Stalker Conflict

Genre : Romance, Family, Humor

Rate : T

Disclaimer : Ehem, I don't own Brothers Conflict and I don't get any profit from it, so don't sue me, okay? Ah, but Aika is mine. #hug_Aika


Aku menatap mobil van yang berhenti di depan sebuah mansion. Seorang cowok berambut coklat muda keluar dari mobil dengan wajah lelah. Aku tersenyum lebar.

Sudah kuduga. Hahaha. Dia, Asakura Futo, memang tinggal di rumah keluarga Asahina. Berarti, nama aslinya adalah Asahina Futo!

Aku meloncat kegirangan dari tempat aku bersembunyi, dibalik sebuah tiang listrik tak jauh dari gerbang mansion.

Yes! Yes! Yes! Dengan ini, aku bisa balas dendam terhadap idola-otak-bodoh yang sudah berani menghinaku!

Aku mengepalkan tanganku, kemudian meninju udara kosong di depanku. Cengiran lebar tersampir di wajahku.

Good bye boring life! Welcome excitement! Wahahahaha~!


Gelap. Dingin. Dimana ini? Aku memandang ke sekelilingku. Tak ada apa-apa dan siapapun. Aku mulai merasa kesepian dan membeku. Ah, kesepian? Bukannya aku selalu sendiri?

BAKKK!

"Awww! Sakiiitt! ..."Aku merasakan lantai dingin di punggungku. "DINGII~NNN!" Aku bangkit dari lantai dan meraih jaket yang kuletakkan di dekat meja belajar. "Aduuhh! Sial! Bisa-bisanya aku jatuh dari tempat tidur."

Aku memandang penghangat di ujung ruangan. Aku menghela nafas. Mati? Serius nih? INI MUSIM DINGINN! Aku berteriak dalam hati.

Sudah dua hari sejak aku tinggal di rumah ini. Apertemenku yang sebelumnya mulai direnovasi, aku pun disarankan untuk pindah. Well, ga ada salahnya sih, sudah sejak lama aku ingin punya rumah baru dan, ehem, aku sangat beruntung karena rumah baru ini tidak jauh dari sekolah dan Skate Ring langgananku.

Aku memanaskan air di teko untuk mandi dan mulai memasak sarapan.

Note to myself : beli penghangat ruangan.


Aku memandang gerbang mansion. Aku pun memulai aksiku hari ini setelah pulang sekolah. Setelah dipikir-pikir, aku dan dia, Asakura Futo, adalah tetangga, akan lebih baik kalau ada semacam hubungan meskipun hanya tetangga, dan aku memberanikan diri dengan membawa sekeranjang Macaroons bikinanku. Oh iya, untuk berjaga-jaga, aku juga sudah berkunjung ke rumah-rumah di sekitarku. Hehehe.

Setelah berganti pakaian aku mendatangi mansion yang dikenal dengan Sunrise Recidence. Mansion-nya besar dan bertingkat lima. Aku berdiri di depan gerbang mansion dengan tekad bulat.

Kalo dibilang nggak nervous, itu bohong banget! Keringat dingin mulai terasa di telapak tanganku hingga...

"Ada perlu apa ya?" tanya sebuah suara.

Aku menoleh dan mendapati seorang wanita cantik dengan rambut merah panjang bergelombang dan mid winter coat yang benar-benar stylish!

Tapi... Something doesn't feel right.

Aku memandang lekat-lekat wanita itu dan sepertinya wanita itu mulai merasa bingung.

"Em, halo? Kamu ngapain di depan rumah saya?" tanya dengan wajah bingung tapi selapis senyuman masih tersampir di wajahnya.

"... Emmm ..." aku tersadar, "Oooh! ANDA PRIA KAN?" teriakku senang karena berhasil mengungkap misteri mengapa ada yang janggal dari wanita itu.

Wanita itu kaget. Ia terdiam beberapa detik lalu tertawa. Tertawa dengan suara seorang pria. Aku tersenyum ketika mendengarnya. Tebakanku benar!

"Nama saya Haruno Aika. Sejak dua hari yang lalu, saya mulai tinggal di rumah depan rumah keluarga Yamaguchi."

"Oh, tetangga baru ya? Saya Asahina Hikaru, yoroshiku!"

Aku menyodorkan keranjang yang kubawa. "Ini un-"

"Oh!" potong Asahina-san sambil tersenyum senang. "Bagaimana kalau masuk aja dulu?"

"Eh?"

"Ayo! Masuk aja!" Asahina-san mulai memasuki halaman mansion.

Serius nih? Boleh masuk? Yey!

