DISCLAIMER :
Togashi-Sensei
kurisleen (for the original fic, she permitted me to translate it)
PAIRING :
Absolutely KuroPika^^
SUMMARY :
Eight months after Kurapika's encounter with the Genei Ryodan, she found her long lost uncle and finally focused in finding her clan's eyes. What she didn't know is that Kuroro Lucifer already found someone who could lift the nen curse.
GENRE :
Romance & Adventure
WARNING :
FemKura. An Indonesian version for Forced Trials by kurisleen, one of my favorite fic!^^
A/N :
Okayy…ini translated fic baru dari aku^^ Tapi aku juga masih mengimbangi dengan terus bikin fic sendiri kok XD
I just feel enjoy for translating and sharing this…hehe!
.
Happy reading^^
.
.
CHAPTER 1 : NORSALLE
Bisikan-bisikan itu meracuni pikirannya seiring dengan saat ia bepergian dan tumbuh dewasa. Tidak, itu bukan bisikan—tapi teriakan kesakitan, kesedihan dan balas dendam. Merah—apa yang dapat dilihatnya adalah cipratan darah merah di tanah dan kantung mata kosong milik orang-orang sesukunya. Sakit. Semuanya menyakitkan.
"Hidup...Kura...pika...Hiduplah dan...temukan mereka."
"Kurapika-sama?"
Suara itu menariknya kembali ke dunia nyata saat ia segera membuka mata birunya. Cahaya fluorescent menyorotnya sekilas dan ia harus berkedip beberapa kali sebelum menoleh kepada orang yang memanggilnya barusan.
"Ya, Sato?" Dia menjawab tapi tidak mengalihkan pandangannya dari jendela di mana ia bisa melihat samudera indah yang bergerak ke arahnya seolah memiliki nyawa.
"Bethel-sama ingin bertemu denganmu," seorang pria bernama Sato menjawab.
Kurapika menghela napas berat, ia bangkit dari duduknya dan melangkah keluar untuk menemui pria bernama Bethel itu. Di saat yang bersamaan, Sato membungkuk hormat padanya dan mengikuti gadis itu.
Mansion tempat Kurapika tinggal benar-benar besar dan indah. Bahkan ia pun rasanya sulit untuk percaya. Baru saja beberapa bulan yang lalu, ia berlari tanpa tujuan, memburu pembunuh sukunya dengan menyamar sebagai seorang laki-laki. Tapi lihatlah dirinya sekarang, kembali ke dirinya yang sebenarnya, seorang perempuan, hidup di sebuah mansion dan diperlakukan bagai bangsawan.
Kurapika berhenti melangkah sebelum membuka pintu yang ada di hadapannya. Kurapika tidak perlu mengetuk pintu itu, karena Tn. Bethel pasti sudah mengetahui bahwa ia sudah berada di sana. Kurapika menoleh kepada Sato.
"Kembali lakukan tugasmu, Sato," perintahnya.
Setelah membungkukkan badannya, Sato pergi tanpa berkata apapun. Lalu Kurapika membuka pintu itu dan melangkah ke dalam. Dia melihat sebuah sosok berdiri di depan foto besar bergambarkan seorang wanita sambil menghisap cerutunya yang mahal. Pria itu menolehkan wajahnya ke arah Kurapika dan tersenyum dengan lembut.
"Bagaimana kabarmu, Sayang?" Tn. Kairo Bethel bertanya sambil melangkah maju menghampiri Kurapika. Ia terlihat seperti seorang pria berumur setengah baya, dengan sedikit kerutan di keningnya, dan hidung equilinear, kulit pucat dan mata biru tua. Yang membedakannya adalah, Tn. Bethel bukanlah pria biasa. Ia seorang pebisnis kaya yang mempengaruhi hampir semua negara di seluruh dunia. Tak ada yang berani membuat masalah dengan orang yang punya hubungan dengan Keluarga Bethel. Bahkan mafia yang terkenal kuat pun tak berani.
"Paman," Kurapika menyapa dan sedikit membungkukkan badannya.
"Kudengar kau kurang sehat kemarin. Apakah ini karena Mata Merah-mu?"
