertuju padanya. Mendudukkan diri pada kursi paling akhir yang berada pada deretan pertama dari pintu kelas. Dan mulai menyibukkan diri dengan ponselnya.
Tapi baru beberapa saat dia mulai tenggelam dalam dunia sendiri. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Yah, awalnya dia berpikir itu mungkin efek dari para wanita ini yang mengerubunginya. Namun makin lama dia merasa jika perasaan ini memang sedikit lebih berbeda. Rasanya seperti dikuliti hidup-hidup.
Jengah dengan perasaannya sendiri. Matanya pun mulai beredar keseluruh pelosok kelas. Detik-detik pertama dia merasa tidak ada yang salah. Tidak ada yang mengganjal selain para wanita ini yang membuatnya risih. Tapi semua opininya itu berubah ketika matanya bersibobrok dengan langit biru itu.
Indah dan menawan. Itu dua kata yang pertama kali terpikirkan oleh otak jeniusnya.
Tapi dia dibuat kebingungan karena manik sebiru langit itu memandangnya dengan tajam. Dan dia harus lebih kebingungan lagi ketika mendapati bibir mungil itu bergerak mengatakan satu kalimat tanpa suara yang ditujukan padanya.
Fuck You?
Namun tak butuh waktu lama bagi Sasuke untuk mengerti kenapa 'laki-laki' manis itu bersikap kasar padanya. Mungkin dia kesal karena kedatangannya ini membuat para wanita tertarik padanya? Yah, itu memang alasan yang sangat logis.
Mata sewarna malamnya memperhatikan bagaimana sosok cerah itu sekarang terlihat berdebat dengan temannya. Memperhatikan bagaimana wajah dengan tiga garis horizontal di kedua pipinya itu memasang berbagai ekspresi. Dan memperhatikan bagaimana bibir mungil itu terbuka dengan suara tawa menyenangkan yang keluar dari pita suaranya.
Pemandangan yang benar-benar indah, bukan?
Sasuke sudah sering menemukan para Uke manis diluar sana. Tapi sungguh, yang ini rasanya sangat berbeda. Sebenarnya ini sangat mengganggu, namun entah kenapa ada getaran menyenangkan ketika dia bisa menatap mata biru itu.
Dan tanpa bisa ditahan, sudut bibirnya naik untuk beberapa mili. Senyum samar yang ditunjukkan pada dirinya sendiri karena Uke manis yang bisa dijadikan kekasih selama dia berada disini akhirnya bisa ditemukan. Yah, hanya butuh usaha untuk membuat laki-laki pirang itu belok dan tertarik padanya. Bukan masalah besar sebenarnya, karena Sasuke sudah sering membuat banyak laki-laki manis jatuh dalam dekapannya selama dia berada di Kyoto dulu.
Ternyata menyetujui permintaan Aniki untuk tinggal dengannya disini tidak buruk juga, pikirnya dalam hati, senang. Sebelum memutuskan untuk kembali menyibukkan diri dengan ponselnya.
.
.
.
Pada saat ini Deidara terlihat sibuk berada di dapur. Yah, seperti niat awalnya, dia ingin santai-santai di flatnya dengan segelas jus jeruk dan pai apel. Tapi sebelum itu dia harus berkutat dengan peralatan dapur terlebih dahulu untuk mencapai tujuannya. Membuat adonan pai dan mengupas apel dan juga memanaskan oven.
Dan setelah berkutat selama beberapa saat di dapur, akhirnya pekerjaannya selesai. Jadi dia hanya perlu menunggu sampai pai-nya matang. Sesudah itu dia akan duduk santai di depan televisi.
Seraya menunggu dentingan oven, wanita dengan rambut pirang pucat ini memilih untuk membersihkan dapurnya yang sedikit berantakan. Dengan senandung ringan yang keluar dari mulutnya, tidak terasa dia sudah menyelesaikan setengah dari pekerjaannya itu. Namun, kegiatannya harus terhenti kala telinganya mendapati suara-suara berisik yang berasal dari luar flatnya.
