Fanfic pertama saya di Fullmetal Alchemist! Wohoo! *soundepek: jreng jreng jreeeng*

Fullmetal Alchemist hanya milik Hiromu Arakawa-sensei, sapi terjenius yang pernah ada! Kalau FMA punya saya, dijamin bakalan aneh dan jadi enggak masuk akal, serius.

Ini fic random (?), tentang kebahagian-kebahagian para karakter setelah bertarung dengan Father.

Hak milik saya hanya cerita, USB dan laptop doang!

Read, Enjoy and Review!


A Little of Happiness

First Happiness: Elric Family ~Hidden Respect~


Pagi yang cerah di Resembool. Sinar matahari menyinari tubuh seorang anak laki-laki berambut coklat muda yang sedang menghirup segarnya udara pedesaan, dan memasang ekpresi rindu—seakan-akan dia merindunkan bernafas, merindukan udara segar kampung halamannya itu.

"Udara disini memang yang terbaik," gumamnya, tersenyum puas.

Alphonse Elric—nama anak laki-laki itu—melakukan stretching dan beberapa pemanasan. Setelah selesai dengan semua itu, dia lagi-lagi menghirup nafas, lalu tersenyum.

"Aku jadi ingin mengunjungi Ibu dan Ayah," gumamnya.

-A Little of Happiness-

Al menyusuri jalan di Resembool menikmati pemandangan pagi yang sudah lama ia tidak lihat, menikmati udara pagi yang sudah lama tidak ia hirup, dan merasakan alam Resembool yang sudah lama ia tak sentuh.

Ah, betapa ia merindukan semua ini.

Sebelum ia sadari, Al sudah sampai di depan kuburan, dimana kedua orangtuanya tertidur untuk selamanya disitu. Berdampingan. Seperti yang diinginkannya.

Al berjalan menuju kuburan kedua orangtuanya, dan melihat ada sesosok pria yang sedang duduk di depan kuburan Ibunya, dan ia langsung menyadari siapa sosok itu.

"Kakak!" panggil Al dan berlari menuju sosok itu—Kakaknya, Edward Elric.

Ed menengok ke arah suara itu. "Ah, Al. Kau datang juga?" tanyanya dan berdiri.

Al tersenyum. Ia melihat ke kuburan Ibunya, ada sebuket bunga daisy yang indah. Dasar Kakak. Dia tahu saja bunga kesukaan Ibu—pikir Al. Lalu, Al melirik ke kuburan Ayahnya, tidak ada setangkai bunga yang ditaruh disana.

"Kak, kenapa Kakak tidak menaruh bunga di kuburan Ayah?" tanya Al. Ed kembali duduk dan berwajah kesal.

"Untuk apa?" tanya Ed balik, dia mencibir penuh kesal. "Ayah macam apa yang pergi tiba-tiba saja tanpa bilang apa-apa, lalu tiba-tiba kita tahu dia mati di depan kuburan Ibu!"

"Tapi, dia kan Ayah kita juga!" sahut Al dan duduk di sebelah Kakaknya, mencoba membujuk Kakaknya yang keras kepala untuk mengkasihani Ayah mereka.

"Aku. Tidak. Peduli!" balas Ed dan berpangku tangan, mempertahankan kata-katanya.

"Kita tidak akan bisa menang melawan Father kalau tidak Ayah loh," sahut Al dan menatap langit biru yang luas itu. "Sedikitnya, kita harus berterima kasih padanya."

"Oh, sekarang kau ingin menasehatiku, Al?" cibir Ed kesal. "Kau tidak tahu Ayah bagaimana. Dia—"

"Meski ia meninggalkan kita, dia tetap Ayah kita, Kak. Dia yang membuat kita ada," potong Al. Dia terdiam sebentar. "…Dialah yang membuat kita bisa berada disini."

Ed terdiam. Dia menatap kuburan Ayahnya.

…Lalu menendang nisannya.

"KAKAK!" teriak Al panik, berdiri dan menarik Ed. "Kakak bisa kualat! Nanti Kakak akan dihantui seumur hidup Kakak!"

"Cih, hantu Hohenheim?" sahut Ed dan memasukkan tangannya ke kantung celananya. "Aku tak takut! Datangi saja aku dan aku akan membuatnya menyesal telah menghantuiku!"

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ed segera beranjak pergi dari kuburan kedua orangtuanya, meninggalkan Al sendirian. "Aku akan kembali duluan! Winry akan marah kalau aku tidak membantunya menyiapkan sarapan!" sahut Ed tanpa menengok sedikitpun ke Al.