Kurapika ingin berbohong tapi melihat mata Tn. Bethel, ia pun tak kuasa. "Ya. Aku minta maaf, Paman."
Tn. Bethel terkekeh. "Panggil aku Ayah, oke?"
Dengan agak canggung, Kurapika mengangguk. "Ya, Pam—maksudku, Ayah."
"Jadi begini, Sato memberitahuku, akan ada pelelangan di Kota Norsalle malam ini. Sepasang Mata Merah akan ikut dilelang di sana," jelas Tn. Bethel serius. "Apakah kau ingin pergi?"
Mata Kurapika membelalak. Tentu saja ia ingin pergi. Kurapika menganggukkan kepalanya dengan semangat.
"Tapi kali ini, jangan melanggar perintahku lagi dan jangan berpakaian seperti laki-laki."
Kurapika mengernyit. Terakhir kali, ia pergi ke pelelangan di Pesta Thanksgiving sambil berpakaian layaknya seorang pemuda. Mr. Bethel benar-benar tidak senang mendengar apa yang ia lakukan. Andai saja Tn. Bethel tahu apa yang dilakukan pria-pria itu setiap kali Kurapika berpenampilan sebagai seorang gadis. Secara otomatis Kurapika menjadi pusat perhatian di setiap acara yang dia hadiri dan Si Pirang itu tak menyukainya. Kebanyakan pria mendekatinya dan dia harus membawa pengawal untuk menjauhkan mereka darinya.
"Baiklah," Kurapika menjawab dengan muram dan memandang pamannya. "Dapatkah aku mengeluarkan uang sebanyak yang aku inginkan?" ia bertanya, dan Tn. Bethel langsung menjawab dengan sebuah pelukan hangat.
"Dan, oh, menangkan Pedang Nagas untukku, maukah kau? Itu akan menjadi tambahan yang bernilai untuk koleksiku," pinta Tn. Bethel sambil melepaskan pelukannya.
"Tentu saja, Ayah," Kurapika tersenyum dan meninggalkan ruangan itu untuk mempersiapkan dirinya.
.
.
Sebulan setelah Kurapika menangkap Pemimpin Gen'ei Ryodan dan membuatnya tak berdaya, Kurapika kembali pada tugasnya sebagai pengawal Neon Nostrad dan menyamar sebagai pemuda berusia enam belas tahun. Kemudian majikannya mengetahui bahwa kekuatan putrinya sudah tak bisa digunakan lagi. Hal ini membuat Wright Nostrad putus asa. Saat segalanya terlihat seolah tak ada harapan lagi, Nostrad meminta bantuan seorang temannya yang bernama Kairo Bethel. Itulah bagaimana Kurapika bisa bertemu dengan pamannya yang sudah lama tak bertemu.
Tentu saja, Kurapika mendengar tentang seorang pemuda yang melanggar peraturan Suku Kuruta, yaitu menikahi wanita di luar suku mereka. Sebagai hukuman, pemuda itu diusir dan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari Suku Kuruta. Kurapika tidak pernah bertemu dan melihat wajahnya, tapi ia tahu bahwa pria itu adalah pamannya yang bernama Kairo, adik ayahnya. Ayah dan ibu Kurapika bercerita tentang dia dan hal itu membuat Kurapika ingin bertemu dengannya.
Tapi setelah pembantaian sukunya, perhatian Kurapika terpusat pada usahanya untuk menemukan dan membunuh setiap orang yang terlibat. Itulah kenapa ia terkejut saat tiba-tiba Kairo Bethel memeluknya dan membawanya pulang. Dia menjelaskan semuanya pada Kurapika, awalnya Kurapika ragu apakah ia harus mempercayainya atau tidak. Saat Tn. Bethel menunjukkan Mata Merah miliknya sendiri, barulah Kurapika mempercayainya.
Tn. Bethel menawari Kurapika bantuan untuk menemukan Mata Merah yang tersebar di seluruh dunia tapi dia tidak mengatakan apapun mengenai mendampingi gadis itu untuk menuntut keadilan atas kematian keluarganya. Tn. Bethel memberitahu Kurapika bahwa balas dendam tidak akan memberi kebaikan apapun baginya.
