MinGa Dudes "Kiss Day Event" Fanfic Project

Prompt Q.8:I Want to Kiss You, but It will Kill You

.

Just One Day

A fanfic by kikohana.

Main Casts: Jimin x Yoongi/Suga

Genre: Angst, Romance

Length: Oneshoot

Rated: M

.

ALL CASTS BELONG TO THEMSELVES, NO PROFIT TAKEN

DON'T LIKE DON'T READ!

.

Summary:Jika aku boleh memilih antara pergi darimu atau melihat maut menjemputmu, maka aku lebih memilih pergi. Tapi, bertahan hanya satu hari denganmu tidak akan menjadi masalah, bukan?

.

Happy Reading~

.

From: Our Hope

Targetmu selanjutnya adalah Park Jimin. Tempatnya berada di Gocheok Dome Arena, esok hari pukul 22.30 tepat setelah encore konser diadakan.

Kedua netra berwarna coklat kelam itu mengerjap tidak percaya terhadap pesan yang diterimanya. Rasa tidak percaya yang begitu besar mulai meningkat drastis. Dia sama sekali tidak memiliki persiapan apapun hingga mendapatkan target selanjutnya dari atasannya ini. Dengan secepat kilat, laki-laki yang mencintai warna hitam itu menekan kontak 'Our Hope'.

Begitu panggilan mereka tersambung, laki-laki pucat ini mulai berbicara dengan nada rendah nan dingin. "Apa Park Jimin yang kau maksud adalah Park Jimin yang aku kenal?" tanya laki-laki tersebut dengan nada penuh kehati-hatian.

"Jika aku sudah mengatakan hal sedetail itu di pesan singkat, bukankah seharusnya kau paham lebih cepat, Suga?" Suara atasannya itu membuatnya menahan nafasnya.

"Tapi, kenapa? Di antara seluruh orang kenapa harus Park Jimin?" tanya laki-laki ini sedikit gelisah.

Tawa menyeramkan dapat Suga dengarkan dengan sangat jelas dari line seberang, "Aku hanya menyingkirkan hal yang kubenci, lagipula bukankah kau mencari orang yang bertanggungjawab atas kecelakaan naas orangtuamu?"

Dahi Suga mengernyit mendengar kejadian masa silamnya disangkutpautkan. Dia membuka mulutnya dengan pelan, "Jangan mengalihkan topik dengan hal yang sudah aku ikhlaskan, Hope."

"Oh, tentu saja tidak. Aku hanya mengetahuinya ketika Seulgi memamerkan laki-laki brengsek itu tentang kelihaiannya ketika berkendara hingga menyebabkan kematian orang tuamu lima tahun lalu." Laki-laki dengan panggilan Hope itu berbicara dengan ringan.

Raut wajah Suga menggelap seketika. Bibir tipisnya itu mengatup rapat dan rahangnya juga ikut mengeras. Dugaan yang selama ini disimpannya dalam-dalam muncul begitu saja. Bahkan pihak kepolisian sudah menetapkan bahwa kecelakaan yang dialami orangtuanya adalah murni kecelakaan.

Dia bahkan sudah merelakan hal itu terjadi karena tidak akan ada gunanya untuk mengeluh. Hidup akan terus berlangsung dan orangtuanya tetap telah meninggalkan dunia ini. Tidak ada yang bisa Suga lakukan selain bertahan hidup dan menjalani pekerjaan dengan upah selangit demi menghidupi keberlangsungan hidupnya dan adiknya.

Tentu saja akan terjadi seperti itu di masa lalu. Bukankah uang menjadi pelicin untuk segala urusan yang ingin diselesaikan? Ya, dengan merenggut nyawa-nyawa melalui keahliannya. Demi kelancaran hidupnya. Bukan demi ketenangan hati dan jiwanya yang kini carut marut karena satu nama saja.

"Kau tidak bermaksud untuk memancingku dengan membuat trik kotor seperti ini bukan, Hope?" tanya Suga lagi tetap berusaha tenang.

"Percayalah terhadap apa yang ingin kau yakini, Min Yoongi. Apa kau akan menggigit tangan majikanmu sendiri? Lagipula misi ini tidak akan sulit karena kau selalu berada di dekatnya, bukan?" balas Hope tidak kalah sinisnya.

Nama lama Suga telah diucapkan jelas oleh atasannya. Itu berarti Hope memang benar-benar mengatakan hal yang sejujurnya. Suga memejamkan matanya dengan erat, mengendalikan emosi lamanya yang kembali menggeram kuat.

"Siapkan SVD Dragonov-ku di mansionmu, aku akan ke sana malam ini." Suga berkata dengan tenang.

"Aku tau kau tidak akan mengecewakanku, Suga."

Panggilan mereka terputus, meninggalkan Suga yang tengah berpikir sangat keras untuk hal selanjutnya yang akan dia hadapi. Waktunya hanya sehari untuk menyusun rencana dengan rapi.

Pandangan laki-laki berkulit terlampau pucat ini beralih pada buku planner-nya sebagai manajer seorang penyanyi. Tatapannya menjadi sedikit sendu namun ada emosi kuat di dalamnya begitu teringat rupa kedua orangtuanya. Kepalanya terasa berputar karena terjangan emosi yang saling tumpang tindih.

Haruskah dia membunuhnya?

"Yoongi Hyung, aku mencarimu sejak tadi!"

Kepalanya terangkat mendengar suara nyaring dari sosok yang berkeringat cukup banyak di depannya. Susah payah, dia mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlihat seperti Suga. Saat ini, dia adalah Min Yoongi.

"Maaf, aku menerima panggilan dari reporter tadi." Yoongi mengenakan kacamata perseginya lalu berjalan ke arah sosok tersebut, "Bagaimana bisa kau sangat lalai akan hubunganmu dengan Seulgi?"

Sosok laki-laki yang sedikit lebih tinggi dari Yoongi ini hanya menyeringai lebar, "Eii, aku tau kau bisa menutupi rumor itu 'kan, Hyung? Apa kau tidak kasihan padaku karena bekerja terus? Aku juga butuh romansa dalam kehidupanku, tidak sepertimu!"

Kata-kata yang sederhana tersebut sedikit menusuk ke dalam perasaan Yoongi. Dia berdecak kasar, "Cih, kau bisa tertawa sekarang. Apa yang akan kau lakukan jika hatersmu malah berdatangan saat konsermu esok hari?"

"Bukankah aku memilikimu, Hyung?" Laki-laki flamboyan ini tersenyum licik pada Yoongi, "Kau akan selalu melindungiku dari berbagai macam hal, bukan?"

Yoongi menatap datar laki-laki di hadapannya ini. Kata 'tidak' sudah berada di ujung lidahnya. Tentu saja dia akan menjawab hal demikian apalagi targetnya berada di depan matanya. Sayangnya, sepasang mata yang berbinar menatapnya ini membuat Yoongi harus menelan kata 'tidak' ke dalam tenggorokannya.

"Ya, Park Jimin."

.

.

.

Yoongi mengacak rambut hitamnya dengan kasar begitu tiba di basecamp milik Namjoon. Sniper kesayangannya sudah diambilnya sejam yang lalu. Kali ini waktunya untuk menyusun rencana agar misinya dapat berjalan lancar. Atau—

"Aku tahu kau tidak akan bisa melakukan misi itu, Hyung." Namjoon berkata, memutus pemikiran kalut Yoongi.

—tidak melakukannya sama sekali.

"Tapi dia yang membunuh kedua orangtuaku, aku harus melakukannya!" sentak Yoongi tidak terima.

Namjoon mengeluarkan helaan nafasnya, "Apa kau akan setega itu melakukan hal kejam pada orang yang kau sukai selama tiga tahun? Kau masih memiliki hati nurani, bukan?"

Sepasang netra laki-laki berkulit pucat itu menyipit, "Hati nurani? Aku sudah membuang hal tersebut ketika orangtuaku meninggal secara tidak adil."

"Kau mulai berbicara melantur, Hyung." Namjoon mulai membuka komputernya dan mengutak-atik kode untuk menghapus data-data di ponsel Yoongi, "Kau tau sendiri Hope adalah miliarder muda yang memiliki anger management yang sangat kacau, apa kau masih akan memercayainya?"

Yoongi sangat memahami itu. Sudah lima tahun dia bekerja dan menjadi tangan kanan Hope; tentu saja dia akan sangat paham. Berbagai macam cara akan Hope lakukan agar status sosialnya tidak terbanting ke peringkat dasar. Terutama masalah cinta, Hope akan bertingkah obsesif kompulsif terhadap kekasihnya.

"Apa Seulgi, penyanyi muda yang disebutkan Hope, benar-benar menjalin hubungan dengan Hope?" tanya Yoongi mengalihkan pembicaraan.

Namjoon menganggukkan kepalanya, "Hope dan Seulgi sudah berpacaran sejak lama namun Seulgi sudah mulai merasa bosan dengan Hope yang maniak pekerjaan dan urusan."

Ingin rasanya Yoongi mengeluarkan sumpah serapahnya pada Jimin yang sekarang tengah beristirahat di apartemennya. Yoongi sudah tidak habis pikir dengan kelakuan Jimin yang terlalu flamboyan dan menebar pesonanya pada siapapun.

"Kau sungguh-sungguh akan membunuhnya, Hyung?" tanya Namjoon lagi tetap menjaga aksen tenang dalam suara beratnya.

"Namjoon-ah..." Yoongi mulai membuka suaranya dan menatap nanar sniper case-nya, "Kau tahu siapa yang akan mati jika aku tidak akan menjalankan misinya, bukan?"

.

.

-o0o-MinGa Dudes-o0o-

.

.

Hari itu, persiapan untuk konser ketiga artis yang ditangani Yoongi begitu padat. Yoongi hampir-hampir kewalahan karena memastikan lighting, sound, tata panggung, hingga susunan kostum yang akan dikenakan oleh superstar ternama itu. Dengan tubuh kurusnya itu, Yoongi berlari ke sana kemari untuk memeriksa kesiapan hal-hal yang terkait dengan penampilan Jimin.

