Orang-orang bilang, cinta, yang membuatmu siap dengan segala resiko bahkan sampai menikahinya, akan diawali dari sebuah pertemuan yang tidak biasa, super kebetulan, dan tidak pernah bisa diduga. Rata-rata, orang yang dikenal Luhan akan bilang begitu—mereka suka pada ide bahwa hidup tidak hanya teratur dalam list-list apa yang harus kau kerjakan pada waktu sesudah ini atau besok.
Tapi Luhan tidak suka sesuatu yang tidak terduga.
Kalau kau belum tahu Luhan, perkenalkan. Ia adalah salah satu orang dalam tim kreatif majalah yang terkenal di Korea Selatan. Dan dalam tim kreatif itu, ia menjadi seorang sekretaris bagian wawancara, kerjanya mengontak orang-orang penting untuk majalah bulanan mereka. Luhan selalu mengerjakan tugasnya dengan baik, mencatat segala yang penting, dan ingat dengan hal-hal detail. Pekerjaan sebagai sekretaris membuatnya harus mengikuti jadwal yang sesuai.
Dan Luhan tidak suka sesuatu yang tidak terduga. Misalnya, ketika tiba-tiba wawancara harus ditunda, atau ternyata narasumbernya tidak bisa, dan apapun itu. Ia sudah cukup kerepotan akan hal itu, jadi ia membuat kehidupan romansanya harus tidak merepotkan. Tapi beruntunglah, ia dijadikan pacar oleh seseorang dari trah orang kaya, yang memiliki pandangan hidup lurus dan sesuai jadwal juga. Jadi Luhan tidak kesusahan.
Dan Luhan bahagia dalam menjalani hidupnya yang sekarang ini.
(Atau setidaknya begitu yang ada di pikirannya.)
..:::..
you're not in the ceremony or something
gs!uke
romance, au, ooc, etc.
by kimsangraa
..:::..
Ibunya Luhan—yang berdarah setengah Cina—mulai menanyakan hal-hal yang menurut Luhan belum begitu penting di usianya yang sudah memasuki duapuluh lima tahun.
"Luhan, kapan kau akan menikah?"
Luhan yang sedang menikmati sup kembang tahunya agak tersedak—ia segera meminum air mineral yang selalu dibawanya, lalu mengernyit kepada sang ibu.
"Mama, aku 'kan sudah pernah cerita, aku berpikir untuk menikah pada usia duapuluh sembilan, atau tigapuluh, itu tidak masalah. Lagipula karirku sedang bagus pada saat ini, itu bisa membuatku menabung dengan mudah. Aku juga sudah bilang pada Chanyeol, bahwa aku tidak ingin dia melamarku dalam waktu-waktu dekat. Aku ingin Mama dan Chanyeol tahu kalau aku menikmati kerjaku." jelas Luhan.
Ibunya menghela nafas, tidak tahu darimana sifat anaknya yang selalu mengikuti jadwal ini berasal. Itu bukan sesuatu yang jelek sih, tapi ketika dilakukan berlebihan, rasanya juga tidak pas. "Atau minimal kau bertunangan dulu?"
"Apa? Bertunangan?" Luhan mengangkat alis, tidak pernah berpikir akan kemungkinan tunangan.
"Iya, tenangkanlah hatiku, Lu. Aku sudah melahirkanmu pada usia yang tua, jadi jangan buat aku menunggu lebih lama untuk seorang cucu," keluh ibunya yang mengaduk-aduk kimchi.
Kalau ibunya sudah begitu, Luhan jadi susah juga. "Aku akan coba bicara dengan Chanyeol." katanya sembari melanjutkan makan. "Tapi aku baru bisa bertemu dengannya kira-kira sebulan lagi."
Ibunya menatap dengan pandangan tidak percaya. "Apa? Kenapa bisa?"
Luhan mengangkat bahu, mengaduk-aduk supnya. "Hal yang biasa, Ma. Kami berdua sibuk. Ia ada perjalanan bisnis dan begitu pula aku. Ini sudah sering terjadi, kok. Aku tidak begitu mempermasalahkannya."
Ibunya baru ingat Luhan pernah bilang tentang perjalanan bisnis ke Jeju. Ibunya lalu berpikir-pikir. "Kalau begitu, kira-kira nanti saat tunangan apakah ada yang berubah? Sepertinya akan sama saja, kalian berdua sibuk."
"Nah, makanya, Ma. Tidak akan ada yang berubah setelah tunangan, kecuali cincin tersemat di jariku juga jarinya. Selebihnya, memang kami mengurusi diri kami masing-masing dengan baik untuk masa depan." jelas Luhan lagi, mencoba bernego dengan ibunya agar tidak usah merayakan apapun. Kalau jadi tunangan pun, ia setidaknya harus merombak beberapa jadwal yang sudah dibuatnya dengan perhitungan.
Ibunya kembali mengeluh. "Aku sudah punya putri yang begitu sibuk, bagaimana bisa nanti aku punya menantu yang sama-sama sibuknya."
"Chanyeol berjanji untuk mengurangi beberapa jadwalnya ketika kami sudah menikah nanti, kecuali, yah… kalau ia jadi CEO. Aku juga mungkin akan dipindahtugaskan ke divisi yang lebih santai daripada tim kreatif." kata Luhan.
