Siang hari. Di sebuah mansion dimana para penghuninya hidup dengan damai di dalamnya.

"Papa, Papa! Aku boleh ikut, 'kan?"

"Tentu saja, Sayang. Buat kamu, apa sih yang enggak?"

"Horeee! Makasih, Pa!"

"Pah, aku juga ikutan dong. Tapi tiketnya bayarin."

"Gak."

"..."

Namun di tengah siang yang indah ini, terjadi sedikit perdebatan antara ayah dan anak. Gallerian dan Nemesis.


.

.


Papaku Orangnya Pelit


Semua karakter yang ada di sini merupakan hak cipta milik Akuno-P/mothy.

Semua nama merek, band, atau apapun yang disebutkan di sini bukan milik saya dan saya hanya keceplosan menyebutnya. /hush/ No commercial profit taken.


WARNING : Bahasa terkesan ala kadarnya. Bahasa kasar. OOC. No-bashing chara. Just for fun. Semogaajaceritanyaterkesanhumor.

WARNING II : Michelle gak mati. Nemesis gak jadi membunuh Gallerian. Gallerian gak (atau mungkin belum) terlibat dalam kasus korupsi. Pokoknya, fanfiksi ini dibuat dengan setting di mana mereka semua berada dalam kehidupan yang damai.


Fanfiksi ini dibuat tanpa adanya inti cerita tertentu. Hanya menceritakan tentang Gallerian yang pelit dan pilih kasih. /heh


.

.


Alasan Pertama . Konser

happy readinG.


.

.


Pertama-tama, pasti para pembaca yang mengikuti The Evillious Chronicles bingung kenapa tiba-tiba Michelle bisa begitu enerjik di penampilan pertamanya, dan kenapa Nemesis bisa berada di dalam rumah milik orang pelit macam Gallerian. Jika dipikirkan secara logika, alasannya sama sekali tidak bisa ditemukan. Tapi jika kita berpikir secara "gila", maka akan ada satu jawaban, "Inilah imajinasi."

Baiklah, cukup. Kita sudah membuang 55 kata hanya untuk paragraf tidak jelas barusan. Mari kita masuk ke cerita utamanya.

"Papa, Papa. Gaun ini beneran buat aku?"

"Iya, Michelle. Warnanya bagus, tidak?"

Lalu Michelle membentangkan sebuah gaun berenda di depan dirinya sendiri. Mata beriris turquoise miliknya memperhatikan model dan variasinya dengan teliti. Memastikan tidak ada yang salah, senyum pun mengembang di wajah cantiknya.

"Hu'um! Makasih, Papa! Gaunnya bagus sekali!"

"Sama-sama, Michelle."

Ah, hari-hari indah yang biasa terjadi di antara Gallerian Marlon dan putrinya, Michelle Marlon. Di mana Gallerian begitu pulang dari jadwal pengadilannya, dia akan langsung mendatangi kamar sang putri tercinta. Mungkin sesekali dia akan membawakan hadiah, seperti yang terjadi hari ini.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ada Nemesis, "adik" Michelle yang sempat digosipkan sebagai anak haram karena tidak jelas siapa orang tuanya. Memakai baju kostumnya, tetapi ia juga memakai jaket hitam sebagai lapisan baju atasannya. Wajahnya terlihat datar seperti biasanya, dan tatapannya mengarah lurus pada Gallerian.

Dan dahi Gallerian langsung berkerut karena menerima tatapan itu.

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Gallerian.

"... aku hanya mau berkunjung. Gak boleh?"

"Setidaknya ketuk pintu dulu sebelum masuk."

Nemesis mengangkat kedua bahunya dengan masa' bodo. "Kau sendiri tidak pernah mengajariku begitu. Jangan sok mengajariku."