Tidak lupa dia menghubungi Namjoon sebagai staff tambahan. Sebagai keperluan lain, tentu saja.

"Hyung, berhentilah berlari bolak-balik seperti itu. Aku pusing melihatnya!" gerutu Jimin yang baru saja tuntas diberi make-up oleh coordy.

Yoongi mengerling ke arah Jimin yang sudah terlihat begitu tampan. Kemeja satin hitam dengan kerah victorian style dan vest dengan bordiran emas yang membalut tubuhnya tampak begitu menawan. Dia mengernyit membayangkan kemeja itu akan tertembus oleh salah satu pelurunya dan menyebabkan darah menodai kemeja hitam itu.

"Kau terpesona melihatku, Hyung? Kenapa kau hanya diam saja melihatku seperti itu? Aku akui selera stylemu memang bagus, tapi tidak perlu melihatku seperti orang yang tidak pernah makan selama berabad-abad, bukan?" goda Jimin sambil mendekatkan kedua wajah mereka.

Laki-laki pucat itu tidak bereaksi apapun pada godaan Jimin. Dia justru membersihkan sedikit titik-titik debu yang ada di kemeja Jimin dengan cuek. Pandangannya tertuju pada dada kiri Jimin yang akan menjadi targetnya nanti malam. Dengan sedikit tepukan kecil pada dada kiri Jimin, Yoongi mendengus penuh skeptis.

"Simpan kalimat-kalimat manismu itu pada orang lain, aku muak mendengarnya." Yoongi berkata dengan nada yang datar.

Jimin terkekeh geli, "Ah, kau benar-benar sulit untuk ditaklukkan, Hyung. Aku penasaran siapa yang mampu menaklukkanmu nanti dengan sikap sekeras batumu ini."

Yoongi menghela nafas beratnya. Benaknya sudah berteriak dan mengutuk Jimin yang begitu acuh terhadap keberadaan Yoongi selama ini namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Otaknya terus mengembalikannya ke sisi realita bahwa Jimin adalah pembunuh orangtuanya. Sengaja maupun tidak disengaja. Label pembunuh orangtuanya sudah melekat diri Jimin dalam otaknya.

"Yang jelas orang itu bukan dirimu, Park Jimin. Mungkin kau akan mati terlebih dahulu sebelum mengenalku lebih dalam." Yoongi berkata dengan tenang.

Jimin mengernyitkan dahinya, pertanda tidak nyaman dengan kata-kata yang Yoongi sampaikan. "Tapi bagaimana jika kenyataannya kau sudah jatuh ke dalam pesonaku jauh sebelum kau menyadarinya?"

Laki-laki pucat ini menyeringai penuh arti, "Sudah kubilang, kau tidak akan dalam keadaan bernyawa saat itu. Apa kau tidak paham arti dari perkataanku?"

Jimin menggelengkan kepalanya dengan pelan. Raut wajahnya masih terlihat serius, lain dari situasi-situasi manapun. Yoongi mengenal ekspresi wajah itu dengan baik karena sudah bersama dengan Jimin selama tiga tahun. Sisi tergelap hingga sisi paling terang milik Jimin sudah dikuasainya dengan baik. Yoongi hanya menyampaikan kode kecil agar Jimin dapat selamat darinya.

"Aku menyukai seseorang sepertimu adalah hal paling mustahil yang mungkin terjadi." Yoongi berbicara sambil menatap tajam Jimin.

'Jangan pernah memaafkan aku, Jimin.' Batin Yoongi berteriak begitu kencang hingga dirinya memutuskan berbalik badan untuk meninggalkan Jimin. Hingga detik ini, biarkan Yoongi menyerap dalam-dalam momen terakhir mereka sebagai dua insan yang terjebak dalam rumitnya kehidupan. Yoongi yang ingin membunuh Jimin dan Jimin yang telah merenggut nyawa orangtua Yoongi.

Suara gemerisik di ear piecenya mulai terdengar. Saluran koneksinya sudah tergantikan oleh saluran koneksi milik Namjoon yang juga ikut dalam misi mematikan ini. Yoongi mendekatkan microphone kecil pada ear piece -nya untuk memulai misinya.

"Kau sudah stand by?" tanya Yoongi sedikit berbisik.

"Ya, aku berada di posisi lift. Kau akan berada di posisi mana, Hyung?" tanya Namjoon balik.

Yoongi melirik ke atap panggung, "Aku akan berada di atas untuk pengeksekusian. Kau sudah menyiapkan hal-hal yang lain?"

"Penggunaan kata-katamu sangat tidak cocok dengan image yang selalu terlihat tanpa dosa, Hyung. Tentu saja aku sudah menyiapkannya, termasuk jika kau mengubah rencanamu." Namjoon berujar ringan.

"Tidak ada perubahan rencana, kenapa kau terus mendesakku?" gerutu Yoongi.

Suara tawa yang sumbang dari Namjoon membuat Yoongi merasa lebih gusar, "aku sudah mengenalmu jauh sebelum Hope mengenalmu, kau hanyalah macan betina yang akan tetap menurut pada pawangnya. Dalam kasus ini, Park Jimin, bukan?"

"Keparat kau, Kim Namjoon." Yoongi segera melepaskan ear piecenya dan berjalan dengan cepat menuju atap lighting.

Meskipun begitu, kalimat Namjoon terus terngiang-ngiang dalam otaknya. Macan betina yang akan menurut pada pawangnya. Park Jimin sebagai pawangnya? Ya, tepatnya pawang yang akan segera dia lahap sebagai menu utama.

Susunan acara konser berjalan cukup lancar. Sesuai dengan perkataannya, Yoongi mengawasi kelancaran acara dari atap panggung yang tertutupi oleh banyak layar dan tirai. Sniper Dragonov-nya sudah dipasang dengan rapi dan tertutupi oleh beberapa lampu sorot yang lain.

Mata kecil Yoongi terus mengikuti gerakan luwes Jimin yang melebur dengan lagu yang dibawakannya. Jimin benar-benar terlihat seperti bintang yang mendekati periode kematiannya. Sangat cemerlang dan bersinar. Teriakan dan eluan para fansnya juga menegaskan betapa agungnya pesona Jimin. Yoongi tau detik-detik ini terasa begitu lambat ketika Jimin menyanyikan lagu terakhirnya dengan sebuah gitar.

Sebuah lagu akustik ringan yang cocok untuk lagu pengantar kematiannya.

Tangan Yoongi sudah berada di posisi dekat pelatuknya. Salah satu matanya menyipit melalui teropong snipernya. Jimin tengah menyampaikan ucapan terima kasihnya ketika Yoongi menghitung mundur. Sayang seribu sayang, fokusnya terpecah lagi oleh ucapan Jimin yang tidak dia ekspektasi sama sekali.

"Untuk Yoongi Hyung, aku juga sangat berterima kasih padamu karena telah menjagaku selama tiga tahun ini. Aku tidak tau apa jadinya diriku tanpa adanya dirimu dan bantuanmu selama ini." Jimin berbicara dengan nada yang sangat lembut.

Yoongi menjauhkan matanya dari teropong snipernya. Nafasnya tercekat di tenggorokan.

"Aku sangat beruntung bisa bertemu denganmu, Yoongi Hyung. Aku rasa terima kasih tidak akan cukup untuk menggambarkan perasaanku padamu. Jadi, bagaimana jika kita makan malam berdua setelah konser ini? Ada banyak hal yang perlu kubicarakan," ujar Jimin lagi disambut dengan teriakan penuh kecemburuan dari fansnya.

"Kami hanya teman, yeorobundeul!" sambung Jimin dengan tawa nyaringnya.

Tangan Yoongi bergetar pelan dan dia mulai memejamkan matanya dengan erat. Dia memasang ear piecenya kembali agar dapat berhubungan dengan Namjoon. Kalimat-kalimat dari Jimin dia abaikan karena otaknya terasa penuh saat ini.

"Jadi, Hyung?" tanya Namjoon.

"Perubahan lokasi misi, di sini terlalu banyak menarik perhatian untuk menjadi lokasi terbunuhnya Park Jimin." Yoongi berkata sambil mengatur nafasnya, "Kau membawa van hitamku?"

Namjoon menghela nafas panjangnya, "Kau akan membunuhnya pelan-pelan, begitukah yang ingin kau sampaikan padaku?"

"Jangan bertanya balik dan jawab aku," desis Yoongi.

"Ya, aku membawanya. Apa lagi yang kau butuhkan, Hyung?" tanya Namjoon lagi.

"Aku pinjam LHR Combat-mu, Dragonov-ku tidak akan berguna untuk jarak dekat. Lalu pastikan pintu keluar nanti sepi dari staff panggung, buat semuanya terlihat seperti Jimin akan pulang ke apartemennya." Yoongi berujar dengan cepat.

Laki-laki pucat itu melepaskan ear piece-nya sebelum mendengar tanggapan dari Namjoon. Dia tau Namjoon tidak akan pernah menolak permintaannya. Saat ini mereka berpacu dengan waktu dan Hope, tidak boleh ada celah kecil yang terlewatkan.

.

.

Yoongi telah menyiapkan beberapa hal kebutuhan di ruang persiapan Jimin yang sudah sepi. Memang biasanya Jimin tidak ingin mengganti pakaian konsernya dan segera pulang dari venue konser, karena itulah para stafff lebih berkonsentrasi untuk merapikan panggung. Alasannya sederhana, Jimin masih ingin mencium aroma konser yang telah diadakannya beberapa kali. Jorok memang, tapi bagi penyanyi tersebut ingin merasakan euforia konser melalui pakaiannya.

Beberapa set makanan sudah Yoongi siapkan sesuai permintaan Jimin di panggung tadi. Berbaik hati sebelum membunuh targetnya menjadi fokusnya hari ini. Entah itu berbaik hati karena perasaannya atau karena hal yang lain.

"Hyung, Jimin sudah berjalan ke sana." Namjoon berbicara melalui ear piece-nya.

"Baik."

