- o)(o -

.

.

Penting banget(!)

Ini adalah REMAKE dari salah satu fanfic author Achernar Eve yang berjudul 'The Notebook'. Di sini aku hanya mengubah karakter dan beberapa yang perlu di rubah untuk keperluan cerita.

Dengan latar cerita Harry Potter by J.K Rowling.

.

.

- o)(o -

.

.

Hogwarts

Musim semi

Apakah aku pernah mengatakan bahwa aku benar-benar menyukai musim semi? Rasanya begitu indah saat aku memandang dedaunan cokelat yang mulai berguguran tertiup angin. Semacam relaksasi tersendiri bagiku. Ibu dan ayah juga sangat menyukai musim ini. Kami biasa berkemah di berbagai hutan yang menjadi pilihan ayah. Atau aku akan menghabiskan sore musim semiku dengan bermain trampoline di halaman belakang rumah kami sementara kedua orang tuaku hanya duduk dengan secangkir teh di tangannya dan sesekali memperingatkanku untuk berhati-hati. Tetapi, itu sudah lama sekali. Aku sudah lama tidak melompat di trampoline sejak Hogwarts mengirimkan surat panggilan paling menakjubkan kepadaku lima tahun lalu.

.

.

Musim Dingin

Tak ada surat dari Jaehyun hari ini. Mungkin ia terlalu lelah sampai lupa mengirimkanku surat. Aku menertawakan diriku hari ini. Kata-kataku tadi terdengar seperti wanita yang terlalu posesif terhadap pacarnya, bukan? Bahkan ia bukan pacarku dan aku gila karena ia tak mengabariku barang sehari saja. Semua orang bertanya tentang apa sebenarnya hubunganku dengan atlet Quidditch itu. Dan aku akan diam dan tak tahu harus menjawab apa tentang definisi dari hubungan kami. Dia sempat menyinggung tentang hubungan kami. Aku selalu merasa bila suatu saat Jaehyun akan sadar bahwa aku tidak cantik dan secara perlahan akan pergi meninggalkanku. Dan sejujurnya aku terganggu dengan pikiran itu. Terkadang aku berpikir bahwa sejauh manapun aku berusaha berkencan dengan banyak pria takdirku akan berujung bersama salah satu dari sahabatku. Mungkin Jongin atau mungkin juga Sehun. Untuk Jongin, itu pasti tidak mungkin. Selain Kyungsoo yang sudah jatuh cinta padanya sejak pertama kali berjumpa dan kegilaan Jongin pada Krystal membuatku mual membayangkan bila aku akan berakhir bersama Jongin. Untuk Sehun, aku akan menertawai diriku sepanjang hidup bila suatu saat nanti aku berakhir dengannya. Apa rasanya menikah dengan Sehun? Yang ada aku akan makan hati menghadapi semua kekonyolannya setiap hari. Bukan aku tak menyayanginya, aku sangat menyayangi kedua sahabatku itu. Mereka seperti saudara bagiku. Sejak aku hanyalah anak tunggal, memiliki mereka di sampingku merupakan anugerah tersendiri.

Aku akan mencoba untuk tidur dan meminum ramuan tidur tanpa mimpi. Sejenak saja aku ingin menghilangkan semua pikiran yang ada di kepalaku. Bahkan aku tak mengerti dengan apa yang aku alami. Umurku baru 16 tahun, tapi pikiranku seperti wanita berumur 30an dengan segala masalah yang menimpa. Jongin menyuruhku untuk sedikit bersantai, tapi aku tidak bisa. Kepalaku seakan ingin pecah bila menginat Jaehyun akan menghindariku juga nilai OWL-ku yang akan memburuk.

.

.

(Masih) Musim Dingin.

Akhirnya kejelasan hubunganku dengan Jaehyun terungkap juga. Ia menanyakan kesediaanku untuk menjadi kekasihnya, tapi apa yang aku lakukan? Aku mengatakan secara gamblang dalam suratku bila pertemanan lebih baik sebagai definisi hubungan kami. Bodoh? Yaa, itulah yang dikatakan Jongin padaku. Aku yang merasa kesal saat ia lupa menyuratiku dan aku pula yang menolaknya.

"Jadi kau menolaknya?" tanya Jongin disela makan siang kami.

Aku mengangguk mengiyakan. "Kau yakin?"

Sekali lagi aku mengangguk. "Aku rasa aku tak benar-benar mencintainya."

