Masih diliputi warna duka oleh kematian, rumah berdinding putih di ujung jalan itu. Rumah berdinding putih yang biasanya ramai oleh suara-suara berisik yang mencerminkan kehangatan keluarga yang bertempat tinggal di dalamnya. Rumah yang kini hanya akan mengundang tatapan simpati dari para tetangga yang lewat di depannya. Rumah yang kini sepi, hampa, dengan warna putih yang kini lebih pantas dicat menjadi hitam, menggambarkan kemuraman hati para penghuninya—yang kini tinggal bertiga dari awalnya berlima.
Rumah yang tampak hampa itu, akan berubah hari ini.
"…ta! Ryouta, bangun!"
Satu kali percobaan dan pemuda bersurai pirang yang terkubur di bawah selimutnya itu tak lantas bangun, bahkan bergerak barang sedikitpun tidak. Ia tidur seperti sebatang kayu. Pemuda berkulit gelap yang mencoba membangunkan sang pemilik surai pirang—Kise Ryouta—mengeluh pelan, namun di dalam hatinya memaklumi kenapa Ryouta tak kunjung bangun. Ia masih mengingat wajah Ryouta tadi malam—garis air mata yang tak kunjung hilang namun berkeras ia sembunyikan, dan mata sembab yang memerah, wajar kalau pemuda enam belas tahun itu butuh istirahat lebih. Namun tetap saja, situasi yang membutuhkan Ryouta dalam keadaan sadar bisa datang kapan saja, contohnya pagi ini.
"…berisik…" Ryouta menggumam dari dalam selimutnya. "Aku kan sudah bilang tidak akan pergi sekolah hari ini, Nii-san."
"Aku tahu," sosok yang diketahui sebagai kakak dari Ryouta itu menyahut. "Setidaknya jawab dulu pertanyaanku. Kau mempekerjakan pembantu di rumah ini, Ryouta?"
"Tidak. Memangnya untuk apa?"
"Lalu kenapa ada seorang pemuda di depan pintu kita yang mengaku bernama Kuroko Tetsuya, pembantu di rumah ini?"
.
.
The Housekeeper, Kuroko
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
terinspirasi dari Marumo no Okite dan Kaseifu no Mita (J-dorama)
warnings: AU. OOC. Family drama ecek-ecek. OK? Jika OK, silakan lanjutkan.
.
Chapter 1: Housekeeper
.
"Ryouta-nii…"
Yang dilihat Ryouta pertama kali ketika ia sampai di pintu depan rumahnya adalah sosok adiknya yang bersurai merah muda panjang—Satsuki—menatap dirinya dengan tatapan penuh teka-teki, satu tatapan yang bermakna jutaan pertanyaan. Ryouta mendekati Satsuki yang masih tampak bingung, lalu bertanya.
"Siapa yang datang, Satsukicchi—"
Tak perlu jawaban verbal dari Satsuki untuk membuat Ryouta mengerti—hanya isyarat dari manik merah muda Satsuki sudah bisa membuat Ryouta mengerti bahwa yang tengah membuat Satsuki memasang ekspresi bertanya-tanya saat ini adalah keberadaan seorang pemuda—tampak seumuran dengan Ryouta—dengan tinggi rata-rata yang kini tengah berdiri di depan pintu rumah mereka tanpa ekspresi yang kentara. Di tangannya tergenggam sebuah tas cokelat muda yang terkunci rapat, tak memperbolehkan orang lain mengintip isinya kecuali yang empunya. Ryouta terdiam, memindai sosok pemuda di hadapannya sebelum akhirnya pemuda dengan surai biru muda itu membuka mulutnya.
"Ohayou gozaimasu," bahkan intonasi suaranya pun datar sedatar ekspresi wajahnya. "Nama saya Kuroko Tetsuya. Mulai hari ini akan bekerja sebagai pembantu di rumah ini, mohon bantuannya."