Laki-laki pucat itu bersiap-siap berdiri di depan pintu, bertindak seolah dirinya adalah kado untuk Jimin. Ugh, itu sangat menjijikkan. Untung saja Jimin tidak pernah meminta hal aneh-aneh seperti merias Yoongi dengan pita-pita yang menggemaskan. Jika pun penyanyi Busan itu meminta hal tersebut hari ini—terlepas dari fakta bahwa hari terakhirnya bernafas, Yoongi tidak akan melakukannya.

Cklek!

Penyanyi kelahiran Busan itu tampak sangat terkejut ketika melihat Yoongi telah berdiri di depan pintu—menyambutnya. Masih dengan kaos putih tanpa lengannya yang sudah basah oleh keringat, Jimin terperangah menatap Yoongi yang tersenyum lembut padanya.

"I-ini apa, Hyung?" Jimin masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Yoongi menggedikkan bahunya dengan acuh tak acuh, "Kau bilang di akhir konser bahwa kau ingin makan bersamaku, bukan? Atau aku yang salah dengar?"

Semburat merah alami yang tercipta di kedua pipi Jimin mulai terlihat. Yoongi selalu menyukai warna pipi Jimin yang tak perlu dipulas macam-macam oleh blush-on agar terlihat memerah. Kadang jika dirinya lupa diri, dia akan mencubit pipi Jimin karena begitu gemas.

"Ah benar juga," Jimin menggosok leher belakangnya sambil menunduk, "kita makan sekarang, Hyung? Sejujurnya aku juga sudah sangat lapar."

Jimin duduk terlebih dahulu di hadapan Yoongi. Dia melepaskan topinya untuk memperbaiki poninya yang akan jatuh di dahinya. Yoongi menghela nafas sejenak lalu mengambil handuk kecil yang dapat dijangkau oleh tangannya. Jimin masih terfokus untuk mengambil lauk yang ingin disantapnya sedangkan Yoongi sudah berjalan menuju belakang Jimin.

"Kau benar-benar menjijikkan, paling tidak keringkan rambutmu dulu sebelum makan," gerutu Yoongi sambil mengeringkan rambut Jimin.

Penyanyi dengan warna rambut karamel itu tertawa kecil, "aku sudah bilang kalau aku memilikimu kan, Hyung? Kau yang akan selalu memerhatikan dan menjagaku, kau tidak berpikir akan pergi dariku kan, Hyung?"

Yoongi terdiam sejenak lalu mendorong pelan kepala Jimin, "Memangnya kau mau selamanya menjadi penyanyi dan penari seperti saat ini? Kau tidak akan selamanya menjadi dua puluh empat tahun, Chim."

"Memang benar, tapi aku tidak berbicara bahwa aku akan selamanya seperti ini kan, Hyung? Apa kau sudah berencana untuk meninggalkanku?" tanya Jimin dengan tenang.

Laki-laki pucat ini bisa mendengar nada getir yang sudah dikenalinya selama tiga tahun lebih ini. Dia menyeringai tipis lalu meletakkan handuknya di meja kecil sebelahnya. Kemudian dia mendudukkan dirinya tepat berhadapan dengan penyanyi yang sudah merebut hatinya itu. Dahinya sedikit mengernyit ketika merasakan permukaan dingin sarung pisau pendek LHR Combat milik Namjoon menyentuh kulitnya.

'Jangan pernah memaafkan aku meskipun aku menyerahkan seluruh milikku padamu, Jimin.' Yoongi mengulang kalimat itu dalam benaknya. Tujuannya saat ini hanya satu.

"Kenapa kau begitu mempercayaiku sedangkan aku jelas-jelas begitu dingin padamu?" tanya Yoongi dengan lirih.

Jimin meletakkan sumpitnya lalu membalas tatapan sendu Yoongi, "Karena selama ini aku memiliki hutang penjelasan begitu banyak padamu, Hyung. Aku hanya belum sempat untuk menjelaskannya dan aku rasa ini waktu yang paling tepat."

Bulu kuduk Yoongi meremang mendengar nada suara Jimin yang begitu lirih namun tegas di waktu yang bersamaan. Jantungnya ikut bertalu-talu begitu keras, sedikit mengekspektasi apa yang akan Jimin katakan padanya. Sekuat tenaga dia menahan ekspresi wajahnya untuk tetap sekeras batu tapi tangannya tidak berbohong. Dia pun mulai sedikit waspada dengan menurunkan posisi pisau pendek yang telah dia siapkan. Khusus untuk Jimin.

"Sebenarnya aku sudah lama menyimpan ini dan aku bingung bagaimana cara menyampaikan ini padamu, Hyung. Aku juga tidak tau apa kau akan memaafkanku atau tidak atas perbuatanku sebelum mengenalmu menjadi manajerku," ujar Jimin.

"Memaafkanmu?" Yoongi mengulang perkataan Jimin dengan pelan.

Jimin mengangguk, "Mungkin kau tidak ingat ketika kau masih bekerja sebagai pianis di café sebelum bekerja sebagai manajerku, aku adalah pelanggan tetap café itu. Hyung yang menjadi inspirasiku untuk tetap berkarya ketika aku hampir menyerah menjadi penyanyi saat ini."

Tentu saja Yoongi tidak lupa bahwa dirinya pernah bekerja sebagai pianis bayaran di café, yang dia tidak tau hanyalah Jimin sebagai pelanggan tempatnya bekerja. Dia tetap berada dalam mode diamnya untuk menunggu perkataan Jimin selanjutnya. Ada sedikit sensasi hangat yang menyerang benaknya karena tidak pernah mengekspektasi bahwa Jimin telah mengenalnya jauh sebelum dirinya mengenal Jimin.

"Aku tidak tau perasaan apa yang aku rasakan saat ini tapi aku sangat senang dan bersyukur bisa bertemu denganmu," lirih Jimin.

Tatapan mata Yoongi melunak. Yoongi sama sekali tidak menjauh ketika Jimin mempersempit jarak mereka hingga nafas mereka saling beradu. Untuk saat ini saja, Yoongi mengikuti arus yang Jimin kendalikan. Hanya saat ini saja.

"I want to kiss you, but it will kill you." Jimin membisik tepat di bibir Yoongi.

"Just kiss me already, bastard." Yoongi membalas bisikan sensual Jimin dengan nada yang sama.

Yoongi pun berinisiatif untuk mengalungkan lengannya pada leher Jimin ke dalam sebuah ciuman yang dalam. Awalnya ciuman itu penuh dengan kecupan manja dari penyanyi bertubuh kekar itu namun lama kelamaan Jimin mendorong Yoongi secara perlahan. Ketika mereka melepaskan ciuman yang begitu memabukkan, Yoongi bisa melihat ekspresi penuh rasa bersalah dari Jimin.

"Ini tidak benar, Hyung. Jika kita seperti ini, aku benar-benar akan membunuhmu. Masih banyak hal yang perlu kujelaskan dan beberapa hal inilah yang menghalangi perasaanku padamu, Hyung." Jimin mengedarkan pandangannya pada kalung milik Yoongi yang sangat tidak asing.

Laki-laki putih pucat itu menghela nafas pelan. Ada gelegak emosi yang terkumpul di dasar perutnya; bersiap untuk meledakkan amarahnya pada pelaku. "Katakan saja sekarang, tidak perlu bertele-tele." Yoongi berbicara dengan kesal.

"Orang tuamu menyelamatkanku ketika aku hampir tertabrak dengan mengorbankan diri mereka."

Pernyataan lirih itu menampar wajah Yoongi seketika. Tubuhnya terasa kebas dan tidak dapat digerakkan oleh pengakuan Jimin yang begitu mendadak.

"Mesin mobilku tiba-tiba mati ketika di tengah jalan raya dan saat itulah mobil box melesat ke arahku. Aku tidak ingat bagaimana kejadiannya, aku hanya mendengar suara mobil yang datang berseberangan dari arahku dan—"

"—cukup! Berhenti! Aku tidak mau mendengarnya!" Yoongi berteriak sekuat tenaga.

Air matanya sudah meleleh membayangkan kedua orangtuanya mengorbankan diri mereka atas orang yang ada di hadapannya saat ini. Dia tau bahwa orangtuanya mengajarkan untuk bersikap baik pada seluruh orang tanpa terkecuali namun dirinya tidak menyadari bahwa itu juga berlaku dalam mengorbankan nyawa juga. Sedangkan apa yang tengah Yoongi lakukan saat ini adalah mempermainkan nyawa yang telah diselamatkan orangtuanya.

Realita pahit karena rasa benci yang membuat Yoongi harus menjalankan pekerjaan kotor ini. Segala 'andai-andai' yang dia angankan jika saja orangtuanya masih hidup. Semuanya berteriak dalam benaknya. Perintah Hope juga terus terngiang di telinganya saat ini hingga kepalanya terasa begitu berat. Misi tetap harus dijalankan bagaimanapun caranya. Jika dia mati sekarang, bagaimana dengan adiknya? Yoongi belum mau mati.

"Yoongi Hyung?" panggil Jimin terdengar begitu lemah.

Yoongi mengangkat kepalanya dengan tatapan mata kosong, "Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"

Jimin menarik kedua tangan Yoongi untuk digenggamnya namun sang pemilik tangan menepisnya dengan cepat. Yoongi berdiri dengan tatapan penuh amarah, "Kenapa bukan kau saja yang mati? Kenapa harus orangtuaku? Kenapa? Kenapa?"

Pikiran Yoongi menggelap seketika saat Jimin merengkuhnya ke dalam sebuah pelukan. "Maafkan aku, sungguh. Aku tidak pernah menyangka bahwa takdir kita akan serumit ini," Jimin membisik di telinga Yoongi dengan pelan.

Sayangnya, Yoongi tidak bisa mundur lagi.

"Aku tidak bisa memaafkanmu dan jangan pernah memaafkanku atas segala hal yang kulakukan, Jimin."

Belum sempat Jimin bereaksi atas perkataan manajernya ini, Yoongi sudah meluncurkan pisau pendeknya dari lengan jaketnya. Dalam sekejap mata, dia menghujamkan pisau pendek itu ke pinggang bagian belakang Jimin dengan kuat.

Tubuh yang memeluk Yoongi pun seketika menegang. Tidak ada teriakan melainkan sebuah tatapan dari Jimin yang memandangi Yoongi penuh putus asa. Nafas penyanyi Busan itu mulai tersengal dan dirinya terbatuk tanpa tenaga.