"Tak harus mencintai untuk memulai suatu hubungan, kau cukup menyukainya dan melihat prospek ke depannya," ujar Jongin yang bingung menghadapiku.

"Entahlah, tapi aku merasa ada yang tak benar bila aku berhubungan dengannya," jawabku menyuapkan sup asparagus ke dalam mulutku.

Dia tertawa. "Kau wanita paling rumit yang pernah ku hadapi, Baek."

"Asal kau tidak kapok untuk berteman denganku, aku rasa tak masalah."

"Ada-ada saja," dia semakin terkekeh, "apa sebenarnya yang kau cari?"

"Apa maksudmu?"

"Pria seperti apa yang sebenarnya kau cari? Lebih pintar darimu," ucap Jongin yang mengusap mulutnya dengan jubah pergelangan tangannya yang kusambut dengan tatapan jijik.

Aku menyodorkannya sapu tangan. "Aku juga tidak yakin," jawabku.

"Mau sampai kapan, huh? Kau penyihir paling pintar, yaa kecuali kau mau berpacaran dengan Dumbledore," kekehnya saat menggodaku.

"Lucu sekali, Kim Jongin. Setidaknya ia harus setara denganku."

"Selalu superior," lagi-lagi ia terkekeh.

Aku ikut tertawa bersamanya. "Aku pergi dulu."

"Kemana lagi?"

"Mengerjakan tugas Ramuan di perpustakaan."

Dia kembali terkekeh, "masih dikumpulkan minggu depan."

"Lebih cepat lebih baik."

"Terserah padamu."

.

.

Dibalik semua kesibukanku dalam menghadapi ujian dan menghadapi kegilaan kepala sekolah baru itu, siapa lagi jika bukan Umbridge (hah! Aku tak pernah bosan mengucapkannya) kami membuat semacam gerakan yang awalnya kupikir akan mengkhianati semua prinsipku tapi ternyata rasanya begitu menakjubkan. Kami membuat sebuah kelompok belajar kecil, baiklah lumayan besar untuk pelajaran pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Sensasinya begitu ajab, saat kami mengendap-endap untuk menghindari Umbridge dan kroni-kroninya. Adrenalinku benar-benar terpacu. Keseruan yang belum ada tandingannya (lagi-lagi aku suka melebih-lebihkan). Sampai sekarang kami sudah mempunyai tempat latihan tetap. Aku baru tahu jika kastil ini memiliki sebuah ruangan rahasia atau yang kami sebut sebagai kamar kebutuhan. Semua hal ini membuatku semakin takjub dengan dunia ini. Dan hal seperti ini jugalah yang membuatku mengurungkan niat untuk pergi.

Kelompok belajar ini kami sebut Laskar Dumbledore. Hal yang menakjubkan lagi, patronusku adalah berang-berang. Menggemaskan sekali. aku menertawakan diriku sekarang.

Laskar Dumbledore ini sebenarnya tak lantas membuat hidup kami menjadi bahagia dan tentram. Setahuku Umbridge mendapuk beberapa murid untuk membantunya mengawasi anak-anak yang berada di luar kendali. Siapa lagi, kalau bukan Park Slytherin dan semua pelayannya. Mereka berkeliaran dengan lencana di jubahnya. Hal itu membuatku mual. Apalagi saat melihat wajah pria angkuh itu. Dasar penjilat. Itulah yang selalu dikatakan semua murid saat melihat mereka berkeliaran seperti sedang mencari mangsa, pastinya minus anak-anak Slytherin. Baiklah aku akan berhenti membicarakan ferret besar itu. Bisa-bisa aku mati muda bila terus mengingat kelakuan luar biasa menyebalkannya lagi.

.

.

.

Kami semakin ahli dalam bergeriliya dan aku bangga dengan hal itu. Tak terhitung berapa banyak lagi kami berlari dari kejaran Umbridge serta kroni-kroninya saat Laskar Dumbledore akan berkumpul. Kamar kebutuhan memang sangat berguna. Aku yakin bahwa Hogwarts juga berkonspirasi untuk melawan Umbridge.

Jongin semakin dekat dengan Krystal. Aku senang dengan hal itu. Tetapi, hal yang mengganjal dihatiku adalah apakah Krystal benar-benar menerima Jongin seutuhnya dan bukan sebagai pelarian dari Minhyuk. Baiklah, lagi-lagi aku berpikiran berlebihan, tapi semua itu aku rasa sangat masuk akal, bukan?

