warning! boys' love. abo verse. implicit prostitution.


Bekerja tidak pernah mudah.

Daehwi menyesali semua uang yang dia hamburkan untuk beli nasi kotak sebagai bekal. Sebenarnya, harga roti lebih murah dari nasi kotak. Mungkin roti bisa menjadi pilihan tepat untuk ganti nasi kotak, mengingat finansial keluarganya berada di ujung tanduk. Finansial keluarganya selalu berada di ujung tanduk.

Tapi Daehwi selalu menyempatkan diri beli nasi kotak.

(Yang kemungkinan besar dia tidak bisa beli lagi sejak pikiran hari ini.)

Pintu shoji digeser terbuka. Daehwi menenggak dari posisinya menatap kaki yang duduk bersimpuh. Lagi-lagi orang dengan setelan jas berantakan seperti baru pulang dari tawuran. Rambut yang ditata ke belakang. Garis wajah yang keras. Dari balik kemeja putihnya mengintip tato yang Daehwi tidak mau tahu dari mana dapatnya, kenapa bisa dapat, seperti apa gambarnya.

Menyeramkan. Daehwi ingin meringis, tapi sebaliknya dia memaksa bibirnya memulas senyum lemah dan mengucapkan salam lirih.

Seperti yang dari awal dia sudah bilang, bekerja tidak pernah mudah.


Di belahan jalan raya yang dipenuhi cahaya oranye kemerahan, rumah itu terletak. Ada banyak orang-orang tertentu berpakaian serba minim dengan bau feromon dimana-mana, seperti yang bisa ditebak; ini adalah gang tempat penghiburan terjadi. Atau tempat minum-minum pelepas penat sehabis kerja. Yang pasti, tempat ini amat sangat bau feromon bermacam-macam omega.

Daehwi mengernyitkan alis, sesaat terpaku di depan bangunan besar bergaya rumah tradisional Jepang. Papan neon besar terpajang; lafalnya shunkan no shifuku. Dia merapatkan jaket hitam di sekitar tubuhnya, melangkah masuk. Tak terdengar suara riuh layaknya klab malam dari rumah itu, tapi siapa tahu apa yang terjadi di dalam.

"Sudah datang, Daehwi?" Park Jinyoung menyapa dari meja resepsionis. "Lekas berganti dan menunggu di ruangmu, sebentar lagi klien akan datang."

Patuh. Lelaki itu masuk ke ruangan tertentu yang isinya deretan loker dengan label nama, menanggalkan bajunya satu-persatu dan mulai mengenakan kimono berwarna campuran ungu pucat dengan biru. Merias diri sedikit, menata rambut sehingga helaiannya jatuh menutupi mata—persis yang diinginkan para klien, menggoda dan polos. Seperti pelacur.

Tapi Daehwi bukan seorang pelacur. Setidaknya, untuk sekarang dia bukan. Umurnya masih delapan belas tahun. Shunkan no shifuku (—lebih nyaman dipanggil Shunnoshi) bukan tempat untuk remaja seumurnya, tapi Daehwi pada akhirnya bekerja di sana. Bahasa sopannya, Shunnoshi adalah tempat para geisha bekerja. Bahasa kasarnya, Shunnoshi adalah tempat para alfa memuaskan diri dengan berinteraksi dengan omega (dan, atau beta) yang dipekerjakan di situ.

Daehwi tidak pernah tahu kemana perginya kedua orang tuanya. Yang ia tahu hanya fakta bahwa hutang bejibun ditinggalkan di atas tangannya. Ia tinggal dengan seorang bibi kerabat jauh. Beliau berpikir bahwa membayari uang sekolahnya sudah cukup merepotkan dan tak mau ikut campur dengan urusan utang piutang sang keponakan.

Singkat kata, Daehwi butuh uang. Penagih utang semakin lama semakin buas, dan melawan mereka sebagai seseorang yang berstatus omega bukan ide yang cemerlang.

Sementara itu, Park Jinyoung sendiri seorang beta. Penginapan (atau rumah penghibur) sudah berdiri sejak lama, tapi baru pertama kali ini Jinyoung mendapati ada bocah yang masih sekolah melamar kerja di sana. Buat informasi, Jinyoung tak setega itu untuk mempekerjakan seorang bocah ingusan, jadi dia menolaknya. Tapi Daehwi bersujud sambil menangis.

(Oh sial, Jinyoung tak kuat menghadapi sujud dan tangis. Itu membuatnya terlihat seperti ibu tiri yang suka menyiksa anak.)

"Bangun. Hapus air matamu. Klien tak akan suka lihat mata geisha bengkak."

Daehwi masih ingat kalimat Jinyoung di hari pertama dia bekerja. Jinyoung mengurut pangkal hidungnya letih, menggumam tentang hukuman yang bakal dia dapat bila ketahuan mempekerjakan omega di bawah umur. Daehwi mencoba mengabaikannya.

Dia sangat butuh uang.