"Inikah ... yang kau ... inginkan ... Hyung?" tanya Jimin semakin melemah.

Yoongi sama sekali tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan dari Jimin yang terdengar begitu lemah. Sebagai mantan anggota khusus pasukan tentara angkatan darat, Yoongi tau letak titik vital tubuh manusia. Diam-diam dalam rasa pedih yang dirasakannya, dia menghitung detik-detik jam yang berdetak begitu keras seperti degup jantung Jimin.

"Jika ... ini bisa ... membuatmu ... memaafkanku ... aku akan ... menerimanya ... Hyung..."

Pembunuh bayaran dengan pekerjaan ganda ini memekik terkejut ketika kesadaran Jimin semakin hilang. Perasaannya terasa begitu sakit dan dirinya tidak bisa menghentikan bayangan orangtuanya yang murka padanya. Orangtuanya telah menyelamatkan Jimin dengan mengorbankan nyawa mereka dan Yoongi merenggutnya seketika. Manusia macam apa Yoongi sebenarnya? Pertanyaan tak terjawab itu terus menuntut di otak Yoongi.

"Hyung, apa yang kau lakukan? Cepat pergi dari sana karena orang lain sudah mulai muncul! Aku juga perlu membersihkan TKP!"

Suara berisik Namjoon kembali terdengar begitu Yoongi memasang ear piecenya kembali. Tangannya sedikit bergetar ketika melihat darah Jimin tercetak jelas di tangannya. Dia mulai kalang kabut dengan yang dirasakannya. Antara benci, marah, kecewa dan nestapa. Membunuh orang yang dia cintai adalah pilihannya yang paling terakhir. Perintah tetap perintah.

Kecuali satu hal.

"J-Jimin-ah, Jimin-ah? Kau dengar aku?" bisik Yoongi mulai merasa panik.

Erangan kesakitan menjadi balasan Jimin pada Yoongi. Dia pun terburu-buru menjawab panggilan Namjoon melalui ear piece, "Van hitammu sudah siap? Di sana ada perlengkapan obat yang cukup untukku, kan? Aku akan segera ke sana dan untuk kali ini, jangan ikuti aku, Namjoon-ah."

"Tunggu dulu, Hyung! Apa yang kau bicarakan? Kau mau kabur dengan Jimin? Apa kau lupa kalau dia adalah orang ternama? Kau hanya membahayakan dirimu sendiri, Hyung!"

Senyuman Yoongi mulai terbit dengan sendu, "Aku mengubah rencanaku, Namjoon-ah. Aku tidak bisa seperti ini, jika Hope benar-benar menemukanku maka aku akan menerimanya karena itulah konsekuensi dari pekerjaanku."

"Kau gila, Hyung? Yah! Hope bukan orang sembarangan, kenapa kau malah menantangnya? Kau ingin mati di tangannya, Hyung?"

"Jika itu memang takdirku, aku rasa aku memang harus menerimanya. Aku harus berhenti dari pekerjaan kotor ini sebelum aku membunuh orang-orang tak berdosa lagi, Jimin adalah batas akhirku ... Aku sudah tidak sanggup lebih dari ini, Namjoon-ah." Yoongi berbicara dengan pelan.

Tidak ada jawaban apapun dari Namjoon selama beberapa detik. Yoongi hendak mematikan koneksi mereka namun suara helaan nafas menangkap perhatiannya.

"Jadi, ini adalah perpisahan kita, Hyung?"

"Umm, aku rasa begitu."

"Baiklah jika itu benar-benar keinginanmu, larilah ke Pulau Yeosodo malam ini. Itu tempat persembunyianku dalam keadaan mendesak dan beberapa kebutuhan pokok sudah disediakan, termasuk uang. Aku harap itu bisa sedikit membantumu, Hyung."

"Terima kasih banyak, Namjoon-ah."

Jantung Yoongi semakin berpacu kencang ketika dia berusaha membopong Jimin yang sudah setengah sadar. Hatinya terus berdoa agar dia diberi kesempatan satu kali ini saja untuk menyelamatkan nyawa yang diselamatkan oleh kedua orangtuanya. Biarpun nyawanya sendiri harus menjadi taruhannya untuk menyelamatkan Jimin. Tidak apa, selama hal itu bisa membuatnya hidup lebih tenang.

"Jimin-ah … Tolong tetaplah sadar," pinta Yoongi mulai terdengar putus asa.

"Kenapa … kau tetap di sini … Hyung? Pergilah … dendammu … sudah terbalaskan … bukan?" lirih Jimin masih sambil terdengar lemah.

Air mata Yoongi mengalir pelan. Namun, itu tidak membuat Yoongi memperlambat langkahnya menuju van hitam yang sudah tidak jauh dari depan matanya. Yoongi mengangguk ke arah Namjoon yang terlihat mengawasinya dari jarak seratus meter. Dengan beberapa isyarat yang mereka ucapkan, Yoongi menangkap maksud Namjoon untuk menemui kenalannya di Yeoso-do sehingga rahasianya dapat terjaga.

"Aku akan membalaskan dendamku dengan cara yang lain. Aku tidak akan sanggup menemui orangtuaku jika aku telah membunuh orang yang telah mereka selamatkan," balas Yoongi ketika menidurkan Jimin di kursi penumpang.

Jimin mengerang kesakitan lagi; membuat Yoongi semakin merasa bersalah. Dia merobek bagian lengan jaket tipisnya dan membebatnya dengan kuat di pinggang Jimin. Sedikit berharap itu bisa membantu menghentikan pendarahan yang terjadi di sana.

"Maafkan aku, Jimin. Sekali ini saja biarkan aku egois sebelum aku benar-benar pergi," lirih Yoongi.

.

.

.

Setibanya mereka di Yoseo-do yang memakan waktu hampir empat puluh menit, seorang laki-laki kenalan Namjoon dengan perlengkapan dokter menyambut Yoongi dan Jimin di pelabuhan. Laki-laki bernama Seokjin segera masuk ke dalam mobil van untuk menjahit luka robek di pinggang Jimin.

"Suga-ssi, kau benar-benar tidak berniat untuk membunuhnya jika melihat letak tusukan pisau yang kau lakukan." Seokjin berkata sambil tetap menjahit luka Jimin.

"Namjoon tidak bercerita padamu tentang alasan kenapa aku melarikan diri dari Hope setelah melakukan hal ini?" tanya balik Yoongi masih setia memegangi lampu darurat untuk penerangan operasi kecil Jimin.

Seringai Seokjin terlihat samar-samar melalui penerangan lampu darurat itu, "Karena cinta? Karena rasa bersalah? Karena iba? Alasan-alasan seperti itu bisa dengan mudah ditebak oleh penggemar drama roman sepertiku, apa kalian berniat untuk menjadi aktor drama tragedi?"

Candaan dari dokter muda ini sama sekali tidak membuat Yoongi merasa baik. Dia hanya mengerutkan dahinya; merasa direndahkan. Seolah-olah alasannya tidak cukup kuat untuk menyelamatkan Jimin saat ini.

"Dia adalah orang yang diselamatkan orangtuaku dengan nyawa mereka sendiri dan ya, kau benar, aku tidak berniat membunuhnya karena aku memiliki perasaan khusus padanya." Yoongi menjawab dengan tenang.

Seokjin terkekeh pelan, "Perasaan dilema, ya? Hh, aku bisa membayangkan bagaimana posisimu dan itu pasti sangat menyebalkan."

Yoongi hanya bisa mengulas senyum, mengiyakan perkataan Seokjin dalam hati. Perasaan gelisahnya untuk beberapa saat tertutupi oleh perbincangan sederhana dengan Seokjin.

"Selesai!" Seokjin menyeru dengan senang seolah telah menyelesaikan pekerjaan rumah yang sepele.

"Apa dia akan baik-baik saja setelah ini, Seokjin-ssi?" tanya Yoongi lagi.

"Untuk saat ini, ya. Pertolongan pertamamu juga cukup membantu sehingga dia tidak kehilangan darah terlalu banyak, kau bisa menghubungiku jika butuh bantuan lagi." Seokjin melepas sarung tangan karetnya dan memasukkannya ke dalam kantong sampah yang sudah disediakan.

Nafas Yoongi mulai berhembus dengan normal. Dia memandangi Jimin yang tertidur pulas akibat obat bius yang digunakan Seokjin padanya. Laki-laki berbahu lebar itu mengulas senyum kecil sebelum kembali berbicara pada Yoongi.

"Aku harap kalian bisa hidup dengan tenang setelah ini," ujar Seokjin.

Yoongi mengangkat kepalanya, "Kami tidak akan hidup bersama, Seokjin-ssi. Aku hanya ingin menghabiskan waktu saja untuk menebus kesalahan yang telah kuperbuat hari ini padanya."

Selepas operasi kecil tersebut, Yoongi kembali melanjutkan perjalanannya dengan perlahan. Dia takut-takut membangunkan Jimin karena sesekali dia dapat mendengar gumaman tidak jelas dari Jimin. Seumur-umur Yoongi bekerja pada Jimin, dia tidak pernah mendapati Jimin tidur dengan tenang. Dia hampir selalu mendapati Jimin tertidur dalam keadaan yang separuh sadar sehingga dirinya tidak kesusahan untuk membangunkan penyanyi ternama ini.

Triing! Triing!

Fokus Yoongi teralih pada ponselnya yang berdering pelan. Dia segera mengambil ponselnya untuk memeriksa pesan yang masuk. Dia menghela nafas lelah begitu melihat pengirim dari pesan singkat tersebut.

From: Kim Namjoon

Hyung, aku sudah menutupi jejakmu dan Jimin untuk 3 hari dari manajemen artisnya dan Hope. Jadi, kau bisa melakukan apapun yang kau mau padanya. Maaf karena hanya bisa melakukan ini saja, Hyung.

Entah sudah berapa kali Yoongi berhutang budi pada Namjoon. Dalam hati kecilnya, Yoongi hanya mampu mendoakan kebaikan untuk Namjoon. Tidak lupa pula Yoongi menyebut Jimin dalam doanya agar dapat menebus dosanya hari ini.

