A/N: Berhubung saya baru nyemplung di fandom ini, saya cuman bisa buat fic AU karena saya belum terlalu menguasai jalan cerita trilogy Fate secara kesuluruhan. Namun, sebagian kepribadian Gilgamesh di sini saya adaptasi dari Carnival Phantasm dan juga Fate hollow ataraxia. Setidaknya, tingkat songong dan sadisnya berkurang di saga itu. ^^
Oh ya, judul fic ini saya ambil dari judul lagunya Faylan yang Distance Point. Enjoy~ :D
Fate © Type-Moon
Distance Point © Viero D. Eclipse
Pairing: Gilgamesh x Saber
Genre: Romance/Drama
Rated: T
Warning: Twoshot, AU, OOC, Redudansi, Typo, Missword, etc
Don't like? Don't read!
-Part 1-
Meet Again
"Hei, Kau! Nona Pirang! Menikahlah denganku!"
"A-APA!"
.
.
Tak ada yang lebih mengejutkan selain hanya melihat seorang pria asing—yang tiba-tiba nekat melamarmu—tepat di tengah-tengah kerumunan banyak orang. Hal inilah yang dialami oleh Arturia Pendragon atau yang biasa disebut Saber. Seorang gadis berambut pirang, bermata emerald dan berparas cantik itu tampak tak dapat menyembunyikan percik syok yang menghias gestur wajahnya. Ia terkejut. Tak percaya tentu saja. Karena di saat ia hendak melangkahkan kaki untuk pulang, interupsi itu datang tak pandang rasio.
Sungguh mengerikan.
Hah! Bagaimana tidak? Perjalanan pulangmu dari pusat perbelanjaan kota mendadak terhenti dengan aksi tak terduga dari sesosok pria asing yang tak kau kenal sebelumnya. Ya. Sudah jelas bahwa ada perasaan takut yang mengendap di hati Saber. Pria asing berambut jabrik keemasan dan bermata merah bak genangan darah telah menghadangnya dengan angkuh. Senyum licik tergurat. Pria itu yakin bahwa ia pasti mendapatkan segalanya. Ia pasti mendapat apapun yang ia inginkan. Derai kesombongan terpancar gamblang.
Tak suka.
Saber sungguh tak suka dengan pria itu.
Dengan penuh amarah, Saber mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Rin Tohsaka—sahabat Saber—yang tengah berdiri di belakang gadis pirang itu kini tampak tercengang, tanpa kata. Ia tak pernah menduga bahwa akan ada pria yang berani melamar sahabatnya itu secara blak-blakan di muka umum seperti ini.
Tidakkah pria itu sadar seperti apa pribadi Saber yang sebenarnya?
"Apa maksud dari perkataanmu itu? Menikah denganmu? Kau pikir, kau itu siapa, HAH!" Aura pembunuh terasa pekat. Gadis pirang itu benar-benar kehabisan kesabaran. Yang benar saja. Mana mungkin Saber bersedia menikahi orang yang baru ia temui di kala itu?
Pria itu pasti sudah tidak waras.
Dan pihak yang tak tahu malu itu justru merespon dengan seringai. Disematkan jemari itu ke dalam untaian helai rambut jabriknya sembari menggemakan tawa ringan yang begitu ambigu.
"Ahahahaha... tak perlu marah begitu. Aku yakin kau tak akan pernah menyesal jika kau bersedia menjadi milikku, Nona... Saber."
'A-Apa?' Kedua emerald Saber membelalak lebar. Mulutnya menganga, tak percaya. Ia tak salah dengar 'kan? Saber katanya?
'Bagaimana bisa ia tahu namaku!'
"Tuan Gilgamesh! Sebaiknya, kita pergi dari sini! Kumpulan Paparazzi akan segera kemari!"
Sejenak, terdengar suara seorang Bodyguard yang tengah berlari ke arah Saber. Dan pria asing berambut keemasan itu lantas menghela napas dengan raut kesal. Sepertinya, ia memang tak bisa berlama-lama berada di tempat itu. Dengan ekspresi penuh enigma, ia pun melayangkan simpulan senyum tipis ke arah Saber. Jemarinya menyentuh ujung dagu gadis itu, sukses membuatnya terkejut.
"Kita pasti akan bertemu lagi... Saber."
"H-Hah?"
Pria itupun berlalu pergi, meninggalkan Saber.
Hening.
Untuk sesaat, Saber tak sadar dengan berbagai spekulasi yang tergurat oleh orang-orang di sekitarnya. Gadis itu seolah berada di dalam dimensi yang begitu hening. Sebuah dimensi dimana nalarnya mencoba untuk mencerna segenap realitas yang baru saja terjadi. Ia membutuhkan waktu.
Ia membutuhkan waktu untuk berpikir secara rasional.
"Saber? Apa kau tak apa-apa?" khawatir, Rin mencoba memastikan. Yang ditanya hanya menunduk dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tak apa-apa," jawabnya singkat.