Lucu sekali saat aku mengurusi hubungan asmara seseorang, sementara aku masih single. Ini ironis. Kyungsoo kaget bukan kepalang saat aku mengatakan bahwa aku menolak Jaehyun. Dia bilang aku gila. Dan sekarang aku benar-benar gila saat aku merasa menyesal telah menolaknya. Bukan karena aku baru sadar bahwa aku menyukainya, melainkan karena rasa gengsi dalam hidupku, aku bisa mendapatkan seluruh nilai dengan baik, tapi aku tak bisa mendapatkan kekasih semudah aku mendapatkan nilai-nilai itu. Lagi-lagi Kyungsoo mengatakan bahwa aku gila. Dia bilang masalah itu terdapat pada diriku. Akulah yang tak mau membuka diri pada pria manapun.

"Kau tahu, Baek, ada berapa banyak gadis yang rela membunuhmu demi dapat berdansa dengan Jaehyun saat Yule Ball tahun lalu," ujarnya berapi-api di sela makan malam kami.

"Mereka segila itu?" tanyaku tak percaya.

"Yaa, mereka segila itu. Dan apa yang kau lakukan saat ini? Menolaknya dengan alasan yang bahkan dirimu saja tak tahu apa itu."

Aku mengedikkan bahu, "aku merasa tak pantas bersamanya. Ada begitu banyak gadis cantik dan dia lebih memilihku yang semua orang di kastil ini tahu bahwa aku di panggil 'si kutu buku'," balasku.

Kyungsoo menghela napasnya, "kau harus membuka dirimu. Kau cantik Baekhyunie dan semua orang di kastil ini tahu itu."

.

.

Aku rasa pembicaraan makan malam tadi terlalu berat bagiku. Setelah melirik arloji yang berada di dalam saku jubahku, kuputuskan untuk mengerjakan esai Mantra. Aku berjalan menuju perpustakaan yang sudah sangat sepi penghuni. Meja di dekat jendela merupakan tempat favoritku. Kukeluarkan perkamen, pena, dan tinta ke atas meja lalu memulai mengerjakannya dengan cermat. Tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan penjaga perpustakaan sudah memperingatkanku bahwa perpustakaan akan segera di tutup. Dengan sigap aku bangkit dan berjalan menuju lorong buku untuk mengambalikan buku yang tadi ku pinjam. Langkahku tersandung dan buku-buku yang tadi kupegang jatuh seketika.

"Apa yang kau lakukan?" tanya seorang suara yang terlihat bangkit dari tidurnya.

"Chanyeol," ujarku terkejut.

Yaa, Chanyeol berada di dalam perpustakaan dengan wajah lesu dan jubah yang tak terbentuk.

.

.

Aku tak tahu apa yang dipikirkan ferret bodoh itu sampai ia harus tidur di perpustakaan dan dengan seenak hatinya memarahiku karena menginjak kakinya yang bahkan tak terlihat karena ruangan itu sudah remang menjurus gelap.

Dia merapihkan kemejanya yang berantakan begitu juga dengan rambut merahnya itu. Tatapannya sinis saat mendapati aku berdiri di hadapannya.

"Perhatikan langkahmu, Nyonya," ucapannya seperti mendesis.

Aku benar-benar ingin mengutuk ferret bodoh itu, namun aku tak mau terlihat sama tak berotak dengan si ferret itu. Jadi, aku hanya membalas sinis padanya dan pergi meninggalkan manusia angkuh itu.

.

.

o)(o

.

.

Tak ada yang tahu kejadian aku menginjak kaki ferret merah itu. Aku juga tak berniat untuk menceritakannya pada khalayak. Memalukan. Tetapi, aku merasa alam tengah menguji tingkat kesabaranku. Beberapa hari setelah kejadian itu aku bertemu lagi dengannya. Aku baru saja menyelesaikan pelajaran Astronomi saat aku mendapati Chanyeol yang tengah merintih di sebuah sudut menara. Kulihat sekelilingku. Tak ada siapapun. Jongin dan Sehun turun terlebih dahulu karena kelas berikutnya menanti, sementara aku berjalan santai karena kelasku baru saja berakhir tadi.

Kembali pada ferret merah ini, aku tak mengerti orang seperti dia, maksudku kaya dan memilik banyak penjilat atau pengikut atau apa sajalah itu, bisa-bisanya berdiri sendirian di sudut menara yang terlihat tak berpenghuni. Ada hasrat untuk menghampirinya, tapi aku tak mau mendengar mulut busuknya yang hanya akan menyebabkan sakit hati. Tetapi, aku melihat dengan jelas bahwa ia merintih. Terlihat kesakitan. Dari jauh aku melihat dengan jelas seragamnya basah bermandikan keringat. Sebelah tangannya berpegangan pada dinding dan tangan yang lain memegang atau terlihat seperti mencengkram perutnya. Dan kali ini aku yang merutuki tubuhku karena dengan seenaknya berjalan mendekati ferret merah itu.