.

.

-o0o-MinGa Dudes-o0o-

.

.

Kedua anak Adam ini tiba di sebuah rumah berbata merah yang sedikit tertutupi oleh sulur-sulur tumbuhan. Yoongi menoleh ke arah kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat mereka meskipun lingkungan di sekitar rumah kecil tersebut terlampau lengang. Dia sama sekali tidak ingin menurunkan kewaspadaannya mengingat Hope yang mungkin mengawasinya.

Yoongi terkesiap dan segera meraih ponselnya. Dengan cepat, dia mematahkan kartu ponselnya dan membanting ponselnya kuat-kuat. Hampir saja dia terlupakan bahwa ponselnya memungkinkan untuk dilacak. Dia juga ikut merogoh saku celana Jimin untuk memastikan barang yang mungkin akan membahayakan mereka. Sejenak kemudian, Yoongi menghela nafas lega karena tidak menemukan barang yang mencurigakan.

Setelah dirasa telah sepenuhnya aman, Yoongi kembali memapah Jimin dengan susah payah untuk masuk ke dalam rumah berbata merah itu. Tubuh Yoongi yang kecil terasa semakin payah karena perjalanan dari Seoul menuju Yoseo-do yang cukup jauh. Tapi, dia tidak memiliki pilihan lain untuk mempertahankan nyawa yang dilindungi oleh orangtuanya ini.

Laki-laki pucat ini akhirnya dapat bernafas dengan leluasa begitu selesai membaringkan Jimin di kamar utama. Matanya sedikit berkunang ketika akan kembali berdiri; sedikit menerka bahwa tekanan darahnya cukup rendah. Yoongi pun memutuskan untuk berbaring di dekat lengan Jimin.

Entah berapa lama laki-laki pucat ini tertidur dengan perasaan was-was di samping Jimin. Di tengah keheningan rumah yang terpencil ini, suara lirih Yoongi terdengar begitu menyedihkan. Racauan kata yang lolos dari bibir tipisnya lama kelamaan membangunkan Jimin yang telah habis efek obat biusnya.

"Ibu … maafkan aku…."

Jimin mengernyitkan dahinya menatap plafon yang sangat asing. Dia sedikit meringis ketika rasa sakit di punggung bawahnya kembali menjalar.

"Maaf … Ayah … Ibu … aku tidak akan mengulanginya…."

Suara itu membuat Jimin berjengit waspada. Otaknya memroses kejadian barusan dengan cepat; memerintahkan tubuhnya untuk segera bergerak bangun. Dia sedikit mengerang penuh siksa ketika memaksa tubuhnya untuk mengubah posisinya ke dalam posisi setengah berbaring. Sepasang matanya menangkap sosok yang dia kira telah berhasil membalaskan dendamnya.

"Y-Yoongi Hyung?"

Jimin membuka mulutnya dan secara refleks menyebutkan nama sosok yang masih tertidur di sampingnya. Sosok pucat itu terus bergerak gelisah dalam tidurnya.

"Jangan … Ayah … Jangan tinggalkan aku … Ibu…."

Nafas Jimin tercekat mendengar Yoongi memanggil orangtuanya dalam tidur. Ingatan beberapa jam yang lalu melintas dengan cepat di otaknya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar; tidak paham dengan situasi yang tengah di hadapinya. Bagaimana dirinya bisa di sini? Kenapa dirinya masih hidup? Apa yang Yoongi lakukan di sampingnya? Dan seluruh pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak bisa dia temukan jawabannya dalam sejenak.

"Ayah … Ibu! Aku bersalah! Tidak! Jangan pergi!"

Laki-laki yang lahir di Busan ini terkejut bukan main mendengar teriakan putus asa dari manajernya itu. Tanpa memedulikan apapun, dia segera mengguncang-guncang tubuh Yoongi dengan kuat.

"Hyung! Yoongi Hyung!" Panggilnya merasa bersalah.

"Ibu! Jangan!"

Suara serak itu semakin menyakiti Jimin yang jelas-jelas turut andil dalam kepergian orangtua Yoongi. Mengabaikan rasa sakit yang menderanya dengan hebat, Jimin keluar dari tempat tidurnya untuk memeluk Yoongi. Dia tau rasa sakit yang dirasakannya hanya akan berlangsung beberapa saat saja. Sama sekali tidak sebanding dengan luka batin yang dijalani Yoongi selama bertahun-tahun.

"Hyung, bangunlah. Bukan kau yang bersalah. Akulah yang membunuh mereka," bisik Jimin sambil mengelus pelan punggung Yoongi yang bergetar.

Perlahan-lahan, kesadaran Yoongi mulai kembali sempurna. Nafasnya terasa amat sesak sedangkan tubuhnya terasa hangat karena berada dalam rengkuhan tubuh padat Jimin. Kedua indra penglihatannya sedikit mengabur karena air mata yang menggenang. Dia melihat ke arah perutnya yang telah dilingkari oleh sepasang lengan yang sangat familiar.

Yoongi hampir memberontak dengan kuat karena teringat Jimin yang masih terluka akibat dirinya. Sayang, pergerakan tubuhnya ditahan oleh Jimin sendiri.

"Biarkan seperti ini dulu." Jimin memerintah dengan nada rendah, "Kau telah menahan lukamu cukup lama 'kan, Hyung? Jadi, lakukan apa yang kau mau padaku untuk melampiaskan rasa sakitmu itu."

Yoongi memejamkan matanya dengan kuat. Ya, rasa sakit yang Jimin katakan memang akan selalu dirasakannya. Tidak peduli hari berganti minggu atau minggu berganti bulan. Orangtua yang menjadi sumber kekuatan Yoongi meninggalkannya dan adiknya secara tidak adil. Dia mendongakkan kepalanya untuk menahan air mata yang terancam menetes di lengan Jimin.

"Bagaimana bisa aku melampiaskan rasa sakitku padamu jika orangtuaku sendiri memilih untuk mengorbankan nyawa demi dirimu, Jimin-ah?" lirih Yoongi tanpa menyembunyikan rasa kehilangannya.

Tubuh Jimin menjadi kaku seketika mendengar pengakuan dari Yoongi. Dia melepaskan pelukannya dari tubuh seseorang yang tadi melukainya ini. Kedua tangannya mencengkram bahu Yoongi cukup kuat hingga si empunya sedikit meringis.

"Aku pantas mendapatkan hukumannya karena telah membuat hidupmu dan adikmu menjadi lebih sengsara. Apa yang kau pikirkan dengan membiarkanku hidup, Hyung?!" bentak Jimin.

Jika boleh jujur, Jimin merasa berdosa karena hidup di atas penderitaan Yoongi untuk menghidupi adiknya. Dia masih ingat betapa Yoongi bekerja keras agar adiknya bersekolah dan kondisi keluarganya yang memprihatinkan. Jimin tahu. Amat sangat tahu tentang kehidupan Yoongi sebelum bekerja dengannya. Itulah yang menjadi alasan mengapa Jimin diam-diam meminta manajer baru yang kriterianya merujuk pada Yoongi.

"Itu karena selama aku mengenalmu, aku semakin jatuh ke dalam pesonamu, Park Jimin."

Perkataan Yoongi seolah-olah membuat Jimin kehilangan akal sehatnya sementara. Mulutnya setengah terbuka dan membuatnya terlihat amat sangat idiot.

Yoongi mendengus sinis, "Bahkan ketika kau melakukan permintaan perusahaan untuk membuat status palsu dengan Seulgi, aku tetap terpesona olehmu. Fakta bahwa aku menyembunyikan semua ini darimu sebenarnya membuatku sedikit tersiksa."

Jimin hanya masih bisa diam untuk memroses seluruh perkataan Yoongi. Laki-laki pucat itu mengatupkan bibirnya, membentuk senyuman tipis. "Kau berbicara seolah-olah kau benar-benar mengenalku, Jimin-ah. Sedangkan, kau tidak tau bahwa aku memiliki sisi gelap lain , bukan?" Yoongi berbicara dengan menatap Jimin tajam-tajam.

"Apa maksudmu?" ulang Jimin.

"Apa kau mengira aku berusaha untuk membunuhmu karena dendam terhadap kematian orangtuaku?" tanya balik Yoongi yang direspon anggukan kepala Jimin, "Kau terlalu memercayai sisi terang yang kuperlihatkan sehari-hari, Jimin-ah. Aku tidak sebaik yang kau kira."

Yoongi menyingkirkan kedua tangan Jimin yang berada di bahunya sambil tersenyum dingin, "Aku tidak bisa menghitung seberapa banyak nyawa yang sudah melayang di tanganku."

Lensa mata Jimin melebar dengan cepat. Ya, dia tidak tau fakta itu sama sekali. Yang Jimin tahu hanyalah Yoongi seorang pegawai café di manajemennya dengan seorang adik laki-laki yang masih berkuliah. Sisi hitam itu nyaris tidak tersentuh olehnya sama sekali. Entah terlewatkan atau disembunyikan. Jimin tahu bahwa Yoongi berada dalam pasukan khusus angkatan darat karena itu pengetahuan Yoongi mengenai bela diri sangat mumpuni.

"Dan kau adalah salah satu target yang seharusnya mati di tanganku hari ini." Yoongi mengalihkan pandangannya, "meski dengan berbagai macam motif aku bisa menghilangkan nyawamu, aku tetap tidak bisa melakukannya."

Lagi. Jimin hanya mampu diam seribu kata. Dia tidak mampu merangkai kata untuk merespon perkataan Yoongi yang begitu berefek pada dirinya.

"Biarpun aku selalu tersakiti karena kau menjalankan hubungan palsu dengan Seulgi, aku tetap saja melihatmu. Bahkan ketika aku tau bahwa kau selamat karena pengorbanan orangtuaku ..." Yoongi merasa nafasnya mulai tercekik, "…pada akhirnya aku kembali menyelamatkanmu meski aku sudah hampir menghilangkan nyawamu. Aku…tidak tau kenapa aku harus melakukan ini semua sedangkan kau tidak mungkin melihatku."