Meski begitu.
Pedang tanya mengenai 'siapa identitas pria itu sebenarnya...'
Semakin mengendap kuat di benak Saber.
.
.
.
Tap!
Tap!
Tap!
"Me-Mereka masih saja persisten untuk mengejar kita, Tuan Gilgamesh!"
"Tch! Kumpulan paparazzi sialan! Kapan mereka bisa berhenti mengangguku, hah!"
Sementara keadaan semakin krusial, pria berambut emas itu berusaha keras untuk tak menghentikan laju larinya. Kedua mata darahnya semakin memicing tajam. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi untuk tiba tepat di mobil Bugatti Veyron Supersport miliknya. Kilatan flash kamera mulai menyambar. Seseorang tampak melambaikan tangannya dari dalam mobil.
"Gil! Ayo, cepatlah naik! Kita tak punya banyak waktu!"
"Tanpa kau suruh, aku juga pasti akan segera naik, Enkidu! Hiaaaahhh!" Dengan segenap tenaganya, Gilgamesh—pria berambut emas itu lantas melompat ke dalam mobil bersama dengan seorang Bodyguard. Tak perlu berbasa-basi lebih lanjut, Enkidu segera menginjak pedal gas dan melajukan mobil secepat mungkin, jauh dari kumpulan paparazzi itu.
Untuk sesaat, hawa lega menghantam masa.
Sampai pada akhirnya...
"Apa-apaan kau ini? Kenapa kau bisa melakukan tindakan bodoh seperti tadi? Melamar seorang gadis yang tak pernah kau kenal sebelumnya tepat di hadapan banyak orang? Apa kau gila, hah!" Amarah meledak. Enkidu terlihat begitu kesal. Pria berambut hijau panjang bak wanita itu tak dapat menyembunyikan kecemasannya. Ia mengkhawatirkan Gilgamesh tentu saja. Karena pria itu adalah kawan baiknya.
"Tidak kenal? Kau pikir aku tak tahu tentang gadis itu sama sekali, Enkidu?" Gilgamesh menaikkan sebelah alisnya. Semakin lama, kawannya itu benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang datang bulan saja. Penjelasan lanjutan pun terlontar bersamaan dengan terlipatnya kedua tangan di dada.
"Arturia Pendragon... atau yang biasa dipanggil Saber. Tentu saja aku mengenal gadis itu. Dia adalah motivasi terbesarku untuk kembali ke negara ini."
"Apa?" Enkidu seolah tak percaya. Namun, tak ada untungnya bagi Gilgamesh untuk mengguratkan kebohongan. Ia yakin bahwa apa yang dikatakan oleh kawannya itu adalah benar adanya. "Kalau begitu, mengapa kau melakukan tindakan ceroboh seperti tadi, hah?"
"Aku hanya ingin memberinya salam pertemuan yang akan menjadi awal usahaku dalam mendapatkannya." Seringai ambigu terlukis jelas di paras Gilgamesh. Kedua mata darahnya lantas menatap ke arah jendela mobil. Ia memiliki satu keyakinan yang cukup besar.
"Tak lama lagi... kau pasti akan tahu, siapa aku sebenarnya... Saber. Hahahaha..."
~GxS~
"Sepertinya... dia begitu familiar."
"Apa?" Rin menautkan alisnya sembari menatap Saber yang tengah menata perlengkapan di dapur apartemennya. Semenjak kejadian 'lamaran dari pria asing' yang menimpa sang sahabat, gadis pirang itu terlihat lebih banyak diam untuk berpikir. Dan Rin mulai setuju dengan pernyataan Saber. Sebuah pernyataan—dimana pria berambut emas dan berwajah tampan itu terlihat begitu familiar.
"Kau benar, Saber. Sepertinya, aku juga pernah melihat pria itu di suatu tempat. Wajahnya tidak terlalu asing. Apakah mungkin... pria itu adalah seorang publik figur?" mengingat dengan insiden pengejaran yang dilakukan oleh kumpulan paparazzi, merupakan hal yang wajar jika Rin berspekulasi demikian. Namun Saber memiliki pendapat lain.
"Publik... figur?"
"Iya. Publik figur. Memangnya, ada apa, Saber?"
"Ah, tidak. Aku merasa ia familiar bukan karena anggapan bahwa ia adalah seorang publik figur... sebenarnya."
"Apa?" Rin mulai skeptis. Saber tampak terdiam sembari menyangga ujung dagu dengan jemarinya. Gadis berambut hitam itu lantas melipat kedua tangannya di dada. "Jika memang publik figur bukanlah alasannya, coba jelaskan padaku, apa yang membuatnya begitu familiar di matamu?"
"Entahlah. Aku merasa seperti pernah bertemu dengannya... dulu?"
"Dulu?" Saber menggelengkan kepalanya. Ia tak mampu mengingat apapun.
"Maaf. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku tidak yakin, Rin."