"Ibumu pasti selalu berangkat malam dan pulang pagi. Siangnya selalu dipakai tidur buat menyimpan tenaga. Jadi gak ada waktu untuk mengajarimu." Gallerian berasumsi ngaco. Dia sendiri juga tidak tahu siapa ibu dari bocah ini.

Nemesis pun tersinggung. "Maksudmu apa, hah?! Dasar brengsek kau!"

"Maksudku, ibumu itu kerja jadi pegawai di suatu perusahaan, tapi kena shift malam gitu. Jadi berangkatnya malam, pulangnya pagi." Kemudian Gallerian pun beralibi. Daripada nanti kena tembak pistol.

"Oh."

Gallerian bahkan penasaran apa yang sedang dipikirkan bocah itu ketika mendengar jawabannya barusan. Tapi melihatnya yang tidak bereaksi apapun, mau tak mau Gallerian menghela napas lega.

Hening sebentar.

"..."

"Trus, kamu beneran ke sini cuma ingin berkunjung?" tanya Gallerian lagi, menatap Nemesis penuh selidik.

"What about yes?" Nemesis balik bertanya.

"I don't believe about that yes." jawab Gallerian memutar matanya.

"So, that's your business." Nemesis tetap berdiri di samping pintu kamar, seolah enggan berdiri di samping Gallerian maupun Michelle.

Dan tanpa menurunkan tingkat kewaspadaannya terhadap gadis berambut hijau itu, Gallerian kembali memusatkan perhatiannya pada Michelle yang tiba-tiba menarik pelan bawah bajunya. "Ada apa, Michelle?"

"Tante eM-A belum datang juga ya, Pa?" Sejak kapan Michelle memanggil MA dengan tante?

"Hah? Memangnya kenapa?" tanya Gallerian penasaran juga, kenapa tiba-tiba anak ini menanyakan tentang MA.

"Kata Mama, dia mau mengajak aku dan Kak Michelle jalan-jalan." sahut Nemesis acuh tak acuh.

Dan Gallerian tersedak permen hasil temuannya di pinggir jalan tadi.

Sejak kapan juga MA jadi ibunya Nemesis?!

"Kenapa kalian janjian gak ngomong dulu sama gue?" Gallerian pun mendadak kehilangan ke-jaim-annya.

"Mama juga gak bilang dia mau mengajakmu kok."

Duh.

Gallerian bisa stress lama-lama begini. Pasalnya, MA mendatangi Michelle tanpa ngomong-ngomong ke dia dulu. Dan berarti, MA sudah meracuni Michelle dengan hal-hal yang bisa jadi tidak wajar tanpa sepengetahuannya.

Ini gawat.

Kemudian Gallerian menarik napas perlahan, dan mengeluarkannya juga dengan perlahan. Berusaha kembali jaim. "Nemesis, setidaknya kalau kamu mau pergi ke mana aja, aku gak mengurusi. Kalau Michelle, kamu harus mendapat surat izin beserta cap stempel dan tandatangan asli dariku sebelum bisa membawanya pergi. Itu pun jika aku mau memberikannya."

"Lu kata barang pengiriman jasa?" desis Nemesis heran.

"Papa. Katanya, tante eM-A mau mengajak aku sama cewek itu ke konser musik." sela Michelle sambil menunjuk Nemesis pada saat ia mengatakan cewek itu.

Segitunya Michelle gak mengakui Nemesis sebagai "adik"nya...

"Mau ke konser kek, mau ke Disneyland kek. Papa gak mau. Kamu pokoknya gak boleh pergi ke mana-mana kecuali sama Papa." Gallerian ngotot gak mau melepas Michelle.

"Kalau gitu, kau ikut juga?" Ide yang bagus, Nemesis.

"Sehabis ini aku mau pergi lagi. Ada urusan yang harus kutangani."

"Halah, bilang aja gak mau keluar duit buat beli tiketnya." cibir Nemesis, tapi dengan suara yang pelan.

"Apa kamu bilang?"

"Aku hanya bilang, ada semut yang berjalan di bawah kakimu."