"Eh?" alis Ryouta terangkat mendengar pernyataan barusan. "Tapi keluarga kami tak pernah mempekerjakan pembantu… dan aku sendiri tidak ingat pernah meminta pembantu untuk bekerja di rumah kami—"
"Saya diminta secara pribadi oleh Kise-san untuk bekerja di sini."
"Maksudmu… Okaasan dan Otousan?" Ryouta memiringkan kepalanya, masih sedikit bingung. "Orangtuaku yang memintamu bekerja di sini?"
"Kurang lebih seperti itu."
Manik kuning cerah Ryouta bertemu dengan manik merah muda Satsuki dalam satu ekspresi kebingungan yang sama. Mereka bertatapan cukup lama, seolah mereka tengah berbincang dalam pikiran masing-masing. Sekitar satu menit mereka berada dalam situasi tersebut, dan mungkin akan berlanjut kalau sang anak sulung yang bersurai biru gelap, Daiki, tidak mengagetkan mereka berdua dari belakang.
"Kalian memikirkan apa lagi, sih?" ujar Daiki setengah sewot. "Kalau memang yang mempekerjakan dia adalah Okaasan atau Otousan, kalian tak usah bertanya-tanya lagi kan? Biarkan saja dia melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan sebagai pembantu di sini."
"Tapi Daiki-nii," Satsuki angkat bicara. "Bagaimana dengan upahnya—"
"Saya sudah menerima pembayaran dari Kise-san untuk bekerja di sini selama enam bulan," Kuroko menyambar, membuat Satsuki berjingkat kaget karena jawaban tiba-tiba tersebut—terlebih, Satsuki baru menyadari kalau hawa keberadaan pemuda itu tipis sekali. "Jadi Anda sekalian tak usah memikirkan pembayaran upah saya selama enam bulan. Jika Anda mau berhenti menggunakan jasa saya setelah periode enam bulan itu, silakan saja. Namun jika Anda masih tetap mau mempekerjakan saya, mau tak mau Anda sekalian yang harus membayar saya."
"Tuh kan, dia bilang apa," sahut Daiki. "Lumayan kan, enam bulan kita tidak perlu repot-repot mengurus urusan rumah…"
"Daiki-nii!" seru Satsuki kesal. "Jangan bicara seolah-olah—"
Tepukan tangan Ryouta di bahu Satsuki membuat gadis itu menghentikan kalimatnya. Satsuki mendongak, terlihat di matanya wajah Ryouta yang menyiratkan bahwa Satsuki tidak perlu melanjutkan kalimat itu. Satsuki terdiam, lalu tertunduk. Ia ingin menangis, tapi—ah, Ryouta akan mengomelinya lagi kalau dia menangis.
Padahal yang menangis paling keras kemarin kan dia.
"Jadi saya boleh mulai bekerja? Bagaimana kalau saya mulai dengan menyiapkan sarapan?" Kuroko kembali buka suara, membuat Ryouta—sama seperti yang dialami Satsuki tadi—berjingkat kaget.
"Si-silakan, Kuroko-san—"
"Tidak usah terlalu formal kalau dengan saya, tapi jika itu memang preferensi Anda, silakan panggil saya dengan nama formal."
"Er—kalau begitu panggil Kurokocchi boleh?"
"Ryouta-nii…" gumam Satsuki memprotes, namun agaknya sang pemuda dengan hawa keberadaan tipis itu tidak keberatan. Sambil menjelaskan kebiasaan kakaknya yang memanggil orang-orang terdekatnya dengan sufiks '-cchi' kecuali orangtua dan kakaknya sendiri, Satsuki berjalan beriringan dengan Kuroko menuju dapur, untuk menunjukkan dimana peralatan masak dan bahan makanan disimpan.