Kurapika menghela napas saat mengenakan sebuah gaun satin yang telah disiapkan Tn. Bethel untuknya. Gaun itu meluncur dan melekat dengan sempurna di tubuhnya. Kemudian, ia bercermin dan mengernyit saat melihat pantulan dirinya di cermin itu.
"Aku merasa seperti bukan diriku," ia bergumam sebelum terdengar tiga kali suara ketukan di pintu kamarnya.
"Kurapika-sama, ini Sato. Mobilnya sudah siap dan tinggal menunggumu, Nona."
Mata Kurapika sedikit berkedut. Orang-orang di dalam mansion memanggil Kurapika 'Nona Muda' dan 'Nona', Kurapika masih belum terbiasa dengan panggilan itu walaupun dirinya sudah tinggal di sana selama enam bulan lamanya.
"Aku segera ke sana," jawab Kurapika. Ia mengikat rambutnya ke atas, menyanggulnya dengan anggun. Beberapa helai rambutnya yang sekarang panjangnya sudah mencapai bahu jatuh di samping wajahnya, memberinya penampilan yang rapuh dan polos.
Lalu Kurapika mulai berjalan menuju pintu saat tiba-tiba ia merasakan sebuah sentakan di dadanya. Kurapika berhenti melangkah sejenak dan mencengkeram dadanya, bernapas dengan berat. Bulir-bulir keringat muncul di keningnya. Kurapika tetap dalam posisi itu untuk beberapa saat setelah sensasi berdenyut itu mereda, ia merenungkan apa yang mungkin terjadi dan memicu rantai di jantungnya untuk mengiriminya sebuah tanda.
Mata Kurapika agak membelalak saat sebuah kesimpulan muncul di benaknya.
'Mungkinkah itu terjadi? …Tidak. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan seorang Pengangkat Nen dalam waktu yang singkat?'
.
.
"Bersiaplah. Kita akan menyergap pelelangan di Norsale malam ini pada pukul 11. Kita akan bertemu di sebuah gedung tua di dekat Jalan Ramos. –Kuroro"
Shalnark menatap layar plasma ponselnya, ia tercengang. Nomornya adalah nomor Danchou mereka, tapi apakah itu mungkin? Bagaimana jika ini hanya jebakan? Tidak. Shalnark menggelengkan kepalanya dan menoleh kepada rekan-rekannya, sebagian dari mereka mengamati raut wajahnya dan sebagian lagi tidak peduli.
"Ini Danchou."
Menakjubkan bagaimana dua kata itu bisa menarik perhatian setiap orang di ruangan itu. Beberapa dari mereka memandangnya tak percaya sementara beberapa orang lagi langsung berdiri di sisinya dan berebut ingin melihat ponsel Shalnark, mereka ingin memastikan apakah pemuda itu hanya bercanda atau tidak.
Phinks adalah orang pertama yang sadar dari keterkejutan itu. "Ada di mana dia?" ia bertanya dengan serius namun keengganan terdengar jelas di suaranya.
"Dia tidak mengatakannya. Tapi dia bilang kita akan bertemu di Jalan Ramos di Kota Norsalle."
"Norsalle?" kata Machi, seorang Pengguna Benang Nen. "Itu hanya tiga puluh menit perjalanan dari Ryuusei-gai," jelasnya.
"Ayo cepat kita pergi!" seru seorang samurai bernama Nobunaga, tidak sabar seperti biasanya.
"Tidakkah menurutmu ini jebakan?" Shizuku ikut bicara sambil menatap rekan-rekannya dengan pandangan kosong.
"Kukira juga begitu," Shalnark menyetujui. "Maksudku, kenapa Danchou tiba-tiba mengirimkan pesan padaku, memberitahuku bahwa kita akan menyergap Pelelangan Norsalle malam ini?"
Machi mengangguk. "Dan di samping itu, Danchou masih berada di bawah kutukan Si Pengguna Rantai. Danchou tahu dia akan mati jika menghubungi kita."
"Mungkin kutukan Nen itu sudah diangkat!" Nobunaga beralasan, sudah siap terbang ke manapun Kuroro Lucifer mungkin berada.
