*Love and Lucky*
by sava kaladze
Disclaimer: Tite Kubo, I only borrow his charas and I don't get financial benefit at all..but I still get satisfaction in my heart. That's what matters…
.
.
.
Love struck!
Rukia benar-benar melihatnya saat liburan sekolah mereka ke pantai Hokkaido beberapa bulan yang lalu. Gadis mungil yang tak bisa berenang sama sekali itu, menatap pria berambut oranye itu dengan terpana. Pria itu duduk di atas banana boat bersama empat orang rekannya yang lain—tertawa dengan lepas seraya menunjukkan deretan giginya yang putih dan matanya yang berkilau.
Saat itulah Rukia tahu…
bahwa ia sudah jatuh hati pada seseorang. Lagi.
Kelima pria itu sama-sama membantu mendayung perahu karet berbentuk buah pisang itu dengan kaki dan tangan mereka yang tercelup ke dalam air. Pria yang diam-diam telah merebut perhatiannya itu duduk di tengah-tengah. Kulitnya yang kecoklatan terbakar matahari membuatnya tampak memukau dari kejauhan.
Dan senyumnya…
Ya Tuhan, senyumnya itu—senyuman yang keluar lepas dari dalam dirinya adalah senyuman yang rasanya tak mungkin dapat lekang dari ingatan Rukia selama beberapa waktu ke depan. Senyuman yang keluar dari dalam jiwa seseorang yang merasakan kebahagiaan yang murni di dalam kehidupannya. Paling tidak, itulah pendapat Rukia.
Saat itulah ia melepaskan celetukan yang menggambarkan hasrat hatinya yang terpendam.
"Kalau satu banana boat dengan Ichigo, aku mau naik banana boat," katanya pelan tanpa sempat ia tahan.
Momo—kebetulan sedang dekat dengan sahabat Ichigo, Renji—langsung tertawa pelan.
"Kamu naksir Ichigo ya?"
Rukia langsung mendelik, sambil celingukan berusaha mencari tahu apakah ada orang lain yang mendengar perkataannya atau perkataan Momo barusan.
"Husss, jangan ribut dong. Diam-diam saja ya?"
"Siapa yang ribut? Suara kamu tuh yang terlalu keras."
Rukia langsung menyeringai malu, akan tetapi pikirannya kembali tersita ke arah banana boat yang sedang berusaha mengapung menuju laut yang lebih dalam daripada pinggiran pantai yang dangkal itu.
Pikirannya mendadak bermain-main. Seandainya ia wanita yang lebih cuek dan tidak peduli omongan orang di sekitarnya, ia mungkin sudah mengacungkan jarinya tinggi-tinggi, meminta agar boleh menaiki banana boat dengan kelima rekan kerjanya itu dan dengan senang memilih tempat duduk persis di belakang Ichigo.
Sayangnya, otaknya yang waras menghentikannya dari perbuatan gila semacam itu.
Akan tetapi, matanya tetap lekat memandangi sosok di atas boat yang akhirnya lepas dari karang-karang di pinggir pantai dan mulai dihidupkan mesinnya oleh dua orang pria operator banana boat tersebut. Perahu itu mulai melaju kencang setelah didorong oleh mesin—berputar-putar mengelilingi kawasan tertentu di pantai itu, sebelum akhirnya akan sengaja ditenggelamkan oleh sang operator.
Rukia terkesiap saat ia melihat perahu karet itu terbalik. Sengaja dibalikkan tepatnya.
Kelima pria di atasnya langsung tercebur ke air. Tidak lama karena beberapa saat kemudian, lima buah kepala muncul dari dalam laut. Kelima kepala yang basah kuyup itu, meski dari kejauhan, tampak tertawa-tawa dengan senang.
"Kalau aku satu perahu dengan Ichigo dan perahunya terbalik, aku bisa dapat kesempatan memeluknya dari belakang," bisiknya seraya menggambarkan apa yang barusan ia katakan di dalam benaknya.
Aih, romantisnya. Jatuh tercebur ke dalam air dan mendapat kesempatan untuk memeluk pria yang senyumannya semanis permen cap kaki itu. Meskipun itu artinya ia harus rela berbasah-basahan di dalam air, rasanya pengorbanan itu setara dengan pengalaman memeluk pria kurus itu. Dalam situasi seperti itu, tidak mungkin kan Ichigo marah-marah karena ia melakukan pelukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari kemungkinan tenggelam ke dalam laut?
