A/n: Orifict pertama… Tapi tetep aja bakal ada karakter RF4, karena mereka adalah bagian dariku juga~ dan aku juga tidak mau kehilangan mereka~ *mengalay.* Salam lagi, sudah lama tidak bertemu karena dikiranya kelas Sembilan itu sibuk, tapi ternyata Author masih bisa main Dota 2 sampai malam. Itu pun kalau liburan. Yah, sekarang saya ucapkan selamat membaca lagi, dan semoga terhibur.
Title: Born of the Princess Summ: It's now a born baby, it's a daughter from Cecile Dolgatari, the Queen of Northren Area. After she became a teenagers, Cecile asked Racchi to send his daughter to Racchi's hands. How it will?
Genre: Family, Friendship, Comedy, Slice of Life Rating: K+ juga boleh… :)
Disc.: (Ini orifict, tapi Author bakal mencantumkan Marveolus dan Natsume tersayang~)
Warn: OC, Racchi's POV, AU, di sini bakal ada nama – nama dari Rune Factory 4… Yah tadi dijelaskan di pembuka. Rating and genres may changed.

Akhirnya, aku sampai di Selphia.
Sebelumnya aku pergi ke Northren Area untuk masalah kerajaan, karena ibu adalah ratu di sana dan aku tidak bisa berbuat apa – apa, karena aku lebih memilih pergi ke tempat yang jauh dari sini daripada harus dikutuk jadi batu.
Hari sudah sangat malam, awalnya aku berpikir ini adalah salahku mengapa aku harus pulang telat. Ya, ibu kan hamil, jadi aku harus bisa menolong dan membantunya. Zwillinge? Dia anak aneh, nggak tau deh apa yang terjadi padanya.
Karena semua sudah terselesaikan, aku pun memilih untuk tidur.
(Tomorrow Morning, 8 Fall)
Hal yang kuperhatikan ketika aku membuka mataku adalah jendela, karena ingin mengetahui apakah hari ini cerah atau agak mendung. Untungnya hari ini cerah, semangat hari ini terkumpul hanya dengan melihat kea rah jendela.
Lalu, seperti biasa, membuat susu hangat, sarapan, dan menggunakan pakaianku… Walau sebenarnya itu bukan pakaian casual, tapi lebih mirip pakaian sosialita.
Karena musim gugur, di mana musim ini makan apa saja rasanya enak, aku memutuskan untuk pergi ke Porcoline's Kitchen (bentar, bukannya tadi ceritanya Racchi udah sarapan?).
"Hey, Racchi! Gimana perjalananmu kemarin?" Tanya Dylas ketika aku duduk di sebuah meja.
"Ya, baik." Jawabku. "Kangen aku nggak?"
"Bukan saya kali." Kata Dylas yang berani mengatakan 'saya.'
"Hehehehe." Kataku terkekeh.
"Mau makan apa, nih?"
"Apaan, saya cuma mau berkunjung."
Hening.
"Bercanda. Apapun deh, yang ada kejunya."
"Oke."
Lalu Dylas pergi dari pandanganku dan menyiapkan sesuatu yang terihat seperti Cheese Fondue.
"Nih, keju, kan?"
"Nenek – nenek shampoan juga tau kalau ini keju!" Kataku sewot. "Kalau mau ngobrol silahkan. Sambil aku makan nih."
"Jadi.." Kata Dylas membuka percakapan. "Duh, nggak ada yang mau dibicarakan."
"Pagi!" Sapa sesesorang yang masuk, Lest.
"Pagi." Jawabku dan Dylas.
"Cih, kok nggak ngajak? Racchi, gimana kemarin? Baik?" Kata Lest sok akrab dan menyalamiku.
"Ya, baik. Semuanya aman."
"Terbaik." Gumam Lest.
"Ya… ya…" Gumamku. "Kamu ke sini bukan untuk ngobrol aja, kan? Pesen makan, tuh! Kasian Dylas."
"Euh." Gerutu Dylas.
"Oke." Kata Lest. "Makanan satu, ya."
"Ngaco." Kataku.
Dylas secara emosional membuat makanan untuk Lest. Karena nggak jelas, Dylas membuat makanan ternak. Mau nggak mau, Lest harus terima. Suruh siapa ngaco sama kuda ronggeng.
"Anjrit." Umpat Lest. "Si Dylas kampang, pundungan euy."
