Ini adalah Fanfic pertama Ota yang multichapter di FNI. Mohon bimbingan dari para senpai dan sensei sekalian.
*bungkuk*
Fanfic ini sebetulnya mau Ota publish di FBI. Tapi, berhubung Ota belum mempunyai fanfic Sasuhina yang multichapter, jadi Ota rombak abis-abisan. Dan jadilah dengan pair SasuHina.
Disini, Ota rasa semua chara-nya OOC, terutama Hinata. Jadi, Ota mohon untuk bisa menerimanya dengan baik. Tapi, jika tak bisa juga tak apa-apa.
WARNING : OOC, AU, typo (s), aneh, EYD berantakan, gaje, membosankan, penghancuran karakter, ide pasaran de-el-el.
Disclaimer
Naroto © Masashi Kishimoto
Genre : Hurt / comfort (cukup diragukan) , Friendship (sangat diragukan) , family (diragukan), Romance (diragukan), Drama (taulah), dan menjadi campur aduk sampai Author-nya bingung.
Rate : T
Pairing(s) : PeinHina, SasuHina dan mungkin pair lainnya menyusul (jika author sanggup untuk membuatnya)
Author : Mitsuki Ota
Yonde Kudasai, minna
Disudut ruangan gelap itu, tampak seorang gadis yang sedang meringkuk tidur diatas sofa. Tubuhnya terbalut selimut tipis yang entah dari mana ia dapatkan. Tak ada sinar yang menyinari ruangan itu. Satu-satunya alasan karena si gadis terlalu malas untuk menyalakan lampu. Ia membiarkan ruangan itu menjadi gelap gulita tanpa penerangan kecuali sinar bulan yang masuk lewat celah korden di ruangan itu. Sebenarnya ruangan itu adalah ruang tamu. Ruang tamu milik kekasih gadis tersebut. Ruang tamu itu terbilang sempit, karena seluruh ruangan itu dipenuhi oleh barang-barang tak berguna dan juga TV. Kardus-kardus itu dibiarkan begitu saja tergelatak di sana dan membuat ruangan yang sudah sempit itu kian menjadi sempit.
Terdengar suara pintu terbuka. Tanda kalau ada seseorang yang baru saja masuk yang diketahui tempat itu adalah sebuah apartemen. Si pemilik apartemen itu mengerutkan keningnya begitu melihat ada seseorang yang tengah tidur di sofa empuk miliknya. Ia mengendong gadis itu dan membaringkannya di kamar miliknya. Ia sama sekali tak mneghidupkan lampu di apartemennya. Ia sudah terbiasa dengan kondisi gulap gulita seperti itu. Jadi sama sekali tak masalah bagi pemilik apartemen itu.
Gadis yang baru saja ia letakkan di kamarnya itu membuka matanya pelan-pelan. Ia sudah sadar kalau ia tak berada di sofa lagi, melainkan di kasur empuk. Pelan-pelan ia menyibakkan selimut yang membungkus badannya dan turun untuk menyapa si pemilik apartemen. Gadis itu melingkarkan tangannya di pinggang sang kekasih.
"Mengapa pergi?" tanya gadis itu pada kekasihnya. Pria itu melepaskan tangan gadis itu dan menatapnya dalam-dalam sebelum memberikan sebuah ciuman singkat di bibir sang kekasih.
"Apa aku membangunkanmu, Hinata?" tanyanya. Gadis itu menggeleng. "Tidak."
Masih dalam posisi menatap satu sama lain, akhirnya pria itu melingkarkan tangannya di pinggang si gadis yang di ketahui bernama Hinata.
"Kenapa kau disini, sayang?" tanyanya. Hinata hanya memajukan bibirnya. Ia agak kesal dengan pertanyaan sang kekasih. Pasti seperti ini jika ia ada di sini—malam-malam dan kedapatan tidur di sofa milik sang kekasih.