Ibunya mengernyit. "Aku hanya butuh menantu perhatian, bukan CEO."
Luhan ganti mengernyit. "Iya, iya, Ma. Kalau Chanyeol tidak perhatian, aku juga tidak akan suka dengannya. Ia adalah pacar yang ideal."
Sebenarnya ibunya masih ingin mendebat. Tapi tahu bahwa setiap kata-katanya akan dibalas dengan baik oleh Luhan, maka ia memilih diam saja. Toh kalau memang benar, jodoh tak akan kemana. Dan ibunya berdoa dengan baik agar Luhan segera bertemu dengan jodohnya.
..:::..
"Luhan, kau dipanggil Sajang-nim,"
Luhan menoleh, mengangkat wajahnya ke wajah Baekhyun yang terlihat khawatir. "Apa kau melakukan kesalahan?" tanya temannya itu. Luhan menggeleng.
"Setahuku tidak. Tapi mari kita lihat saja," Luhan beranjak dari duduknya lalu berjalan ke ruangan ujung dimana tempat atasannya itu berada. Sebelum membuka pintu, Luhan merapikan blazernya dan berdeham. Tepat sebelum ia mengetuk, sudah ada perintah masuk dari atasannya.
"Duduklah dulu,"
Luhan keheranan, tapi ia duduk di depan meja yang atasnya ada papan nama bertuliskan 'Choi Siwon'—nama atasannya. "Iya, Sajang-nim?"
"Kau tahu kau akan melakukan perjalanan ke Jeju untuk menyerahkan berkas dan mengadakan pertemuan dengan wakil dari perusahaan tetangga." mulai Siwon sambil memutar-mutar bolpoin dan memasang ekspresi yang misterius. Luhan mengangguk.
"Iya."
"Nah, kemarin kau sudah membuat jadwal wawancara dengan peselancar Oh?"
Luhan mengangguk lagi. "Sudah, Sajang-nim. Ia sekarang ada di Jeju dan salah satu pewawancara kami akan ke sana juga."
"Tidak, tidak." Siwon menggeleng-geleng, menaruh bolpoin itu dengan tegas di atas meja kayunya. "Aku ingin perubahan jadwal. Aku tahu kau adalah fotografer yang handal, jadi…"
Oh, betapa Luhan tidak ingin mendengar lanjutannya.
"…jadi, kau akan ke Jeju tidak hanya melakukan pertemuan dengan perusahaan lain. Tapi, aku minta kau juga mewawancara peselancar itu." kata Siwon. "Kau akan melakukan perjalanan ini tiga hari, dan kau sudah harus mengerjakan semua itu,"
Percayalah, Luhan berusaha keras sekali untuk tidak menghela nafas. Ia juga tidak melontarkan kata 'tapi' berupa bantahan, karena Siwon bukanlah tipe yang suka dibantah. Ia hanya mengangguk perlahan—merasakan tengkuknya jadi agak tegang—dan menyanggupi.
"Baiklah, Sajang-nim."
"Oke, kalau begitu kau bisa keluar,"
"Terimakasih."
Luhan berdiri dan berjalan keluar dengan agak lunglai. Ketika ia menutup pintu ruangan Siwon, ia langsung memegang tengkuknya. "Ouh, ini membuatku frustrasi," keluhnya. Ia berjalan menuju Baekhyun yang menunggu dengan wajah penasaran.
"Ada apa?"
"Perjalanan bisnisku ke Jeju ditambah sampai tiga hari. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Baek." kata Luhan. Baekhyun mengangguk semangat. Sebagai asisten sekretaris, maka ia harus mengosongkan jadwal Luhan sampai tiga hari dan mengkhususkannya untuk perjalanan bisnis.
"Kenapa mendadak sekali," ujar Baekhyun.
Luhan menyamankan punggungnya di kursi kerja. "Entahlah. Apa yang orang bisa tebak dari Choi-sajang."
Ia membuka dompetnya dan mengambil sebuah tiket. Pesawat ke Jeju, kelas ekonomi, dan penerbangan pagi. Luhan mendesah, coba saja ini bukan perjalanan bisnis, melainkan liburan—pasti ia sekarang sudah tersenyum lebar karena lusa sudah harus berangkat.
..:::..
teaser for next part
Luhan jatuh. Dan itu jelas tidak ada dalam jadwalnya.
"Apa kau pikir aku akan menggendongmu? Oh, kau harus berhenti lihat drama,"
"Cinta itu dimulai dari pertemuan yang tidak biasa, super kebetulan, dan kau tidak pernah menduganya!"
Luhan termenung menatap buku jadwalnya yang telah dicoret-coret.
..:::..
author's babbling
hellyeah! halo semuanya, bahagianya saya bisa nulis fic lagi. lagi dapet
feel buat nulis ini dan i can't help it /cry
ini terinspirasi dari pas saya liat film korea mood in the day. yang main yoo yeonsok (yg jadi chilbong di reply 1994) sama moon chaewon. dan itu filmnya entah kenapa ngefeel gimana gitu huahaha.
(mana yoo yeonsok ganteng ala-ala cowok nakal tapi baik(?). ok.)
oke deh ini bakal lanjut kok.
stay tune and stay review ya :3
gomawoyo~