"Selamat malam. Sampai jumpa lagi,"

Daehwi mengucapkan salam sambil tersenyum tipis. Dia membiarkan alfa itu mengendus feromonnya untuk yang terakhir kali sebelum berbalik pergi. Jam menunjuk pukul sepuluh malam, Daehwi bangun dari posisinya duduk bersimpuh dan bergegas mengaca. Untunglah besok Sabtu. Setidaknya, ada waktu hingga kantung matanya kempes.

Beberapa menit berdiam diri di dalam ruang, Daehwi berjalan keluar. Dia menuju resepsionis dimana Park Jinyoung biasanya berjaga. Untuk sesaat, matanya menjelalat ke tangga lantai kedua di ujung lorong.

Daehwi bekerja di lantai pertama. Sejauh ini, lantai pertama dikenal sebagai lantai paling aman. Antara geisha dan klien tidak boleh saling sentuh-menyentuh. Yang diizinkan hanya berkomunikasi secara verbal dan endusan non interaktif. Di setiap ruangan dipantau dengan CCTV. Spontannya, yang terjadi di lantai pertama hanya kegiatan jual-beli waktu dan feromon omega untuk diendus secara bebas oleh klien.

Tapi, untuk lantai kedua? Daehwi pernah melihat beberapa kakak-kakak wanita sekerjanya yang sudah dewasa melangkah ke atas dirangkul oleh alfa berbadan besar-besar. Feromon mereka menyengat. Hii, Daehwi bergidik. Tidak mau tahu, bersyukur saja sudah dibayar dengan bekerja di lantai satu.

Manik matanya menangkap satu sosok berdiri di meja resepsi. Daehwi mengendus—seorang alfa. Sang alfa tampak berbicara serius dengan Jinyoung. Pembicaraan itu terkatung sesaat Jinyoung menyadari keberadaannya. Menyadari Jinyoung yang berhenti berbicara, alfa itu ikut menoleh. Mereka berdua menatap ke arah Daehwi berdiri.

Sesaat, Daehwi tercekat.

"Ah, Daehwi," Nada perkataan Jinyoung tampak lega dan raut mukanya cerah. "Kamu sudah beres melayani klien? Rupanya ada satu klien mendadak. Tolong bawa tuan yang ini ke ruanganmu, ya?"

Daehwi bahkan tak sempat membalas sebelum Jinyoung berbisik cepat, "Nanti akan kuberikan bonus, deh," dan mendorongnya kembali ke arah ruangannya. Wajah Daehwi memucat. Seram. Alfa yang ini seram. Dan, ia bahkan tak punya kesempatan untuk menolak.

Sejak saat itu, Harimau Putih menjadi kata yang sangat sensitif bagi Daehwi.

Namanya aslinya Kang Dongho. Jinyoung sering memanggilnya si Harimau Putih. Hal itu sejujurnya membuat Daehwi berpikir aneh-aneh. Nama Harimau Putih terdengar seperti nama yang digunakan oleh preman-preman alfa yang suka berkecimpung di dunia mafia. Daehwi tidak tahu Dongho bekerja sebagai apa, tapi argumen bahwa Dongho adalah preman gang mafia kedengaran sangat, sangat meyakinkan.

Sejak hari pertama mereka bertemu, Dongho sering sekali berkunjung ke ruangan Daehwi. Per hari, biasanya hanya satu klien yang dia layani, berkisar dari satu sampai dua jam. Gara-gara hal itu dan perihal Dongho sering berkunjung, Daehwi jadi hafal bau feromon alfanya Dongho. Dan seperti kebiasaan, tubuhnya bergidik takut setiap mencium bau familiar itu dari ujung lorong, mendekat ke ruangannya.


Daehwi merasa pusing hari ini. Jam kerjanya baru saja dimulai, tapi rasanya sudah berjam-jam duduk bersimpuh di atas futon menunggu klien datang. Seluruh tubuhnya panas-dingin, sepertinya flu. Tidak mungkin minta pulang kalau Jinyoung sudah menyuruhnya masuk ruangan, jadi Daehwi memutuskan untuk menahannya sampai jam kerjanya selesai.

Tiba-tiba, pintu shoji ruangannya dibuka kasar. Daehwi melonjak, menenggak untuk menyapa klien. "Selamat ma—" Perkataannya putus begitu sadar yang dia hadapi adalah seorang laki-laki alfa yang buas, matanya merah seperti baru begadang dua hari penuh, menatap Daehwi liar.

Alfa itu melompat dan mendorong Daehwi hingga keduanya jatuh terjungkal. Bau feromon alfa mengamuk. Daehwi terbatuk, merasakan cengkraman alfa di tubuhnya. Ada apa sebenarnya? Dia ingin menjerit minta tolong, tapi tubuhnya bergegas submisif atas alfa yang dominan. Di saat seperti ini, Daehwi ingin mengutuk takdirnya sebagai omega.

"Tu... tuan," Daehwi memanggil panik. Alfa itu berniat menanggalkan kimononya, dan Daehwi tidak akan pernah membiarkannya. Gemetaran, Daehwi mencengkram helai kimono yang terkatung di bahu. "Jangan!"