"Siapa yang berkata seperti itu?" Jimin mulai menggunakan intonasi tajam dalam kata-katanya.

Yoongi memberanikan diri untuk menatap laki-laki Busan ini, "aku yang mengatakan itu. Hubungan palsumu dengan Seulgi terlihat begitu nyata. Kau terlihat sangat menikmatinya sampai kau tidak menyadari bahwa hubunganmu dengan Seulgi yang membawamu ke dalam bahaya."

Jimin mendengus pelan lalu mendorong tubuh Yoongi hingga terbaring sepenuhnya di tempat tidur dengan kuat. Tatapan mata Jimin yang sangat tajam juga cengkraman tangannya di kedua bahu Yoongi, membuatnya tak dapat berkutik. Yoongi menahan nafasnya seketika ketika Jimin mempersempit jarak kedua wajah mereka.

"Aku rasa aku sudah mengatakan dengan jelas sebelum kau melakukan percobaan pembunuhan terhadapku, Hyung." Jimin masih mempertahankan tatapan tajamnya, "Aku belum bisa menentukan perasaan apa yang kurasakan selama bersama denganmu karena berbagai motif yang menghalangiku. Tapi, aku rasa aku sudah menemukan jawabannya mendengar penjelasanmu tadi."

Yoongi menggelengkan kepalanya takut-takut, "Jangan lakukan apapun…waktu kita tidak banyak. Aku hanya akan merawatmu hingga besok dan kau bisa melanjutkan kehidupanmu. Begitu juga dengan diriku."

Bibir tebal Jimin tersungging membentuk senyuman sendu, "karena batasan waktu itulah aku harus menyelesaikan apa yang kumulai sebelum aku menyesalinya."

Kedua belah bibir mereka bertemu dengan Jimin yang menyambar terlebih dahulu. Ciuman itu sangat kasar dan berantakan, seperti ciuman seorang pemula. Yoongi terlalu terkejut hingga tidak dapat menutup kedua matanya dan mengamati wajah Jimin yang sama sekali tidak berjarak dengan wajahnya. Seutas saliva menjuntai di antara kedua bibir ketika Jimin melepas ciuman mereka.

"Pernyataan 'I want to kiss you, but it will kill you' sudah tidak cocok lagi denganku. Aku tetap akan melakukannya dan akan kubuat kau merasa lebih hidup, seolah nyawamu hanya bergantung pada hari ini," bisik Jimin di telinga Yoongi.

"Jangan—"

"Tidak!" geram Jimin, "Aku tidak menerima penolakanmu. Kau harus tau bahwa aku tidak menginginkan besok adalah hari terakhir untuk kita. Kau harus tetap bersamaku!"

Air mata Yoongi mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia pun menginginkan demikian tapi jika begini terus mereka berdua tidak akan tertolong. Yoongi tahu, Hope akan segera tahu apa yang dilakukannya dan tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bagi Hope, Jimin harus mati di tangan Yoongi atau paling tidak Hope sendiri. Sedangkan untuk Yoongi sendiri, Jimin harus hidup agar Yoongi dapat meneruskan pengorbanan orangtuanya.

"Kau harus bertanggungjawab karena membuatku mencintaimu tanpa aku sadari. Tidakkah kau egois jika meninggalkanku sendiri?"

Yoongi menggigit bibir bawahnya, "Tapi, selama kau hidup denganku mereka akan mengincarmu. Apa kau mengira aku sanggup melakukannya?"

"Aku tidak peduli." Jimin mengulas senyuman sendu lagi, "Biarkan saja mereka. Aku hanya ingin egois untuk bersamamu lebih lama."

Bulu roma Yoongi meremang seketika ketika Jimin mendorong tengkuknya untuk mempertemukan kembali kedua bibir mereka. Yoongi sama sekali tidak bisa menahan tangisannya lagi. Dia tersiksa bukan main karena ciuman mereka yang begitu putus asa. Bahkan dentang bunyi jam tua yang menggema di rumah itu tidak menghentikan Jimin untuk terus mencecapi Yoongi.

Kedua tubuh yang masih dibalut pakaian itu semakin menempel. Tangan Jimin juga terus mengelus punggung Yoongi untuk mengikuti iramanya. Desahan-desahan pun tak terelakkan lagi di antara pagutan mereka. Hingga Jimin merasa balutan kain yang menempel pada mereka tidak dibutuhkan lagi, Jimin semakin memburu ekstasi yang ada pada Yoongi.

Jimin tahu bahwa ini merupakan pengalaman pertama untuk keduanya. Semuanya dapat dirasakan dengan jelas ketika Yoongi bergerak secara gelisah dan penuh damba dalam setiap friksi yang Jimin berikan. Biarpun Jimin hanya melakukannya secara insting liarnya, euforia yang menakjubkan itu melingkupi keduanya.

Bahkan ketika Yoongi menjerit kesakitan hingga ke tahap mencangkar punggung berkeringat Jimin, dirinya tidak keberatan sama sekali. Kecupan-kecupan ringan Jimin berikan untuk menunjukkan betapa dirinya memuja Yoongi. Sembari membisikkan kalimat-kalimat manis untuk mengalihkan fokus Yoongi dari rasa sakit yang tak terelakkan, Jimin terus melakukannya dengan perlahan. Bagi Jimin saat ini, Yoongi adalah ratunya yang perlu disadarkan betapa Jimin sangat memujanya.

"Jimin…."

Suara erangan rendah nan lembut itu membuat Jimin tersenyum dalam gerakan beruntun, "tunggu sebentar, Yoongi."

Dia tahu ledakan mereka akan tiba sebentar lagi. Karena itu, Yoongi semakin mengeratkan dirinya pada Jimin. Bergerak bersama dengan desahan yang saling bersahutan.

Ledakan itu terjadi di momen berikutnya. Kepala Yoongi terasa berputar karena ekstasi yang berlebihan terlepas perutnya yang terasa penuh. Jimin membenamkan wajahnya di ceruk leher Yoongi sambil sesekali bergerak acak dan mengelus tubuh Yoongi yang dibalut keringat.

"Sekarang apa kau tahu betapa aku sangat mencintaimu, Yoongi?" bisik Jimin.

Kedua pipi gemuk dan pucat itu bersemu amat merah. Si empunya menggigit bibirnya sendiri merasa gugup bukan main ketika Jimin hanya memanggil namanya. Dengan ragu, dia menganggukkan kepalanya. Untuk sejenak, dia berharap bahwa Tuhan akan berbaik hati pada mereka agar tetap bersama. Meski hati kecilnya terasa menyusut karena rasa takut yang masih ada terhadap Hope.

Menyadari kernyitan tercipta di kening yang berpeluh keringat itu, Jimin menekan kening Yoongi dengan ibu jarinya. "Berhentilah berpikiran hal yang belum terjadi, apapun yang terjadi nanti kita akan hadapi bersama. Aku yakin Tuhan akan menggariskan hal yang terbaik untuk kita."

Dua baris kalimat itu pula yang mengantarkan kedua anak Adam ini ke dalam euforia tak berbatas kembali. Hingga pagi menjelang, entah berapa kali ledakan ekstasi itu mengalun dalam rumah terpencil itu. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana menghabiskan euforia dua anak yang saling mencinta dalam waktu terbatas untuk saat ini.

.

.

-o0o-MinGa Dudes-o0o-

.

.

Yoongi terbangun oleh rasa sakit yang tercipta ketika dia menggeser tubuhnya. Sayangnya, pergerakannya terhenti ketika merasakan sebuah lengan memeluknya dengan posesif. Dia mendongak dan mendapati Jimin yang masih tertidur pulas—hingga mendengkur cukup keras. Ingatan kejadian semalam membuat pipinya kembali memerah pekat. Namun, hal itu tidak berlangsung lama ketika dirinya teringat akan janjinya di penghujung hari ini.

Ya, dia harus pergi. Tidak peduli apa yang Jimin katakan semalam, dia harus tetap pergi. Dengan begitu, dia tidak harus melihat kematian Jimin yang mungkin akan terjadi di depan matanya. Yoongi tidak akan bisa membayangkan hal itu terjadi dan bagaimana caranya dia bertahan.

Dengan sedikit tertatih, Yoongi melepas lengan Jimin dari perutnya. Dia dapat mendengar gumaman yang tidak jelas dari bibir tebal Jimin. Namun, dia mengabaikannya dan berlanjut dengan mengenakan pakaiannya yang teronggok di dekat tempat tidur. Setelahnya, dia menyelimuti kembali Jimin hingga ke bahunya, berharap agar laki-laki bertubuh atletis itu tidak kedinginan.

"Kau mau ke mana, Hyung?"

Yoongi terkesiap mendengar suara rendah Jimin yang cukup serak. Morning voice yang terdengar begitu seksi di telinga Yoongi.

"Aku lapar, kau tidak ingin makan?" tanya Yoongi balik.

Laki-laki Busan itu segera terbangun dan mengerjapkan matanya berkali-kali, "Memangnya tempat ini menyediakan bahan masakan?"

"Tempat ini milik temanku jadi dia setidaknya mempunyai beberapa cadangan makanan," ujar Yoongi dengan santai.

"Kau yang akan memasak?" Tanya Jimin lagi.

Yoongi memutar kedua bola matanya, "Memangnya siapa lagi yang akan memasak? Apa kau lupa kalau aku selalu memasakkan makananmu?"

"Memangnya kau tidak kesakitan?" Jimin tersenyum nakal sambil menyipitkan kedua matanya, "Aku tidak yakin kau bisa berjalan dengan baik setelah semalam."

Ya ampun, Yoongi benar-benar malu mengingat kejadian panas semalam. Tapi, jika dia kabur sekarang, bukankah itu menunjukkan bahwa dirinya kalah telak oleh godaan Jimin? Jadi, dia berbalik dan menatap Jimin dengan datar. Abaikan saja pipinya yang sebenarnya sudah semerah tomat.

"Aku tidak selemah itu. Justru aku yang ingin bertanya demikian karena lukamu belum sepenuhnya kering, tidakkah kau merasa kesakitan saat ini?" balas Yoongi.