Aku berada tepat di hadapannya saat dia yang terlihat sangat tak berdaya memegang perutnya dengan sedikit rintihan yang keluar dari mulutnya.

"Kau sakit?" tanyaku segan.

Aku reflek menyentuh keningnya yang sudah banjir dengan keringat sebesar biji jagung itu. "Kau demam."

"Perutku," ujarnya parau.

"Perutmu sakit?"

Dia yang sedari tadi menunduk perlahan bangun dan menatapku.

"Beraninya kau menyentuhku!"

Ya Tuhan. Dia masih bisa membentakku dengan suara parau seperti mayat hidup itu. Aku menatapnya kesal. Dia segera menarik tubuhnya seolah ingin menjauh dariku.

"Semoga kau menikmati sakitmu, ferret!" tandasku dan langsung berbalik meninggalkannya.

Langkahku terhenti saat mendengar bunyi benda menghantam lantai di belakangku. Saat berbalik aku menemukan tubuh besarnya ambruk. Aku segera kembali mendekat dan memeriksa denyut nadinya.

"Kau ferret raksasa paling merepotkan di dunia ini."

Akhirnya aku meminta tolong pada salah satu murid yang kutemui untuk memberitahu pada Hospital Wing bahwa ada seorang murid pingsan di menara Astronomi. Dan tak berapa lama kemudian beberapa penjaga datang dan Chanyeol yang pingsan dan sama sekali tak berdaya itu berhasil di selamatkan. Dan dengan sangat terpaksa pula aku ikut ke rumah sakit, karena petugas kesehatan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sesampainya di rumah sakit, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Keluhan Chanyeol terhadap perutnya yang terasa sakit sampai akhirnya ambruk. Saat akan meninggalkan rumah sakit aku melihat si ferret sombong itu terbaring lemah tak berdaya dengan selimut menutupi separuh tubuhnya. Dia tertidur dan terlihat sangat lelah. Aku tersentak dari lamunanku saat menatapnya. Dan berjalan kembali ke asrama.

.

.

Tak ada yang tahu insiden pingsannya si angkuh Slytherin dan siapa penolongnya. Tak ada yang membicarakan dan aku lega akan hal itu. Tak dapat kubayangkan jika para Slytherin itu mengetahuinya. Hidupku akan berubah menjadi seperti di neraka dalam sesaat. Namun yang aku tahu hidupku belum lepas dari bayang-bayang Chanyeol.

Dua hari. Yaa, aku ingat dua hari setelah kejadian itu tepatnya malam Natal aku bertemu dengan pria itu lagi. Aku berjalan di koridor yang sepi untuk menghadiri pertemuan Laskar Dumbledore di kamar kebutuhan. Aku yakin aku sendirian saat itu, tapi tidak pada kenyataannya. Malam itu sangat dingin karena salju sedang turun lumayan lebat. Itu malam Natal, aku memakluminya. Aku berjalan dengan sumringah ketika pintu kamar kebutuhan sudah mulai terlihat di depan mataku sampai sebuah tangan menarikku ke dalam ruang penyimpanan sapu. Aku berusaha berteriak, namun percuma saja karena mulutku telah berhasil dibekap. Dan hal mustahil baru saja terjadi padaku. Sekali lagi ini mustahil. Sosok yang membekapku adalah si ferret merah. Sial! Aku langsung berpikir bahwa hari ini semua rahasia akan terbongkar. Chanyeol pasti datang untuk menyekapku dan memaksaku untuk mengaku apa sebenarnya yang kami sembunyikan. Sekali lagi aku sial. Aku mencoba berteriak dan menghentak-hentakan tubuhku berusaha melepaskan diri dari dekapannya.

"Jangan berteriak atau melawan. Kau akan ketahuan oleh Umbridge dan lainnya," bisiknya yang terdengar sangat pelan di telingaku.

Dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara derap langkah kaki dan suara mencicit dari Tiffany Umbridge. Aku melemparkan tatapan sinis ke arahnya.

"Jangan bersuara," bisiknya masih membekap mulutku.