"Aku malas pulang." ungkapnya. Gadis itu melepaskan tangan sang kekasih dan berjalan menuju ranjang. "Biarkan aku menginap disini." ia menutup tubuhnya dengan selimut. "Kau tak keberatankan?" lanjutnya.
"Tidak. Tapi—" belum sampai pria itu melanjutkan ucapannya, Hinata sudah memotongnya. "Aku sudah memberitahu Hanabi kalau aku menginap di tempatmu." Akunya, entah itu sebuah kebohongan atau kejujuran, pria itu tak tahu.
"Jangan membohongiku." Ucapnya. Pria itu masih ingat betul kalau kekasihnya itu pernah mengatakan hal yang sama padanya, tapi itu tak lebih dari sebuah kebohonga belaka. Ia sampai-sampai harus mendengarkan adiknya Hinata—Hanabi terus mengoceh padanya. Berteriak padanya kalau dia adalah pria brengsek yang membawa kabur Hinata dari rumah. Untung saat itu Hinata ada, jadi ia bisa menenangkan sang adik yang tak ubahnya orang kesetanan. Sebenarnya ia juga tak begitu peduli dengan teriakan Hanabi, tapi ia peduli dengan Hinata. Gadis itu, ia mencintai Hinata. Meskipun ibunya kurang setuju dengan hubungan mereka berdua.
Memang, ibunya tak pernah bilang langsung padanya. Tapi, sikap dan cara ibunya memandang dirinya dengan tatapan khawatir itu membuatnya yakin kalau ibu dari kekasihnya itu tak menyukainya. Ya, dia cukup sadar diri mengapa sampai ibu Hinata memberikannya tatapan kurang menenakkan seperti itu. Lihat saja penampilannya—tindik-tindik itu menghiasi wajah tampan miliknya, ditambah lagi dengan reputasinya yang buruk karena menjadi ketua genk dari Akatsuki. Lengkap sudah.
"Aku tak berbohong." jawab Hinata malas. Sebenarnya ia malas mendapatkan pertanyaan yang menurutnya konyol itu. "Kau bisa menelpon Hanabi jika tidak percaya." Lanjutnya. Pria itu mengannguk, dan berjalan ke arah Hinata.
"Selamat tidur," ucapnya. Ia mencium kening Hinata.
"Tunggu!" cegah Hinata saat kekasihnya itu beranjak pergi. "Apa lagi?"
"Temani aku tidur, Pein. Aku kesepian." pria yang di ketahui bernama Pein itu mengangguk setuju. "Hanya malam ini." ucapnya seraya tidur disamping Hinata.
"Terima kasih." Pein mengukir senyum di wajahya. Dan merekapun terlelap bersama.
###
Pein terbangun dari mimpi indahnya. Diliriknya kekasihnya yang tadi malam ada disampingnya. Tapi, tidak ada. Kemana perginya? Ah iya, ia baru ingat ini adalah hari senin. Saatnya memulai aktivitas-aktivitasnya—sekolah. Tedengar suara guyuran air di kamar mandi. Tanda kalau Hinata sedang mandi. Siapa lagi kalau bukan Hinata? Tak mungkinkan kalau tetangga Pein datang ke apartemennya pagi-pagi seperti ini hanya untuk numpang mandi.
Pria yang mempunyai tindik dimana-mana itu menyibakkan selimutnya dan berjalan ke arah dapur untuk membuatkan sesuatu untuk mereka makan berdua sebagai sarapan. Ia tak menemukan apa-apa di kulkasnya kecuali buah-buahan yang aku rasa sudah membusuk itu. Wajar saja, ia jarang pulang dan makan di apartemennya. Jadi, tak mungkin ada makanan yang tiba-tiba datang dan memenuhi kulkasnya.
"Kau sedang mencari apa?" suara Hinata membuat Pein kembali ke alam sadarnya. Kekasihnya itu sudah selesai mandi dan sekarang hanya mengenakan jubah mandi miliknya. Memang kebesaran sih, tapi Pein suka. Hinata terlihat lebih imut denga pakaian yang kedodoran seperti itu.