"Tidak," Shalnark berkata dengan tegas. "Jika Nen-nya sudah diangkat, Danchou akan menelepon kita dan bukannya hanya mengirimkan pesan."
Seolah menjawab perkataannya, ponsel pemuda yang maniak teknologi itu tiba-tiba bergetar dan berdering. Nama 'Danchou' menyala di layarnya. Anggota Ryodan yang lain menatap Shalnark dengan penuh harap tapi tangannya tetap tidak bergerak.
"Apa yang kau tunggu? Jawab telepon itu," Feitan merengut dan Shalnark harus mematuhinya karena sekarang dia-lah yang bertindak sebagai Danchou.
Shalnark memencet tombol untuk menjawab panggilan. "Halo? Danchou?"
"Shalnark."
"Danchou!" Shalnark berseru saat mendengar suara yang familiar itu. Tak ada lagi yang harus dipastikan. Dia benar-benar Danchou! "Apa yang terjadi, Danchou? Apakah kutukan Nen itu berhasil diangkat?"
"Ya." Lalu ia berhenti sejenak.
"Danchou?"
Tiba-tiba, Nobunaga merebut ponsel itu dari tangan Shalnark dan menyelipkan alat itu ke telinganya. "Danchou! Kau ada di mana?"
"Beritahu yang lain untuk menemuiku di tempat yang sudah direncanakan. Aku akan menjelaskan semuanya di sana." Lalu Kuroro pun menutup teleponnya.
"Bodoh kau!" kata Shalnark dengan marah dan merebut ponselnya kembali dari tangan Nobunaga. "Apa yang dia katakan?"
"Untuk bertemu dengannya di tempat pertemuan," jawab Nobunaga pelan, sambil menatap ke lantai.
"Lalu apalagi yang kita tunggu?" tanya Feitan, kemudian ia beranjak dari tempatnya duduk. "Ayo pergi."
.
.
"Untuk terakhir kalinya, aku tidak mau berdansa," Kurapika menolak dengan tegas. Ia duduk di salah satu meja VIP bersama para pengawalnya, menunggu acara utama pesta itu; Pelelangan Norsalle yang terkenal.
Kurapika melirik jam tangannya dan perlahan dahinya mengernyit saat mengetahui bahwa pelelangan baru akan dimulai satu jam lagi. Lalu, pikirannya kembali kepada sensasi berdenyut yang ia rasakan di dadanya sebelum meninggalkan Mansion Bethel di tepi pantai.
Kurapika cukup yakin bahwa sentakan itu merupakan sebuah tanda. Tapi tanda apa? Kuroro Lucifer tidak mungkin bisa menemukan Pengangkat Nen dalam rentang waktu delapan bulan. Hampir mustahil menemukan salah seorang dari mereka, mengingat jumlah Pengangkat Nen yang hidup di dunia ini. Kurapika pun tidak tahu apakah Perkumpulan Hunter memilikinya.
Musik terus mengalun memenuhi ruangan dan para pasangan berdansa waltz di lantai dansa. Beberapa orang pemuda mencoba mengajaknya berdansa tapi Kurapika menolak mereka semua, dan jika bukan karena Elite Seven, tidak akan ada orang yang bisa membantu menyeret pemuda-pemuda itu agar menjauh darinya.
Elite Seven adalah kelompok yang terdiri dari tujuh orang Pengguna Nen yang kuat dan ditugaskan untuk melindungi Kurapika. Ya, mereka adalah para pengawalnya. Walaupun Kurapika memaksa bahwa dia akan baik-baik saja meski tidak dijaga pengawal, Kurapika tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa mereka berguna di saat-saat seperti ini. Sato, pelayannya yang berambut coklat, adalah salah satu dari Elite Seven.
"Sato," panggil Kurapika dan dengan cepat pria itu sudah berada di sampingnya.
"Ya, Nona?"
"Aku ingin berjalan-jalan mencari udara segar. Temui aku di balkon saat pelelangan dimulai," kata Kurapika, lalu ia pun berdiri. Dengan cepat Kurapika melangkah menuju balkon terbuka ruangan itu di mana udara segar bisa masuk.