Posisi kami benar-benar membuatku tersiksa. Ruangan penyimpanan yang sempit membuatku sama sekali tak bisa bergerak. Wajahku hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Sial! Aku gila bila mengatakan hal ini, tapi entahlah. Aku menyukai wangi tubuhnya serta helaan setiap napas yang dihasilkannya. Lihat aku gila.

Kami tak bergerak sama sekali selama beberapa saat. Aku merasakan dia menatapku dengan sangat intens. Dia menatapku seperti seorang penjaga toko yang mendapati seorang remaja mencuri di tokonya. Aku sama sekali tak mau menatapnya. Aku menunduk tanpa mau sedikitpun menatapnya.

Dia mendekatkan telinganya ke pintu. Keningnya berkerut kemudian kembali menatapku. "Kau jangan berpikir macam-macam."

Ia melepaskanku, "apa yang kau lakukan, kenapa kau tak menyerahkanku pada Umbridge saja," ujarku kesal.

"Kau mau aku melakukan itu? Baiklah," ia hampir membuka pintu itu yang dengan cekatan kucegah dengan sebelah tanganku.

"Jangan coba-coba," ujarku hampir seperti mendesis.

Dia hanya menyeringai. Lagi, ia mendekatkan telinganya ke pintu dan membukanya secara perlahan. Dia langsung berjalan keluar dari ruang penyimpanan meninggalkanku sambil membersihkan jubahnya.

Hampir saja aku meneriakan ucapan terima kasih yang langsung aku urungkan. Aku belum gila untuk berterima kasih padanya. Hal itu aku anggap sebagai balas jasa kemarin. Walau sebenarnya aku tidak membutuhkannya.

Apa sebenarnya yang ada di pikirannya? Ia menyelamatkanku? Sakit jiwa.

.

o)(o

.

(Masih dan aku tak pernah tahu sampai kapan akan berakhir) Musim Dingin

Akhirnya Jongin resmi berkencan dengan Krystal. Yeay! Aku hanya bisa mengucapkan hal itu. Lalu kapan aku akan mulai berkencan? Jawabannya tergantung pada keputusan Tuhan. Namun, aku bahagia. Jangan tanyakan alasannya, aku juga tak dapat menjawabnya. Mungkin jawabannya seperti kenapa anak kecil suka dengan cokelat. Lihat. Jawabannya tak ada yang tahu, sama seperti itulah perasaanku sekarang. Mungkin karena nilai, tapi nilaiku berada di interval yang sama.

Ada hal janggal dalam hari-hariku saat ini. Chanyeol.

Sejak kejadian dia yang menarikku ke dalam lemari penyimpanan dia hampir tak pernah bertingkah menyebalkan. Terima kasih, Tuhan! Dan dia selalu menghindar saat teman-temannya berpapasan denganku dan anak Gryffindor lainnya. Aneh.

Hal yang lebih aneh lagi adalah Chanyeol selalu berhasil menyelamatkanku saat hampir saja tertangkap oleh kawanan Umbridge. Entah dia mendorongku untuk masuk kedalam lemari penyimpanan atau mengalihkan perhatian teman-temannya. Hal aneh yang aku syukuri keberadaannya. Aku ingin sekali bertanya apa maksud dari semua perlakuannya, tapi aku sama sekali tak berani. Aku tak berani jika ternyata hal yang terjadi hanyalah kebetulan belaka. Bukan suatu hal yang harus dipikirkan, tapi aku bohong bila tidak memikirkannya. Aku tahu ada yang berbeda dengan tatapannya. Tidak ada tatapan menghina. Aku tak tahu sejak kapan, tapi aku tahu ada perbedaan itu.

.

o)(o

.

Januari

Musim Dingin

Akhirnya. Kelas rahasia kami terbongkar. Terima kasih pada Krystal karena membeberkannya di hadapan Umbridge. Secara personal aku tak bisa menyalahkannya. Umbridge mengancamnya, namun aku tetap tak menyukai kelemahan dirinya. Walaupun demikian, Jongin sangat menyesali atau lebih tepatnya membenci perbuatan Krystal. Aku berusaha untuk melupakan kejadian itu.

Jam malam sudah hampir dimulai. Aku berjalan setengah berlari dari perpustakaan menuju asrama. Dari kejauhan aku dapat menangkap sosok pria yang menyandar dengan kepala tertunduk. Aku menurunkan kecepatan jalanku dan membuatnya terlihat biasa. Aku merutuki diri saat tanpa perintah tanganku dengan sendirinya membenarkan rambutku yang sedikit menutupi wajah. Dan saat itu juga aku teringat kejadian Umbridge menangkap basah kami. Dan aku juga ingat dia dengan angkuhnya berdiri di belakang wanita itu. Amarahku seketika melonjak.