"Ah, ya sudahlah jika begitu. Kau tak perlu memikirkannya lagi. Mungkin saja ia hanyalah pria aneh yang ingin menarik perhatian. Sudah. Tak usah diambil pusing, Saber." Setelah mendaratkan tepukan ringan di pundak Saber, gadis berambut hitam itu lantas meletakkan beberapa tas plastik di atas meja. Langkah kakinya menuju pintu keluar telah menjadi tumpuan atensi Saber.
"Besok, Shiro dan juga Sakura akan berkunjung kemari. Aku akan membawakan makanan dari rumah. Sampai jumpa!"
"Um! Terima kasih banyak atas bantuannya, Rin!" Bersamaan dengan itu, tertutuplah jua pintu kamar apartemen Saber. Yang dikatakan sahabatnya itu ada benarnya juga. Tak ada gunanya bagi Saber untuk memikirkan pria misterius itu lagi. Hanya membuang-buang waktu saja.
"Lebih baik, sekarang aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk esok! Aku tak ingin mengecewakan Shiro dan yang lainnya!"
Seutas senyum tersimpul instan sebagai simbolik semangat baru. Saber mulai melipat balutan kemeja di lengannya dan mempersiapkan beberapa bahan makanan. Besok memang merupakan hari yang sangat spesial. Karena Shiro dan Sakura—sahabat Saber semasa kecil—akan segera bertunangan. Dan sudah selayaknya ia dan Rin turut berbahagia atas perkembangan itu. Setidaknya, dengan mengadakan perayaan kecil di apartemen Saber, hal itu sudah cukup memberikan kesan suka cita yang berarti untuk kedua sahabatnya.
Dan merasa bahwa keadaan ruangan begitu sepi, Saber pun lantas menyalakan sebuah TV layar flat yang ada di dalam kamarnya. Sebuah scene seorang reporter—yang sedang menyampaikan berita—kini sudah terlihat di layar kaca. Setelah mengatur volumenya hingga ke tingkat yang begitu keras, Saber pun mulai berjalan menuju dapur untuk menyelesaikan urusannya.
Sembari mengiris beberapa sayuran, audio TV pun berhasil terserap menuju telinga Saber meski dari jarak yang cukup jauh.
"Baik. Kembali pada berita politik. Telah diketahui bahwa putra mahkota dari Menteri kota Uruk yakni 'Pangeran Gilgamesh' saat ini telah berkunjung di Shibuya untuk alasan yang belum diketahui. Kemungkinan besar kehadiran beliau adalah untuk menjalin hubungan kerja sama antara Uruk dengan pemerintah Jepang. Namun, tertangkap basahnya Pangeran Gilgamesh saat berada di pusat perbelanjaan kemarin sore merupakan sebuah fakta yang begitu menggemparkan masyarakat sekitar. Banyak saksi mata yang menyatakan bahwa mereka telah melihat Pangeran Gilgamesh melamar seorang gadis biasa yang tak diketahui asal-usulnya."
KRATAAAKK!
Suara jatuhnya sebuah pisau dapur dari genggaman Saber lantas menggema di penjuru dapur. Syok dan menganga. Itulah gambaran keadaannya saat ini. Gadis itu tak percaya dengan apa yang ia dengar. Degup jantungnya seolah berhenti berdetak.
'Gil... gamesh?'
Secepat kilat, Saber pun berlari menuju kamarnya. Mencoba melihat kebenaran itu dengan mata kepalanya sendiri. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat gambaran seorang pria berambut emas dan bermata semerah darah yang ada di layar TV-nya.
Pria itu benar-benar orang yang sama persis dengan pria yang nekat melamarnya kemarin.
"I-Ini tidak m-mungkin. P-Pria gila itu adalah seorang... Pangeran?" gadis pirang itu kembali menganga sejadi-jadinya. Parasnya memucat, sekujur tubuh pun turut membeku dalam rasa gentar. Untuk sesaat, mulutnya terasa kaku, tak mampu berucap.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin seorang Pangeran bisa melamarnya secara blak-blakkan di muka umum!
Siapa dia? Saber tak mengenal pria itu sama sekali. Ia bahkan baru melihat pria itu kemarin. Ya meskipun wajahnya begitu familiar di mata Saber, tapi tetap saja gadis itu tak pernah merasa memiliki tali relasi dengan Gilgamesh.
Lalu, dari sekian banyaknya wanita di dunia ini, mengapa harus Saber? Mengapa harus Saber yang menjadi pilihan dari seorang pangeran semacam Gilgamesh? Apa yang membuatnya bertindak seperti itu? Saber hanyalah gadis biasa yang dibesarkan dari keluarga penegak hukum. Meski ayahnya adalah seorang mantan perdana menteri di Jepang, namun Saber tak mengikuti jejak karir sang ayah. Gadis itu memiliki preferensinya sendiri.
Dan Saber yakin, akan sangat tidak mungkin jika putra mahkota dari menteri kota Uruk memiliki relasi dengan sang ayah yang pernah menjabat sebagai perdana menteri sepuluh tahun yang lalu.