Merasa penasaran, Deidara pun menghentikan pekerjaannya. Dia melepas celemek yang dikenakannya dan menaruhnya di sandaran kursi. Menata rambutnya yang sedikit berantakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari flatnya.
Yang pertama kali di dapatinya adalah dua pria yang dikenal Deidara sebagai petugas kebersihan di gedung flat ini, terlihat membawa sebuah kardus besar. Dia terus mengikuti pergerakan dua orang tersebut, sampai akhirnya mereka berhenti dan meletakkan kardus besar itu di depan pintu flat sebelahnya yang sekarang terbuka.
"Tuan, ini adalah kardus terakhir Anda. Ada lagi yang bisa kami bantu?" salah satu dari mereka buka suara seraya mendekati pintu.
"Tidak, terima kasih"
Deidara tetap berdiri di depan flatnya. Mendengarkan dalam diam percakapan antara orang tersebut dengan sesosok entah siapa itu yang berada di dalam flat sebelah. Tapi satu yang bisa dipikirkan otaknya setelah mendengar percakapan mereka.
Dia adalah tetangga baru. Dan yang lebih pentingnya lagi…
… dia laki-laki.
Ah, Naruto pasti akan sangat senang. Batinnya sumringah.
"Baiklah, kami permisi"
"Hn"
Kembali, Deidara memperhatikan dua orang itu yang sekarang mulai melangkah menjauh dari sana. Mereka sempat mengangguk sopan kepada Deidara, yang tentu dibalas dengan tidak kalah sopan olehnya sebelum benar-benar menghilang.
Deidara berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya menoleh kearah flat disampingnya. Dahinya sedikit berkerut, memikirkan apakah dia akan menyapa tetangga barunya itu atau tidak. Dan setelah berkutat dengan pikirannya beberapa saat, Deidara pun akhirnya memutuskan untuk mendekati pintu flat sebelah.
"Eumm, permisi"
Dia dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dan tak lama setelah itu, sesosok pria berperawakan tinggi berdiri di hadapannya. Umurnya mungkin tidak jauh beda dari Deidara. Rambut hitam panjangnya terikat longgar, tapi terkesan rapi. Kulit putihnya sedikit berkeringat, mungkin karena harus berkutat untuk menata flatnya. Wajah tampan dengan tanda lahir seperti keriput pada pangkal hidungnya itu terlihat menawan. Deidara bahkan harus terdiam beberapa saat di tempat dengan otak yang mendadak korslet.
Dia Pangeran dari kerajaan mana?
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Ah!" Deidara mendadak sadar dari keterpesonaannya. Dia dengan segera memasang senyum manis, menunjukkan kesan bersahabat dengan tetangga barunya ini. "Perkenalkan namaku Deidara Namikaze. Aku tinggal di flat tepat di samping flatmu. Yah, secara tidak langsung kita adalah tetangga" katanya dengan nada ramah. "Sebagai orang yang lebih dulu tinggal disini aku merasa harus membuat tetanggaku merasa nyaman. Jadi aku menyapamu" Deidara terdiam lama setelah mengatakan itu. Dia memperhatikan wajah pria dihadapannya yang hanya memasang raut tanpa ekspresi. Sial, kenapa suasananya jadi canggung begini.
"Umm, apa aku mengganggu?" tanyanya kikuk. Senyuman manisnya tadi sekarang berubah menjadi kaku.
"Hn, kau memang sedikit mengganggu"
Deidara menganga tidak percaya ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut si pria. Apa pria ini tidak diajarkan kode etik berbicara dengan seorang perempuan? Kenapa tingkah lakunya itu sangat menyebalkan? Dan lagi… Hei! Dia hanya berusaha bersikap ramah.