Aku berusaha memasang wajah biasa-biasa saja lalu mengikuti wanita, eh, pria itu ke dalam mansion.


Aku memandang ruang keluarga yang besar itu. Sebuah sofa merah panjaaaang, benar-benar panjang loh, diletakkan di tengah ruangan. Aku duduk di ujung sofa lalu meletakkan keranjang makanan di atas meja kaca.

Hikaru-san menghilang setelah mengantarkanku ke ruang keluarga.

"Berapa orang ya yang tinggal disini?" gumamku, kepada diri sendiri.

"Empat belas orang tinggal di mansion ini," jawab seorang pria berjas rapi dengan lawyer badge terpasang di bagian dadanya.

"Oh, saya Haruno Aika. Tadi Asahina Hikaru-san mempersilahkan saya untuk masuk," aku mengambil keranjang dan berdiri, "Ini ada makanan kecil untuk keluarga Asahina."

Pria itu menerima keranjang dengan wajah senang. "Wah, terima kasih banyak ya, Haruno-san! Saya Asahina Ukyo. Duduklah. Saya akan membuat teh dulu."

"Eh, oh, terima kasih banyak." aku kembali duduk di sofa panjang nan empuk itu.

Aku mengedarkan pandangan dan tertumpu oada sebuah foto keluarga. Di foto itu terdapat banyak pria dan hanya dua wanita, yang satu mengenakan wedding dress dan yang satu... Eh, rasanya...

"Aika-chan?" ujar sebuah suara cewek yang terdengar kaget.

Aku menoleh dan melihat cewek berambut coklat yang di ikat ke samping. Wajah cewek itu cantik dengan pancaran kepolosan yang, ugh, bikin aku nggak tahaaa~n. Gemes.

"Ema-chan!" balasku dengan wajah gembira juga sedikit bingung. "Ema-chan sedang apa disini?" alasan-alasan yang terpikir olehku: tetangga atau salah satu pacarnya adalah penghuni mansion ini.

Ema menghampiriku. "Aku tinggal disini. Ohya, kita sudah nggak sekelas lagi ya. Jadinya kamu nggak tau kalau papaku menikah dan sekarang namaku berubah menjadi Asahina Ema."

Aku terdiam. Kata-kata Ema meluncur melewati telingaku dan masuk ke otakku. Tapi, entah kenapa prosesnya berjalan begitu lambat.

Ema terus berbicara, "Papaku masih di rumah yang dulu bersama mama baruku. Aika-chan sendiri sedang apa disini? Aku kaget loh liat Aika-chan ada disini. Loh, Aika-chan? Halooo! Aika-chan?"

Aku memasang sebuah senyuman. "Iya, aku dengar kok Ema-chan. Em, aku pindah ke dekat sini."

Ketika mendengar ucapanku, wajah Ema berbinar-binar. "Oh ya? Serius? Berarti kita tetangga donk!"

Aku mengangguk. "Rumahku a-" aku tidak melanjutkan ucapanku ketika melihat cowok berambut merah muncul di area penglihatanku. "Asa-"

Cowok itu melihatku dan seketika itu juga wajahnya tampak kaget. "Haruno?"

Ema bergantian memandangiku dan Asahina Yusuke. "Kalian saling kenal?"

"Eh? Nggak!" jawab kami berdua bersamaan.

Aku menatap Asahina-kun dengan tatapan kesal. Kenapa dia ada disini? Tunggu! Berarti dia saudaranya Futo dong? Aku menatap cowok red-head itu. Nggak mirip ah.

"Anu, Ema-chan, kami saling kenal kok," ucapku, berusaha menetralkan suasana. "Tapi nggak dekat, cuma sekelas aja pas kelas satu."

Ema ber-oh. Aku menghela nafas. Aku memandang dua makhluk yang ada di depanku. Kepalaku mulai terasa pusing. Entah bisa dibilang beruntung atau malah sial, mereka adalah saudaranya Futo. Aku kembali menghela nafas dan memandang langit jingga yang mulai menghitam.


"Lucy~! Dimana kamu?" teriakku sambil memandang kolong ranjang tempat tidur. Aku mengembungkan kedua pipiku dengan kesal ketika tak menemukan anak kucing yang baru-baru ini kupelihara.

"Meow!"

Ketika mendengar suara itu aku langsung mengangkat kepalaku da-

BAKK!

"Aww! Sakiiitt!" rintihku sambil memegangi kepalaku. Aku menarik kepalaku dari bawah ranjang tidur dan menatap seekor anak kucing hitam yang sedang berbaring diantara tumpukan buku-buku milikku.