Dapur keluarga Kise berupa pantry yang menyatu dengan ruang makan. Dapur standar rumah-rumah keluarga di Jepang dengan anggota sedikit. Menurut sang ayah yang turut menangani desain interior rumah ini, ruang makan yang menyatu dengan pantry tempat memasak akan menghemat waktu dan kesannya akan lebih hangat, makanya beliau memilih desain seperti ini meskipun rumah mereka cukup besar untuk membuat dapur dan ruang makan yang terpisah. Sebuah televisi ditaruh di sebelah selatan ruangan. Itu merupakan permintaan Ryouta ketika kecil yang ingin menonton televisi selagi makan dan hal itu segera dikabulkan orangtuanya.
"Daiki-nii, duduknya yang benar," seru Satsuki sambil menyabet kaki Daiki yang naik ke atas kursi dengan gulungan koran pagi, direspon dengan decihan dari pemuda tujuh belas tahun itu. Gadis empat belas tahun yang sudah siap dengan peralatan sekolahnya itu duduk di kursi biasanya—di sisi utara meja, bersebelahan dengan Ryouta—lalu memutar matanya melihat Ryouta yang masih dibalut baju tidurnya padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan kurang. "Ryouta-nii tidak ke sekolah?"
Ryouta menjawab dengan anggukan. "Uhm-mm. Paling nanti aku pergi untuk latihan basket."
Satsuki mengeluh. Ryouta menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi—dan dilihatnya Daiki dan Satsuki yang sudah mengenakan seragam sekolah masing-masing.
Cih.
Padahal baru kemarin…
"Ini sarapannya, silakan dinikmati."
Kuroko meletakkan tiga piring french toast di atas meja dengan topping yang berbeda-beda—topping siraman sirup maple untuk Daiki, olesan orange jam untuk Ryouta dan potongan strawberry didampingi frozen yoghurt untuk Satsuki. Ketiga bersaudara itu terdiam, silau oleh warna keemasan sempurna dari french toast yang sangat menggoda untuk dinikmati itu.
"Wanginya enak sekali!"
"Itadakimasu~"
"Ini enak sekali, Kuroko-san! Dan ini topping favoritku~ kok Kuroko-san bisa tahu?" Satsuki berbalik, menghadap Kuroko yang tengah mencuci wajan di wastafel pantry. "Sirup maple dan orange jam juga topping french toast kesukaan Daiki-nii dan Ryouta-nii!"
"Kebetulan saja saya tahu," jawab Kuroko.
"Tapi masakanmu betul-betul enak, lho!" seru Daiki. "Nanti malam bisa kau buatkan sukiyaki yang enak, tidak?"
"Saya mengerti. Saya akan coba buat."
"Daiki-nii, selalu saja!" seru Satsuki kesal, tapi Daiki tetap cuek seperti biasa. Ryouta menghabiskan french toast-nya dalam diam, lalu meletakkan pisau dan garpu makannya perlahan, nyaris tak menghasilkan suara barang satu desibel pun.
Tuh, kan. Kubilang juga apa.
"Aku mau tidur lagi, kepalaku masih sakit," gumam Ryouta sambil berdiri—ia menyadari tatapan cemas Satsuki mengarah padanya, namun ia tak peduli. Ia berjalan menuju tangga untuk kembali ke kamar tidurnya, namun suara Kuroko yang memanggilnya membuat Ryouta menghentikan langkahnya.
"Ryouta-kun, Anda memang tidak pergi ke sekolah pagi ini, namun sebaiknya Anda perbaiki penampilan Anda terlebih dahulu. Dengan wajah kusut dan rambut berantakan seperti itu, wajah Anda tidak enak dilihat," Kuroko menghampiri Ryouta dengan membawa sehelai handuk lembut dan sabun pencuci muka. "Anda biasa memakai sabun pencuci muka merek ini, kan?"
Ryouta terdiam, tatapan manik kuningnya tertuju pada handuk dan sabun pencuci muka yang dibawa Kuroko. Dahinya sedikit berkerut, "Aku kan mau tidur lagi, Kurokocchi—"
"Sebelum Anda tidur lagi, bukankah lebih baik kalau Anda menyalakan dupa dan menyapa terlebih dahulu orangtua Anda, Ryouta-kun?"