Duh, Ichigo mungkin malah langsung berbalik memeluknya karena berusaha menyelamatkannya! Akan lebih meyakinkan kalau ia sengaja berteriak ketakutan dan menunjukkan wajah yang sekarat di depan pria itu. Ichigo pastinya perenang yang handal karena ia guru olahraga. Rukia berani taruhan, pria itu tidak akan membiarkannya tenggalam begitu saja toh!
Tanpa ia sadari, ia tertawa-tawa sendiri dengan khayalan yang sengaja ia buat sendiri di dalam otaknya yang terbang lebih jauh dalam imajinasinya.
"Aku bisa memeluknya dari belakang," ujar Rukia tanpa sadar.
Momo kontan saja tertawa.
"Rukia…kalau kau mau aku bisa bilang padanya bahwa ada yang mau satu banana boat dengannya," ujar Momo dengan wajah setengah menggoda.
Rukia cepat-cepat mencengkram lengan Momo sekuat tenaga, membuat Momo meringis karena kaget.
"Jangan! Aku tidak bisa berenang, lagipula kalau orang lain sampai tahu bisa berabe. Kan tidak enak didengar orang. Cukup kamu saja yang tahu," ujar Rukia dengan mata setengah memohon dan setengahnya lagi memaksa.
Momo diam sesaat, tapi kemudian ia mengangguk. Pastinya. Ia dan Rukia berteman baik. Mana mungkin ia sengaja mempermalukan Rukia, mempertaruhkan reputasi dan pekerjaan temannya itu, hanya karena seorang…Ichigo?
"Oke, oke, tapi kamunya juga jangan sampai ketahuan orang-orang. Kan jadi tidak enak hati juga."
"Aku cuma ngefans kok."
Momo memicingkan mata ke arah lepas pantai. Tepatnya ke arah lima pria yang sedang dibantu naik ke atas banana boat yang sudah kembali berada pada posisi yang benar.
"Dia memang manis."
Rukia mengangguk.
"Aku suka rambutnya."
Ia dan Momo lalu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rukia masih berkutat dengan khayalan seandainya aku di banana boat bersama Ichigo, sementara Momo tak tahu sedang memikirkan apa. Kemungkinan besar memikirkan bagaimana reaksi Ichigo kalau mengetahui ada seorang wanita cantik yang sekarang sedang menatapnya dengan pandangan mendayu-dayu dari pinggir pantai.
Well, agaknya Momo sia-sia memikirkan hal itu dengan susah payah. Pada hari senin setelah liburan sekolah mereka, Ichigo datang ke sekolah dengan rambut barunya yang super cepak, membuat Rukia memandangnya dengan wajah masam.
Ia kecewa karena rambut Ichigo yang ia sukai, sudah dibabat habis—membuat Ichigo terlihat lima kilogram lebih kurus.
Sejak itu, pandangan mendayu-dayu yang pernah Rukia tunjukkan di tepi pantai ke arah pria di atas banana boat, tak pernah lagi dapat dilihat oleh Momo.
.
.
.
Love remembers and recalls..
Rukia tak berani susah payah tersenyum pada guru olahraga yang sempat membuat imajinasinya berlarian tak tentu arah, setiap mereka berpapasan. Ichigo pun tampaknya juga selalu menunjukkan wajah dinginnya tiap ia berjalan di koridor sekolah, selama beberapa kali pertemuan antara dirinya dengan Rukia. Bagi Rukia, Ichigo hanyalah salah satu rekan kerjanya yang berwajah dingin dan kurang ramah, meski harus ia akui ia pernah kesengsem dengan pria itu, tanpa Ichigo tahu sama sekali. Rukia tak tahu apa pendapat Ichigo tentang dirinya. Hanya saja dengan tubuhnya yang tidak tinggi dan tidak kurus, Rukia yakin guru olahraga yang satu itu mungkin malah tidak sadar bahwa diri Rukia bekerja di sekolah itu.
Ironis sekali, rasanya.
Akan tetapi, pada suatu malam yang cukup melelahkan—malam persiapan acara pembagian buku rapot, pandangan Rukia itu berubah total.
Seperti biasanya, pada setiap acara pembagian buku rapot dari sekolah ke orangtua anak didik, sekolah tempat Rukia mengajar akan mengadakan acara pentas seni atau art exhibition. Buku rapot akan dipagikan hari sabtu pagi dan jumat malamnya, akan ada banyak guru yang pulang larut malam baik karena mempersiapkan buku rapotnya atau karena membantu mendekorasi panggung untuk pentas seni, atau pekerjaan lainnya yang memang selalu tersedia di waktu-waktu seperti hari ini.