"Oh."

Tiba-tiba Gallerian dan Nemesis mendengar sebuah suara yang pelan, seperti suara isakan. Kedua orang itu spontan menoleh ke asal suara.

"Eh, Michelle? Kamu kenapa?" tanya Gallerian kaget.

"Hiks, Papa jahat." Hue? Apa maksud Michelle?

"Papa gak mau nemenin aku pergi."

"Memangnya umur Kak Michelle berapa sih?" tanya Nemesis bingung, kenapa Michelle bisa segitu mudahnya menangis hanya karena Gallerian tidak mau menemaninya.

"Eng, bukannya gitu—"

"Halo."

Dan di saat manusia-manusia Evillious itu sedang panik, tiba-tiba MA sudah ada di belakang Gallerian dengan tampang tanpa dosa.

"Sejak kapan kau ada di situ—DAN KETUK PINTU DULU SEBELUM MASUK."

"Kau seperti tidak tahu aku saja~ Aku memang sering masuk tanpa permisi 'kan?"

"Bocah ini masih di bawah umur, kau tahu? Seharusnya kau mengajarkan sesuatu yang baik untuknya." tunjuk Gallerian pada Nemesis. Yang ditunjuk pun tersinggung kembali.

"Umurku sudah 18 tahun, Pak Tua. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan Kak Michelle."

Dan karena dirasa topik pembicaraan sudah mulai melenceng, Gallerian pun dengan sigap memutus percakapan tidak jelas barusan.

"Sudah cukup. Sekarang, aku ingin tanya. Kenapa kamu menangis, Michelle?" tanya Gallerian lagi kepada Michelle.

"Papa gak mau menemani aku ke konser. Papa kok gitu sih?" Michelle mulai mewek lagi.

"Lagipula, rasanya tadi di opening cerita, kau mau saja menemani kami. Jadi manusia bisa konsisten gak?" sindir Nemesis tajam.

"Gallerian itu bukan manusia kok." MA ikut menyeletuk dengan santainya.

"Trus apa?" Nemesis penasaran.

"Kodok."

"Pfftt..." Nemesis terlihat menahan tawanya. Jadi yang terpeta di wajahnya, adalah seringai lebar yang maksa.

"Tante eM-A kok gitu sih?" Sebagai seorang anak yang baik hati dan tidak sombong, Michelle protes. "Papa terlalu ketje buat jadi kodok, tahu."

Dan Gallerian pun terharu atas perjuangan sang anak untuk membela ayahnya yang nista ini. "Putriku..."

"Seharusnya Papa jadi anjing kek. Dalmatian gitu. 'Kan lucu."

Gallerian langsung drop lagi.

"Uhm, Kak Michelle, anjing itu emang lucu sih. Tapi mereka juga melambangkan kecemburuan karena mereka tidak suka ketika tuannya memberikan perhatian kepada sesuatu yang lain."

"Oh... tapi rasanya gak segitunya juga deh..."

"Papa jadi dibilang kodok karena dia merasa tidak puas berada dalam satu daun teratai dan ingin selalu melompati daun lainnya."

"Hei," MA menyela. Daripada segalanya menjadi jauh lebih ngaco dan menyimpang dari cerita, dia harus kembali ke topik utama. "Karena tadi aku sempat membaca skripnya, aku tahu bahwa cerita ini seharusnya berjalan seperti yang diucapkan Nemesis tadi. Jadi, kembalilah ke peranmu yang sebenarnya, Om."

"Cih, tanpa diberitahu pun, aku memang ingin melakukannya." Gallerian sebenarnya lagi ngambek karena dia disamakan dengan kodok. Makanya sekarang tautan di alisnya terlihat begitu jelas. "Tapi aku malas melakukannya lagi dari awal. Itu sungguh membuang-buang waktuku, kau tahu?" Gallerian tiba-tiba memasang wajah acuh tak acuh. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya.