"Bahasanya.. Lest…" Kataku sambil sedikit terkekeh.
"Ah, sabodo, gob*ok!"
"HEH, NYET! RATINGNYA INI UDAH K+!"
Lest pundung. Dan melanjutkan makannya.
Sesudah mengeluarkan Lest dari emosi dan makanan (ternak)nya, kami membayar makanannya. Rupanya Lest harus bayar tambahan karena pelanggaran. Udah dia dikasih makanan ternak, bayar lebih pula. Hahahaha.
"Cih." Gerutu Lest.
"Jangan marah Lest… Udahlah Lest…" Kataku sambil senyum – senyum.
Tiba – tiba kami bertemu dengan Frey.
"Pagi Frey." Sapaku.
"Pagi Racch." Sapa balik Frey. "Kenapa dia?"
"Ah, sakit perut kayaknya."
"Tau aja, Racch." Kata Lest.
"Kenapa?" Tanya Frey.
"Dia dikasih makanan ternak sama Dylas." Jawabku.
"Astaga." Kata Frey kaget. "Dua – duanya salah, ini mah."
"Aku mengerti. Sekarang, biar aku pergi duluan, ya." Kata Lest, lari terbirit – birit.
"Daaah." Kataku dan Frey kompak.
"Baiklah, kalau begitu, aku duluan ya, Racch." Kata Frey.
"Oke."
Kayak yang nggak ada kerjaan, aku bertamu ke rumah Forte.
"Pagi! Permisi!"
"Yooo." Sapa Kiel. "Hooo… Racchi toh. Mana yang lain? Biasanya kalau ke sini rame – rame."
"Asalnya mau ngajak Lest, tapi dia sakit perut."
Ada hening pendek.
Si Kiel itu malah ketawa.
"Kenapa malah ketawa?"
"Jarang – jarang aku denger si Lest itu sakit perut! Ya sudah! Masuk yuk!"
Aku masuk ke rumahnya dengan canggung.
Di sana, Forte sedang membaca Koran (cewek apaan tuh) dan makan kue. Gorengan, serta kopi. Btw, dari mana dia dapat gorengan?
"Ah, Racchi." Gumam Frey. "Selamat datang."
"Ya, selamat datang…"
"Mau gorengan, Racch? Enak, loh!" Kata Forte yang mendadak jadi gorengan-addict.
"Boleh." Kata Racchi. Eh, dasar bengal. "Ada pisang goreng?"
"Abis. Ada juga peuyeum." Kata Forte…. Membuat Author terbahak.
"Oh, boleh, boleh."
"Kiel, kalau mau, ini, beli aja sendiri." Kata Forte sambil menyodorkan beberapa uang.
"…" Kiel bengong. "Ya… Tapi kak, dua ribu dapet tiga. Pengen lebih, kak."
"Oh." Lalu Forte menambahkan beberapa uang lagi.
"Makasih."
"Enak ini. Ngomong – ngomong, beli di mana ini?"
"Pico."
"Hah?!" Kataku sambil setengah menyemburkan gorengan yang sedang dalam proses di mulutku.
"Ya, dia bilang dia harus bisa mandiri seperti Dolce, jadi dia dagang gorengan. Beruntung dagangannya enak, jadi hasil penjualannya laku. Setiap jam enam pagi selalu lewat sini. Pesen pisang empat biji, peuyeum empat, sama gehu empat."
Selama mendengar kisah Forte ini, aku hanya bisa bengong.
"Ah, itu lewat lagi." Kata Kiel. Terdengar suara Pico berbunyi, 'GEHU, BALA – BALA GEHU!'
Aku dan Kiel menuju ke gerobak tempat Pico menyediakan dagangannya.
"Pico, pisang tiga sama peuyeum tiga." Kata Kiel.
"Siap kakak…" Kata Pico aneh.
Setelah melihat bakat Pico… Sebagai tukang gorengan, aku hanya bisa bengong. Dia memberikan belanjaan Kiel, dan Kiel duduk di terasnya, dan langsung memakannya.
"Pico."
"Eh, Racchan udah balik dari rumah? Hore!"
"Dari ibu kandung, badut." Kataku.
"Ya, ya."
"Pico, ngomong – ngomong ini sejak kapan kamu menjual gorengan?"