Dan dengan menahan semua kekesalannya. Wanita itu berusaha bersikap biasa dihadapan pria ini. "Oh, maaf kalau begitu" giginya bergemeratuk kecil, sebisa mungkin menahan diri agar tidak mencakar wajah keriputan si pria. "Kau sangat sibuk, ya? Ah, betapa bodohnya aku telah mengganggu tetangga sendiri. Yah, meskipun yang ingin kuucapkan hanya sepatah kalimat pertemanan" dia menatap geram pria itu seraya menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga, mempertahankan keanggunannya. Sangat berbanding terbalik dengan batinnya yang sekarang komat-kamit menyumpahi sang tetangga.
"Hn" hanya gumaman yang dilontarkan pria itu sebagai tanggapan. Sepertinya dia tidak ingin berurusan lebih lanjut dengan wanita pirang ini.
Deidara masih mempertahankan tatapan tajamnya. "Baiklah kalau begitu, aku permisi du-"
Matanya berkedip beberapa kali. Bau apa ini? batinnya dalam hati. Niatnya dia ingin melongok dan mengecek apakah bau aneh ini berasal dari flat laki-laki dihadapannya. Tapi setelah dia endus-endus lagi, baunya memang bukan dari sana. Lalu, bau tidak enak apa ini?
Gerakan kepalanya beralih pada pintu flatnya yang masih terbuka lebar. Entah kenapa sesuatu yang tidak menyenangkan mulai memasuki pikirannya.
1 detik
2 detik
3 detik
Loading Complete
"PAI-KUUU!"
.
.
.
Itachi masih ingat, saat itu dia sedang memindahkan baju-bajunya kedalam lemari. Sebelum suara seseorang terdengar di depan flatnya. Membuat Itachi harus dengan terpaksa menghentikan pekerjaannya.
Hal pertama yang dilihatnya adalah wanita dengan rambut pirang serta poni yang menutupi sebelah matanya, berdiri tepat di depan pintu. Dilihat dari segi manapun sebenarnya wanita ini memang mememiliki tampang lebih dari lumayan. Namun harus diingat sekali lagi, bukan Itachi namanya jika langsung tertarik dengan seorang wanita hanya dari rupanya saja.
Tidak, Itachi bukan Gay seperti adiknya itu. Dia masih normal, bahkan sangat normal. Dia hanya tipe laki-laki pemilih. Tahu sendiri bukan, kebanyakan laki-laki itu ingin mendapatkan kekasih yang memiliki kepribadian yang sama seperti sang Ibunda.
Dan karena itulah dia hanya memasang wajah datar ketika sang wanita mulai berbicara panjang lebar. Dan juga karena Itachi bukan orang yang suka berbohong, maka dia menjawab dengan jujur pertanyaan yang dilontarkan wanita itu padanya. Meski dia tahu betul jika kejujurannya itu berbuah kejengkelan bagi sang wanita. Tapi yang namanya Itachi tidak akan peduli.
Dia masih memasang tampang datar ketika wanita itu mulai berbicara lagi, kali ini dengan tatapan mata yang seakan ingin sekali membunuhnya. Namun harus dingat jika Itachi tidak akan mempan pada tatapan yang sejenis itu. Deathglear Otoutonya sendiri bahkan tak bisa menghancurkan benteng pertahanannya.
Namun hal yang berhasil membuatnya menggerakkan sedikit otot wajah, ketika melihat wanita itu mengerut-ngerutkan hidungnya sendiri. Seperti sedang mengendus sesuatu. Itachi dengan refleks mengangkat sebelah alisnya, kebingungan. Apa yang sedang dilakukan wanita ini?
"PAI-KUUU!"
Dia terlonjak kaget ketika tiba-tiba wanita dihadapannya berteriak kencang, sebelum berlari menuju flat yang ada disebelahnya. Itachi yang takut terjadi sesuatu pun mengikuti wanita itu dari belakang. Memasuki flat sang wanita sampai akhirnya dia di bawa ke dapur.
Oh, sepertinya dia tahu apa yang terjadi.