"Dasar orang tua busuk." Nemesis mendecih. Matanya begitu memicing ketika ia menatap pria berdarah Marlon itu.

"Hm, kalau kamu memang tidak mau melakukannya, biar sekarang saja kubawa Michelle pergi. Ayo, Michelle." Wanita berambut hitam itu menarik kursi roda milik Michelle dan mendorongnya untuk keluar dari ruangan tersebut.

"Eh? TUNGGU. JANGAN PERGI." Gallerian buru-buru menghentikan pergerakan MA.

"Kalau begitu, ulangi lagi dengan benar." MA menyeringai kecil, merasa berhasil menjebak pria laknat ini dalam perangkapnya.

"Heh, baiklah." Meskipun pada dasarnya Gallerian gak ikhlas, akhirnya dia melakukannya juga dengan hati terpaksa.

Tepat sebelum Gallerian ingin melakukannya lagi, tiba-tiba penghuni ruangan tersebut dikagetkan dengan sebuah bunyi yang terdengar samar namun masih bisa didengar.

"Eh? Oh, ada yang menelepon." MA merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan ponselnya.

Dan sebenarnya Gallerian tidak habis pikir, sejak kapan ada ponsel di dunia EC?

"Uhm, halo? Siapa?" MA menempelkan layar ponselnya pada telinganya. Dan tidak tanggung-tanggung, ponselnya itu jika diibaratkan dengan ponsel zaman sekarang, setara dengan iPhone 6! "Oh, kamu! Iya, iya. Aku ingat... hah, apa?"

Selagi MA sedang berbicara tidak jelas melalui ponselnya, Gallerian buru-buru menarik Michelle dari genggaman tangan laknat MA. Wanita itu sendiri sepertinya tidak begitu menanggapinya karena setelahnya, dia langsung pergi keluar ruangan karena tidak ingin percakapannya diusik-usik oleh percakapan abstrak ketiga orang itu.

"Aku tidak mau Michelle lebih diracuni olehnya." gumam Gallerian diam-diam. "Kamu gak apa-apa 'kan, Nak?" Kemudian Gallerian bertanya pada gadis berambut biru kehijauan itu dengan nada khawatir yang dalam.

"Aku gak apa-apa kok, Pa."

"Beneran?"

"Iya, Pa."

"Oh, syukurlah. Aku senang mendengarnya..."

"Cih, drama." Nemesis lagi-lagi mencibir.

"Kamu bisa gak, berhenti uring-uringan begitu?" Dan Gallerian akhirnya muak juga mendengarnya.

"Gak bisa karena seharusnya sekarang ini aku sudah berada di konser menikmati alunan lagu tanpa adanya gangguan yang menjengkelkan dan menyusahkanku terus-menerus seperti yang terjadi saat ini hanya karena orang tua busuk dan kakak menyebalkan seperti kalian." Gadis berambut hijau itu menjelaskan tanpa jeda, menandakan betapa jengkelnya dia saat ini.

"Lagian, konser apaan sih? Kenapa kalian segitunya antusias ingin datang ke sana?" tanya Gallerian lagi-lagi dibuat penasaran oleh bocah gila ini. "Uhm, ralat. Kenapa kamu segitunya antusias ingin datang ke sana?"

Nemesis langsung melirik pada Gallerian dengan tatapan yang mengatakan, seolah Gallerian itu adalah makhluk paling hina di muka bumi ini. "Kau tidak tahu?"

"Enggak." Gallerian dengan polosnya menggeleng.

"Di balai kota, ada KONSER AVENGED SEVENFOLD! YEAAAAAAAH!"

Krik krik krik.

Hanya jangkrik yang merespon atas pekikan khas para rocker oleh Nemesis tersebut. Tunggu, apakah ada jangkrik di dalam rumah seperti itu? Ah, sudahlah. Anggap saja ada!