"Wah, apa saat ini kau meremehkan kekuatanku?" Tawa nyaring Jimin lolos begitu saja, "Aku bisa membuktikan bahwa aku baik-baik saja!"

Jimin berusaha duduk menyandar di tempat tidur. Sayangnya, dia justru memekik keras ketika rasa sakit menjalar dari lukanya. Yoongi pun tergopoh-gopoh mendatangi Jimin kembali.

"Yah! Apa kau bodoh? Ini salahmu karena memaksan diri semalam! Sekarang kau tetap di sini karena jika tidak aku tidak akan memasak bagianmu!" bentak Yoongi sambil merapikan selimut Jimin.

Laki-laki dengan karir penyanyi dan penari itu tersenyum lebar mendengar celotehan Yoongi tiada henti. Bahkan ketika Yoongi melemparkan baju padanya untuk segera dikenakan, Jimin tetap tersenyum. Belum lagi ketika Yoongi melangkah keluar kamar sambil menggerutu karena langkah yang dibuatnya sangat lucu. Jimin jadi ingin mengigitnya sekarang juga.

Tidak butuh waktu yang lama bagi Yoongi memasak ramyun untuk mereka berdua. Dia sudah hafal dengan takaran yang diperlukan dan juga porsi makanan Jimin. Tiga tahun menjadi manajer Jimin membuatnya hafal dengan kebiasaan laki-laki itu. Dia pun membawakan makanan tersebut ke kamar mengingat Jimin harus tetap berada di kamar agar lebih cepat pulih.

Ketika Yoongi masuk, dia mendapati Jimin telah menggunakan pakaian lengkap. Dirinya tengah membaca buku sehingga Yoongi menempatkan meja makan kecil di tempat tidur. Tepat di hadapan Jimin.

"Berhenti membaca sebentar, makanlah dulu." Yoongi berbicara dengan tenang.

"Kita makan di sini?" tanya Jimin sambil menutup buku bacaannya.

Yoongi menggedikkan bahunya, "Mau bagaimana lagi? Kondisimu tidak memungkinkan karena perbuatanku dan juga kau begitu keras kepala melakukan hal yang tidak-tidak semalam."

Kekehan geli Jimin mengundang Yoongi untuk menatapnya langsung. Kedua mata Jimin seolah menghilang ketika Yoongi menatapnya. Sungguh daya tarik yang mampu membuat jutaan orang bertekuk lutut seketika pada Jimin.

Di antara lamunan Yoongi tentang Jimin, sebuah kecupan dicuri oleh objek lamunannya. Yoongi terkejut setengah mati hingga hanya mampu menatap Jimin dengan polos.

"Terima kasih sudah merawatku. Tapi, rasa sakitku ini tidak sebanding dengan apa yang kau alami selama ini, bukan?" ujar Jimin dengan senyuman tipisnya.

"Tidak usah membahas itu lagi. Aku yakin orang tuaku akan memahami kenapa aku melakukan ini. Sekarang makanlah dan kembalilah beristirahat, aku akan pergi saat sore tiba." Yoongi membalas dengan nada datar.

Kedua sumpit Jimin berhenti tepat di depan mulut Jimin. Dia meletakkan kedua sumpitnya lalu menghela nafas lelah, "Kau masih ingin pergi, Hyung? Setelah semua hal yang terjadi, kau akan tetap pergi? Kenapa kau sangat bersikeras melakukannya, Hyung? Bukankah ini dapat kita selesaikan bersama-sama?"

Bibir Yoongi bergetar pelan. Dia harus mengatakannya sekarang. "Aku tidak bisa melihat dirimu mati di tanganku. Akan lebih baik jika aku tidak tahu kau mati atau tidak," lirih Yoongi.

"Apa hanya itu yang ada di pikiranmu, Hyung? Kau akan pergi meninggalkan aku yang terancam mati, begitu?" sahut Jimin dengan tajam.

"Kau kira apa lagi, Jimin?!" Yoongi mulai menarik rambutnya, merasa frustasi. "Kita harus tetap hidup bagaimanapun caranya dan selama kita masih berhubungan maka kita berdua juga akan mati!"

Hati Jimin terasa ditusuk oleh sembilu tidak kasat mata. Bahkan raut wajah yang putus asa milik Yoongi juga membuatnya semakin tersiksa. Detik berikutnya, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Nafsu makannya telah hilang; berganti dengan keinginan yang lain.

"Kalau kau berbicara seperti ini, berjanjilah untuk tetap hidup, Hyung." Jimin berbicara dengan nada letih.

Yoongi menatap Jimin dengan nyalang. Dia tidak dapat memahami arti dari raut wajah Jimin saat ini. Yang dia harapkan memang Jimin dapat bertahan hidup begitu mereka berpisah nanti. Jika pun Jimin tidak bisa, maka Yoongi tidak ingin berada di sana untuk melihatnya.

"Hyung, jawab aku." Jimin kembali berbicara namun dengan nada yang lebih tegas.

Yoongi mengerjapkan matanya berkali-kali, "A-Aku—"

"Aku mohon berjanjilah untuk tetap hidup bagaimanapun keadaanku. Kaulah yang bersikeras agar kita berpisah maka aku juga bersikeras agar kau tetap hidup," perintah Jimin mutlak.

Laki-laki pucat itu menghembuskan nafasnya merasa letih berlipat-lipat kali. "Aku berjanji."

Senyuman lebar dari Jimin terbentuk seketika mendengar perkataan Yoongi, "bagus, kalau begitu sekarang suapi aku."

Yoongi terhenyak dengan permintaan Jimin yang sangat kontras dengan kalimat melankolis Jimin tadi. Dia menyipitkan matanya berusaha menelisik lebih jauh mengapa Jimin bertindak begitu berkebalikan. Namun, di antara pikiran-pikirannya yang tengah berkecamuk, Jimin mencuri kesempatan itu untuk menyentil dahi Yoongi dengan kuat.

"Yah!" Yoongi menyentak kuat lalu segera memegang keningnya yang memerah. "Kenapa kau melakukan itu padaku?"

"Kalau begitu berhentilah melamuni diriku, Hyung. Aku ada di depanmu sekarang," goda Jimin. "Lagipula aku terlalu sakit untuk makan sendiri, bagaimana kalau kita makan bersama saja?"

Pipi pucat Yoongi kembali bersemu merah. Awalnya dia hendak membantah namun setelah dipikir beberapa kali, Yoongi luluh juga. Tanpa basa-basi, dia pun mulai menyuapi Jimin yang tersenyum amat senang.

Sekitar hampir setengah jam, waktu yang mereka habiskan untuk makan bersama. Rasanya sedikit aneh bagi Yoongi karena makan dengan satu peralatan makan yang sama dengan Jimin. Sesekali dia mengalihkan pandanganya agar tidak bertatapan dengan Jimin langsung. Bahkan setelah menyelesaikan makannya, Jimin meminta Yoongi untuk meletakkan peralatan makan itu saja tanpa mencucinya.

"Itu jorok, Jimin." Yoongi menggerutu mendengar perintah awal Jimin.

"Mana yang lebih penting sekarang? Mangkuk itu atau waktu yang tersisa bersamaku?"

Yoongi memutar kedua bola matanya, "kau sangat kekanakan. Mana bisa membandingkan dua hal yang sama sekali tidak sebanding?"

Jimin menggedikkan bahunya dengan cuek, "Kalau begitu, aku akan tetap tinggal bersamamu jika kau tidak ingin memilih."

"Jimin…." Yoongi menggumam lelah.

"Jawab saja, Hyung." Jimin mengulas senyumnya, "Ini tidak akan susah, kita akan berpisah sore ini, bukan? Apa kau benar-benar tidak ingin membuat kenangan kita tersendiri?"

Yoongi menyerah kemudian. Jimin tersenyum begitu puas ketika melihat Yoongi meletakkan meja kecil mereka di pojok ruangan. Dia membuka selimut yang dia gunakan untuk menutupi kakinya lalu memiringkan kepalanya; menyuruh Yoongi untuk bergabung dengannya. Laki-laki pucat itu hanya bisa mematuhi keinginan Jimin meskipun dalam hatinya seolah terjadi perang besar.

Ketika tubuh mereka saling menempel—tentu saja masih dengan pakaian mereka—semuanya terasa lebih benar. Jimin merangkul Yoongi dengan posesif sedangkan Yoongi mampu mendengarkan degupan jantung Jimin yang sangat kuat. Jika saja dirinya bisa menghentikan waktu, mungkin Yoongi lebih memilih saat ini.

"Hyung, ketika kita berpisah nanti aku harap kau bisa menemukan kebahagiaanmu." Jimin memulai monolognya pada Yoongi.

Saat itu, Yoongi tahu bahwa dia tidak akan berbicara apapun hingga Jimin menyelesaikan seluruh kata-katanya. Yoongi sangat memahami pribadi Jimin luar dan dalam. Saat-saat seperti ini merupakan saat-saa di mana Jimin dalam sisi seriusnya. Bukan sisi kekanakannya.

"Sebenarnya aku juga berharap agar bisa menemukan kebahagiaanku tanpamu. Tapi jujur saja, aku tidak begitu percaya diri." Jimin terkekeh sejenak menjeda perkataannya. "Maksudku, tiga tahun selama bersamamu benar-benar kurang bagiku karena waktuku terbuang percuma hanya untuk mengamatimu saja. Kita bahkan baru bisa sangat dekat sejak kemarin malam hingga hari ini, bukan?"

Yoongi mengangguk, merespon pertanyaan Jimin. Dia tersenyum sedih karena mengiyakan seluruh perkataan Jimin dalam benaknya. Dia juga tidak percaya diri akan menemukan kebahagiaannya.

"Kehidupan kita sangat berbeda. Aku memintamu untuk tinggal tapi keberadaanmu akan membunuhku. Aku tidak tau harus bagaimana tapi sungguh…ini membuatku terlihat sangat lemah." Jimin tertawa pelan, "Aku menghargai keputusanmu untuk pergi. Semoga kau selalu berbahagia selama kita tidak bersama."