"Lu~cy~! Kamu disitu rupanya."

Aku meraih Lucy ke dalam pelukanku. Kucing kecil itu mendengkur pelan ketika kubelai. Bulunya begitu halus dan berwarna hitam mengkilat. Aku menemukannya di antara tumpukan sampah dekat apertemenku yang dulu. Dan, ehem, karena saking imutnya kucing ini, aku pun mengadopsinya.

"Tau nggak Lucy? Aku berhasil masuk ke rumah idola-idiot itu loh! Ya ampun, dia punya 13 saudara dan Ema juga Asahina Yusuke tinggal disitu! Kenapa aku nggak menyadarinya dari awal ya?" Aku menatap poster Futo. Aku sedikit tersenyum ketika melihat hasil karyaku : wajah futo dengan kumis dan jenggot hitam yang kugambar menggunakan spidol. "Dia benar-benar jahat ya Lucy. Aku begitu mengaguminya, eh, dia menghina karyaku." Aku melimpahkan tatapanku ke arah laptop yang masih menyala. Di layar, tampak naskah novel yang belum selesai. "Pokoknya, aku akan mengungkapkan kejelekan idola-mulut-kasar itu! Hohohoho!"


Aku menatap bunga-bunga yang ada di hadapanku. Bunga-bunga itu terlihat begitu indah dan anggun. Paper daisy, lavender, chrysantheum dan masih banyak lagi! Ooohh! Coba aku bisa menumbuhkan bunga-bunga indah ini!

Aku menatap jalan masuk ke dalam mansion. "Ugh, Ema lama! Katanya mau berangkat sekolah bareng."

Sekian detik berikutnya, muncul seorang cowok berambut abu-abu sambil menenteng sebuah sepeda. Ia terlihat celingak-celinguk dan ketika ia menatapku, ia tersenyum.

"Haruno Aika kan?" tanya cowok yang, uwaahh, cakep! Terlihat baik, lembut dan- eh, emm, aku mengerutkan kening. Rasanyaa...

"Halo? Kamu Haruno Aika kan?" tanya cowok itu lagi, ragu.

"Ah!" Aku mengangguk. "Maaf saya melamun tadi!"

"Tidak apa-apa kok. Tadi Ema titip pesan, dia mungkin agak terlambat jadi kamu disuruh duluan aja," ujar cowok berambut abu-abu, yang lama-lama, entah kenapa bikin merinding, ketika menatap kedua matanya.

"Aa~hhaha.. Oke. Makasih banyak," jawabku, agak kaku. "Saya pamit kalau begitu." aku pun meninggalkan cowok itu.

Sebelum meninggalkan mansion, aku menatap bunga-bunga terlebih dahulu dan ketika aku berbalik meninggalkan halaman mansion, cowok-bikin-merinding itu masih menenteng sepedanya. Aku pun menghampirinya karena penasaran.

"Kenapa sepedanya?"

"Ban depannya bocor. Aku mau membawa ke bengkel yang nggak jauh dari sini," jawabnya, masih dengan senyuman-yang-bikin-merinding itu.

Bengkel? Wah, itu kan cukup jauh. Tanpa berpikir panjang, aku ikut mengangkat bagian belakang sepeda itu.

"Eh?" dia terlihat kaget.

Aku memasang senyuman paling lebar yang aku bisa. "Aku bantu ya? Bengkelnya cukup jauh kan?"

"Cowok itu tampak ragu dan tak enak. "Tapii.."

Aku langsung mendorong sepedanya, yang membuat cowok itu ikut terbawa. "Sudah! Terima aja! Aku senang kok, bisa membantu tetangga yang kesusahan. Lagian, kalo berdua lebih cepat dan ringan kan?"

Akhirnya, cowok itu tersenyum, waaaahh, senyuman itu, senyuman yang nggak bikin merinding. Aku hampir melepas peganganku pada sepeda. "Terima kasih, Haruno-san."

Aku hanya bisa memandang wajah cowok itu. Terkesima.

"Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri ya? Asahina Iori. Senang berkenalan denganmu Haruno-san."

"Saya juga, Asahina-san."

Kami pun sampai di bengkel. Ketika aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sekolah, Asahina Iori-san menawarkan untuk mengantarku ke sekolah dengan sepedanya yang sudah diperbaiki. Dan, ehem, tawaran bagus seperti itu nggak mungkin ditolak kan?

Akhirnya, Asahina Iori-san mengantarkanku sampai depan pintu gerbang dan pagi itu aku harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan penasaran dari teman-temanku.