"Ini hanya perasaanku saja atau aku memang tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya?" tanya Gallerian bingung.

"Duh, masa' gak tau sih?! Band ketje gitu juga!" Nemesis sewot karena ia mengira, orang tua ini ternyata segitunya udik. Dan itu hanya persepsi Nemesis semata karena tidak semua orang tahu siapa itu Avenged Sevenfold.

"Aku gak mengurusi masalah seperti itu. Yang kupedulikan di dunia ini hanya uang, uang, dan Michelle."

"Itulah kenapa penampilanmu sangat monoton, Pak Tua! Seharusnya kau mengikuti zaman!"

"AKU GAK MENGURUSI."

"INILAH KENAPA AKU GAK MAU PUNYA ORANG TUA BAWEL SEPERTIMU. UDAH BAWEL, UDIK, PELIT PULA."

"APA KAMU BILANG!"

"Hei, semuanya!"

Suara MA lagi-lagi mengakhiri perdebatan antara ayah dan anak untuk sementara.

"Eh, maafkan aku. Hari ini aku tidak bisa menemani kalian bepergian, karena tiba-tiba aku ada urusan amat sangat maha penting sekali yang mendadak."

"Yah, jadi tante eM-A tidak ikut?" Michelle menyahuti dengan nada merajuk.

"Oh, urusan apa?" tanya Gallerian basa-basi.

"Mama gimana sih! Sebulan yang lalu, 'kan sudah janji?!" Nemesis protes sambil mencak-mencak.

"Kamu 'kan bisa jalan sendiri. Lagipula, ini urusan sangat penting. Aku tidak bisa menghindarinya begitu saja." MA segera mengantongi ponselnya dan bergegas keluar ruangan.

Namun sebelum keluar sepenuhnya dari sana, MA bertahan di ambang pintu. "Oh, iya! Nem!"

"Hah?" Gadis beriris mata hijau itu merespon dengan jutek. Wajahnya tertekuk dalam.

"Jangan lupa, rekamkan konsernya ya! Dah!"

"Cih, sialan." Nemesis mendesis pelan.

"Hei, sudahlah. Katanya kamu sudah berumur 18 tahun, 'kan? Pergilah sendiri." Secara tidak langsung, Gallerian mengusir Nemesis supaya dia jauh-jauh dari Michelle putri kesayangannya.

"Bukannya begitu." Gadis semampai itu memberengut. "Masalahnya, aku sudah memesan 3 tiket. Satu untukku, satu untuk Kak Michelle, dan satunya lagi seharusnya untuk Mama. Tapi Mamanya tiba-tiba gak bisa ikut, jadi apa yang harus kulakukan dengan tiket ini?"

Nemesis memperlihatkan tiga buah tiket konser yang ia beli secara online sebulan yang lalu. Pria beriris mata biru itu pun memperhatikannya dengan tatapan selidik, kemudian mengkritik pedas.

"Harganya 300 ribu? Kenapa kamu mau membuang-buang uangmu hanya untuk konser musik tidak jelas seperti itu?"

"Kenapa harus kau yang sewot? Aku memakai uangku sendiri untuk membelinya." Nemesis pun memutar matanya. "Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kujelaskan pada orang yang tidak pernah mencintai apapun selain uang dan uang sepertimu."

"Papa nggak gitu kok!" Michelle menyela. "Buktinya, Papa bisa sayang sama Mama."

"Oh sudahlah, Kak."

"Bagaimana kalau kamu jual saja pada temanmu?" ucap Gallerian.

"Aku tidak punya teman."

"Atau kembalikan saja pada si penjual."

"Aku takkan pernah melakukannya."

"Kenapa?"

"Aku bukan kau yang akan melakukan segala cara demi mendapatkan uang."

"Kalau kamu tidak mau melakukannya, biar aku yang melakukannya. Sebagai gantinya, aku mau 80 persen dari uang yang kudapat."