"Baru dua hari yang lalu, dan untunglah enak! Racchi-san belum coba, ya? Ini, ambil satu!" Kata Pico menyodorkan satu pisang goreng kipas yang masih hangat.
"Hmm… Enak." Kataku. "Kamu menambahkan tikus, ya?"
"Hah?!"
"Apa yang membuat kamu menambahkan tikus ke setiap gorengan kamu, Pico?"
"Racchan, aku nggak pake daging tikus, apalagi pisang itu kan manis!"
"Kamu sadar apa yang telah kamu lakukan, Pico?"
Dasar nakal, si Pico langsung aja mau nangis.
"Eh.. Eh.."
"Alah, Racchi! Alah, Racchi!" Teriak Kiel dan Forte yang ada di depan teras rumah mereka.
Dengan naluri keibuan, Dolce datang ke tempat Pico berada.
"Kenapa, Pico?" Tanya Dolce.
"Sama Racchan, huaaa."
"Kenapa ini, Racch? Bisa-bisanya kamu membuat Pico menangis?!"
"Aduh, Ruucch, ini kan cuma-"
"PUTUS! PUTUS! PUTUS!"
"KAMPRET LU SEMUAH. DIEM AH!"
"Duh, dagangannya belum kelar, lagi. Kasian juga nih anak satu…" Gumam Dolce. "Racch, gantinya kamu yang dagang gorengan, ya?"
"Uh…"
"Nggak usah, tak apa, kok." Kata Pico. "Racchan cuma bercanda."
Aku pun senyum – senyum sambil pura – pura meminta maaf kepada Pico.
"Tuh, tiru Pico dong. Dia pemaaf sama kamu, masa kamu aja nggak bisa, Racch?" Kata Dolce.
Aku cuma bisa cengir – cengir kayak kuda. Aku nengok ke belakang. Sialan. Kiel sama Forte menyaksikan semuanya.
"Ya udah, aku muter-muter dulu ya." Kata Pico.
"Ya, hati – hati…" Kata Dolce.
"Yah…" Kataku. Kampret. Malu banget.
Lalu aku kembali, dan mendekati Kiel.
"Kiel dan Forte?" Kata Dolce.
"Pagi Dolce." Sapa Kiel dan Forte.
"Pagi juga." Sapanya balik. "Kenapa senyum – senyum begitu."
"B..Buh… Buahahaha." Mereka ketawa lepas. Mampus dah. Aku maku banget. "Nggak, Dolce. Lupakan."
"Kalian nguping pembicaraanku sama Racchi…" Kata Dolce.
"Yah, ketahuan!" Gumam Kiel. "Ngomong – ngomong, mana dia?"
"Haha, dia mojok." Kata Forte. "Jangan ngambek, Racch."
"Ye… Ye…" Kataku lantang.
"Oh, ya, mau Dolce?" Kata Forte nawarin gorengan.
"Oh, nggak ah. Makasih. Setiap hari dikasih sama Pico untuk memeriksa apakah makanannya enak atau nggak." Kata Dolce.
"Hahaha. Bagaimanapun, Pico anak yang baik." Kata Forte.
Setelah panjang lebar ngobrol, dan membuatku semakin dipermalukan (Untung nggak ada Lest), Pico kembali ke tempat terlaknat ini.
"Racch, barusan aku dagang sampai ke Northren Area…" Kata Pico.
"Jauh banget! Kenapa bisa cepet sampe ke sini lagi?" Tanyaku takjub.
"Buru – buru." Katanya. "Terus, kenapa, nggak ada apa – apa… Di area itu?"
"Hah?!" Kataku kaget. Baru aja kemarin ke sana tapi ini katanya kok kagak ada apa – apa.
"Beneran?!" Tegasku.
"Ya iya!"
Sulit dipercaya. Apa yang terjadi dengan Northren Area… Gimana kota itu ngilang? Apa ada sesuatu yang dilakukan… Nether (Abyss)?
"Kalau gitu," Kataku. "Aku akan memastikan ke sana gimana jadinya kota itu."
Setelah kupastikan tempat itu, aku tak menemui apapun selain jejak kaki Pico dan jejak gerobak gorengannya.
Maka, sesuatu telah terjadi di kota ini!
To Be Continued!
Bay de wey, kalau misalnya ini dipublish ke , ini bakal berubah jadi fanfict (iya, sarap!)