Aku memandang tumpukan berbagai jenis kue dan berbagai jenis makhluk cowok yang ada di hadapanku. Aku mengedipkan mata beberapa kali, dan ini benar-benar kenyataan. Malam ini, aku diundang ke Sunrise Recidence untuk merayakan ulang tahun anak paling kecil, Asahina Wataru.

Si kecil satu ini benar-benar lucu dan penuh energi. Ribut dan tak bisa diam. Sejak tadi, ia tampak sudah tak sabar untuk melahap kue buatan Ema dan aku. Hem, aku bersyukur aku bisa membuat kue yang enak.

Aku memandang ke sekelilingku. Tak ada Futo. Eh, kenapa aku merasa sedih? Tidak! Tidak! Aku-

"Hee~ii! Kamu Aika-chan ya?" tanya seorang cowok, menghentikan pikiran liarku.

Aku menatap cowok itu dengan bingung. "Rambut putih lagi nge-trend ya?"

"Hahaha~ Aika-chan nggak pernah liat rambut putih?" tanya cowok yang kalau nggak salah, tadi Ema memperkenalkannya sebagai Asahina Tsubaki.

"Pernah. Kakek-nenek di apertemen sebelah," jawabku, asal.

Asahina tsubaki kembali tertawa dan mengelus rambutku. "Aika-chan lucu juga ya~?"

"Semua, ayo kumpul!" teriak Asahina Ukyo.

Semuanya berkumpul di dekat kue ulang tahun. Tiga belas lilin menyala di atas kue dan sekian detik berikutnya, lampu ruang makan dimatikan, menyisakan cahaya lilin yang temaram.

"Aku sangat senang karena semuanya dapat berkumpul di ruangan ini, walau Futo, Louis dan Natsume tak bisa hadir," ujar seorang Pria yang kalau tidak salah, namanya Asahina Masaomi. Tiba-tiba, Asahina Masaomi menoleh ke arahku. "Haruno-san, terima kasih ya sudah mau datang. Kau bahkan ikut membantu membuat kuenya."

Aku menggeleng sambil tersenyum geli. "Saya juga ingin berterima kasih karena sudah diundang, Asahina-san. Saya sempet kaget loh ketika Ema-chan, Asahina-kun dan Asahina-san datang ke rumah tadi siang, ngajakin buat datang ke ultah Asahina-kun." aku menoleh ke arah Asahina Iori-san. "Ah, hampir lupa! Asahina-san, terima kasih atas bibit bunganya. Sa-" aku menatap beberapa Asahina bersaudara ada yang tersenyum geli dan bahkan ada yang sudah hampir tertawa. Keningku bertaut, heran. "Em, apa ada yang lucu?"

Asahina Hikaru menghampiriku dan memasang wajah geli. "Wah, pusing juga ya dengernya. Kau menyebut kami semua dengan Asahina loh, Aika-chan."

"Ah," gumamku mengerti. Aku bergantian menatap Asahina bersaudara. "Tapi, kalau tidak memanggil dengan sebutan Asahina, baga-"

"Panggil aja dengan given-name kami," cetus Asahina Tsubaki.

"Betul sekali, aku nggak kebertaan kalau dipanggil oleh gadis manis seperti dirimu," sambung Kaname-san, yang sejak awal bertemu, aku sangat, sangat berusaha untuk tidak kabur darinya.

"Tapiii..."

"Tak apa Haruno-san," ujar Asahina Ukyo. "Yang lainnya juga nggak ada yang keberatan kan?"

Beberapa menggeleng dan beberapa hanya tersenyum atau diam. Well, it's mean that they allow me to call them with their given-name. Wow, what a lucky girl I am. Aku tersenyum dalam hati.

"Okay! Kalian juga boleh memanggilku dengan panggilan Aika kok. Ah," aku menghampiri Wataru-kun lalu menyodorkan sebuah kotak kado. "Buat kamu."

Wajah wataru-kun langsung berseri-seri. "Uwaa, arigatou, Aika-neechan!" Ia langsung membuka kotak kado yang kuberikan dan, "Kawai~!" digenggaman Wataru-kun, tampak sebuah boneka kelinci berbulu putih dengan pakaian seperti pakaian yang dikenakan Wataru-kun ketika aku pertama kali melihatnya beberapa hari yang lalu.

Aku tersenyum puas ketika melihat mimik bahagia Wataru-kun. "Aku buat khusus untuk Wataru-kun loh."

Wataru-kun menatapku dengan tatapan kagum. "Nee-chan yang bikin? Beneran? Beneran? Kereeennn!" Wataru-kun loncat-loncat di tempat, aku tertawa geli ketika melihatnya.