"Bangsat."

"Papa, kita jadi gak, pergi ke konser musik?"

"Ayolah. Kalau begitu, bagaimana kalau kau yang menggantikan Mama?"

"Aku tidak mau membuang-buang waktuku untuk yang seperti itu—"

"Papa, ayo kita pergi!"

Gallerian tiba-tiba terdiam. Dia melirik pada sang putri yang menatapnya dengan tatapan memelas. Pria itu lama-kelamaan mulai merasa kasihan dan tidak tega. Kemudian dia pun menghela napas.

"Hhh..."

"Hhh?"

"Baiklah, Nemesis, tapi dengan satu syarat!"

"Beneran? Cuma satu?"

"Iya deh, tiga syarat!"

"Apa? Jangan yang mustahil ya!"

"Pertama, aku hanya akan ada di sana selama 5 menit!"

"Gak sekalian cuma 1 menit saja? Jadi begitu menunjukkan tiketnya, langsung pulang gitu aja?"

"Kedua, kamu harus bawa oleh-oleh begitu pulang dari sana! Yah, minimal mobil Mercedes lah!"

"Yaudah, nanti kubelikan mobil di pasar malam dekat sini."

"Dan ketiga, selama kita dalam perjalanan, aku mau kamu menjaga jarak 5 meter dari Michelle."

"Oh, Goddamn!" Nemesis tidak habis pikir kenapa dia harus berurusan dengan pria yang pelitnya amit-amit minta ditabok ini.

"Deal?"

"Deal aja deh." Nemesis sudah gondok setengah mati gara-gara kelamaan berdiri di sini. Jadi daripada memperpanjang masalah, dia pun mengiyakan saja.

"Oke, deal!"

"Papa, kita jadi berangkat, 'kan?"

"Iya, Sayang."

"Horee! Aku pakai baju yang Papa kasih tadi ya!"

Gallerian hanya mengangguk.

"Pada akhirnya, ceritanya gak sesuai dengan naskah ya?" gumam Nemesis pelan.

Kemudian mereka pun berangkat. Setelah sampai di sana dan menunjukkan tiketnya, Gallerian tidak benar-benar pulang. Dia terpaksa tetap berada di sana karena Michelle ngotot tidak mau ikut pulang. Yaiyalah, dia belum sempat menikmati jalannya konser, masa' harus pulang gitu aja?

Jadi Gallerian pun dengan sangat terpaksa harus menemani Michelle di sana. Daripada harus Nemesis yang menjaga Michelle? Kalau sudah menikmati konser, Nemesis bisa saja melupakan dan meninggalkan Michelle begitu saja di tengah kerumunan orang asing yang bisa jadi adalah orang-orang jahat. Tidak! Gallerian sungguh tidak ingin itu terjadi!

Dan begitulah. Sampai kapanpun, Gallerian tetaplah seorang ayah yang pelit dan pilih-kasih. Dan over-protektif pada putrinya.


.

.


END?!


.

.


A/N : Hahaha, apaan sih. Gaje banget ini fanfic. Apalagi ending-nya itu. /headbang/ Apa sesuai aja, kalo genre-nya saya buat jadi Family/Humor? -.-

Saya menistai Om Gallerian, Michelle, Nemesis, dan MA bukan karena saya benci mereka. Tapi karena mereka asik aja dibikin jadi OOC semua. Hahahaha. /nak

Yaudah. Terimakasih buat yang sudah ikhlas mau membaca cerita tidak jelas ini. Lebih terimakasih lagi kalau ada yang bersedia memberikan review-nya. /blinkblink /apa


12032015. POP1. YV


.

.


Changelog.

24122015. Memindahkan fanfiksi ini dari fandom Vocaloid ke fandom yang seharusnya, yaitu The Evillious Chronicles. Jadi otomatis saya harus menghapus beberapa bagian seperti disclaimer buat Vocaloid, setting, dan cast.