"Kau! Apa yang sebenarnya yang kau mau!" tandasku seketika di hadapannya.

Dia menatapku dengan tatapan tajam, dingin dan menusuknya. "Apa yang kau lakukan disini, Byun?"

"Kau selalu menyelamatkanku saat Umbridge akan menangkap basahku saat akan mengadakan pertemuan, tapi apa yang kau lakukan saat kami tertangkap! Kau berdiri dibelakang Umbridge dengan angkuhnya seakan merasa senang dengan kemenangan kalian!"

"Apa yang harus kulakukan, huh! Menolong kalian? Siapa kalian sampai aku harus menolong?" ucapnya pelan tepat di depan wajahku, "dan Byun, aku tak pernah berniat untuk menolongmu, semua itu hanya,..-"

"Hanya apa!" teriakku tepat di hadapannya.

Jariku menunjuk lurus ke dadanya. "Hanya apa? Katakan! Hanya membalas budi karena aku menolongmu saat kau akan sekarat di menara Astronomi, huh!?"

Tatapannya kembali menusuk dan aku tak tahu apa yang terjadi sampai aku menyadari bahwa aku terperangkap diantara dinding dan dirinya.

"Jika kau bertanya mengapa aku menyelamatkanmu, aku sama sekali tidak tahunya seperti dirimu. Dan jika kau bertanya mengapa aku berada di belakang Umbridge dan tersenyum melihat kalian ditangkap, aku akan menjawab itu karena sudah tugasku menangkap kalian."

"Kau puas, mudblood?" tanyanya seperti berbisik di telingaku.

"Ferret!"

Saat aku akan mendorongnya dengan seketika ia mendaratkan bibirnya di bibirku. Untuk sekejap aku membeku dan untuk detik berikutnya aku mencoba untuk mendorongnya. Tetapi, wangi serta panas tubuhnya membuatku gila. Kakiku lemas saat itu juga dan hal bodoh yang kulakukan adalah membuka mulutku. Semua memori tentang wangi helaan nafasnya saat pertama kali ia menarikku ke ruang penyimpanan seakan terulang lagi. Namun, kali ini lebih menusuk. Tak ada jarak yang memisahkan kami saat ini. Entah setan apa yang merasuki sekarang tanganku sudah menyelusup ke rambut merahnya dan dia semakin mempererat tubuhnya kepadaku. Aku mencoba mencari dimana nalar dan kewarasanku, namun aku hanya menemukan helaan demi helaannya di tubuhku. Dia semakin bersemangat membuka mulutnya untuk menciumku. Aku gila. Dan dia lebih gila dari apapun.

Dia melepaskanku. Kami terengah-engah. Tatapannya masih lekat menatapku.

"Aku rasa itu jawabanku atas pertanyaan pertamamu," dia mengusap cepat bibirku dan pergi dengan santainya meninggalkanku yang masih berusaha mengatur semua produksi nafas ini.

Ya Tuhan! Semoga aku tak masuk neraka.

.

.

Hampir dua hari ini aku tak melihatnya. Baik di aula besar, lorong, bahkan selama dua hari ini kami tak memiliki kelas yang sama. Kehilangan. Aku anggap bukan hal itu yang aku rasakan. Aku sangat ingin bertemu dengannya, secara pribadi tentunya. Menanyakan apa sebenarnya yang terjadi malam itu? Apa sebenarnya yang ada di dalam otaknya sampai ia dengan santai menciumku. Dan aku ingin memastikan apa perasaan yang sedang aku rasakan padanya.

Jongin dan Sehun dengan sangat bersemangat berkumpul dengan para pria Gryffindor dan entah apa yang mereka bicarakan. Jadi, aku memutuskan untuk kembali ke asrama atau kemana saja kakiku melangkah, mungkin saja ke perpustakaan. Entahlah. Koridor masih terlalu ramai untuk dapat aku sadari sebuah tangan menarikku ke dalam sebuah lemari penyimpanan. Lagi-lagi lemari penyimpanan. Aku terkejut bukan kepalang saat si ferret raksasa menarik tanganku.

Aku melotot sejadi-jadinya saat mendapatinya menyeringai tepat di hadapanku.

"Chan-," dia menutup mulutku karena suaraku yang terdengar sangat kencang.