"Pai-kuu~"
Dia terdiam lama menatap wanita dihadapannya ini yang sekarang terlihat sedang memegang sebuah loyang dengan kue hitam yang ada di dalamnya. Tapi bukan itu hal yang membuat bibir Itachi bergetar hebat. Dia bahkan harus menutupi mulutnya sendiri agar sang wanita tak tahu apa yang terjadi padanya.
"Apa yang kau tertawakan, hah?"
"Bwahahaha…"
Tawa yang ditahannya semenjak tadi, lepas sudah.
Oh, lihat saja wanita di hadapannya saat ini. Wajah cantiknya tadi sekarang dipenuhi oleh noda hitam bekas asap oven. Bahkan rambut pirang indahnya sekarang terlihat kusut dan kusam. Penampilannya saat ini bahkan tidak lebih baik dari gembel jalanan.
"Berhetilah menertawakanku, tetangga kurang ajar!"
Itachi menutup mulutnya sendiri dengan sebelah tangan. Terlihat kesusahan menahan tawanya. "Ma-maaf… mmpphhahaha" kemudian dia kembali tertawa.
"Berhetilah tertawa, tetangga!" Deidara dengan kesal meletakkan pai gagalnya di atas meja. Kemudian kembali mendelik pada pria yang berada dua meter di sampingnya. Tapi pria itu tidak menanggapinya dan masih asik tertawa. "Berhenti tertawa, atau kusumpal mulutmu itu dengan pai ini" ancamnya sungguh-sungguh. Terlihat dari dia yang kembali menggapai pai tersebut.
"Ba-baiklah" Itachi mengulum senyum geli. Lalu matanya beralih menatap pai hasil karya si wanita. "Apa selalu seperti ini?" tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tentu saja tidak!" Deidara menjawab cepat. Dia kembali meletakkan pai itu di atas meja. "Ini semua gara-gara kau" tudingnya tajam, mendelik marah pada Itachi.
"Hei, kenapa aku?" Itachi tentu saja protes. Dia merasa tidak pernah melibatkan diri dalam hal keterlambatan seorang wanita mengangkat panggangan. Dan bukankah wanita ini sendiri yang mengajaknya ngobrol? Kenapa kesalahan malah jatuh padanya?
"Tentu saja gara-gara kau" telunjuk Deidara mengarah tepat ke wajah pria itu. "Jika bukan gara-gara kau yang bertingkah menyebalkan, aku pasti tidak akan lama-lama berdiri di depan flatmu dan langsung kembali kesini" ujarnya meletakkan semua kesalahan pada Itachi.
"Aku bukan tersangka atas kegosongan pangganganmu, Nona" Itachi mendelik kesal. Merasa harga dirinya terluka karena wanita ini melempar semua kesalahan padanya. "Kau sendiri yang mengajakku bicara, bukan? Jadi artinya, kaulah penyebab atas kegosongan pai-mu sendiri" yang dikatakannya memang benar. Hei, Itachi tidak akan terima jika dituduh sembarangan seperti itu.
"Terserah aku tidak mau tahu. Yang pasti semua ini salahmu!" Deidara tetap keras kepala. Dia berkacak pinggang seraya menunjuk-nunjuk Itachi. Mirip seperti seorang Ibu yang memarahi anaknya.
Itachi memutar bola matanya bosan. Kemudian bersidekap dada. "Sudah tak punya alasan tapi masih keras kepala" dia bergumam yang sebenarnya masih di dengar oleh Deidara. Dan dengan itu, sang wanita makin melotot padanya. "Lalu kau mau apa? Pangganganmu sudah terlanjur gosong, bukan? Atau kau ingin aku menganggantinya?" sebagai seorang laki-laki, Itachi akhirnya memilih untuk mengalah. Dia juga yakin, berdebat dengan wanita ini akan menghabiskan waktu lama. Dan itu sangat merepotkan.