Hinata yang merasa dipandangi Pein—kekasihnya langsung menutup dadanya dengan kedua tangannya. "Jangan mesum!" Pein terkikik. Bisa-bianya kekasihnya itu berpikiran mesum di pagi hari seperti ini. "Kau yang mesum, Hinata." jawabnya masih dengan memasang senyum aneh di wajahnya.
"Kau yang mesum."
###
Hari ini jam pertama adalah pelajaran matematika oleh Kakashi sensei. Ia memperkenalkan murid baru yang otomatis akan menjadi teman Hinta.
"Namaku Uchiha Sasuke. Mohon bantuannya." ucapnya sambil membungkuk. Sebenarnya ia malas untuk memprkenalkan diri di depan kelas seperti ini. Karena menurutnya ini cuma membuang-buang waktunya. Dan yang pasti suara teriakan dari para gadis yang mengelu-elukan namnya.
"KYAAA... Sasuke-kun."
"Sasuke-kun, kau tampan sekali." bagaiman ia tidak tampan? Wong bapak dan ibunya sama-sama cakep. Tak mungin pria keturunan Uchiha ini jelek.
Dan teriakan-teriakan lainnya yang membuat telinga Sasuke menjadi sakit. Sepertinya setelah usai sekolah Sasuke harus memeriksakan telinganya ke dokter THT untuk memastikan kalau tak ada masalah dengan telinganya. Poor Sasuke.
"Kau bisa duduk disamping Hyuuga Hinata." ucap Kakashi sensei. "Hyuuga, tunjukkan dirimu."
Dengan malas, Hinata mengangkat tangannya agar anak baru itu bisa melihatnya dan duduk di sampingnya. Sasuke dengan gaya-nya yang cool berjalan ke arah bangku Hinata. Ia sama sekali tak menghiraukan suara teriakan fans girl-nya.
Ia menjatuhka pantatnya di kursi tepat disamping gadis bermarga Hyuuga tersebut. Matanya menangkap sesuatu yang aneh. Biasanya gadis-gadis akan meneriakkan namanya ketika ia duduk disampingnya. Tapi, mengapa gadis ini tidak? Paling-paling ini adalah trik untuk menariknya, batin Sasuke.
"Apa ada yang salah? Lihat saja ke arah papan tulis! Jangan melihatku degan pandangan seperti itu tuan Uchiha." Ternyata Hinata mendengarkan celotehan dari gurunya. Hal yang duluar dugaan.
Sasuke langsung mengalihkan pandangannya kedepan—menghadap papan tulis. "Gadis ini," batin Sasuke.
###
"Hei, Itachi. Aku dengar adikmu pindah kesini." ucap Hidan. Saat ini mereka—genk Akatsuki sedang berada di atap sekolahan. Mereka mengabiskan waktu istirahat mereka disana.
"Hn." sepertinya Itachi ketularan virus 'Hn' milik Sasuke.
"Cih, tak berubah, eh?" ejek Hidan.
"Diam kau, Hidan." Sasori mulai angkat bicara. Ia muak dengan pembicaraan antara Hidan dan Itachi yang nantinya pasti akan menimbulkan adu mulut.
"Kau yang diam, bocah boneka!" aku rasa Hidan harus menyesali ucapannya kali ini. Bagaimana tidak? Sasori dengan baby face yang ia miliki langsung menyumpal mulut Hidan dengan boneka yang ia dapat entah dari mana.
HOEK
Hidan langsung memuntahkan boneka milik Sasori itu. Ia memandang kesal ke arah teman satu kelompoknya itu. "Sialan kau!" umpatnya. Deidara, Tobi, Kakuzu, dan Konan, kecuali Pein tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan konyol teman-temannya itu. Lumayan, hiburan gratis. Bukankah kebanyakan orang suka yang gratisan? Makanya mereka tak menyia-nyiakan hiburan gratis ini.