Tidak. Sepertinya, hal itu sangat tidak mungkin sekali.
Kalaupun ada rencana perjodohan dibalik konspirasi ini, Saber yakin bahwa ayahnya bukanlah tipe orang yang akan menjodohkan anak gadisnya hanya untuk kepentingan negara. Ia memberi Saber kebebasan. Ia tak akan memaksakan kehendaknya pada Saber. Dan ia sangat menjunjung tinggi hak anaknya itu. Apapun yang terjadi.
Dan jika seperti itu, lalu bagaimana dengan pria berambut emas itu terhadap Saber sebenarnya?
Apa motifnya?
Tiitt! Tiiittt!
Di tengah dilema besar itu, suara bel apartemen yang berdentang telah sukses memecah keheningan yang ada. Kedua emerald Saber lantas tersibak ke arah pintu dan ia pun mencoba membukanya dengan perasaan was-was. Dan tak ada orang.
Tak ada satupun orang yang berada di depan pintu.
Hanya ada sekuntum mawar...
Sekuntum mawar merah... yang diletakkan tepat di depan pintu kamar Saber.
"A-Apa ini?" skeptis, Saber mulai mengambil bunga mawar itu dan memerhatikannya dengan seksama. Atensinya pun lantas terarah pada sebuah kartu ucapan yang dililitkan pada batang mawar. Dengan gemetar, Saber mencoba membuka kartu itu dan membaca isinya.
"I'll make you mine..." –Gilgamesh
...
...
"H-HAH!"
Jedeeerrr!
Seakan ada guntur di siang bolong. Saber hampir saja menjatuhkan mawar yang ada di tangannya karena terlalu syok. Sepertinya pria itu tak main-main dengan tindakannya. Ia benar-benar serius menginginkan Saber. Serpihan merah pun merona di paras gadis itu, bersamaan dengan rasa gentar yang menjalar di dalam diri.
Ini sungguh buruk.
Sepertinya...
Saber tak akan bisa terlepas dari jeratan sang Pangeran semudah itu.
~GxS~
"A-APA! J-Jadi, pria yang melamarmu waktu itu adalah se-seorang... PANGERAN?"
"I-Iya. Itu benar—"
"Pria aneh dan tak tahu malu itu seorang PANGERAN?"
"Umm... maaf Nee-san tapi kuah karimu muncrat di wajah Shiro-sen—"
"I-INI GILA! BAGAIMANA MUNGKIN DIA ITU SEORANG PANGERAAAAAAN!"
Craaaaatt!
"Ouch..." Shiro terlihat pasrah saat parasnya semakin bermandikan kuah kari dari mulut Rin. Dengan penuh kesabaran, Sakura mulai mengusap wajah kekasihnya itu dengan kain serbet milik Saber. Sementara Rin terlihat seperti orang yang kebakaran jenggot, Saber hanya bisa menunduk dengan raut galau di parasnya.
"Kau belum tahu dengan motifnya, Saber! Bisa saja ia ingin menjadikanmu sebagai wanita simpanannya? Atau mungkin, ia ingin menjadikanmu sebagai seorang sandera untuk memaksa agar pemerintah Jepang mau bekerja sama dengan kota Uruk! Seorang Pangeran seperti dia tak mungkin melakukan semua ini atas dasar perasaan! Pasti ada tujuan atau keuntungan yang ingin ia raih!"
Meskipun berlebihan, tapi spekulasi yang diguratkan Rin cukup masuk akal juga. Pria seperti Gilgamesh memang patut untuk dicurigai. Kewaspadaan Saber mulai meningkat tajam. Persepsi negatif semakin membuat dinding skeptis meninggi.
"Tapi, bagaimana jika memang Pangeran Gilgamesh mencintai Saber?"
"E-Eh?"
"Bukankah hal itu sangat menarik? Jika memang pria itu nekat melamar Saber di depan publik tanpa peduli dengan statusnya sebagai seorang pangeran dan publik figur, bukankah itu berarti, dia sangat teramat mencintai Saber? Sampai-sampai ia tak peduli dengan persepsi masyarakat. Aku yakin, sungguh beruntung sekali wanita yang akan menjadi pasangan hidupnya kelak—"
"U-UHUKKK!"
Pendapat yang diguratkan Sakura membuat Saber terbelalak. Rin bahkan terkejut dan tak sengaja tersedak hingga memuntahkan kari di wajah Shiro lagi. Sungguh malang nasib pemuda yang satu itu. Dan pada akhirnya, ia hanya menggelengkan kepala, memaafkan Rin yang tengah menunduk penuh penyesalan.
"Hah! Beruntung? Apa benar begitu? Tch! Bahkan penampilannya saja tidak menampakkan seperti seorang Pangeran! Mana ada pangeran berambut jabrik, memakai anting dan berpenampilan urakan seperti dia? Sungguh tak beretika!" Rin kembali berkomentar pedas. Saber tampak menyangga ujung dagunya sembari berpikir.