Aku kembali melotot karena ia tetap menutup mulutku dengan seringaian yang eeuh aku tak dapat jelaskan apa bentuknya. Baiklah, itu seringaian yang menawan.

"Baekhyun," ujarnya lalu dengan perlahan melepaskan tangannya dari mulutku.

Ku hela nafas dan menatapnya tak percaya, "apa maksud semua ini?" tanyaku setengah berbisik padanya.

"Menurutmu apa maksud semua ini?" ia berbalik tanya dengan seringaian yang masih tetap berada di wajahnya.

Aku kembali melotot. Tak habis pikir dengan isi otaknya. Mengapa ada orang seperti ini berada di muka bumi? Baiklah aku tak akan mempermasalahkan bila orang ini berada di muka bumi, tapi mengapa orang seperti dia sampai bisa berada di sekolah yang sama denganku bahkan satu tingkat denganku?

"Bukankah aku yang tadi pertama bertanya padamu, ferret?"

Dia mengedikkan bahunya, "pertama, bisakah kau menghilangkah panggilan 'ferret' itu?"

Aku tak menggubris kalimat basa-basi yang ia ungkapkan. "Apa kau menciumku agar kau mengetahui semua kegiatanku bersama sahabatku serta anak Gryffindor lainnya, huh?"

"Memangnya apa yang kau lakukan dengan kedua orang itu?"

"Jawab aku!"

Ia mengerutkan sebelah alisnya. Perawakannya tetap tenang. Aku tak tahu bahwa dia dapat bertingkah setenang ini di hadapanku. Biasanya dia akan balik menyerangku dengan segala macam kalimat cercaannya.

"Kau berpikir seperti itu?" kembali ia berbalik tanya padaku.

"Jawab saja, Chanyeol!"

Dia mendekat padaku. Lagi-lagi kejadian malam itu terulang. Aku terjebak di antara dirinya dan dinding lemari penyimpanan yang terasa begitu dingin sekarang.

"Kau pikir, aku menjadi sangat brengsek di hadapanmu karena aku membencimu?" tanyanya yang terasa menusuk.

Dia melepasku, "ternyata kau tak sepintar yang selalu di agung-agungkan orang, Byun Baekhyun," ia berbalik dan dengan santai ia keluar dari lemari penyimpanan.

Aku berusaha mencerna semua kata yang ia ucapkan.

.

.

.

Akhir musim dingin

Akhirnya! Aku berhasil mencerna seluruh perkataannya malam itu. Aku berharap hasil dari cernaan pikiranku memang benar adanya. Bila aku salah mencerna kalimat dan tinda-tanduk ferret merah itu, maka habislah aku!

Hari terasa sangat amat panjang bagiku. Sepagian ini aku mencari si ferret besar itu tapi tak kunjung menemukannya. Di kelas, aula besar, sampai lapangan Quidditch. Akhirnya kuputuskan untuk makan siang bersama teman-temanku. Dan akhirnya pula aku bertemu pandang dengan sosok yang kucari separuh hari ini. ia duduk tepat di hadapanku. Aku tahu ia memperhatikanku dari seberang sana. aku mencoba untuk berkonsentrasi dengan makan siang dan hasilnya sama sekali tak berhasil. Dengan berani aku menatapnya dengan intens. Aku memutuskan menyudahi makan siangku dan bangkit berdiri.

"Kau mau kemana, Baek?" tanya Sehun disela suapannya.

"Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Habiskan makanan di mulutmu terlebih dulu, Albino," ujarku.

Jongin dan Kyungsoo menatapku dengan penuh tanya, "perlu bantuan?" kini Jongin bertanya padaku.

Dengan cepat aku menggelengkan kepala, "hanya beberapa sejarah kuno. Kau pasti akan mati bosan bila ikut denganku."

"Tapi kau belum menyelesaikan makan siangmu," kini Kyungsoo membuka suara.

"Sebenarnya aku belum lapar. Aku pergi dulu," aku bergegas keluar aula besar.

Seperti mengerti akan semua tatapan dan tingkah laku yang kutunjukkan, dia juga ikut keluar dari aula besar itu. Aku merasakan kehadirannya di belakangku. Koridor terhitung sepi saat ini. hampir semua orang terfokus dengan makan siang.

Aku berhasil masuk ke dalam ruang penyimpanan. Hampir lima menit aku berada di dalamnya dan pria itu tak kunjung masuk. Aku mengintip dari dalam dan mendapatinya berdiri diam menatap pintu ruangan ini. dan kini ia menatapku dengan tatapan tajam dinginnya saat aku membuka pintu. Aku mengedarkan pandangan keseluruh koridor. Sepi. Dengan cepat aku menariknya masuk.