Laki-laki Busan itu menundukkan kepalanya dan mengecup dalam-dalam puncak kepala Yoongi dengan lembut. Hati Yoongi terasa nyeri bukan main karena nikmat yang menyiksakan ini. Bagaimana bisa dia melepaskan Jimin jika seperti ini?

Momen berikutnya, kedua laki-laki itu menikmati keheningan dalam ruangan kecil itu. Yoongi merekam seluruh kontur serta aroma tubuh Jimin dalam memorinya agar tidak dapat dia lupakan di kemudian hari. Keduanya menghabiskan waktu yang tersisa dengan tertidur dalam pelukan masing-masing. Memimpikan hal yang tidak akan mungkin terjadi dalam kehidupan nyata mereka.

.

.

.

Brakk! Prang!

Yoongi terbangun seketika mendengar suara bantingan di dekat mereka. Jimin pun ikut terjaga dan memasang tatapan penuh kebingungan. Dengan langkah terburu, Yoongi meraih pisau pendek yang diletakkannya di meja dan merapatkan diri ke pintu masuk kamar mereka. Jimin yang masih belum sadar dengan apa yang terjadi, hanya bisa memandangi Yoongi.

"A-Apa tadi?" tanya Jimin merasa gelisah.

"KELUAR KAU, SUGA! KAU MELANGGAR JANJIMU! APA KAU INGIN MEMBUNUH ADIKMU?!"

Mata Yoongi melebar cepat. Tangannya terasa lemas dan seketika pisaunya terjatuh ke lantai mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Adiknya juga ikut terancam atas keegoisannya. Raut wajahnya semakin pucat dan hampir saja dirinya terjatuh jika saja Jimin tidak memegangi lengannya.

"Adikku…Adikku dalam bahaya…." gumam Yoongi.

"Apakah itu orang yang menyuruhmu untuk membunuhku?" tanya Jimin lagi berusaha terlihat tenang.

Yoongi menyentakkan lengan Jimin seketika, "Aku harus bertemu dengan Hope. Pergilah, Jimin. Ini bukan urusanmu. Akulah yang gagal membunuhmu."

"Tidak, aku tidak akan—"

Doorr! Doorr!

"Yoongi Hyung, jangan keluar! Jangan pedulikan aku!"

Suara adik Yoongi membuat laki-laki pucat itu terkesiap bukan main. Belum lagi suara letusan pistol yang benar-benar memekakkan telinganya. Bibirnya bergetar pelan namun dia tetap berusaha untuk fokus. Hingga matanya menangkan objek yang mungkin bisa membantu mereka.

"Jimin-ah…." Yoongi segera mencengkram lengan Jimin. "Kau lihat telepon di dekat nakas itu?"

Jimin seketika mengikuti arah pandangan Yoongi. Sebuah telepon kabel yang menurut Yoongi bisa menyelamatkan mereka saat ini. Meskipun kemungkinannya sangat tipis.

"Aku akan keluar untuk mengalihkan perhatian Hope, kau hubungi polisi segera. Kita tidak ada waktu lagi dan kau berhak melaporkan situasi yang sebenarnya pada manajemen agar segera mendapatkan penanganan darurat," ujar Yoongi berusaha untuk tidak tergesa-gesa.

"Lalu kau mati di tangan Hope, begitu? Kau gila, Hyung! Aku tidak akan melakukan hal selemah itu. Jadi, biarkan aku yang berhadapan dengannya. Bukankah dia ingin membunuhku?" desis Jimin.

Secepat kilat, Yoongi menampar Jimin sekuat tenaga. "Bangunlah, Jimin. Kau bukan lawannya."

Raut wajah Yoongi berubah seketika menjadi raut wajah yang amat sendu, meninggalkan Jimin yang terkejut bukan main. Dia berdiri dari tempatnya dan mengambil kembali pisaunya yang sempat terjatuh. Sebuah senyuman tipis tersirat di wajah Yoongi.

"Aku akan bertahan hidup sesuai janjiku. Jadi, aku mohon Jimin…" Yoongi menggigit bibirnya untuk menahan isakannya, "…selamatkan adikku terlebih dahulu."

Yoongi membuka pintu kamar mereka tanpa sanggup melihat wajah Jimin yang sudah menahan amarah. Dia mengira Jimin akan memberontak dari dalam dan akan mendobrak masuk. Namun, kenyataannya hanya keheningan.

Dia pun berjalan ke ruangan tengah di mana Hope berada dengan adiknya—Jihoon. Hope tengah menatapnya dengan bengis dan salah satu tangannya digunakan untuk menyandera Jihoon.

"Sudah kuduga kau akan memilih sisi melankolismu daripada diriku. Apa kau lupa selama ini siapa yang memberimu makan? Beginikah cara anjing menggigit majikannya?" ejek Hope.

"Aku bukan anjing, Hope. Aku masih seorang manusia dan juga apa kau akan tega membunuh orang yang kau cintai?" balas Yoongi dengan datar.

Hope tertawa kencang, "Cih, kau mau mengguruiku sekarang? Aku rasa percuma saja aku memberimu panggilan Suga agar menjadi pengikut yang manis dan selalu menurut padaku."

"Itu karena kau membohongiku," lanjut Yoongi. "Jimin tidak pernah membunuh orangtuaku tapi orang tuaku lah yang mengorbankan diri mereka agar dia tetap hidup!"

Suara tangisan Jihoon semakin menjadi-jadi mendengar perkataan Yoongi. Hope menggeram keras dan semakin mengeratkan cekikannya pada Jihoon. Dia semakin mendekatkan ujung pistolnya ke pelipis Jihoon yang sudah dibasahi keringat.

"Memangnya aku peduli? Selama dia mati aku akan tenang karena dia menghalangiku untuk berhubungan langsung dengan Seulgi!" Hope menyeringai sambil menarik pelatuk pistolnya.

Yoongi berusaha untuk tetap tenang dan mengulur waktu. Entah berapa lama mereka hanya berdiri berhadapan untuk saling menggertak. Jika saja dia bisa, Yoongi akan melemparkan pisau itu tepat ke jantung Hope. Tapi, adiknya juga ada di sana sehingga menyulitkannya untuk menentukan target.

"Hope, sekarang pikirkan apa keuntunganmu datang ke tempat ini. Seharusnya kau membunuhku sejak awal jika sudah menduga diriku akan membelot," lanjut Yoongi.

Hope menatap tajam Yoongi tanpa sekalipun melepaskan cekikannya pada Jihoon. Menurut dugaan Yoongi saat ini, Hope mulai mempertimbangkan penawarannya.

"Membunuh adikku tidak akan ada untungnya. Bukankah kau kesal terhadapku? Ayo bunuh aku sekarang," Yoongi mengangkat kedua tangannya ke atas.

Seringai yang licik muncul di wajah Hope, "ide yang bagus setelah kau memberitahuku di mana Jimin sekarang agar aku bisa menghabisinya."

Pistol Hope terarah pada Yoongi sekarang. Dia sudah siap akan tibanya hari ini. Hari di mana dia akan mati di tangan majikannya sendiri. Setidaknya dengan begitu, Yoongi tidak perlu melihat kematian Jimin. Jika dalam bentuk puitis, bisa saja mereka bertemu di surga nanti.

Braakk! Braakk! Braakk!

"Jangan ada yang bergerak! Angkat tangan!"

Yoongi dapat merasakan tubuhnya lemas seketika ketika polisi mendobrak masuk ke dalam rumah. Hope terkesiap dengan keberadaan polisi yang tiba-tiba dan tanpa sadar melepaskan Jihoon yang memberontak. Yoongi segera memeluk adiknya dengan kuat; jatuh terduduk di tempatnya sambil menangis lirih.

"Yoongi! Yoongi!"

Laki-laki pucat itu menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Jimin keluar dari kamarnya dan segera menghambur melingkupi Yoongi dengan tubuhnya. Raut wajah Jimin terlihat begitu panik melihat Yoongi yang tampak berantakan. Hingga suara yang paling tidak diinginkan Yoongi menulikan telinganya.

Tubuh kokoh tersebut ambruk menindih dua bersaudara itu.

.

.

-o0o-MinGa Dudes-o0o-

.

.

Author's Note:

Ini oneshot pertamaku tentang MinGa :") Maaf karena terlalu panjang dan semoga para pembaca menyukainya ^^ Aku kasih bonus omake di bawah ya heheh…

Omake

Suara yang melengking itu menyadarkan laki-laki dengan tubuh kurus itu dari pengaruh bius. Dadanya naik turun dengan cepat, campuran antara rasa haru dan sedih.

Karena dia sendirian menjalani masa-masa terberatnya.

"Perempuan, Yoongi-ssi."

Yoongi mengamati sosok mungil yang baru saja menyapa dunia itu. Rambut hitam legam dan bibir tebal—warisan dari ayahnya. Air mata Yoongi mengalir semakin deras meskipun dia berharap ada yang menyeka air matanya. Ayah dari anaknya mungkin.

"Kau akan memberinya nama apa?" tanya orang yang sempat berjasa menyelamatkan ayah dari anak tersebut.

"Namanya akan memiliki arti seseorang yang lembut dan bijaksana." Yoongi berbicara sambil memberikan jarinya untuk digenggam kuat oleh makhluk mungil yang masih menangis dengan keras.

Orang yang membantu operasinya hari ini meletakkan makhluk mungil itu di dekat Yoongi agar lebih tenang. Yoongi tersenyum penuh haru melihat kemiriman mutlak yang diwarisi anak tersebut.

"Yoonji, namanya adalah Park Yoonji."

.

END

.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA

MIND TO REVIEW?

.

MGD's Notes :

Terima kasih untuk semua author yang ikut berpartisipasi meramaikan event ini, kami tidak mengubah alur cerita serta penokohan di sini, kami hanya mengedit kesalahan penulisan di beberapa bagian. Semoga di event yang akan datang, bisa turut berpartisipasi kembali. Kepada reader sekalian untuk membantu kami jika pernah membaca cerita yang serupa. Kami akan mengambil tindakan lebih lanjut jika benar terdapat unsur plagiat di dalam karya ini. Terima kasih atas kerjasamanya serta terima kasih telah membaca karya ini.

Regards,

MGD