"Aku setuju dengan Rin. Aku tak terlalu suka dengan pria itu. Dia adalah calon Raja! Seharusnya, dia bisa menjadi sosok figur yang baik!"
Kini giliran gadis berambut pirang itu yang bersikeras. Sebongkah keringat terlihat menetes di samping kening Rin dan yang lainnya. Maklum saja. Saber sangat mengagumi sosok seorang raja ataupun pemimpin. Jadi, gadis itu cukup kritis dan perfeksionis jika menyangkut hal yang berbau pemerintahan.
"Kau tahu, Saber? Sebenarnya, aku sangat mendukung apabila kau mau meneruskan karir ayahmu sebagai seorang perdana menteri di negara ini," Rin terkekeh pelan. Saber menaikkan sebelah alisnya mendengar itu.
"Aku tidak berbakat menjadi seorang pemimpin, Rin—"
"Tidak berbakat? Siapa bilang? Ideologimu begitu kuat, Saber! Aku yakin, negara ini akan lebih maju dengan kontribusimu! Jangan rendahkan dirimu seperti itu!" Serangkaian frase pembangkit motivasi. Rin memang lihai dalam menunjukkan bentuk dukungannya terhadap Saber. Dan hal itu membuat sang sahabat tersenyum tipis. Ia hargai pendapat Rin meski hal itu bertentangan dengan subyektifitasnya sendiri.
Mungkin...
Mengikuti jejak karir sang ayah sungguh tidak ada salahnya.
Tiitt! Tiiittt!
Bel apartemen Saber lagi-lagi berdentang. Hal itu membuat semuanya terdiam dan memfokuskan atensi ke arah pintu. Rasa skeptis dan waspada semakin meningkat. Sedikit ragu, pada akhirnya Saber memberanikan diri untuk melangkah menuju pintu dan membukanya secara perlahan. Rin, Shiro dan Sakura turut mendatangi Saber untuk melihat apa yang terjadi. Dan tak ada orang. Lagi-lagi tak ada orang di depan pintu kamar apartemen gadis berambut pirang itu.
"Aneh. Kenapa tak ada orang sama sekali?" Rin menengok kanan dan kiri, mencoba memastikan, apakah ada orang yang tengah bersembunyi, menguntit mereka. Dan hasilnya nihil. Tak ada siapapun yang berada di sana kecuali mereka. Dan lagi-lagi, Saber dikejutkan dengan sebuah bingkisan yang berada tepat di samping pintu apartemennya.
"Bingkisan itu jangan-jangan...?" Belum sempat Sakura menyelesaikan kalimatnya, Saber sudah membuka bingkisan itu secepat kilat. Rautnya tampak cemas dan sepertinya, ia bisa menebak, siapa orang yang sudah mengirim bingkisan hadiah itu. Namun kali ini, ada satu hal yang mengejutkan Saber lebih dari sebelumnya. Fakta menggemparkan telah terungkap.
"Bo-Boneka... singa?"
Ya, benar. Sebuah boneka singa berukuran cukup besar merupakan hadiah yang ada dibalik bingkisan itu. Dan Saber pun tampak pucat, tak mampu berkata-kata. Rin hanya bisa menganga sembari membungkam mulutnya dengan raut syok.
"Sa-Saber, bukankah... boneka singa adalah boneka... favoritmu?"
"Hah?" Shiro terkejut. Sakura menatap Saber dengan raut kaget. Yang ditatap hanya bisa menunduk penuh gentar. Tidak mungkin.
Bagaimana orang itu bisa tahu dengan segenap kesukaan Saber?
"Siapa yang mengirimkan boneka ini? Jangan bilang bahwa..." Rin masih terlihat membungkam mulutnya dengan raut syok. Dengan gentar, Saber mulai membuka kartu ucapan yang terselip di bungkus bingkisan itu. Dan dugaannya benar. Siapa lagi orang yang mau mengirimi Saber hadiah jika bukan pria itu?
"Hope you like it, My Precious Queen..." –Gilgamesh
"Ra-Ratu?" sebongkah keringat menetes di kening Rin. Shiro bahkan bertampang aneh dengan hal itu. Saber masih tampak pucat. Namun reaksi Sakura justru sangat kontradiksi dengan ketiganya.
"Aww... manisnya... tak kusangka bahwa Pangeran kota Uruk itu ternyata seromantis ini~"
"HEEEHHH!" Saber hanya menganga dengan raut aneh. Sakura terkekeh melihat itu.
"Ne, Saber! Coba pikirkan lagi. Seorang pangeran tampan yang rela datang ke negara ini dan tiba-tiba nekat melamarmu di muka umum. Menjadi stalker misterius yang mencoba untuk mencari tahu hal apa yang kau sukai. Memberimu hadiah setiap hari. Tidakkah itu romantis? Dia pasti sangat sangat sangaaaat menyukaimu, Saber!"