Rukia, masih berkutat dengan menyelesaikan rapot kedua, yaitu buku rapot yang ditulis dengan tangan sang guru yang berisikan deskripsi perkembangan kepribadian siswa di semua pelajaran yang ia pelajari. Tangan kanannya sudah tidak bisa lagi merasakan pegal karena sudah hampir mati rasa. Ia bukannya sengaja menunda-nunda penulisan rapot ini hingga di malam sebelum penulisan rapot. Tidak. Hanya saja, menulis komentar di 14 kolom pelajaran per-anak dengan menggunakan bahasa Inggris jelas bukan pekerjaan yang dapat ia kerjakan selama seminggu dengan mudah. Ia sudah kerjakan sejak hampir dua minggu yang lalu, akan tetapi ada saja guru bidang studi yang menyelesaikannya di menit-menit akhir, dan itu artinya mereka memberikannya kepada Rukia untuk disalin ke buku rapot juga di detik-detik terakhir.
Waktu hampir menunjukkan senja ketika Rukia selesai memprint out daftar absen dan beberapa daftar nama anak murid untuk keperluan administrasi. Ia berdiri, sengaja ingin meluruskan punggungnya yang ia rasa hampir patah karena terlalu lama menunduk menekuri buku rapot yang ukurannya sebesar halaman folio itu.
Matanya terasa berat karena kurang tidur. Sudah berhari-hari pikiran dan tenaganya tersedot ke persiapan pembagian rapot ini. Ia ingin sekali pulang dan mandi air hangat yang sepertinya akan terasa nyaman di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, apa daya? Ia masih terjebak di dalam kelasnya dengan buku-buku rapot yang akan dibagikan esok hari, sementara pekerjaan dekorasi yang juga menjadi tanggung jawab semua guru kelas masih setia menanti di lapangan.
Ingin sekali ia kabur saja dari sekolah dan tidur senyenyak-nyenyaknya sampai hari minggu. Hari keberangkatan guru-guru sekolah mereka ke Morioka untuk berlibur.
Ia masih dalam upaya meluruskan punggungnya saat sebuah kepala menyembul dari balik pintu. Sebuah wajah yang muncul dengan senyuman lebar hampir saja membuat Rukia terlompat dari tempatnya berdiri karena tidak mengira bahwa wajah itu akan muncul di depan pintu kelasnya. Di kelasnya!
Itu wajah Ichigo!
"Lho, Ibu belum pulang?" tanyanya masih dengan senyumannya yang lebar.
Untuk beberapa detik Rukia merasa tubuhnya melayang di udara. Ringan sekali. Bagaimana tidak, sekian tahun mengajar di sekolah yang sama dengan Ichigo, tak pernah sekalipun Ichigo ke kelasnya untuk urusan apapun. Apalagi menyapanya!
Ini mukzizat.
Rukia tersenyum sungkan. " Iya Pak, rapotnya belum selesai."
"Belum selesai juga?" tanya Ichigo lagi.
"Kan banyak," jawab Rukia singkat—tak bisa memikirkan jawaban lain yang lebih bagus keluar dari mulutnya.
Ichigo tersenyum lagi, diikuti masuknya seorang karyawan sekolah yang biasa bertugas menjaga kerapian dan kebersihan di kelas ke dalam kelas Rukia.
"Bu, bangku kelasnya dipinjam ya?" tanya Shunsui—nama karyawan sekolah itu.
Rukia langsung mengangguk. "Silakan, Pak."
Ichigo dan Shunsui langsung menumpuk beberapa kursi kelas yang terbuat dari plastik itu menjadi satu tumpukan. Mereka berdua masing-masing membawa satu tumpuk setelah mengucapkan kata basa-basi terima kasih pada Rukia, si pemilik kelas.
Begitu mereka pergi, Rukia langsung terduduk dengan lemas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Guru olahraga yang diam-diam ia kagumi, menyapanya!
Duh sekali lagi, ini mukzizat namanya!
Rukia tersenyum-senyum sendiri. Ia baru sadar bahwa beberapa malam sebelumnya ia memimpikan guru olahraga itu saat ia tertidur malam hari. Sayang, ia tak dapat mengingat apa mimpinya dengan jelas, hanya saja ia merasa mimpi itu cukup romantis dan menyenangkan.
Aduh, apa jangan-jangan ini pertanda dari Tuhan bahwa ia dan Ichigo memang memiliki benang merah yang menghubungkan dirinya dengan Ichigo?
Rukia bodoh! Mana ada benang takdir hanya karena ia memimpikan guru olehraga itu dan keperluannya kemari untuk meminjam kursi kelas?
Big NO.
Itu bukan benang takdir namanya, tapi KEBETULAN.