Seisi rumah hening.
Ryouta bangun pukul setengah empat sore harinya dengan kepala pening. Tidak ada air mata yang keluar dari kedua manik kuning cerahnya ketika berhadapan dengan altar orangtuanya, namun air mata itu baru keluar saat ia masuk kamar dan memendam wajahnya dalam bantalnya yang empuk. Bukan suatu hal yang menyenangkan memang membayangkan seorang pemuda yang duduk di kelas 1 SMA menangis di kamar ketika tak ada orang lain yang melihat, terlebih kalau pemuda itu adalah seorang Kise Ryouta—namun itulah kenyataannya. Ryouta sendiri tak keberatan jika dibilang cengeng, toh dia memang cengeng.
Siapa yang tidak cengeng jika ditinggalkan selamanya oleh kedua orangtua dalam waktu hanya satu malam?
Manik tajam Ryouta yang dihiasi lingkaran hitam memindai kondisi ruang keluarga. Ia kaget sendiri ketika melihat ruangan yang sebelumnya berantakan, sangat berantakan, pasca upacara pemakaman kedua orangtuanya kemarin menjadi sangat rapi seperti belum pernah terjadi apa-apa di dalamnya. Padahal tadi malam, tidak ada yang berniat sama sekali untuk membereskannya, termasuk Satsuki yang notabene anak perempuan satu-satunya. Sempat Ryouta berpikir kalau kematian orangtuanya hanya mimpi—ibunya masih hidup, dan beliaulah yang membereskan rumah seperti biasanya—karena melihat kondisi ruangan yang sangat rapi seperti ini, sebelum Ryouta teringat keberadaan Kuroko. Pemuda bersurai biru muda yang sekitar sekepala lebih pendek dibanding dirinya, yang kini bekerja sebagai pembantu di rumahnya.
Pemuda itu sekarang tengah berada di ruang cuci pakaian, Ryouta tahu dari suara desing mesin cuci yang berputar. Ia menghela napas lalu menghempaskan dirinya di atas sofa ruang keluarga, bermaksud menyalakan televisi namun urung ketika melihat tas yang biasa dibawanya untuk latihan basket sudah siap di sofa. Lengkap berisi handuk, baju ganti, beberapa bungkus permen, dan tiga botol minuman. Sepatu olahraganya pun sudah bersih seperti baru—padahal terakhir kali dipakai, sepatu itu masih dekil minta dicuci.
"Ryouta-kun, sudah bangun?"
"Whoa!" untuk kedua kalinya hari ini Ryouta dikagetkan oleh kemunculan Kuroko yang tiba-tiba, terima kasih untuk hawa kehadiran Kuroko yang tipis. "Ja-jangan mengagetkanku, Kurokocchi!"
Kuroko tidak memperlihatkan perubahan ekspresi yang berarti. Manik besarnya yang sewarna dengan rambutnya menatap Ryouta dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
"Saya tidak bermaksud mengagetkan."
Aku tahu itu. Ini semua salah hawa kehadiranmu yang terlalu tipis, tahu.
"Botol minum milik Daiki-kun tertinggal sebuah, bisa tolong bawakan sekalian tidak, Ryouta-kun?" Kuroko mengulurkan sebuah botol minum yang dipegangnya pada Ryouta.
"Erm—oke. Masukkan ke tasku saja."
"Saya mengerti."
Ekor mata Ryouta mengikuti gerak pemuda mungil itu memasukkan botol minum milik Daiki ke dalam tasnya, lalu menata ulang isi tas tersebut karena ternyata jika ditambahkan botol minum Daiki, tas itu akan menjadi penuh. Gerakan pemuda itu seperti ninja. Halus, tak terasa—mungkin karena faktor hawa keberadaannya yang tipis juga. Selain itu dia sigap dan tampak cekatan mengerjakan berbagai pekerjaan. Mungkin itulah yang membuat orangtua Ryouta memilih pemuda itu sebagai pembantu di rumahnya.