Tirai berkibar tanpa suara dan Kurapika senang akhirnya dia bisa menjauh dari suasana menyesakkan di ruangan itu. Kurapika mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan memencet nomor tertentu. Setelah beberapa kali deringan, akhirnya telepon itu dijawab.
"Halo? Kurapika?" sebuah suara pelan dan terdengar serius, menjawab.
"Killua," kata Kurapika.
"Hei, bagaimana kabarmu?" Killua bertanya.
"Baik. Aku sedang berada di Pelelangan Norsalle sekarang dan kudengar Pisau Benz termasuk dalam daftar. Apakah kau mau—"
"Tolong menangkan pisau itu untukku! Aku akan membayarnya nanti!" jawab Killua dengan hampir berteriak.
Kurapika terkekeh mendengar reaksi temannya itu. "Baik, baik. Aku akan memenangkannya untukmu." Kurapika dapat melihat Killua menyeringai. "Ngomong-ngomong, kau ada di mana? Apa kau sedang bersama Gon?"
"Ya! Kami sedang berada di Pulau Ikan Paus, menanam kembali beberapa pohon yang terbakar api beberapa minggu yang lalu."
"Aku mengerti. Bisakah aku bicara dengan—" Kurapika tidak punya kesempatan unutk menyelesaikan kalimatnya. Ia melihat dua sosok yang tampak familiar baginya, berjalan di hutan di bawah balkon tempatnya berdiri sekarang. Pandangannya menajam.
"Kurapika? Kau masih di sana?"
"Aku akan berbicara lagi denganmu nanti, Killua," jawab Kurapika lalu menutup teleponnya.
Kemudian, tanpa membuang waktu sedikitpun, Kurapika segera berdiri di pagar beton balkon itu dan tiba-tiba melompat turun. Ia mendarat dengan mulus dan tanpa suara di tanah, namun ia kecewa kenapa ia harus memakai gaun malam itu. Lalu Kurapika, dengan kemampuannya yang menakjubkan, berhasil mengikuti dua sosok itu tanpa diketahui dengan menggunakan Zetsu-nya.
Kedua sosok itu memakai setelan jas hitam dan salah seorang dari mereka memiliki rambut yang disisir ke arah belakang. Penampilannya itu langsung menarik perhatian Kurapika. Keduanya berhenti melangkah dan Kurapika pun harus berhenti, ia bersembunyi dengan hati-hati di balik pohon dan bersiap dengan rantainya untuk mewaspadai berbagai serangan yang mungkin timbul. Kurapika memutuskan untuk melirik sekilas jam tangannya dan kecewa saat mengetahui bahwa waktu telah berlalu dua puluh menit. Saat Kurapika menoleh kembali ke arah di mana kedua sosok itu sebelumnya berada, mereka sudah menghilang.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?" sebuah suara bariton tiba-tiba terdengar di dekatnya.
Terkejut, rantai Kurapika menghilang tepat sebelum berbalik menghadap orang yang berada di belakangnya. Pria itu memiliki rambut yang disisir ke belakang, namun yang membuatnya kecewa adalah, matanya berwarna coklat (bukan hitam) dan tdak ada tanda salib di keningnya seperti apa yang telah ia perkirakan. Anting bulat hitamnya pun tidak ada. Namun, matanya memliki tatapan familiar yang membuat jantung Kurapika berdegup kencang. Kurapika memusatkan perhatian pada Nen di matanya dan Gyou untuk melacak nen tersembunyi dari tubuh pria itu. Saat Kurapika tak menemukan apapun, wajahnya mengernyit.
'Mungkin dia bukan Pengguna Nen. Jika iya, berarti Zetsu-nya sempurna.'
Pria itu tersenyum lembut kepadanya. "Jangan cemberut seperti itu, Nona. Itu akan merusak malammu."
Kurapika memalingkan wajahnya dari tatapan pria itu dan berjalan kembali ke tempat ia datang tadi. Hampir mustahil baginya untuk salah mengenali seseorang sebagai Kuroro Lucifer. Awalnya ia merasa begitu yakin bahwa orang itu pastilah Kuroro tapi saat ia melihat tidak ada tattoo salib di keningnya, membuat Kurapika berpikir dua kali. Karena sudah pasti bahwa orang itu bukan Kuroro, Kurapika hanya akan memikirkan mengenai pelelangan yang akan diadakan sebentar lagi.
