Suara derik jarum jam yang ada di kamar Sakura terdengar jelas. Tak ada suara lain yang mengiringi. Hanya ada suara angin, itu pun hanya terdengar sayup-sayup jika kau tak memperhatikannya.

Sakura menyilangkan kakinya, duduk di atas ranjang tidurnya. Beberapa lembar kain tergelar di pangkuannya. Di hadapannya, serpihan dan potongan kain berbaur dengan benang. Tangan mungilnya bekerja sama dengan mata hijaunya yang menatap lurus.

Nafasnya yang sempat tertahan, akhirnya berhembus panjang. Sakura melemparkan tubuhnya ke tumpukan bantal yang ada di belakangnya serambi meluruskan kakinya yang tadi membeku.

"Syaoran, lihatlah! Baru saja aku menyelesaikan baju jahitan untukmu! Kau menyukainya?" ucap Sakura dengan begitu riangnya, seraya memandang lawan bicaranya.

Tidak ada jawaban. Namun, senyuman tetap tergambar di wajah Sakura.

"Aku tahu, kamu menyukainya, Syaoran," bisiknya. Tawa kecil menyambut wajahnya yang berbinar.

Ia mengambil baju hasil jahitannya, mencocokkan ukuran baju itu dengan boneka beruang berbulu abu-abu gelap kehitaman. Memang pas!

Baju mungil dengan dominasi warna hijau. Lengannya yang panjang dan lebar memiliki masing-masing lonceng diujungnya, dan akan menari indah jika angin memainkannya. Tergambar pula aksen yin yang di bagian muka—yang menurut Sakura paling sulit dibuat. Dilengkapi juga dengan celana putih, senada dengan rangkapan bajunya. Baju itu tampak seperti baju yang dikenakan pada upacara-upacara di negri Cina.

Sakura menghabiskan waktu 3 bulan lamanya untuk membuat baju ini. Ia berusaha keras, tak peduli betapa bodoh kemampuannya dalam jahit-menjahit, tak peduli berapa luka tusukan yang masih mencengkram jari-jarinya, tak peduli sebanyak apa komentar dan ocehan yang diterimanya dari kakaknya tentang apa yang ia kerjakan ini.

Apa boleh buat, inilah salah satu cara Sakura untuk mengobati pedihnya rasa rindu yang selama ini menjajah hati dan pikirannya. Rasa rindu yang terlewat menggebu. Rasa rindu pada pemilik baju hijau itu.

Li Syaoran.

Senyum itu pun tak mampu bertahan lama. Lengkung bibir itu kini menjadi datar. Mata Sakura memancarkan kesedihan. Lengannya memeluk boneka beruang yang ia namai 'Syaoran' itu. Erat. Setetes air mata ingin menyeruak keluar dari kantung matanya, namun dicegahnya.

"Syaoran, aku percaya padamu."

Kata-kata itu ternyata memberi kehangatan tersendiri ke dalam benak Sakura. Lantas, Sakura teringat akan detik-detik itu. Saat di mana Syaoran akan pulang ke Hong Kong. Saat Syaoran menitipkan boneka beruang yang ia buat dengan segenap hatinya pada Sakura. Saat Syaoran berjanji akan kembali ke Tomoeda ini dan bertemu dengan Sakura.

Janji seumur hidupnya, dan yang akan selalu terjaga di relung hati Sakura yang paling dalam.