Deidara membuang mukanya kesamping, bibirnya terlihat mengerucut sebal. "Tidak usah, pai diluaran sana tidak lebih enak dari pai buatanku" dia berujar percaya diri. Yang sebenarnya memang tidak salah. Bahkan jika Deidara ingin, dia bisa membuat toko pai sendiri, hanya saja dia terlalu malas untuk itu.
Sementara Itachi hanya mengangkat sebelah alisnya. Sekarang dia bertanya-tanya, seberapa enak pai buatan wanita ini? Apakah yang dikatakannya itu benar, atau hanya sekedar bualan saja. Hm, mungkin Itachi bisa mencicipinya lain kali. Yah, tidak mungkin pai dengan warna kehitaman itu memasuki mulutnya, bukan?
"Sudah sekarang kau keluar!" setalah terdiam beberapa saat, akhirnya Deidara kembali bersuara. Dia menatap Itachi tajam, masih kesal rupanya. "Apalagi yang kau tunggu? Keluar!" nadanya semakin meninggi ketika Itachi tak segera melangkah dari tempatnya berdiri.
"Hei, begitu caramu memperlakukan tetangga sendiri?" Itachi berujar kalem, berbanding terbalik dengan benaknya yang saat ini jengkel bukan main. "Aku akan keluar, tenang saja. Tapi setidaknya, jangan meneriakiku seperti itu" tambahnya lagi seraya berbalik, berniat segera keluar dari flat Deidara.
"Um, hei!"
Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar seruan si wanita. Dia pun melirik wanita tersebut melalui bahunya. "Hn?" sebelah alisnya terangkat melihat Deidara menundukkan kepala dalam.
"Ma-maaf, aku tak bermaksud membuatmu tersinggung" nada suara Deidara terdengar lebih tenang sekarang. Sunggguh, tadi itu dia tidak berniat berteriak pada Itachi, dia hanya masih kesal, hanya itu. "Aku memang sedikit diluar kontrol jika sedang kesal. Maafkan aku" katanya lagi, seraya mencuri-curi pandang kearah Itachi.
Itachi terdiam di tempat. Memperhatikan tingkah wanita itu yang entah kenapa terlihat menggemaskan dimatanya. Dia pun memasang senyum kecil, lalu berbalik sepenuhnya menghadap kembali pada Deidara. "Hn, tak apa. Lagipula Adikku juga sering seperti itu" katanya seraya memutar memori dimana Sasuke sering membentak dan meneriakinya keriput. Benar-benar Adik durhaka si Sasuke itu.
"Ah, benarkah? Kalau begitu kita tidak jauh berbeda" Deidara tiba-tiba mulai menyukai pembicaraan ini. Dia bahkan melupakan wajahnya yang masih di penuhi noda hitam. Membicarakan Adiknya membuat Deidara jadi semangat. "Adikku adalah gadis paling cerewet di dunia. Kau pasti akan tahu sendiri ketika dia pulang nanti" ujarnya seraya tersenyum.
"Hm, aku bisa lihat itu" Itachi membalas senyuman Deidara. Kakaknya saja sudah seperti ini apalagi Adiknya, batin Itachi tak habis pikir. "Ah, sebaiknya kau segera membersihkan wajah dan rambutmu. Itu pasti tidak nyaman, bukan?" ujarnya kembali seraya menunjuk wajah Deidara.
"Ah, kau benar" Deidara menangkup pipinya sendiri. Entah kenapa sekarang dia merasa malu. "Baiklah, sebaiknya kau kembali ke flatmu, kau masih punya banyak pekerjaan, bukan? Aku akan berkunjung nanti" katanya kembali dengan senyum manis.
"Hn"
.
.
.
Jam makan siang sedang berlangsung. Maka dari itulah, sekarang meja kantin hampir semuanya penuh oleh para muda mudi. Sama halnya dengan empat sekawan ini yang duduk manis di salah satu meja kantin. Dengan senampan makanan di hadapan, mereka menikmati jam makan mereka dengan tenang.