Tapi kenapa dua orang pria berbaju resmi ada di hutan dalam waktu seperti ini?
Tapi lahi-lagi, kenapa seorang gadis berkelas sepertinyaberada di hutan itu juga?
.
.
Diam-diam Kuroro Lucifer menatap punggung gadis itu yang bergerak menjauh, matanya tidak terlepas darinya sedikitpun. Saat ia menghilang, Kuroro cukup yakin bahwa gadis itu tidak akan mengikuti mereka lagi. Tiba-tiba Phinks bersiul.
"Tipemu, Danchou?"
Kuroro tersenyum. "Bukan," jawabnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan memencet nomor Shalnark. "Shal, bersiaplah. Kita akan mulai setelah aku memberi tanda."
"Ya, Tuan!" Shalnark menjawab dengan semangat dan Kuroro pun menutup teleponnya.
Setelah itu, Kuroro membuka telapak tangannya dan dengan begitu saja, Buku Skill Nen-nya muncul. Ia membalik halaman-halamannya hingga menemukan kemampuan yang ia cari. Ujung jarinya kemudian bercahaya menakutkan saat ia memakai kemampuan itu untuk membuat tattoo-nya yang berbentuk salib di keningnya muncul kembali. Kuroro tersenyum puas saat merasakan aura familiar dari tattoo-nya lagi.
Phinks bersiul untuk yang kedua kalinya. "Kemampuan Hisoka bermanfaat ya, Danchou?"
Kuroro mengangguk namun ia sedikit mengernyit. "Aku hanya mencuri setengah dari kemampuannya, itulah kenapa aku tidak bisa menggunakan Bungee Gum dalam pertarungan," ia menjelaskan.
"Yah, itu lebih baik daripada tidak sama sekali." Phinks melihat melihat saat Danchou-nya mengacak rambutnya sedikit dan melilitkan perban disekeliling keningnya untuk menyembunyikan tanda itu.
"Kenapa kau tidak menggunakan kemampuan itu lagi?"
"Kemampuan itu menyerap lebih banyak Nen dari yang aku kira," Kuroro menjawab dan menatap rekan-rekannya. "Tidakkah menurutmu gadis itu sedikit familiar?" ia bertanya, membicarakan seorang gadis yang mengikuti mereka beberapa saat yang lalu.
"Umm...ya," Phinks menjawab. "Orang yang pertama muncul dalam benakku saat melihatnya adalah Si Pengguna Rantai. Tapi Si Pengguna Rantai adalah seorang laki-laki dan bukanlah gadis yang cantik."
Kuroro mengangguk, menyetujui pernyataan anak buahnya itu. "Yah, lagipula Si Pengguna rantai sangat pintar dalam hal menyamar sebagai seorang gadis. Bahkan ia pernah membodohiku."
"Benarkah?"
"Sekarang lupakan saja hal itu. Ada pelelangan yang harus kita sergap."
Phinks pun menyeringai nakal.
.
.
"Kurapika-sama!" Sato memanggil, suaranya terdengar lega saat melihat Kurapika melangkah menghampiri pintu masuk gedung. "Kami mencarimu!"
"Aku baik-baik saja, Sato. Takperlu menimbulkan keributan seperti itu," Kurapika berkata sambil mengibaskan tangannya, sebagai isyarat agar Sato berhenti membicarakannya. "Bagaimana pelelangannya sekarang?"
Kemudian mata Sato sedikit membelalak. "Nona, pelelangan diadakan lebih awal! Itulah kenapa kami mencarimu. Mata Merah akan dilelang sebentar lagi."
Tanpa berkata apapun, dengan cepat Kurapika bergegasmenuju ke ruangan di mana pesta pelelangan diadakan. Benar juga, saat ia memasuki ruangan itu, benda yang ada di atas panggung adalah sepasang Mata Merah yang mengapung di dalam dua buah tabung. Kurapika dapat langsung melihat mata yang lapar dan nafsu tersembunyi dari orang-orang di dalam ruangan untuk menempatkan tangan kotor mereka pada relikui yang megah itu. Hal ini membuatnya jijik.