Rukia menghela nafas dalam-dalam. Ia yang tadinya sudah sempat mengabaikan perasaan aneh yang timbul saat liburan sekolah mereka di pantai hampir setahun yang lalu, mendadak merasa ada debaran aneh sesaat saat Ichigo tersenyum lebar untuknya.
Untuknya? Oke, itu berlebihan. Lebih tepat, kepadanya. Ingat, untuk dan kepada meskipun memiliki arti yang hampir sama, tapi di dalam hati rasanya cenderung beda.
Rukia melirik tumpukan buku rapotnya yang berwarna biru. Segera saja perasaan senang yang sempat singgah di hatinya karena kedatangan Ichigo, sirna. Ia harus fokus pada pekerjaannya. Oleh sebab itu ia tak butuh diganggu lagi oleh senyuman lebar milik guru olahraga yang satu itu.
Aih, aih…Rukia tiba-tiba sadar satu hal penting yang ia tak sadari sebelumnya.
Rambut Ichigo yang sempat membuatnya mati rasa karena dibabat cepak, sekarang sudah panjang lagi. Persis seperti saat liburan ke pantai dulu.
Ternyata ada saja yang mengembalikan rasa yang sempat hilang, muncul kembali ke permukaan. Mungkin benar kata orang tua, rasa suka mungkin tak terlihat akan tetapi jika dirasa akan sangat dahsyat.
.
.
.
Love always finds its way, though needs some efforts!
Setelah pembagian rapot yang melelahkan, tiba juga hari yang sudah ditunggu-tunggu selama hampir tiga bulan terakhir. Hari keberangkatan liburan guru-guru ke Morioka!
Rukia sudah sampai sejak pukul 6.40 dari keberangkatan yang diperkirakan pukul 7.30. Teorinya, tentu saja. Akan tetapi, pada kenyataannya 2 bis yang membawa guru-guru dari Karakura School itu baru berangkat saat jarum jam menunjukkan pukul 8.15.
Rukia yang mendapat bangku di dua bangku terdepan di belakang supir, kebetulan duduk sebangku dengan teman baiknya di sekolah, Rangiku. Bangku di belakang supir diduduki oleh Momo dan Orihime yang juga merupakan teman dekat dari Rukia.
Ia dan Rangiku sudah menempatkan dua buah tas plastik berisikan cemilan dan minuman yang mereka bawa untuk perjalanan sekitar 12 jam ke Morioka di tengah-tengah mereka. Tiga botol air mineral dan beberapa buah gelas teh kotak kesukaan Rangiku juga tersedia. Mereka berdua pun sudah siap dengan kamera digital mereka masing-masing—siap siaga mengabadikan tiap momen kenarsisan mereka dengan utuh dan menyeluruh. Hahaha!
Rukia sengaja mengedarkan pandangan ke arah belakang bis. Seperti biasa bangku bagian belakang biasanya diisi oleh penumpang laki-laki. Entah kenapa laki-laki lebih suka duduk berjejalan di bagian belakang. Mungkin jka duduk di bagian belakang, mereka merasa lebih bebas mengobrol atau tidur dengan mulut ternganga tanpa takut ditertawakan. Yah, ada banyak hal konyol lain yang bisa Rukia pikirkan sebagai alasan, akan tetapi tidak semuanya harus dijabarkan, kan?
Saat Rukia melihat ke bagian belakang itulah, Rukia baru menyadari satu hal penting yang tidak terpikir oleh dirinya sebelumnya.
Seorang pria berbaju biru langit, memakai celana pendek selutut berwarna hitam, sebuah kacamata hitam bertengger di atas kepalanya dan sepasang earphones di telinganya.
Ia, Ichigo, ternyata berada di bis yang sama dengannya!
Rukia cepat menoleh kembali ke arah depan bis. Tak satupun yang tahu bahwa senyuman tipis penuh makna tersungging di kedua ujung bibirnya. Tak ada satu pun yang tahu bahwa di dalam hatinya, ia menyenandungkan lagu penuh romansa dan bahasa cinta pasaran yang kadang kala diselingi oleh gelak tawa dirinya sendiri.
Duh, apa ini ya yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba?
Rukia tak bisa menjawabnya, akan tetapi ia tahu satu hal yang pasti. Liburan ini akan menjadi liburan yang sangat berkesan untuk dirinya.
.
.
To be continued
.
.
A/N:
Saya kembali menulis Ichiruki! Hehehe…ini permintaan dari Jee yang katanya kangen dengan cerita Ichiruki tulisan saya. Nah Jee, kali ini ga canon ya, AU dan dengan bahasa yang ga berat. Something fluff…
Review please?