Tapi demi Tuhan, pemuda ini tampak masih sangat muda. Ia tak mungkin sampai setahun lebih tua dibanding Ryouta.
"Kurokocchi, berapa usiamu?"
"Enam belas."
Seumur dengan Ryouta.
"Kau bekerja sebagai pembantu di sini… lalu bagaimana dengan sekolahmu?"
"Mohon maaf, tapi saya tidak menjawab pertanyaan yang bersifat pribadi selain nama dan umur saya."
Ryouta memutar mata. Kenyataan bahwa Kuroko masih berusia enam belas tahun membuatnya takut dituntut karena mempekerjakan anak di bawah umur sebagai pembantu rumah tangga.
"Tenang saja, Anda tidak akan dituntut karena saya masih berusia enam belas dan siapapun pun tidak akan kena tuntutan seperti itu," jelas Kuroko seolah bisa membaca pikiran Ryouta. "Saya ada disini semata-mata karena permintaan pribadi dari orangtua Anda, Ryouta-kun."
"Permintaan pribadi?" Ryouta mengerutkan alisnya. "Seperti… apa?"
"Seminggu yang lalu, ibu Anda datang menemui saya," Kuroko menutup resleting tas Ryouta. "Mungkin saat itu, ibu Anda sudah memiliki firasat bahwa ajalnya telah dekat. Beliau menyuruh saya bekerja untuk Daiki-kun, Ryouta-kun dan Satsuki-san jika beliau meninggal nanti…"
Ryouta menelan salivanya.
"..lalu?"
"Beliau menitipkan Anda pada saya, Ryouta-kun," Kuroko berbalik, menghunjam tajam manik kuning cerah Ryouta dengan tatapan khas dari manik biru mudanya yang tenang. "Karena beliau bilang, sepeninggal beliau, pasti kondisi mental Anda yang akan lebih memburuk dibandingkan saudara-saudara Anda…"
Hening untuk beberapa detik. Manik kuning cerah Ryouta meredup.
…memang benar, kok.
Aku memang cengeng kan, Okaasan?
Okaasan sudah tahu itu bahkan sejak aku kecil…
"…Ryouta-kun?" panggil Kuroko melihat Ryouta yang hanya terdiam.
"…bodoh, tentu saja seperti itu…" gumam Ryouta tidak jelas dengan suara tercekat, menahan isak tangis yang akan keluar. "Kau tahu kan keluargaku itu sebenarnya seperti apa? Ibuku memberitahumu kan, 'sosok asli' dari keluargaku?"
Kuroko terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan menjawab dengan sebuah anggukan.
"Lucu, lucu sekali… hal yang sudah pasti seperti ini…" intonasi suara Ryouta kemudian meninggi. "Memang menurutmu siapa yang akan lebih terpukul ketika kehilangan orangtua? Anak kandung atau anak angkatnya?"
Lagi-lagi Kuroko terdiam sementara mata Ryouta berkaca-kaca.
"Saya mengerti, Ryouta-kun," Kuroko buka suara. "Saya mengerti. Saya tahu, Andalah yang paling terpukul atas kematian orangtua Anda, bukan begitu?"
.
.
to be continued
.
.
a/n: halo, salam kenal. saya pendatang baru di fandom ini. Arisa desu, biasa dipanggil Sacchi #nggaknyambungtapibeneran
Saya lagi senang-senangnya dengan genre Family/Drama. Terus saya pikir, kayaknya unik deh kalau bikin fanfiksi Kurobasu dengan genre Family/Drama. Dan jadilah fanfiksi ini, yaaa, walau fail sih #dibuang Inspirasinya, seperti yang tadi saya sudah bilang, dari dorama Kaseifu no Mita dan Marumo no Okite, dua dorama bertema family favorit saya. Bisa mungkin coba ditonton #promosi
Akhir kata, yoroshiku onegaishimasu, minna-san. Insya Allah saya akan terus merusuh di fandom ini #dikandangin