"I-Itu—" Saber tak mampu berkata-kata. Parasnya merona merah, berlumur malu. Kedua emeraldnya kembali tertuju pada boneka singa yang ada di genggamannya.
Jika memang pria itu sungguh serius menginginkan Saber...
Maka, Saber... tak akan membuka hati semudah itu.
~GxS~
Hari demi hari berlalu. Dan berbagai hadiah pun telah diterima Saber dengan sangat terpaksa.
Setelah Pangeran dari kota Uruk itu mengirimkan sekuntum mawar dan boneka, kini ia justru mengirimkan makanan-makanan lezat untuk Saber. Dasar licik. Sepertinya ia tahu betul bahwa Saber tak bisa menolak makanan enak. Dengan sangat terpaksa, gadis itu pada akhirnya bersedia memakan makanan yang dikirimkan untuknya.
Terkadang...
Saber sungguh merasa malu karena tak dapat menahan hawa nafsunya sendiri.
"Dasar pria brengsek! Bisa-bisanya ia memakai taktik seperti ini! Kurang ajar!" Dengan raut ketus, Saber melahap beberapa sushi yang dikirimkan Gilgamesh untuknya. Pria itu semakin hari semakin terlihat seperti seorang stalker saja. Ia semakin paham apa yang diinginkan Saber. Hingga gadis itu tak habis pikir, bagaimana bisa pangeran Uruk itu mendapatkan info hingga sejauh ini?
"Jika memang ia memiliki nyali, sebaiknya ia segera menghadapku langsung dan bicara empat mata secara baik-baik! Mengirimkan hadiah terus menerus dan tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali? Dasar, Pengecut!"
Ah... andaikan saja Saber tahu bahwa kata-kata itu bisa berbalik melawannya sendiri?
"Jadi... apa kau ingin melihatku, Saber?"
"H-Hah?"
Tak ada yang bisa menggambarkan betapa syoknya Saber saat ini. Mengejutkan. Pria itu sudah berdiri di sana. Sesosok pria yang sudah mengusik hidup Saber akhir-akhir ini. Gilgamesh, putra mahkota Raja Uruk yang angkuh itu sudah bersandar tepat di depan pintu. Senyum licik tersimpul di paras tampannya itu.
Ini sungguh buruk.
"K-KAU!" Saber berdiri dari kursi yang ia duduki, melayangkan tatapan tajam ke arah Gilgamesh. Pihak yang mendapat tatapan tajam hanya tertawa saat mendengar bentakan Saber yang berbunyi, "Apa yang kau lakukan di sini!"
"Hahaha... apa yang kulakukan di sini? Bukankah kau sendiri yang ingin melihatku?" Saber mulai gentar saat Gilgamesh melangkahkan diri mendekatinya. Peluh berguguran dari kening gadis itu. Dan sang pangeran terlihat memandang sushi yang ada di atas meja makan Saber.
"Sepertinya kau sangat menyukai sushi yang kuberikan untukmu. Aku senang karena kau mau memakannya juga."
"Berhentilah berbasa-basi! Sebenarnya, apa yang kau inginkan dariku!"
Sementara pertanyaannya belum mendapat jawaban, Saber hanya bisa melangkah mundur tatkala Gilgamesh semakin berjarak beberapa jengkal darinya saja. Seringai tergurat di paras pangeran itu di saat Saber semakin terdesak.
Terpojok.
Punggung Saber sudah berbenturan degan hamparan dinding di belakangnya.
Gadis itu tak bisa menghindar lagi.
Dan Gilgamesh lantas menguncinya dengan menyandarkan tangan kanannya di hamparan dinding. Sedangkan tangan kirinya digunakan untuk menyentuh ujung dagu Saber.
"Apa kau masih tak percaya bahwa yang kuinginkan adalah... kau, Saber?"
"H-Hah?" belum sempat Saber bereaksi lebih jauh, Gilgamesh sudah mencengkram wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Emerald bertemu crimson. Sang pangeran hanya menyeringai menatap mangsanya yang terbelalak pucat.
Sebuah bisikan terdengar.
"Menikahlah denganku, Artur!"
"A-Apa—mmhpphh!" seolah ada sebuah petir yang menyambar tatkala mulut Saber terbungkam dengan mulut Gilgamesh. Pangeran itu menghimpitkan parasnya, mencium Saber sedalam mungkin. Sang gadis terlihat semakin syok. Tak dapat berkutik di saat bernapas pun semakin sulit. Paras keduanya semakin memerah panas. Dan di saat lidah itu hendak menginvasi mulut Saber lebih jauh lagi...
Sebuah tamparan yang begitu keras lantas mendarat di pipi kiri sang pangeran Uruk.
"Be-Beraninya kau menciumku! Dasar, Bajingan!" Saber mulai emosi. Parasnya masih memerah karena malu dan marah. Setelah terdiam sejenak, pada akhirnya suara tawa yang begitu lirih lantas tergurat dari mulut Gilgamesh.