Setelah melihat Ed pergi, Al menghela nafas, lalu kembali menatap kedua nisan orangtuanya. Dia mengelus batu nisan Ibunya dengan lembut, seakan-akan batu nisan itu adalah tangan Ibunya yang sangat ia rindukan.

"Ibu, akhirnya aku bisa menyentuh nisanmu lagi," gumam Al. "Nisanmu masih hangat seperti yang terakhir kali kusentuh. Syukurlah."

Al berpaling ke nisan Ayahnya, menyentuhnya seperti ia menyentuh nisan Ibunya. "Halo, Ayah," sahut Al, seakan-akan ia benar-benar sedang berbicara dengan Ayahnya. "Maafkan Kakak tadi menendang nisanmu, dia tidak bermaksud—ah, tidak juga, dia sengaja. Yah, Ayah tahu bagaimana Kakak."

Al terseyum. Lalu, ia menemukan sesuatu dibalik nisan Ayahnya.

Bunga.

Sebuket bunga daisy yang sama dengan Ibunya.

Al mengambil buket bunga itu, yang terlampir sebuah surat di dalamnya. Al membukanya, membacanya.

Oi, Hohenheim.

Sepertinya menghilang itu sudah menjadi hobimu yah? Waktu itu kau menghilang begitu saja, meninggalkan kita saat aku dan Al masih kecil. Sekarang, kau tiba-tiba menghilang untuk SELAMANYA tiba-tiba, dan kata Nek Pinako kau mati tersenyum di depan kuburan Ibu? Oh, romantisnya. Ikh.

Aku tak peduli kalau kau menghantuiku selamanya. Aku akan membuatmu menyesal kau pergi tanpa berpamitan. Aku TAKKAN pernah memaafkanmu.

Aku seperti orang gila saja menulis surat untuk orang yang sudah mati. Kau jangan kabur lagi dari Ibu di surga sana!

Dari Kau-Tahu-Siapa.

Al tertawa garing, langsung mengetahui dari siapa surat dan bunga itu berasal. Dia membalikkan surat itu, dan Al menemukan ada yang tertera di balik kertas surat itu, sebuah tulisan kecil yang ia kenali sebagai tulisan Kakaknya.

Terima kasih atas segalanya. Jaga Ibu disana, Ayah. Bahagiakan Ibu, seperti kebahagiaan yang kita rasakan sekarang.

Al terdiam saat membaca kalimat itu. Kakaknya baru saja berterima kasih pada Ayahnya. Dan memanggilnya 'Ayah'. Ya, orang yang selama ini tidak ingin ia panggil dengan panggilan itu.

Dia tersenyum. Kakak masih tidak mau jujur—pikir Al dan menaruh sebuket bunga dan surat itu di depan nisan Ayahnya. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada nisan orangtuanya, dan beranjak pergi dari kuburan.

Al menatap langit. Biru. Berawan. Tanpa batas.

Dia berharap dapat melihat wajah Ayah dan Ibunya yang sedang tersenyum dari langit yang ia percayai sebagai surga dimana keduanya tinggal sekarang. "Ayah, Ibu," gumam Al. "Kalau kalian dapat mendengarkanku, aku mohon, tersenyumlah dan bahagia."

Al menggaruk-garuk kepalanya, menanyakan pada dirinya sendiri kenapa ia berbicara sendiri, mengkhayal kalau Ayah dan Ibunya berada di langit biru yang luas itu. Ternyata aku masih anak kecil-pikirnya sambil terkekeh sendiri.

Lalu, Al memasuki rumah dimana orang-orang yang ia sayangi dapat menyambutnya dengan senyuman dan kebahagiaan.

Yah, memang ada beberapa rasa yang ingin seseorang simpan dalam hatinya, yang hanya diketahui oleh orang itu saja bukan? Itu tidak salah—dan itu memang hakmu.

Kau tidak perlu mengatakannya keras-keras. Kau tidak perlu mengatakannya pada siapapun. Kau tidak perlu membuktikannya pada siapapun. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengakui perasaan itu dalam hatimu, dan menyimpannya seperti harta karun.

Dan tanpa kau sadari, itu bisa menjadi sebuah kebahagiaan kecil yang dapat membuatmu tersenyum.


Happiness is not something you have to say out loud. Just admit it, and that's your only happiness.


Yay! Di chapter 1 ini masih kebahagiaan Elric Family, di chapter-chapter selanjutnya, aku akan nulis kebahagiaan-kebahagiaan 'kecil' yang dirasakan para karakter. Aneh yah?

Maafkan kalau ada typo, fic-nya gak jelas, dan aneh.

Klik aja tombol review this story yang imut-imut dibawah ini, dan berikan kritik dan saran disana!

Ini fic saya publish disela-sela belajar. dheeSafa udah nagih hehe :)

Thank You~