Alfa itu tersentak ke belakang, tubuh menabrak dinding membuat suara yang mengilukan. Seorang Kang Dongho berdiri menjulang, di belakangnya sang alfa penyerang tergeletak tidak sadar. Kepalanya terpelantuk dinding dengan sebegitu keras, Daehwi tidak akan heran.

Dia baru saja mau mengucapkan terima kasih ketika Dongho menarik kerah kimononya keras. Dia membenamkan mukanya di ceruk leher Daehwi dan mengendusnya rakus. Seperdetik kemudian, Dongho mendorong tubuhnya hingga terbentur dinding dan menampar mukanya sendiri keras-keras.

"Bodoh," bisik Dongho, suaranya menipis seperti tercekik udara. "Aku baru tahu ada omega yang dipekerjakan ketika sedang mengalami siklus heat?!"

Ah. Heat. Daehwi baru mengerti sekarang. Sekujur tubuhnya menggigil, Daehwi memeluk diri sendiri sebagai perlindungan. Daehwi hanya ingat sejauh Dongho berdecak keras, lekas mengangkat tubuhnya dan berlari ke meja resepsionis secepat mungkin.


Daehwi siuman tak tahu seberapa lama setelahnya, ketika Jinyoung sedang membenarkan selang infus di samping ranjang. Sang beta melirik sekilas, "Hei," sapanya. "Sudah bangun?"

"Berapa hari aku..." Daehwi mengerutkan alis, berusaha bangun dari posisinya berbaring.

Tangan Jinyoung mendorong dahinya sehingga lelaki itu kembali berbaring. "Jangan duduk dulu. Kamu nggak sadar selama dua hari penuh, selama dua hari itu juga kamu mengigau sesuatu tentang ingin disentuh para alfa-alfa."

Raut muka Daehwi memerah padam. "Bagaimana dengan bibi?" tanyanya, memutuskan untuk mengabaikan perkataan Jinyoung.

"Aku sudah menelepon," kata Jinyoung. "Dia bilang tidak apa-apa kamu menginap di rumahku. Lagipula, hari ini kamu nggak sekolah."

Untuk sesaat, Daehwi ragu bertanya. Dia menatap Jinyoung, meneguk ludah takut. "Apa yang terjadi?"

Jinyoung tertawa. Untuk beberapa menit, kamar itu hanya dipenuhi suara tawa Jinyoung yang tampak geli mengingat semuanya. "Oh, nggak banyak. Cuma seorang harimau putih berlari-lari dengan omega di gendongannya sambil berteriak 'Siapa yang mempekerjakan omega di tengah siklus kawin?!' begitu."

Daehwi merasakan wajahnya memerah lagi. "Tuan Kang Dongho yang menolongku?"

Jinyoung hanya menggumam sambil tersenyum. "Ya, kamu bisa tanya cerita lengkap ke orangnya sendiri setelah kamu sembuh, bocah. Sekarang makan dulu, aku yakin perutmu lapar hanya mendapat nutrisi dari cairan infus selama dua hari."

Sang beta menyodorkan kantung plastik berisi bungkusan makanan. Daehwi bengong sesaat sebelum menerimanya. Apa-apaan bau ini?

"Oh?" Jinyoung tampak menyadari keanehan raut mukanya. "Ketahuan, ya?"

Jinyoung beranjak dari posisi duduknya dan berjalan ke pintu kamar. "Kang Dongho sering mampir ke sini, bocah. Entah bawa makanan, kadang dia bahkan datang ke sini dengan tangan kosong. Kurang ajar, ya? Padahal aku lebih tua dari dia, sialan. Yang penting dia sering berkunjung ke sini, sepertinya dia khawatir ya? Dengar-dengar dia tak sengaja mendorongmu hingga menabrak dinding."

"Tapi sepertinya dia tak akan berkunjung lagi karena kamu siuman, ya?" tanya Jinyoung mengintip dari celah pintu, tersenyum usil. "Setidaknya tidak berkunjung ke rumahku, tapi mungkin ke tempat yang lain."

Blam. Pintu ditutup, dan Daehwi cuma ingin melebur bersatu dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Panas. Telinganya panas.

Mungkin Harimau Putih tidak seseram yang ia kira.


Note:

- Geisha adalah entertainer tradisional Jepang. Sebenarnya geisha adalah panggilan untuk perempuan, tapi well, modifikasi terjadi.

- Shunkan no shifuku artinya a momentary bliss. Sumber: gugel translet.

- Shunnoshi ini punya setting rumah tradisional Jepang. Kalau ada beberapa istilah yang mungkin belum tahu, silahkan dicari di gugel.

Author's Note:

- ini chaptered, prediksi aku dua chapter. karena proses mengetiknya masih ongoing, mungkin baru diupdate sekitar akhir september. ini mah teaser, ya.

- aku senang sama otp yang punya jarak umur jauh. ide ini udah mendekam di kepalaku untuk beberapa saat, dan akhirnya aku memutuskan lanjut. tolong dukungannya, ya.