"Hei, Pein. Dimana Hina-chan?" tanya Tobi.
"Benar, aku tak melihatnya." Sahut Deidara.
"Aku juga." celutuk si baby face yang tak lain adalah Sasori.
"Dia sedang mengerjakan tugas yang belum ia selesaikan dari Orochimaru sensei." jawab Pein tenang, kalem.
"Si ular itu?" Itachi bersuara. Otomatis teman-temannya langsung menoleh ke arahnya. Tak biasanya si Uchiha itu bersuara. "Hei! Jangan menatapku seperti itu." marah Itachi. Deidara—Sasori, Hidan—Konan, Tobi—Madara langsung memandang satu sama lain. Mungkin mereka heran dengan perubahan sikap Itachi. Itachi, kasihan sekali kau.
"Ayo kembali ke kelas! Sebentar lagi pelajarannya akan di mulai." ucap Pein. Hari ini anggota Akatsuki memang aneh.
"Nee-san." teriak Hanabi di depan pintu gerbang SMA Konoha. Hinata dan genk Akatsuki itu langsung mencari dimana suara itu berasal. Hanabi dengan balutan seragam SMP yang ia kenakan langsung berlari menghampiri kakaknya yang tak lain adalah Hinata.
"Hallo Hana-chan." sapa Deidara. Seperti biasa, Hanabi hanya memberikan pandangan tak suka pada Deidara.
"Cih!" Deidara mendengaus kesal. Selalu saja ia diabaikan oleh adik Hinata yang satu ini. Memang Hinata punya adik berapa?
"Hari ini aku akan menginap di rumah temanku. Jadi bilang pada Ibu kalau aku tak pulang hari ini." ucap Hinata
"Kau mau menginap?" tanya Hanabi.
"Ya."
"Nee-san!" teriak Hanabi.
"Jangan berteriak di depan kakakmu, nona." ucap Hinata jengkel. Hanabi langsung menciut nyalinya.
"Semalam Nee-san tidur dimana?" Tanya Hanabi. Gadis yang duduk di bangku kelas 1 SMP ini terlihat khawatir pada kakaknya. Meskipun sejujurnya ia tahu kemana semalam kakaknya itu menghilang. "Ayah mengkhawtirkanmu."
Pein langsung melotot tajam ke arah Hinata. Dia tidak habis pikir, kapan kekasihnya itu akan berubah. Hinata yang mendapatkan tatapan tajam dari Pein hanya bisa menunduk takut. Sejujurnya ia takut pada Pein karena emosi pria itu mudah meledak. Pein tak segan untuk memukul, meskipun Hinata belum pernah mendapatkan pukulan dari Pein. Tapi, tetap saja ia merasa sedikit takut dan khawatir.
"Jadi, semalam kau berada di apartemen orang ini?" tunjuk Hanabi pada Pein.
"Hanabi!" marah Hinata.
"Yaya, aku tahu." jawab Hanabi sambil memasang wajah cemberut.
"Wow, jadi semalam Hina-chan ada di apartemenmu, Pein? Apa yang kalian lakukan?" tanya Hidan tak sopan. Ia langsung mendapatkan jitakan dari Deidarai. "Dasar mesum! Apa yang kau pikirkan? Tak mungkin Pein melakukan itu pada Hina-chan. Benarkan?" sejujurnya ia pernah melakukannya. Tapi, itu sudah lama sekali. Ia tak mau melakukannya lagi karena ia masih cukup waras untuk mengingat statusnya sekarang yang masih pelajar. Ia belum mau menjadi seorang ayah. Ia masih muda.
"Kalian itu yang tak sopan, baka!" teriak Konan. Semua orang yang ada disitu hanya bisa sweatdrop begitu mendengar omongan Konan.
"Hinata." panggil Pein. "Sial!" batin Hinata.
TBC
Lanjut ato delete minna? Semua ada di tangan kalian semua.
REVIEW PLEASE!