Aku mengangguk. "Pas pertama ketemu Wataru-kun, aku langsung pengen bikin boneka yang mirip Wataru-kun dan aku nggak nyangka kalau ulang tahun wataru-kun ternyata nggak jauh."

"Waahhh, Aika-neechan hebat! Kayak Masa-nii!" seru Wataru-kun sambil berlari ke arah Masaomi-san. "Liat deh! Lucu kan? Ya kan, Masa-nii?"

Masaomi-san mengangguk. "Dibuat dengan bagus sekali. Hebat."

Aku terkekeh saat mendengar pujian itu. "Well, waktu di panti asuhan, kadang ada boneka yang rusak, jadi aku sering membantu ibu panti untuk memperbaiki boneka. Eh, lama-lama jadi keterusan sampai belajar membuat boneka. Menyenangkan sih!"

"Tunggu!" seru Tsubaki. "Panti asuhan?" dahinya mengernyit.

"Ah, aku lupa bilang ya," aku menggaruk kepalaku yang nggak gatal. "Aku yatim-piatu."

Beberapa orang di ruangan itu terkesiap.

"Kukira kau hanya pisah rumah dengan keluargamu," ujar Hikaru-san berasumsi.

"Orang tuamu emangnya kemana?" tanya Yuusuke sambil menatapku penasaran, juga, kesal?

"Em, kata Masumi-san, ibu pantiku dulu, orang tuaku meninggal," jawabku sambil berusaha mengingat-ingat. "Aku dikirim ke panti karena ternyata kedua orang tuaku tak mempunyai kerabat. Kebetulan, ada Rio, temen ayah yang peduli padaku. Ia melindungiku dari orang-orang yang tiba-tiba muncul, mengaku sebagai guardian-ku. Demi aku, Rio memasukkan aku kepanti asuhan. Jadi, begitulah."

"Kenapa si Rio-san itu tak mengangkatmu saja?" tanya Kaname-san.

Aku menghela nafas, "Rio-san bekerja di luar negri. Ia seorang fotografer dan sering pergi ke tempat-tempat berbahaya. Jadi aku dititip di panti asuhan. Em, walau begitu," aku tak bisa menahan senyuman lagi, dan aku yakin, wajahku juga memerah, "bagiku, Rio sudah seperti ayah bagiku."

Ada jeda yang diisi hanya dengan keheningan, lalu...

"Tapi Aika-chan hebat loh! Ia sudah bisa membiayai dirinya sendiri!" seru Ema-chan terlihat bangga. Haha, ada rasa menggelitik ketika melihatnya begitu bersemangat. "Terus Aika-chan sangat pintar walau payah banget dalam berolah raga."

Aku cemberut. "Ema-chan! Jangan buka aib orang dong!"

"Ah, gomen!" serunya, yang menurutku, tidak terlihat bersalah sama sekali. Dasar.

Suasana kembali menghangat. Wataru-kun kembali menjadi objek pembicaraan. Atmosfer rumah ini begitu nyaman dan hangat. Hatiku merasa nyeri begitu menyadari betapa sendirinya aku di rumah. Rio hanya datang beberapa bulan sekali. Aku menatap hiruk pikuk dalam ruang makan yang kini sedang ribut dengan kue yang sedang dipotong. Aku tersenyum kecut. Sungguh, aku iri.

Aku menghela nafas panjang. Argh, benar-benar deh. Tujuan aku kan untuk mengenal lebih dalam tentang idola-mulut-busuk itu. Kenapa aku malah beramah-tamah dengan keluarga Asahina? Ah, aku jadi ingin ke kamar mandi.

Aku melangkah menuju tangga menuju lantai atas, ketika melewati ujung koridor yang berhubungan dengan lift, sesosok bayangan menghentikanku dari berjalan. Mataku membesar, dan untuk kedua kalinya, aku berhadapan, face-to-face dengan cowok yang dulu, merupakan idola yang kusukai. Ya, dulu.

Cowok itu mengernyit. Wajahnya tampak sinis, tapi juga terlihat lelah. "Siapa kau?"

Aku menggertak gigiku, berusaha tampak tenang. Aku kembali memutar skenario yang sudah kubuat jikalau aku bertemu dengan idola ini. Tapi... Kenapa tak ada satu pun skenario yang kuingat? Oh, gosh! What should I do? WHAT'S WRONG WITH ME?!

to be continued...


uwaahh, akhirnya my first fic publish juga... banyak yang Azura buat tapi baru ini yang bisa sampai satu chapter selesai.

oke, readers, jangan lupa di R-E-V-I-E-W yaaaa~! Please? #puppy-eyes