"Hahaha... kau sama sekali tidak berubah. Masih tetap sama seperti dulu. Dan hal ini semakin membuatku yakin bahwa kaulah... satu-satunya orang yang tepat untuk menjadi istriku." Tak mengindahkan bagaimana ekspresi Saber saat itu, Gilgamesh hanya berbalik dan melangkah perlahan menuju pintu.
"Aku pasti akan kembali lagi. Aku tak akan menyerah sampai kau benar-benar menjadi milikku, Artur. Hahahahaha!"
"Pergi kau! CEPAT PERGI DARI SINI!"
Brakkk!
Bersamaan dengan tertutupnya pintu, Saber pun tersungkur ke bawah dengan perasaan terpukul. Ia tak pernah diperlakukan kurang ajar seperti ini. Kedua tangannya terkepal erat. Ia menunduk dengan debaran jantung yang begitu cepat. Sekujur tubuhnya gemetar dalam kegentaran.
Pria itu...
Mengapa pria itu begitu menginginkannya?
Jemari gadis itu lantas meremas kain kemeja di dadanya. Rona merah itu masihlah belum luntur dari parasnya. Untuk sesaat, Saber seolah merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah perasaan aneh yang tidak ia mengerti definisinya.
Ia takut, gemetar, gentar dan ragu.
Ia bimbang. Namun di saat yang sama...
Mengapa ada kehangatan di titik itu?
~GxS~
"Mau apalagi kau kemari!"
"Ah, tenanglah dulu, Saber. Aku hanya ingin membawakanmu bunga."
Frase bernada angkuh itu membuat Saber semakin muak. Sudah lebih dari seminggu dan Gilgamesh selalu saja mendatanginya. Pria tampan berambut jabrik keemasan itu masih juga tak bosan untuk mengusik Saber. Ia benar-benar pantang menyerah dan sangat keras kepala.
"Pergi kau dari sini! Sampai kapanpun, aku tak akan pernah sudi untuk menikah denganmu!"
"Ayolah... mengapa kau masih saja keras terhadapku seperti ini, huh?" Gilgamesh menyanggah dahinya. Ia masih berusaha keras untuk menahan Saber agar tidak menutup pintu apartemennya. Ia sungguh tak habis pikir. "Aku adalah seorang pangeran. Aku bisa memberimu apa saja yang kau inginkan jika kau mau menjadi milikku."
"Hah! Kau pikir, kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan hanya karena kau adalah seorang pangeran?" Saber menatap sinis. Ditampiknya cengkraman Gilgamesh dengan sangat kasar. "Pria sepertimu bahkan tak pantas menjadi calon Raja!"
"Apa katamu?" Gilgamesh memicingkan kedua matanya. Saber tak gentar dengan hal itu. Resistensi masihlah membara.
"Aku tak akan pernah menyukai pria berpenampilan urakan sepertimu! Tanpa gelar pangeran yang kau miliki sekarang ini, kau sungguh tak ada apa-apanya!"
DEG!
Frase itu begitu menyakitkan. Dan bagi Gilgamesh, tak ada yang lebih membuatnya sakit selain hanya mendengar penolakan kasar dari Saber. Ia begitu mencintai gadis itu. Setelah sepuluh tahun ia berjuang keras untuk mencapai titik seperti ini...
Hanya penolakan inikah yang ia dapatkan?
"Kau tak mengerti dengan apa yang kau katakan, Saber. Kau tak bisa menyangkalku! Kau tak bisa menyangkalku seperti ini!"
"Hah! Pergilah! Aku tak mau melihatmu lagi!"
BRAAAKKK!
Pintu kamar apartemen Saber telah ditutup dengan begitu keras. Terlalu keras hingga dentumannya menggema di penjuru lorong. Bahkan dentuman itu turut menggema di hati Gilgamesh. Pria berambut emas itu terdiam untuk sejenak. Ia bisa merasakan bahwa Saber masih berada di balik pintu.
"Apa kau tak ingat dengan kenangan kita sepuluh tahun yang lalu... Artur?"
"..." Saber terbelalak. Dalam diam, ia dengarkan apa yang dikatakan Gilgamesh dari balik pintu. Pria itu tampaknya sedang bersandar. Meski pintu menjadi pembatas di antara mereka, namun Saber tak dapat menampik bahwa ia merasa begitu dekat dengan putra mahkota kerajaan Uruk itu.
"Aku tak peduli meskipun saat ini, kau benar-benar membenciku, Saber. Namun aku akan tetap menepati ikrarku. Aku akan membuatmu menjadi milikku! Apapun yang terjadi!"
Gilgamesh mengepalkan tangannya dengan begitu erat. Enkidu sang sahabat, terlihat menghampirinya dan menepuk pundak pria berambut emas itu. Ia menggelengkan kepalanya, sebagai isyarat bahwa sebaiknya Gilgamesh segera pergi meninggalkan Saber sendiri. Karena tak ada gunanya bagi sang kawan untuk berlama-lama di tempat itu.