"Penawaran dimulai dengan harga satu juta Zenni!" pembawa acara mengumumkan dan beberapa orang tamu mulai menawar barang itu.
"Nona, Kenji sudah menawar dan memenangkan pedang untuk koleksi Bethel-sama," Sato memberitahu. Kenji yang ia sebutkan juga adalah anggota dari Elite Seven.
"Bagaimana dengan Pisau Benz?" Kurapika bertanya.
"Kita mendapatkannya seharga 250 juta Zenni."
"2,5 milyar!" Kurapika mendengar seseorang berseru. Jika memungkinkan, Kurapika tidak ingin berada di tempat yang penuh dengan pemimpin mafia, itulah mengapa dia memutuskan untuk menawar harga yang orang lain tak akan berani menyainginya.
"7 milyar Zenni!" Kurapika berkata dan semua mata beralih padanya. Bahkan pembawa acara pun agak heran mendengar seseorang menawar harga setinggi itu untuk sepasang bola mata. Bagi Kurapika, ia tidak peduli berapapun mahalnya. Satu-satunya yang ia pedulikan adalah mendapatkan mata itu kembali.
"7,5 milyar!"
Terkejut, Kurapika menoleh ke arah suara bariton yang terdengar familiar baginya dan melihat seorang pria yang ia lihat dan ia ikuti di hutan, duduk di salah satu meja VIP juga. Mata berwarna coklat yang sama, namun dengan rambutnya yang dibiarkan turun dan perban di sekitar keningnya. Perban itu meningkatkan kecurigaan Kurapika terhadapnya.
"7,7 milyar," Kurapika menyaingi.
"8 milyar."
Pandangan Kurapika menajam sekilas. "8,5 milyar."
Keduanya terus menawar dan sepertinya tidak ada satu pun yang mau menyerah. Hingga penawaran sampai pada harga 15 milyar dan pria itu berhenti menyaingi Kurapika. Orang-orang disekitar mereka bertepuk tangan saat akhirnya Kurapika berhasil memenangkan barang itu, kemudian Kurapika memerintahkan Sato untuk mengambilkan Mata Merah itu sementara ia tetap menunggu di mejanya. Kurapika melirik ke arah di mana pria dengan perban di kepalanya itu berada. Tapi pria itu sudah tak ada di sana, dan tiba-tiba muncul di sebelah Kurapika.
"Senang bertemu denganmu lagi, Nona." Kurapika tidak berkata apapun tapi pria itu melanjutkan ucapannya. "Bolehkah aku duduk di sini?'
"Silakan saja," jawab Kurapika dingin.
"Rasanya tak percaya, aku benar-benar sedang bicara dengan pewaris Keluarga Bethel," ia berkata dan hal ini membuat mata Kurapika sedikit berkedut mendengarnya. "Aku Krisu." Krisu mengulurkan tangannya, bersiap untuk berjabatan tangan dengan gadis itu.
Kurapika menatap tangan itu dengan ragu sebelum menjabatnya. "Kurapika Bethel."
.
.
"Kurapika Bethel."
Saat Kurapika menyebutkan namanya, Kuroro tersenyum dalam hati dan melepaskan tangannya. Rasanya ia ingin menampar dirinya sendiri karena tidak menyadari hal itu lebih awal. Sekarang setelah Kuroro memastikannya, ia benar-benar melihat kemiripan antara Si Pengguna Rantai dan Kurapika Bethel. Keduanya berambut pirang, mempunyai mata biru yang mempesona dan kulit yang pucat. Tapi Kuroro masih menginginkan bukti yang lebih konkret yang dapat membuktikan bahwa Kurapika Bethel dan Kurapika Kuruta adalah orang yang sama.
"Baiklah kalau begitu," Kuroro berdiri. "Kurasa ini sudah saatnya."
"Hah?" tiba-tiba Kurapika tidak bisa bergerak. Ia berusaha berontak tapi itu sia-sia saja.
"Sudah cukup lama juga ya, Pengguna Rantai?"
Kurapika menengadah dan dalam sekejap saja, matanya berubah menjadi merah.
TBC
.
.
A/N :
Review please…^^