Sesekali terdengar ocehan dari si penyuka anjing dan si pirang. Kedua orang itu memang menjadi yang paling sering bersuara diantara mereka berempat. Sementara sisanya hanya menanggapi sesekali dengan tidak minat. Bukan gaya mereka untuk banyak bicara.
Namun, semua ketenangan mereka hancur ketika seseorang dengan wajah menawan memasuki area kantin. Dia dengan cueknya menghiraukan semua teriakan para wanita dan pandangan iri para laki-laki. Memasukkan beberapa makanan dalam nampannya dan mulai mendudukkan diri di salah satu kursi dengan santainya. Kemudian menikmati makanannya seakan tidak terjadi apapun di sekitarnya.
Hal itu kembali membuat salah seorang dari empat sekawan tadi naik darah. Dia dengan geram mendelik pada sosok tersebut. Dan seperti dejavu, mata mereka kembali bertemu pandang.
Tapi sesuatu yang aneh terjadi, dan Naruto harus mengangkat kedua alisnya untuk itu. Laki-laki sialan itu melempar senyuman padanya? Yah, memang bukan senyuman lebar, hanya senyuman tipis setipis alisnya Gaara. Namun tetap saja, itu pergerakan otot yang luar biasa untuk orang dengan ekspresi minim seperti Sasuke.
"Berhetilah menatapnya seperti itu, Naruto. Semenjak kelas Ekonomi tadi kau terus seperti ini jika berurusan dengannya"
"Aku kesal padanya, Gaara" Naruto menatap Gaara dengan tampang masam. "Sebenarnya apa yang dilihat para wanita dari laki-laki seperti dia? Bukankah aku lebih baik darinya?"
"Sebenarnya dia punya satu hal yang tidak kau punya, Naruto" Kiba menyela, dia menatap Naruto dengan kilat jahil yang tidak disadari oleh si pirang. Tangannya terletak disisi bibir, kemudian berbisik kecil. "Coba kau cek, apa kau punya benda bergantung diantara selangkanganmu?" dia melirik bagian bawah Naruto, meski tak terlihat karena di tutupi meja kantin.
Tepat setelah dia mengatakan itu, sebuah geplakan mendarat mulus di kepalanya. Bukan, bukan Naruto sang tersangka penggeplakan. Tapi pemuda bersurai merah yang ada di sampingnya. "Kau pilih mana? Kupotong penismu sekarang atau kucukur bulu Akamaru?" jangan anggap main-main ancamannya itu. Laki-laki ini memang sangat sensitive jika bersangkutan dengan si pirang yang sudah dia anggap Adik sendiri.
"Ma-maaf Gaara. Aku hanya bercanda" Kiba dengan secepat kilat bersembunyi di belakang Shikamaru.
Tidak menghiraukan pertengkaran kecil yang terjadi antara dua sahabatnya. Naruto kembali menoleh pada si riven. Namun detik itu juga dia harus rela matanya melotot lebar dengan tatapan tak percaya. Dan di detik berikutnya, dia sudah berdiri tegak dari duduknya. Melangkah dengan terhentak kearah sang reven, tak peduli jika Kiba sudah memanggilnya berkali-kali.
Sialan! Tak akan ku biarkan ini terjadi.
.
TBC
.
Yuhuuu… saya publish fict baru~ #diCekek. Maaf, saya benar-benar gak bisa nahan diri untuk buat fict ini. Saya tahu saya nambah utang, tapi ya harus bagaimana lagi, saya gak nahan buat gak publish #NyengirKaku.
Ah ya, ini adalah postingan terakhir saya menjelang Ramadan. Jadi bisa dikatakan saya akan Hiatus untuk sementara. Dan akan kembali posting selepas lebaran nanti^^
Yokeh, untuk chap pertama cukup disini dulu. Karena sebelumnya pendapat para readers lah yang sangat menentukan. Apakah saya harus melanjutkan fict ini atau tidak? Mohon review kalian Minna-san~^^
.
#WeDoCareAboutSFN
.
Mind to Review?