Dia mendengus. Menyebalkan. Aku bersedekap menatapnya.

"Aku pintar, Chanyeol."

"Apa maksudmu?"

"Aku dapat mencerna dan menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi di antara kita," jawabku cepat.

Ia memundurkan tubuhnya kemudian bersandar di dinding tepat di hadapanku. Kedua tangannya ia letakkan ke dalam saku. Kembali ia menatapku.

"Apa yang kau simpulkan dari semua yang terjadi, Byun Baekhyun?"

Kini aku yang membeku saat ia mengutarakan kata-katanya. Aku tak tahu apa ekspresi yang ia keluarkan saat ini. Menyeringai atau tersenyum.

"Simpulkan, Byun. Aku ingin mendengarnya. Aku tahu kau sudah memikirkannya beberapa hari ini, bukan?"

"Bagaimana jika kesimpulanku salah?"

"Aku akan menyetujui setiap kesimpulan yang kau buat."

"Kau menyukaiku."

Kembali ia menyeringai. "jika itu yang kau pikirkan, aku akan menyetujui kesimpulanmu."

Mulutku mengaga. Gila. Sial. Kalimatnya itu ibarat sebuah kalimat yang mengamini setiap kalimatku. Refleks aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya.

"Kau pasti tidak waras sekarang," kuendus kemejanya, "apa kau berhasil menyelundupkan Fire Whiskey ke dalam asrama?"

Dia menangkup kedua wajahku dan mendekatkan padanya. Nafasku tercekat. Aku tak tahu apa yang terjadi sekarang. Benar-benar frustasi. Dia mendekatkan wajahku padanya dan aku dapat merasakan bibirnya sudah berada di bibirku dan ia melumatnya secara perlahan. Gila! Sensasi panas menjalari seluruh tubuhku. Harum serta helaan nafasnya kembali kurasakan. Sial, ini gila! Aku tak tahu bila berciuman dengan pria ini rasanya begitu menakjubkan. Aku dapat merasakan ia menyeringai dalam ciuman kami lalu dengan perlahan mendorong tubuhku. Ia tersenyum disela napasnya yang tersengal akibat aktivitas di luar nalar tadi.

"Aku sadar dan sangat waras dari apa yang dapat kau pikirkan, Byun Baekhyun."

"Kau menjebakku!" ujarku tak percaya, "kau akan melaporkan setiap gerak-gerikku dan teman-temanku pada Umbridge saat aku terjebak padamu."

Senyum di wajahnya hilang, "kau berpikir seperti itu?" tanyanya datar.

Aku tak menjawab.

"Jika seperti itu yang kau pikirkan, silahkan berpikir seperti itu," ujarnya memandangku dengan serius lalu bergerak menuju pintu untuk keluar dan aku tak tahu apa yang aku lakukan, aku menghalanginya.

Aku merutuki diri karena mengucapkan kalimat bodoh seperti tadi. Tentu saja aku mempercayainya. Jika tidak, aku tak mungkin berada di ruang penyimpanan bersama dirinya sekarang.

"Aku mempercayaimu," ujarku menunduk tak berani menatapnya.

Dia berbalik dan mengangkat wajahku, "belajarlah untuk percaya padaku mulai sekarang, Baekhyunie."

"Baekhyunie?" tanyaku. Bingung. Ia menyeringai dengan seringaian yang aku tahu hanya ia yang memilikinya.

Aku terdiam. Tak tahu takjub, terkesima atau berubah menjadi bodoh. Ia sedikit merunduk dan kembali menciumku. Dia melepaskannya lagi-lagi secara perlahan yang membuatku mati beku seketika.

"Bernafaslah," ia tersenyum di sela ucapannya.

"Huh?"

"Aku akan keluar terlebih dahulu," ia menyeringai dan meninggalkanku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa yang sempat tercecer.

Tiba-tiba ia kembali masuk dan mengecupku dengan cepat.

"Bernafaslah dan hilangkan semu merah di pipimu," ia tersenyum padaku lagi dan kini benar-benar menghilang.

Apakah aku kekasihnya? Aku tak yakin.

.

.

.

- o)(o -

Sabar yaa…

Nanti di update lagi setelah baca review kalian

Silahkan di follow dan favorite jika ketagihan^^

- o)(o -

.

.

.