Dengan berat hati, Gilgamesh segera beranjak dari kamar apartemen Saber. Sebelum ia benar-benar pergi dari tempat itu, atensinya kembali terarah ke kamar Saber sekali lagi. Kedua crimsonnya memicing tajam. Ia sungguh tak peduli lagi dengan apapun.
Saber adalah miliknya.
Dan ia pasti akan mendapatkan gadis itu kembali. Cepat atau lambat.
"Aku mencintaimu... Saber."
.
.
.
"Sepuluh tahun yang lalu? Apa maksud dari perkataannya?"
Frase yang diguratkan Gilgamesh terus terngiang di benak Saber. Gadis itu hanya bisa merebahkan diri di atas ranjang sembari menatap langit atap kamarnya dengan pandangan kosong. Tanpa sadar, jemarinya meraih sebuah boneka singa pemberian pangeran Uruk itu dan mendekapnya erat. Meskipun ia membenci Gilgamesh, namun entah mengapa, ia tak bisa membuang boneka pemberian pria itu.
"Boneka singa ini..." Saber mulai mengangkat boneka itu ke atas. Labirin nalarnya mencoba terlarut dalam genangan retrospek yang begitu dalam. Sejatinya, hanya orang-orang tertentu saja yang paham mengapa Saber begitu menyukai boneka singa. Selain Rin, ada satu anak lelaki yang mengetahuinya. Sesosok anak lelaki yang pernah ia temui...
Sepuluh tahun yang lalu.
.
.
"Hei, kau suka singa, ya?"
"Eh?"
"Aku juga suka singa. Karena singa adalah sang raja rimba! Hehehe... aku benar 'kan?"
"R-Raja rimba?"
"U'hum! Raja! Bukankah hal itu keren? Suatu saat, aku ingin menjadi raja seperti ayahku!"
"Umm... Raja, ya..."
"Oh, ya! Kalau dilihat-lihat, kau cantik sekali. Siapa namamu? Jika aku besar nanti, aku pasti akan memberimu boneka singa dan aku akan menjadikanmu sebagai ratuku! Hehehe..."
"A-Apa? Ratu?"
"Hu'um! Siapa namamu?"
"Na-Namaku—Arturia..."
"Arturia... nama yang cantik."
"Eh? Te-terima kasih atas pujiannya. Bagaimana denganmu? Siapa namamu?"
"Namaku ya? Umm... apa ya? Ah, panggil saja aku... Archer!"
"Ar... cher?"
"Yup! Tapi itu bukan nama asliku. Aku tidak ingin memberi tahu namaku yang sesungguhnya sampai kita sudah dewasa nanti, Artur! Hehehehe!"
"Eh, ke-kenapa tidak memberitahu?"
"Ah, maaf. Aku harus segera pergi. Ayahku sedang mencariku sekarang!"
"H-Hei, tunggu! Apakah kita akan bertemu lagi nanti?"
"Pasti! Kita pasti bisa bertemu lagi! Hehehehe... sampai jumpa, Ratuku!"
"Ra-Ratu? Eh, tu-tunggu!"
.
.
Kedua emerald Saber membelalak lebar.
Labirin retrospek itu membuatnya ingat akan beberapa hal penting. Gadis itu lantas menyangga dahinya. Rasa pening mulai menjalar di kepala. Mulutnya menganga saat ia menyadari sesuatu.
'... Archer?'
Ya, Archer.
Sesosok anak laki-laki yang pernah ia temui di taman bermain sepuluh tahun yang lalu. Anak laki-laki yang tiba-tiba mendatanginya saat ia sedang memandangi sebuah grafiti singa di sebuah dinding bangunan kecil. Anak laki-laki berambut keemasan... dan bermata merah... semerah darah.
Mata... merah.
'Mu-Mungkinkah...?' Saber membungkam mulutnya. Kedua emeraldnya kembali terbelalak berkat efek syok. Jantung gadis pirang itu seolah berhenti berdetak untuk sesaat. Mungkinkah...
'Pangeran Gilgamesh... adalah... Archer?'
TBC
A/N: Akhirnya... setelah sekian lama berkecimpung di fic Yaoi dan shounen ai, saya bisa buat fic straight nih fic adalah Oneshot tapi dikarenakan overload words, jadinya saya bagi jadi twoshot. Next part kemungkinan adalah part terakhir jadi stay tune aja. ^^
Dan oh ya, niatnya nih fic adalah humor tapi karena sense of humor saya mendadak hilang, jadinya rada-rada merembet ke drama. Gomen... Orz. Dan maaf kalau fic ini kelihatan kaku atau janggal. Karena saya juga udah kelamaan hiatus, jadinya rada kaku lagi dalam nulis fic. Semoga aja tak terlalu banyak kesalahan di sini.
Akhir kata, thanks for reading apalagi yang udah sudi ngereview fic abal ini. ^_^
See you in the next chap~
